• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : KONSEP NEGARA TAN MALAKA

KONSEP NEGARA TAN MALAKA

III.2. NEGARA TANPA KELAS

“…Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan 75

Albert Doni Koesoemo,Menuju Indonesia yang merdeka dan Sosialis, dalam basis no 01-02 tahun ke-50 Januari-Februari 2001, Hal.60.

masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan".76

Massa aksi menjadi panduan Tan malaka dalam berpikir terlihat jelas menekankan semangat perlawanan untuk melawan Struktur negara kapitalistik. Kegigihannya dalam melakukan kritik terhadap negara mengilhami munculnya ideology perlawanan yang menghasilkan tentang idealisme negara yang mereka inginkan, selain melakukan pembongkaran dan kritik terhadap system borjuasi, keduanya juga memberikan solusi. Bahkan dapat dikatakan sebagai model tandingan dari apa yang telah di praktekkan oleh kelompok borjuasi. Negara tidak lebih hanya sebagai penindas masyarakat sehingga bagi kalangan marxis negara menjadi tidak penting mana kala keteraturan social dapat terwujud. Bahkan Tan Malaka menilai kapitalisme dengan cara kerjanya sesungguhnya sedang menggali kubur bagi dirinya sendiri.77

Tan Malaka memberikan analisa tajamnya yaitu bahwa manusia terpaksa dan puas dengan perealisasian diri dalam agama saja karena keadaan masyarakat tidak mengijinkannya merealisasikan hakekatnya secara sungguh-sungguh. Tata-susunan masyarakat tidak memberi peluang bagi manusia untuk merealisasikan dirinya dengan sungguh-sungguh yang mendesak perlu diubah bagi Tan Malaka yaitu keadaan masyarakat sekeliling yang menghalangi perealisasian hakekat manusia.

76

Tan Malaka, 2008 Massa Actie, Jakarta : LPPM Tan Malaka, Hal.1.

77

berdasarkan kerangka ilmiah pemikir-pemikir sebelumnya, entah dengan alur pikiran yang searah maupun yang bertentangan dalam koridor kritik, Karl Marx menawarkan beberapa gagasan penting dan baru dalam ranah filsafat yang dalam tulisan ini hanya dibatasi pada beberapa gagasannya yaitu konsepsi tentang manusia, nilai guna dan nilai tukar, alienasi manusia, dan perjuangan kelas dan revolusi.

Untuk mendapatkan kesetaraan kelas yaitu ketika masyarakat mencapai apa yang disebut dikatator proletariat, yaitu ketika kekuasaan negara dan pengaruh agama lenyap dari masyarakat. Negara dan agama oleh Tan Malaka dianggap sebagai alat penindasan dan pengekang kebebasan. Dalam pemikiran sosio-politik Marxis, diktatur proletariat merujuk pada negara sosialis di mana kaum proletar (kelas buruh)

memegang kekuasaan politik.

Kelas proletariat adalah sebagai basis material dan revolusi. Proletariat bagi Tan malaka Merupakan kelas atau unsur masyarakat yang paling menderita dan mewakili seluruh kaum pekerja manusia. Dengan demikian, maka Tan Malaka menempatkan kaum proletariat sebagai penggerak seluruh perubahan masyarakat secara rovolusioner. Sebab, kelas proletariat mewakili kepentingan universal, kepentingan umum, kepentingan komunal, dan bukan kepentingan individual. Dengan demikian, dalam tinjuan perjuangan kelas, kaum proletar adalah agen pembebas sejati (revolusioner) yang diberi tugas suci oleh sejarah untuk membebaskan segala bentuk kontradiksi dan antagonism structural dalam kelas-kelas.

Setelah penghancuran kapitalisme dengan paksa, dan setelah perebutan kekuasaan yang didominasi kapitalis, maka masyarakat akan masuk dalam suatu masa yang disebut masa transisi. Dalam masa ini akan muncul kelas baru, yakni kelas proletar yang tidak hanya menekan-paksa kelas pemodal, tetapi juga bergerak merebut kekuasaan. Dan, tentunya kelas proletar akan menggunakan kekuasaan tersebut untuk mengatur masyarakat serta segenap aspek produksi.

Sesudah itu akan muncul masa diktator proletariat, yakni suatu masa dimana kekuasaan dan semua aspek produksi yang dikuasai kaum proletar dipertahankan dengan cara membentuk partai tunggal yang menjadi satu-satunya jalan sah untuk memasuki ranah kekuasaan bahkan sangat menentukan kekuasaan sendiri. Demi mempertahankan keadaan-keadaan yang telah diraih lewat revolusi kaum proletar tersebut, maka Tan Malaka mensyaratkan partai yang dibentuk oleh kaum proletar itu haruslah menjadi partai yang berorientasi pada masyarakat.

Pada masa diktator proletariat, sarana-sarana produksi yang telah dikuasai tersebut, diarahkan oleh kaum proletar untuk pemerataan kesejahteraan bersama. Dalam kondisi ini, kelas pekerja tidak lagi mengalami alienasi, karena hasil-hasil kerjanya didedikasikan tidak hanya untuk meraup keuntungan semata, tetapi juga untuk tujuan yang lebih luhur, yakni kesejahteraan bersama atau kesejahteraan masyarakat. Dalam kajian Tan Malaka dalam kondisi semacam itu para pekerja jauh lebih mengenali hasil kerja mereka. Para pekerja juga jauh memahami mengapa pekerjaan mereka harus dijalankan, untuk apa hasil kerja mereka, dan cita-cita besar apakah yang berada di balik semua aspek produksi yang mereka lakoni.

Selanjutnya, diktator proletariat akan diarahkan menuju sebuah masyarakat yang memiliki tatanan baru. Di dalam tatanan baru itu, kelas-kelas di dalam masyarakat dihapuskan. Di dalam masyarakat yang memiliki tatanan baru tersebut, karena segenap aspek produksi dikuasai secara bersama dan diorientasikan untuk kesejahteraan bersama, maka setiap orang akan dimintai menurut kemampuannya, dan akan diberi menurut kebutuhannya. Dengan kekuasaan yang sangat dipengaruhi oleh partai yang diktator inilah kaum proletar mengambil-alih segenap aspek produksi, menjalankan pemerintahan, serta menerapkan sistem ekonomi sosialis di dalam suatu negara sosialis ataupun negara komunis.

Pada akhirnya, ketika masyarakat dengan tatanan baru tersebut tercipta, dan tatanan baru tersebut telah bisa dijalankan dengan baik oleh masyarakat itu, maka perlahan-lahan keberadaan negara ditiadakan. Negara yang telah lenyap itu berganti dengan lahirnya “masyarakat komunis”, atau yang populer di kalangan sosialis sebagai “masyarakat tanpa kelas”.

Kelas merupakan sebuah konsep yang menentukan kedudukan sosial manusia dari segi kepemilikan benda atau harta yang tidak dapat dipisahkan dari konsep ekonomi. Kecenderungan Tan Malaka untuk menganalisis ide-ide tentang teori kelas ditonjolkan Karl Marx dalam bagian akhir karyanya yaitu Das Capital. Secara umum, konsep kelas sosial yang diutarakan oleh Tan Malaka telah membagi tiga kelas utama dalam struktur masyarakat kapitalis, yaitu kelas buruh upahan (Wage Labourers),

kelas kapitalis, dan kelas pemilik tanah (Landowner). Walau bagaimanapun, perkembangan struktur industri kapitalisme hanya memperkenalkan dua jenis kelas saja, yaitu borjuis dan proletar. Semua kelas buruh upahan akan diklasifikasikan sebagai kelas proletar. Sedangkan kelas kapitalis dan pemilik tanah dimasukkan dalam kelas borjuis. Namun kedua kelas yang diklasifikasikan dalam kelas borjuis tersebut bersaing ketat dalam memperoleh dan merebut keuntungan atau kekayaan.

Kelas proletar dan borjuis memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Kelas borjuis memiliki dan menguasai alat-alat produksi serta menguasai seluruh rangkaian sistem produksi, sedangkan kelas proletar dijadikan sebagai tenaga kerja yang bekerja untuk kelas borjuis dalam rangkaian proses produksi. Kelas proletar seringkali dianggap sebagai kelasnya orang-orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Mereka tak memiliki apapun selain tenaga yang mereka gunakan untuk bekerja. Sebagai imbalannya, mereka menerima gaji dari kaum borjuis dengan jumlah yang sangat rendah. Ini tentu saja tidak adil bagi mereka. perbedaan antara kedua kelas inilah yang menyulut perjuangan dan penentangan antara kelas-kelas sosial. Tan Malaka

menyebutkan bahwa sejarah manusia adalah sejarah pertentangan antara kelas yang menindas dan kelas yang tertindas. Ia mengatakan bahwa pertentangan tersebut kadang kala dapat dilihat secara tersembunyi, tetapi terkadang juga dapat berlaku dan dilihat secara terbuka.

Tan Malaka diasah oleh analisisnya yang semakin matang terhadap sistem kapitalisme dini di awal Revolusi Industri di Inggris. Tan Malaka menaruh perhatian yang mendalam terhadap fenomena dehumanisasi kaum pekerja, termasuk buruh perempuan dan anak-anak. Kelas buruh yang diperas tenaganya dengan imbalan upah yang jauh di bawah nilai jual komoditi yang dihasilkannya, sementara nilai lebih

(surplus value) komoditi-komoditi yang dihasilkan oleh kaum buruh memperkuat sistem produksi kapitalis dan menguntungkan kaum borjuis.

Setelah menyadari bahwa sistem ekonomi merupakan pondasi, yang di atasnya superstruktur politik didirikan, Tan Malaka mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari sistem ekonomi sosialis. Tan Malaka menbuktikan bahwa orang yang konsisten dalam studi mengenai sistem ekonomi modern, yakni kapitalisme, ekonomi politik klasik, sebelum Tan Malaka menyebut Eksploitasi terhadap kaum proletar sangat menarik perhatian di mana buruh diharuskan bekerja dalam rentang waktu yang sangat lama dengan upah yang tidak sebanding dengan hasil kerjanya. Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan masyarakat, Tan Malaka justru memperhatikan hubungan antar-manusia.

Modal (kapital) memperlihatkan sebuah fenomena hubungan yang menarik bagi Tan Malaka, tenaga kerja manusia menjadi sebuah komoditi. Para pekerja upahan menjual tenaganya kepada para pemilik tanah, pabrik, dan alat-alat kerja. Seorang pekerja menggunakan sebagain besar waktunya untuk bekerja demi menutupi biaya hidupnya dan keluarganya dengan upah yang sangat minim. Sedangkan sebagian waktunya yang lain digunakan untuk bekerja tanpa mendapat

upah, semata-mata hanya mendatangkan nilai lebih untuk para pemilik modal. Nilai lebih (surplus value) merupakan sumber keuntungan dan sumber kemakmuran bagi kelas pemilik modal (kapitalis).

Modal menjadi sesuatu yang menghantam para pekerja, menghancurkan para pemilik modal kecil, dan menciptakan banyak sekali kelompok-kelompok pengangguran. Dalam bidang pertanian, misalnya, para petani yang tidak memiliki modal besar untuk membeli mesin pertanian yang canggih akan kalah bersaing dengan orang yang memiliki modal besar dan sanggup membeli mesin pertanian yang canggih. Kondisi ini akan menghancurkan para pemodal kecil dalam kompetisi yang berbasis modal. Penurunan bahkan kehancuran pemodal kecil akan membuka peluang monopoli komoditi oleh para pemodal besar. Tak hayal, rakyat kecil akan semakin tertindas oleh kaum-kaum kapitalis. Kapitalisme telah menang di seluruh dunia. Tetapi kemenangan itu hanyalah menjadi sebuah awal dari kemenangan para pekerja terhadap penindasan modal yang membelenggu mereka.78

Dengan semakin kuatnya belenggu penindasan terhadap kelas proletar, Tan Malaka dalam bukunya yang berjudul Poverty of Philosophy, menegaskan bahwa skenario eksploitasi kelas telah melahirkan unsur “antagonisme kelas” yang merangsang keinginan para kaum proletar untuk bebas dari belenggu penindasan. Keinginan untuk bebas dari penindasan tersebut menjadi penggerak utama mereka untuk membentuk sistem sosial yang baru. Kelas tersebut akan mendesak perubahan struktur sosial dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman seperti perampasan kekuasaan secara revolusi. Ini merupakan harapan Tan Malaka agar kelas proletar menjadi kelas penguasa apabila mampu merampas kekuasaan dan kedudukan kelas borjuis dan memusatkan seluruh peralatan-peralatan produksi dalam tangan kaum proletar.

78

Sistem sosial baru yang akan didirikan kaum proletar tidaklah sama seperti kelas feodalisme atau kapitalisme. Kaum proletar, justru sebaliknya, akan mengimplementasikan sebuah kondisi sosial yang tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas merupakan manifestasi dari perjuangan kaum proletar untuk menghapus jurang pemisah di antara kelas sosial. Dengan terwujudnya kondisi tersebut, sistem kekuasaan tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk menindas suatu golongan masyarakat. Perjuangan kelas seperti itu hanyalah berakhir melalui penghapusan sistem kapitalisme dan terwujudnya masyarakat tanpa kelas (komunisme).

Kaum buruh sebagai kaum proletar untuk memenangkan revolusi sosialis salah satu syarat pokok menurut Tan Malaka, Mayoritas Masyarakat harus terdiri atas proletariat. Dan oleh sebab itu, di negeri di mana proletariat belum cukup berkembang dan belum merupakan mayoritas daripada penduduk, kemenangan sosialisme tidaklah mungkin.Taktik perjuangan kelas yang digunakan Tan Malaka seringkali menjadi isu perdebatan di antara pemikir-pemikir Tan Malaka setelahnya. Taktik tersebut merujuk kepada konsep diktator proletariat.

Tan Malaka mengatakan proses perubahan sejarah bergerak melalui komunisme primitif, feodalisme,kapitalisme, selanjutnya melalui sejarah sosialisme, dan berakhir dengan komunisme. Setiap transformasi sejarah tersebut dicapai melalui revolusi kaum buruh (proletariat) yang mewakili inspirasi seluruh manusia. Melalui revolusi, kebebasan bersifat ‘universal’ akan dapat dicapai oleh kelas buruh, sekaligus mewakili semua umat manusia yang mau melepaskan diri dari belenggu perhambaan. Perjuangan untuk mewujudkan revolusi tersebut akan gagal manakala kelas proletariat tidak memiliki kekuasaan dalam negara sebagai ‘alat’ untuk menggulingkan sistem kapitalisme. Oleh karenanya, Tan Malaka sangat menekankan bahwa untuk menghapus kapitalisme, yang menjadi syarat mutlak adalah kaum proletar harus bisa merebut kekuasaan negara lalu menguasainya.

Tan Malaka mengatakan bahwa sejarah perjuangan manusia merupakan sejarah perjuangan kelas dan negara hanya merupakan alat yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas seluruh kelas bawahan. Konsep-konsep dominasi tersebut akan berakhir dengan penghapusan sistem kapitalisme, dan itu merupakan tanda bahwa kelas proletariat yang dipelopori oleh kaum buruh telah menang. Keberhasilan sebuah revolusi dalam perjuangan meruntuhkan pemerintahan lalu menguasainya hanya bergantung kepada sikap diktator proletariat yang dimanifestasikan dalam bentuk perjuangan kelas. Sikap diktator itu sendiri diartikan sebagai “alat” dalam tahap peralihan ke arah pemusnahan semua kelas masyarakat (classless) yaitu tranformasi dari masyarakat kapitalis ke masyarakat komunis.

Tan Malaka meyakini Materialisme historis dan dialektika materialism

sebagai metode berfikir mengatakan bahwa sejarah manusia seluruh dunia sedang menuju pada masyarakat komunis. Sebelumnya didalam masyarakat kapitalis terjadi pertentangan diantara kerja bersama oleh yang tak berpunya melawan milik perseoranga yang berpunya akan hilang lenyap. Masyarakat sedang menuju komunisme Modern yang seperti masyarakat sosialis berdasarkan kerja brasama dan milik bersama atas alat dan hasil produksi. Hal tersebut merupakan cita-cita revolusi social yang dicita-citakan Tan Malaka bagi kemakmuran bangsa Indonesia.79

Dalam dokumen Pemikiran Tan Malaka Tentang Konsep Negara (Halaman 74-82)