• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masjid Jami’

Dalam dokumen 2010 Arsitektur Islam dan Arsitektur Mas (Halaman 41-67)

Ada kalanya masjid ditambah dengan kata Jami’. Jami’ berarti mengumpul atau berkumpul, pada penggunaan awalnya Jami’ tidak disematkan ke masjid namun berdiri sendiri sebagai sebuah isti- lah dalam Islam yang artinya mengumpulkan atau berkumpul. Namun kemudian istilah ini digunakan untuk masjid sebagai salah satu tempat utama dari berkumpulnya kaum Muslimin ketika itu. Istilah ”Masjid Jamik’, dewasa ini digunakan pada masjid yang di dalamnya ditunaikan Sholat Jum’at. (Ismail, 2003: 4) Walaupun ukurannya kecil, jika masjid tersebut digunakan untuk mengumpulkan kaum Muslimin untuk Sholat Jum’at maka masjid tersebut layak disebut sebagai Masjid Jami’.

2. Surau

Pada beberapa daerah di Asia Tenggara, dikenal juga istilah Surau. Surau merupakan suatu is- tilah yang disematkan kepada sebuah bangunan yang lebih kecil daripada masjid secara umum, namun tidak digunakan sebagai tempat Sholat Jum’at. Walaupun fungsi dan peranannya berkurang, surau tetap memiliki kemualiaan yang sama dalam Islam. Ukurannya yang kecil tidak menjadikan sholat di dalamnya berpahala lebih sedikit daripada masjid yang besar. (Ismail, 2003: 5)

3. Musholla

Istilah Musholla berarti tempat sholat. Istilah ini ditujukan kepada tempat-tempat tertentu yang digunakan oleh Rasulullah sebagai tempat untuk melaksanakan solat dua hari raya, sholat istisqo dan sebagainya. Tempat yang biasanya digunakan adalah kawasan lapang yang tidak berbumbung atau berdinding. Namun kini Musholla disematkan untuk ruang yang dikhususkan untuk menunaikan sholat dan tidak semestinya memiliki qariah (jama’ah) sendiri secara khusus.

Justiikasi Pemilihan Masjid Sebagai Rujukan Utama Bagi Pembahasan tentang Arsitektur Islam

Berdasarkan deskripsi ringkas sebagaimana telah dijelaskan diatas, penulis memilih masjid se- bagai bangunan utama yang merepresentasikan Arsitektur Islam setidaknya dengan dua pertimbangan yaitu:

Pertama, sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa masjid memiliki peranan yang sangat penting bagi masyarakat Muslim. Banyak aktivitas dan kegiatan yang dibuat oleh masyarakat muslim dilakukan pada dan berhubungan dengan Masjid, karenanya perubahan persepsi dan pemikiran terha-

dap bangunan masjid akan menyebabkan perubahan yang signiikan terhadap deinisi dan pengertian

Arsitektur Islam sebagaimana juga sebaliknya.

Kedua, Masjid merupakan bangunan yang seringkali merepresentasikan Arsitektur Islam. Ketika berbicara tentang Arsitektur Islam, biasanya orang akan merujuk kepada Masjid, karenanya walaupun sering disalah-tafsirkan dengan mengidentikkan Arsitektur Islam dengan masjid, sebagai sebuah kajian awal masjid merupakan simbol utama dan representasi yang paling mewakili dari se- buah studi tentang Arsitektur Islam.

Masalah Perancangan Masjid Kita Saat Ini

Dewasa ini banyak pembangunan masjid dengan ukuran yang besar, berskala monumental dengan ornamentasi dan hiasan-hiasan yang mahal serta bergaya Timur Tengah. Ide dan perancan- gan seperti ini biasanya berakar dari pemahaman sang arsitek terhadap ide masjid sebagai rumah Tuhan. Ide masjid sebagai rumah Tuhan berusaha memposisikan masjid sebagai tempat beribadah, berkontemplasi dan tempat bertemunya seorang hamba dengan Tuhannya. Bagian ini akan berusaha menjelaskan apa sebenarnya konsep rumah Tuhan dan bagaimana implikasinya terhadap perancangan

sebuah masjid disamping berusaha memberikan tentang fungsi dan peranan dari masjid pada masyara- kat Muslim di jaman Nabi Muhammad SAW.

Ide Rumah Tuhan dalam Perancangan sebuah Masjid

“Pertimbangkanlah apa yang dimaksud dengan Masjid, kuil atau gereja. Ia adalah tempat di- mana kita mencoba meningkatkan spiritual kita dan berjumpa Tuhan. Ia adalah tempat di- mana ia tinggal, tempat dimana kita pergi mencari petunjuk dan berkomunikasi dengan-Nya. Ia adalah tempat dimana kita merasa tenang, damai dan nyaman karena kehadirannya. Ia juga tempat kita mengasingkan diri.”

Jimmy Lim, “Editorial comments”, Majalah Akitek, Vol. 2 no. 6, Nov-Dec.1990

Potongan artikel diatas menggambarkan bagaimana pendapat seorang arsitek terhadap se- buah tempat ibadah sebagai rumah Tuhan. Konsep ini sebenarnya merupakan konsep yang sudah san- gat tua karena peninggalannya dapat kita lihat pada berbagai peradaban di dunia. Dari mulai Patung besar Zeus produk peradaban Yunani hingga berbagai Piramid raksasa produk kebudayaan Mesir.

Gambar 1.3 Beberapa contoh bangunan yang dibuat dengan pemahaman konsep Rumah Tuhan.

Secara sederhana konsep ini meletakkan tempat ibadah sebagai tempat dimana Tuhan ber- semayam. Karena Tuhan bersemayam dalam suatu rumah ibadat maka ia membawa sebuah implikasi langsung yang sangat besar. Tuhan tentu Maha Besar maka bangunan untuknya tentu saja harus “be- sar” Tuhan tentu Maha Indah maka bangunan untuknya tentu harus “cantik dan indah” Tuhan tentu Maha Kaya maka bangunan untuknya haruslah “semahal mungkin” Maka jangan heran jika kita mene- mukan berbagai bangunan ibadat yang dibina di luar ukuran bangunan biasanya (sangat besar), dibuat dengan sebagus-bagusnya dengan bahan yang semahal mungkin sebagai suatu bentuk pengabdian dari seorang hamba kepada Tuhannya. Pola dan metode pemikiran ini masih terjadi hingga saat ini bahkan seolah menjadi sebuah standar dalam pembuatan sebuah rumah ibadat, Ia harus besar, indah dan ma- hal.

Dalam Islam, Rumah Tuhan merupakan penterjemahan langsung dari kata Baitullah yang ter- dapat dalam Al-Qur’an. Penggunaannya sendiri biasanya disematkan kepada masjid sebagai bangunan ibadah utama orang Islam. Sehingga segala konsepsi dan persepsi arsitek terhadap rumah Tuhan seb- agaimana telah dibahas sebelumnya banyak diterapkan pada masjid.

Gambar 1.4 Beberapa masjid dengan pendekatan konsep Rumah Tuhan

Padahal jika kita mau mengkaji secara logika saja, “Jika Tuhan Maha Besar lalu untuk apa kita menghasilkan sesuatu yang sebesar-besarnya, karena jika kita menghasilkan bangunan yang sebesar mungkin pun Tuhan tetap akan Maha Besar dan apa yang kita lakukan tetap kecil dalam pandangan- Nya!” Demikian halnya dengan membuat seindah dan semahal mungkin, ia tetap tidak akan menambah atau mengurangi keindahan dan kekayaan-Nya, sebagaimana beberapa ayat berikut:

“ Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu untuk dirimu sendiri dan apabila datang hukuman bagi kejahatan yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu…”( QS Al-Isra’: 7).

“Jika Dia meminta harta kepadamu lalu mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu. Ingatlah kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkah- kan (hartamu) pada jalan Allah. Maka diantara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguh- nya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang yang membutuhkan-Nya; dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti kamu dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”( QS Muhammad:37-38).

Dari sini jelaslah bahwa konsep rumah ibadat sebagai rumah Tuhan tidak memiliki sebuah dasar yang cukup untuk diterima dan dipakai pada perancangan masjid dalam masyarakat Islam.

Masjid Sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat

Sebelum kita berbicara tentang konsep dan fungsi dari Masjid mungkin ada baiknya kita membahas arti dan makna sholat sebagai kegiatan utama yang dilaksanakan di masjid dengan melihat beberapa hadith berikut:

“Hudaifah meriwayatkan: Rasulullah SAW bersabda: Saya telah diciptakan berbeda dengan umat sebelumnya dalam tiga perkara: shaf-shaf kami telah dijadikan seperti shaf para malaikat dan seluruh dunia merupakan masjid untuk kami, dan debunya telah dijadikan penyuci jika air tidak tersedia. Dan dia menyebutkan karakter yang lain juga.”(Shahih Muslim).

Anas bin Malik meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: Sholatlah ketika telah masuk waktunya, ia kemu- dian Sholat di kandang biri-biri dan kambing. Ia kemudian memerintahkan untuk membangun Masjid diatas- nya…”(Shahih Muslim).

Jika Sholat berjama’ah dapat dilakukan dimana saja selama memenuhi syarat sebagai tempat sholat lalu untuk apa ada bangunan yang namanya Masjid? Syarat dari suatu tempat yang layak untuk sholat pun sangat mudah dan sederhana yaitu bukan pemakaman dan bersih dari najis atau kotoran. Bahkan pada beberapa kasus sebagaimana terlihat pada hadith di bawah ini Rasulullah justru meng- galakkan orang untuk sholat di rumah.

Ibnu Umar meriwayatkan bahwa ia mengajak orang untuk sholat pada malam yang dingin, berangin dan hu- jan, dan ia kemudian mengamati setelah azannya sambil berkata sholatlah di rumah kalian, ketika malam itu dingin dan hujan dalam sebuah perjalanan dengan Rasulullah SAW beliau meminta Muadzin untuk meminta orang untuk sembahyang di rumah tinggal mereka.” (Shahih Muslim).

“Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa ia berkata pada muadzin pada saat hari hujan : ketika kau sam- pai pada bagian kalimat Syahadat (bagian kalimat Adzan) jangan mengatakan “marilah kita Shalat,” namun katakanlah “sholatlah di rumahmu.” Si periwayat kemudian menceritakan bahwa orang-orang ketika itu ban- yak yang tidak setuju. Ibnu Abbas kemudian mengatakan: apakah kamu mengingkarinya? Ia (Rasulullah), yang lebih baik dari saya, melakukannya. Sholat Jum’at tetap harus dilakukan, namun saya tidak suka memaksamu untuk keluar dan berjalan pada jalan yang berlumpur dan licin.”(Shahih Muslim).

Ternyata ketika kita mempelajari sejarah kita mendapati sebuah kenyataan bahwa Masjid pada zaman Rasulullah memiliki banyak sekali fungsi-fungsi lain selain hanya sekedar tempat ibadah. Pada zaman Rasulullah ia juga merupakan pusat pemerintahan, pusat proses legislasi, pusat interaksi masyarakat dan berbagai fungsi duniawi lainnya, sebagaimana terlihat pada hadith berikut ini:

Diriwayatkan oleh Annas r.a: Beberapa barang datang kepada Rasulullah dari Bahrain. Rasulullah memer- intahkan kepada parasahabat untuk membagikannya di dalam masjid-itu merupakan jumlah terbesar yang pernah diterima Rasulullah SAW. Ia meninggalkannya untuk sholat tanpa menengoknya sama sekali. Setelah beliau selesai sholat. Beliau duduk di hadapan barang-barang tersebut dan membagikannya kepada siapa saja yang ia lihat. Al Abbas datang kepada beliau dan berkata,”Wahai Rasul Allah berikan padaku sebagian barang-barang itu, karena saya perlu memiliki bekal untuk saya dan Aqil. Rasulullah SAW lalu meminta ia untukmengambilnya sendiri... (Sahih Al Bukhari).

Diriwayatkan oleh Aisyah r.a: Demi Allah saya ingat Rasulullah berdiri di depan pintu kamar saya sambil menyelimuti saya dengan mantel sehingga memungkinkan saya untuk melihat orang-orang Abbasiyah bermain dengan pisaunya di dalam masjid Rasulullah. Ia (Rasulullah) tetap berdiri untuk menemani saya hingga saya bosan dan pergi...(Shahih Muslim).

Sebuah utusan dari kaum Kristian Najran datang kepada Rasulullah. Seramai 60 pengendara kuda, 40 di antaranya berasal dari kaum bangsawan dari tiga kaum yang berkuasa….Mohammad bin Ja’far mencerita- kan kepada saya bahwa ketika mereka datang ke Madinah mereka datang ke masjid nabi ketika beliau sedang melaksanakan solat tengah hari….Para sahabat yang melihat mereka pada hari itu tidak pernah melihat mer- eka seperti utusan yang datang sebelumnya dan setelahnya. Masa untuk beribadah mereka telah datang mereka

berdiri dan beribadah dalam masjid nabi, dan mereka dibiarkan untuk berbuat demikian. Mereka beribadah menghadap ke Timur.” (Sirah Ibn Ishaq, hal. 641 and 270).

Kenyataan sejarah ini memberikan sebuah visi dan pemahaman yang integral kepada kita akan

peranan Masjid dalam Masyarakat Islam. Bentuk isik Masjid Rasulullah pun sangat sederhana dengan

penekanan pada aspek fungsional dan penggunaan ruang yang multi-fungsional sebagaimana terlihat pada sketsa dan rekonstruksi berikut:

Gambar 1. 5 Rekonstruksi Masjid Rasulullah dengan berbagai fungsi dan semangat ke-Islamannya

Bukan berarti kita harus membangun masjid kita sesederhana dan sebagaimana bentuk dari masjid Rasulullah diatas namun semangat yang terkandung di dalamnya sebagai produk dari perada- ban yang terbaik dalam Islam tentu tidak dapat kita abaikan begitu saja. Dari visi dan pemahaman masjid sebagai pusat pembangunan masyarakat ini tentu saja akan memiliki implikasi yang berbeda pula terhadap perancangan sebuah Masjid. Kita sampai pada sebuah kesimpulan sederhana bahwa

perbedaan cara pandang suatu masyarakat terhadap ritual dan kegiatan yang terjadi dalam Masjid

secara meyakinkan memiliki pengaruh besar terhadap perancangan dan bentuk isik dari Masjid yang

dihasilkan.

Masjid Kita saat ini…

Artikel ini tidak bermaksud melarang apalagi mencela pembangunan masjid yang besar, in- dah ataupun mahal. Namun artikel ini mengajak kita untuk sama-sama mengevaluasi alasan di balik pembangunan besar dan mahal tersebut. Apakah dengan dana yang sedemikian besar masjid tersebut dapat lebih berfungsi, ataukah justru terjadi pemborosan dan pemubaziran dari uang yang digunakan.

Gambar 1.6 Masjid modern perlu mengembangkan fungsinya dari hanya sebagai tempat sholat dan ibadah ritual saja.

Masjid bukan hanya bangunan isik saja, namun ia seharusnya menjadi sebuah institusi pem- bangunan masyarakat yang tidak hanya berkutat dalam aspek ibadah ritual saja. Masjid sebaiknya dirancang agar dapat memfasilitasi berbagai kegiatan dan fasilitas seperti sekolah, perpustakaan, warung, toko kelontong dsb agar masyarakat dapat lebih merasa memiliki institusi ini dan ikut me- makmurkannya. Hal ini dilakukan dengan memisahkan antara ruang sholat dengan ruang publiknya.

Selain aspek isik bangunannya, pembangunan masjid perlu dilakukan juga terhadap sumber daya

manusia yang mengelola masjid tersebut. Pelatihan manajemen, motivasi dan keimanan perlu diberi-

Penyempitan fungsi masjid pada banyak masjid di Indonesia saat ini

Masjid merupakan tempat beribadah umat muslim. Akar kata dari masjid adalah sajada dimana sajada berarti sujud atau tunduk. Pada masa Rasulullah saw., di dalam masjid konteks ibadah teraplikasi secara luas meliputi ibadah maghdah seperti sholat, mengaji, serta ibadah ghairu maghdah

seperti dakwah, ukhuwah dan silaturahmi, kondisi tersebut mampu men- jadikan masjid berfungsi sebagai pusat pengembangan umat. Di sisi lain, berbagai kegiatan yang menyangkut masalah orang banyak di bidang ilmu, agama, kemasyarakatan dan budaya ternyata juga dibahas dan dipecah- kan di lembaga masjid tersebut. Bahkan lebih jauh, pada masa itu masjid mampu menjadi pusat pengembangan kebudayaan Islam, tempat halaqah

atau diskusi, mengaji, serta memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama secara khusus dan pengetahuan umum secara luas (http://kabarindonesia. com, 2009).

Sementara itu, apabila dilakukan pengamatan di negara Indonesia ternyata telah terjadi berbagai pergeseran fungsi masjid dari fungsi awal yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan mayoritasnya beragama Islam

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid- masjid Allah hanyalah

orang-orang yang beriman kepada Allah

dan Hari kemudian, serta (tetap) mendirikan

shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) se- lain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan terma- suk golongan orang- orang yang mendapat

petunjuk.” (Q.S. at-Taubah [9]: 18)

telah melahirkan beribu masjid sebagai salah satu institusi penting di dalam masyarakat Muslim. Mas- jid di Indonesia berjumlah sekitar 700 ribu buah masjid. Jumlah nominal yang menunjukkan jumlah ter- besar di dunia, atau sama dengan jumlah masjid di rentang antara Bangladesh hingga Maghribi (http:// republika.com, 2002). Sayangnya, kondisi sebagian besar masjid di Indonesia saat ini telah mengalami penyempitan fungsi, yaitu hanya digunakan sebagai tempat beribadah atau sholat, sehingga kurang berfungsi optimal sebagai pengembangan masyarakat.

Sebenarnya di Indonesia sendiri contoh masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat beribadah atau sholat pernah ada dan berkembang pada masa Kesultanan Demak. Pada masa ini, mas- jid difungsikan pula sebagai tempat untuk membicarakan masalah-masalah sosial, kemasyarakatan, bahkan politik dan budaya. Sementara istana yang ada hanya digunakan sebagai tempat beristirahat bagi keluarga kesultanan. Masjid Agung Demak ini merupakan sebuah masjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan In- donesia pada umumnya. Dari kondisi tersebut dapat diindikasikan bahwa pada saat itu, Masjid Demak dalam bentuk dan fungsinya mampu mengakomodasi tidak hanya aspek ibadah dalam hubungannya dengan Allah swt., tetapi juga hubungan sesama umat muslim (http://en.wikipedia.org/wiki/masjid- demak).

Dari dua contoh masjid tersebut di atas, diketahui bahwa keberadaan masjid pada masa-masa Rasulullah saw. dan Kesultanan Demak mampu menciptakan sebuah masyarakat yang tidak hanya be- ragama Islam, namun juga bercorak islami yang senantiasa mengedepankan hubungan manusia dengan Allah (habluminallah), hubungan sesama manusia (habluminannas), dan hubungan manusia dengan alam

(habluminal’alam). Apabila kondisi ini terimplikasi penuh pada masjid-masjid di Indonesia pada saat ini, maka tentu akan mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan sejahtera.

Gambar 1.1 (a) Masjid Nabawi (b) Masjid Demak

Lebih jauh lagi mengenai pergeseran-pergeseran fungsi dan hakikat pembangunan masjid, ber- dasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abidin Kusno dalam buku, ”Behind the Postcolonial; architecture, urban space and political culture in Indonesia”, dijelaskan bahwa masjid-masjid di Indonesia sebagian besar dibangun oleh adanya sebuah konstruksi historis dari arsitektur lewat proses yang didasarkan pada kekuatan sosial dan politik (Kusno dalam Putrie, 2006: 6). Hal tersebut sangat bertentangan dengan

anjuran niat awal pembangunan masjid yang seharusnya dibangun berdasarkan takwa yang tertulis dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 109 sebagai berikut:

Artinya: ”Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik...”. (Q.S. at-Taubah [9]: 109)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir , susunan ayat ini menjelaskan bahwa di dalam masjid yang diban- gun atas dasar takwa itu terdapat orang-orang yang meramaikannya dengan shalat dan zikir kepada Allah, serta bertasbih kepadanya di waktu pagi dan sore. (Ibnu Katsir, 2008: 203). Dari tafsir tersebut dapat diinterpretasi bahwa niat atau maksud untuk mendirikan sebuah masjid haruslah karena takwa atau hanya karena Allah swt. semata. Upaya interpretasi ayat al-Qur’an ini sudah seharusnya diwujud- kan pula dalam bentuk perancangan arsitektural sebuah masjid.

Fenomena perubahan latar belakang pembangunan masjid yang dapat diamati adalah pada merebaknya pembangunan masjid-masjid di Indonesia seperti Masjid Istiqlal Jakarta, Masjid Agung Jawa Tengah, Masjid Al-Akbar Surabaya, atau bahkan pada sebagian besar propinsi di Indonesia yang masing-masing tampak seolah berlomba-lomba untuk membangun proyek-proyek masjid yang monu- mental sebagai bagian dari agenda pemerintah daerah untuk menjadikan wilayahnya dikenal dan me-

miliki prestise di mata daerah lain. Masjid-masjid dengan ukurannya yang sangat besar dan monumen- tal dibangun bukan dengan tujuan utama memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana peribadatan, pengembangan agama dan masyarakat yang memadai, melainkan lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan imej dan prestise wilayahnya (Putrie, 2009: 1).

Gambar 1. 2. Masjid Al-Akbar Surabaya

Dari uraian di atas diketahui bahwa kondisi masjid khususnya di Indonesia, telah mengalami pergeseran-pergeseran fungsi dan hakikat makna pembangunan sebuah masjid. Keadaan tersebut su- dah seharusnya diluruskan kembali untuk dapat menciptakan sebuah masjid yang benar-benar ber- fungsi sebagai institusi umat Islam. Institusi ini tidak hanya menekankan fungsinya sebagai tempat beribadah tetapi juga sebagai pusat pengembangan agama dan masyarakat. Dalam proses perancan- gannya pun masjid sudah seharusnya dibangun semata-mata karena Allah swt.

Permasalahan arsitektural pada bangunan masjid

Selain permasalahan-permasalahan sosial yang menyebabkan gagalnya masjid menjadi sebuah institusi pengembangan masyarakat, sebab lain adalah karena adanya berbagai permasalahan arsitek-

tural dalam bangunan masjid. Hal tersebut salah satunya dapat diidentiikasi dengan bentukan masjid

yang menitikberatkan pada pemenuhan tempat untuk sholat (habluminallah) dengan tidak terlalu mem- perhatikan aspek-aspek lain di lingkungannya seperti keberadaan masjid dan hubungannya dengan manusia dan alam. Bahkan dalam perkembangan lebih lanjut, masjid yang ada di Indonesia telah men- galami perubahan latar belakang pembangunan yaitu sebagai sebuah wujud monumental dan landmark

dalam suatu kawasan, latar belakang ini perlahan-lahan telah menggeser fungsi utama masjid sebagai tempat beribadah dan pembinaan masyarakat menjadi wujud simbolisme semata.

Fenomena yang dapat diamati adalah misalnya terjadi pada Masjid al-Akbar Surabaya. Ber- dasarkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yulia Eka Putrie, diketahui bahwa pada arsitektur masjid ini, skala bangunan yang monumental terasa sangat kuat. Skala yang monumental ini dapat diamati dari besarnya ukuran masjid dan adanya dominasi unsur-unsur vertikal pada bentukan-ben- tukan arsitekturalnya. Luas masjid yang sangat besar ini dilatarbelakangi keinginan pemerintah untuk menjadikan masjid ini sebagai simbol religius bagi propinsi Jawa Timur. Pada masjid ini juga tidak tampak usaha-usaha untuk menjadikan bangunan masjid ini berkesan lebih ‘dekat’ dengan masyarakat di sekitarnya. Fasilitas yang lebih banyak terlihat justru adalah tempat parkir kendaraan roda dua dan

roda empat bagi pengunjung yang datang dari jauh. Secara arsitektural, tampaknya dapat disimpulkan bahwa masjid ini lebih diorientasikan bukan bagi pusat pembinaan masyarakat di sekitarnya, namun lebih sebagai obyek religius simbolis yang lebih ‘welcome’ terhadap pengunjung yang datang dari jauh untuk mengagumi kemegahan arsitekturnya. Pada masjid ini ketunggalan dan jarak yang jauh dengan

Dalam dokumen 2010 Arsitektur Islam dan Arsitektur Mas (Halaman 41-67)

Dokumen terkait