• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAGUYUBAN DAN PERANANNYA DALAM PENGKOTAAN DESA-KOTA

2 MAYOR TNI. AD BAMBANG SOETIKNO 1963 – 1965

3 MAYOR TNI.AD IMAT SAILI 1965 – 1967

4 MAYOR POL.ZAINAL ARIFIN 1967 – 1973

5 LETKOL.POL.H.M.ASNAWI ARBAIN 1974 – 1981 6 KOL.CZI.TNI.AD.SYARIFUDIN YOES 1981 – 1989 7 H. HERMAIN OKOL (Sebagai Plt.Walikota) 1989 – 1991

8 KOL.INF.H.TJUTJUP SUPARNA 1991 - Juni 2001

9 H. IMDAAD HAMID Juni 2001 – 2011

10 H. M. RIZAL EFFENDI 2011 – s.d.Sekarang

Sumber: Website Resmi Kota Balikpapan

Merujuk pada tabel, saat Balikpapan resmi berpisah dengan kesultanan Kutai dan menjadi kotamadya maka terjadi serah terima pemerintahan dari Kepala Daerah Istimewa Kutai yaitu Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Bupati Kutai, Walikota Samarinda dan Walikota Balikpapan yang pertama yaitu adalah H. Aji Raden Sayid Muhammad. Terpilihnya beliau tentunya tidak terlepas dari Gambar 8 Kondisi Pemukiman Warga Karang Joang (Kiri) dan Kondisi

73 status beliau sebagai bangsawan tinggi Kutai yang memiliki gelar setingkat dibawah Aji Pangeran dan Aji Putri yang merupakan keturunan dari Sultan. Adapun selanjutnya saat orde baru, selama pemerintahan orde baru Walikota Balikpapan didominasi oleh militer yang lebih dominan beretnis Jawa. Hal ini ditunjukkan dari sepuluh walikota yang pernah menjabat di Kota Balikpapan tujuh diantaranya berasal dari militer. Rezim militer ini baru runtuh sejak berakhirnya orde baru dengan terpilihnya H. Imdaad Hamid yang kemudian diikuti dengan terpilihnya H.M. Rizal Effendi sebagai Walikota Balikpapan yang merupakan etnis banjar.

Jika melihat tiga pembangunan yang paling menonjol di Desa Karang Joang yaitu Golf & Resort Karang Joang Balikpapan dan Politeknik Balikpapan serta Institut Tekhnologi Kalimantan (ITK) tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan pejabat setempat. Karang Joang Golf & Resort di bangun pada saat dibawah kepemimpinan Walikota Kol.Inf.H.Tjutjup Suparna. Pada awalnya sebelum dibangun menjadi lapangan golf, kawasan ini merupakan kawasan HPH salah satu perusahaan kayu milik etnis Tionghoa di Balikpapan. Namun seiring berjalannya waktu bisnis kayu tidak lagi menjadi bisnis yang menguntungkan, maka pemilik perusahaan ini merubah fungsi lahan menjadi lapangan golf mengingat Balikpapan kini mulai menjadi kota industri dengan banyak penanaman modal asing di dalamnya. Sehingga lapangan golf ini pada dasarnya diperuntukkan untuk para pengusaha maupun pendatang khususnya dari luar negeri. Pada masa ini tidak terlalu jelas bagaimana mekanisme perizininan perubahan fungsi lahan tersebut terjadi. Pada pemerintahan Kol.Inf.H.Tjutjup Suparna, fokus pengembangan Balikpapan lebih kepada pengembangan jasa, dimana hal ini ditujukan kepada para pendatang yang didominasi oleh warga Negara asing yang berinvestasi di Balikpapan, sehingga arah pembangunan kebijakan lebih kepada untuk memfasilitasi kenyamanan di Balikpapan sebagai kota jasa.

Baru pada tahun 2000 Balikpapan yang tadinya lebih banyak membangun infrastruktur kebutuhan industri dan jasa bagi para pendatang, pada tahun 2000 digagas pembentukan politeknik Balikpapan. Hal ini juga yang gunakan oleh H. Imdaad Hamid, SE bersama Mukmin Faisyal selaku Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota pada Pemilukada tahun 2001 dalam penyampaian Visi dan Misinya, menyatakan akan Menjadikan Warga Balikpapan Menjadi Tuan di Rumah Sendiri. Dengan kata lain Balikpapan ingin agar putra-putri Balikapapan memiliki kemampuan yang memadai untuk dapat bekerja pada perusahaan-perusahaan besar/multi nasional yang ada di Balikpapan khususnya dan Kalimantan Timur pada umumnya. Pada kasus ini, etnis Banjar merupakan etnis yang tidak memiliki kebiasaan merantau yang tinggi, hal ini seperti yang dijelaskan oleh LKH

Orang Banjar kecenderungannya tidak merantau, mereka hidup berkebun dan bertani. Nelayan juga ada, tetapi berbeda dengan orang Bugis yang bisa merantau kedaerah lain”

Sebagai etnis yang cenderung tidak merantau maka membangun kelengkapan fasilitas di daerah menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia etnis Banjar. Paguyuban sebagai tempat penguatan identitas

74

budaya yang melanggengkan nilai budaya serta jaringan kekuatan politik dalam kaitannya dengan dukungan politik kepada elit dan kepentingan bagi peningkatan kapasitas anggotanya tentunya memperkuat fenomena ini.

Selanjutnya kemudian digagas pembangunan Institut Tekhnologi Kalimantan (ITK) di Karang Joang yang mulai dibangun pada tahun 2012. Pembangunan ini direncanakan akan membebaskan sebanyak 300 hektar untuk pembangun Institut Tekhnologi Kalimantan (ITK). Tentunya menjadi pertanyaan besar siapa saja pemilik lahan yang nantinya akan dibebaskan dan dibangun ITK diatasnya. Terkait hal ini ketua DPRD Kota Balikpapan Andi Burhanudin Solong (ABS) dalam Koran Manuntung menuding banyak pejabat di lingkungan Pemkot menguasai lahan-lahan strategis yang digunakan untuk pembangunan. Hal itu ditenggarai memicu hingga belum tuntasnya sejumlah pembebasan lahan. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh ABS dalam Koran Manuntung

“Saya tahu banyak pejabat Balikpapan yang punya tanah-tanah, saya tahu siapa-siapa mereka,”

Masih dalam Koran Manuntung ABS mengaku banyak menerima laporan dari masyarakat, terkait banyak pejabat yang memiliki lahan hingga berhektar-hektar. Hanya saja, tanah-tanah tersebut, justru diatasnamakan orang lain, bukan pejabat itu sendiri. Disebutkannya, beberapa lahan strategis yang dikuasi sejumlah pejabat di antaranya lahan untuk pembangunan stadion dan Institut Teknologi Kalimantan (ITK). Adapun terkait hal ini Kepala Bappeda Balikpapan Suryanto, mengakui, dirinya dan beberapa pejabat lainnya memang memiliki lahan sekitar 1,5 hektar di kawasan yang akan dibangun ITK tersebut. Paguyuban sebagai tempat sosialisasi informasi dan jaringan juga berperan dalam hal ini, dimana ABS yang merupakan etnis Bugis dapat mengakses informasi-informasi mengenai kepemilikan lahan-lahan strategis, mengingat pada awalnya lahan-lahan tersebut pada umumnya dimiliki oleh etnis Bugis

Berdasarkan pemaparan tersebut, terdapat kaitan antara pola penguasaan lahan yang telah dibahas sebelumnya. Dimana pada dasarnya baik kepemilikan lahan dan pembangunan kawasan erat kaitannya dengan etnis yang menguasai lahan. Lahan-lahan yang telah tersertifikasi dibeli oleh pejabat politik yang dominan etnis Jawa yang kemudian dijual kepada para pengusaha Tionghoa. Hal ini pun tidak lepas dari peran paguyuban sebagai wadah saling berkumpul dan pengembangan jaringan dari aktor politik kepada anggotanya. Peran paguyuban dan kepentingan etnisitas dalam pemanfaatan proses pembangunan infrastruktur desa dapat lebih jelasnya dilihat pada matriks berikut.

75 Matriks 9 Peran Paguyuban dan Kepentingan Etnisitas dalam Pemanfaatan

Proses Pembangunan Infrastruktur Desa Karang Joang di Balikpapan Etnis Jawa Etnis Bugis Etnis Banjar Proses Pembangunan

sarana dalam bidang jasa dan kepemilikan lahan-lahan strategis Pengawas dan kontrol akan pembangunan sarana publik sebagai sarana untuk menunjang kewajiban sebagai elit politik Pemenuhan kebutuhan etnis Banjar dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan

sebagai janji politik Peran Paguyuban Menjadi tempat sosialisasi , kebutuhan anggota, informasi dan pengembangan jejaring untuk dapat mengakses kepemilikan lahan-lahan strategis. Menjadi tempat sosialisasi informasi dan jaringan untuk dapat mengetahui kepemilikan lahan-lahan strategis Menjadi tempat sosialisasi informasi, kampanye politik, dan pengembangan jaringan untuk dukungan politik dan kepentingan anggota

Sumber: Data Primer (Diolah)

Paguyuban pada dasarnya berperan dalam pembangunan kawasan desa dengan sosialisasi nilai-nilai yang dilakukan secara turun temurun kepada anggotanya khususnya kepada para elit, dimana masing-masing elit saling mengutamakan kepentingan etnisnya. Terkait pembangunan di Karang Joang terlihat bahwa pembangunan tersebut pada dasarnya lebih bermanfaat untuk masyarakat dan kegiatan kota, adapun paguyuban mendukung pembangunan tersebut dilihat dari aktor-aktor yang berperan. Selain itu pembangunan institusi pendidikan diinisiasi oleh walikota H. Imdaad Hamid, SE, hal ini seperti yang telah dipaparkan sebelumnya adalah agar putra-putri Balikpapan memiliki kompetensi yang sesuai untuk bekerja di perusahaan, hal ini juga erat dengan etnis Banjar sebagai masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan merantau yang tinggi, sehingga banyak penyediaan sarana penunjang harus dilengkapi didaerah asal, begitu pula dengan kebutuhan penyedian pendidikan pada dasarnya juga dapat dipergunakan untuk memperkuat bargaining etnis Banjar di Balikpapan, dimana etnis Banjar terkadang secara tidak disadari mulai melekat dan hampir menjadi representasi dari penduduk asli Balikpapan. Selain itu etnis Jawa juga memiliki kepentingan dalam pembangunan ini melihat lahan pembangunan pada awalnya didominasi oleh mereka, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Walaupun secara tidak langsung peran paguyuban jelas mendukung pembangunan desa untuk eksistensi masyarakat dan pilarnya.

Peran Paguyuban dalam Bentuk Pilarisasi Masyarakat Menuju Demokrasi Konsosiasional

Pembangunan yang terjadi di Karang Joang terlihat merupakan pembangunan yang bias kepentingan kota, dimana beberapa sumber ekonomi

76

dikuasai oleh pejabat-pejabat politik yang telah mengakar dari walikota-walikota terdahulu. Hal ini tentunya mengundang tanya mengapa tidak muncul konflik yang terjadi di Balikpapan. Pada dasarnya konflik pernah mencuat di Balikpapan yaitu konflik antara dua ormas atau paguyuban etnis di Balikpapan yaitu Gepak (Kalimantan Timur) dan Lagaligo (Bugis). Tidak banyak media dan masyarakat yang membahas hal ini namun dari tanggapan umum masyarakat awam dan pemberitaan di koran lokal terlihat bahwa konflik ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran Gepak bahwa dengan berdirinya paguyuban Lagaligo secara tidak langsung dapat menyebabkan adanya klaim daerah Balikpapan sebagai milik bugis yang berdampak pada semakin terkuasainya sumber-sumber ekonomi di Balikpapan oleh etnis Bugis. Selain itu adanya opini yang berkembang bahwa munculnya Lagaligo dikarenakan campur tangan dari Ketua DPRD kota Balikpapan yang ternyata ber-etnis Bugis, menyebabkan kondisi semakin tegang hingga Gepak menuntut beberapa hal yaitu diantaranya Lagaligo harus dibubarkan dan Ketua DPRD harus turun dari jabatannya.

Konflik akhirnya bisa diselesaikan setelah Forum Komunikasi Paguyuban Balikpapan (FKPB) yang beranggotakan ketua-ketua paguyuban yang dipandang sebagai tokoh masyarakat mengadakan mediasi bagi kedua pihak untuk menyelesaikan konflik tersebut. FKPB mencoba untuk mempertemukan Lagaligo dan Gepak untuk memperjelas duduk permasalahan yang terjadi, tetapi pertemuan pertama kali ini justru membuat suasana menjadi lebih tegang dan akhirnya pertemuan dibatalkan. Selanjutnya pihak FKPB mengadakan diskusi tersendiri dengan Gepak sambil membahas perumusan pembuatan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat. Pada pertemuan ini perwakilan dari Gepak menyatakan bahwa mereka tidak tahu soal penolakan Gepak pada Lagaligo. Hal ini menimbulkan opini adanya kemungkinan bahwa ada aktor luar yang menciptakan isu tersebut. Setelah di tindak lanjuti lebih dalam oleh FKBP ternyata diketahui bahwa pada dasarnya tidak ada konflik antara Gepak dan Lagaligo, hal ini sebenarnya hanya karena ada pihak yang tidak kebagian proyek dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) dan akhirnya dibesar-besarkan.

Selain itu dalam masa penyelesaian konflik, beberapa warga etnis bugis maupun Kalimantan ada yang mendatangi FKBP untuk meminta konflik ini segera diselesaikan, mereka tidak menginginkan situasi yang sudah kondusif di Balikpapan terganggu dan menyulitkan mereka untuk mencari nafkah. Selain itu seluruh Paguyuban yang tergabung dalam FKPB juga memiliki perhatian yang sama, sehingga akhirnya konflik tersebut dapat diselesaikan dengan aman. Dan untuk mengantisipasi terjadinya konflik dibentuk secara resmi Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat yang bertugas sebagai pendeteksi awal jika terjadi konflik-konflik yang melibatkan etnisitas.

Rendahnya potensi konflik etnis di Balikpapan juga dapat dikarenakan terjadinya demokrasi konsosiasional. Sanderson (1993) menyebutkan bahwa demokrasi konsosiasional ada apabila kelompok-kelompok etnik yang berbeda dalam suatu Negara tunggal ada bersama menurut suatu cara yang sangat harmonis. Tidak terdapat susunan kelompok yang hirarkhis, sehingga tidak ada kelompok yang dominan atau yang mengeksploitir yang lainnya. Terdapat pembagian kekuasaan politik yang sama, dan semua kelompok etnik terwakili secara proporsional di dalam struktur kelas. Kondisi ini juga ditemukan di Balikpapan seperti yang dikemukakan oleh ZA

77

Di Balikpapan semua etnis saling mendukung, tidak ada yang dominan kecuali dikarenakan jumlah penduduknya saja. Semua punya kesempatan yang sama, lagi pula sudah ada pemetaannya, misalnya nelayan di dominasi etnis bugis, kemudian berdagang besi bekas di dominasi etnis Madura. Selebihnya karena kita sama-sama pendatang, kita saling mendukung supaya menjaga Balikpapan aman dan kita bisa bekerja disini”

Hal ini secara tidak langsung menunjukkan pola pilarisasi masyarakat. Dimana masyarakat tersegmentasi berdasarkan etnik namun tidak ada hirarki diantara kelompok ini. Hal ini menegaskan bahwa pola pilarisasi masyarakat etnis di Balikpapan yang mendorong munculnya demokrasi konsosiasional. Selanjutnya sebagaimana dikemukakan oleh Van Den Berghe (1981) dalam Sanderson (1993), konsosiasional adalah suatu situasi yang sangat rapuh, dan beberapa faktor penting harus bekerja bersama untuk membuatnya berjalan. Ditandaskannya bahwa demokrasi konsosiasional sangat cenderung berhasil bilamana berbagai kelompok etnik itu saling merembes secara territorial, genetik, dan fungsional, yakni apabila kelompok-kelompok etnik itu tercampur secara geografis yang ekstensif; apabila terdapat tingkat saling kawin-mawin yang tinggi diantara kelompok-kelompok itu; dan apabila mereka memiliki lembaga-lembaga ekonomi, keagamaan, linguistik, dan kebudayaan yang sama. Ciri ini juga ditemukan di Balikpapan, walaupun masih ada lokasi-lokasi yang memang didominasi oleh etnis tertentu tetapi tingkat kawin-mawin antar etnis di Balikpapan cukup tinggi. Sebagai contoh ketua DPRD yang memiliki etnis bugis menikah dengan wanita ber-etnis Jawa. Fenomena ini juga dijelaskan oleh salah satu kasubid kesos di salah satu kelurahan di Balikpapan menyebutkan

Disini walaupun dominan bugis, tetapi sudah banyak yang menikah beda etnis. Hampir pegawai kelurahan sini semuanya menikah antar etnis” Selain pernyataan diatas ZA juga menambahkan bahwa di paguyuban batak cukup banyak anggotanya yang menikah antar etnis. Selain itu bergabungnya semua paguyuban etnis dalam satu wadah yaitu Forum Komunikasi Paguyuban dengan legalitas yang diberikan bagi ketua paguyuban untuk mewakili etnisnya di Balikpapan serta adanya kesepakatan diantara mereka untuk menjaga kondisi Balikpapan dari konflik etnis membuat interaksi antar paguyuban lebih bersifat harmonis.

Peran Paguyuban dalam Menahan Pemiskinan akibat Dampak dari Pengkotaan Desa-Kota

Balikpapan merupakan kota yang cukup lama dibawah pemerintahan belanda. Seiring dengan berkembangnya waktu, Balikpapan telah berkembang menjadi "Kota Minyak" dengan besarnya produksi minyak yang dihasilkan mencapai 86 juta barrel per tahun (Website Resmi Pemerintahan Kota Balikpapan). Perkembangan industri minyak inilah yang telah membangun Balikpapan menjadi kota industri dan selanjutnya menjadikan Balikpapan sebagai

78

kota jasa dengan bandar udara internasional, pelabuhan, dan jumlah hotel yang dapat mendukung keberadaan Balikpapan sebagai dua kota tersebut. Saat ini Balikpapan tidak lagi menjadi kota minyak yang berorientasi pada pengeboran melainkan pada jasa pengolahan minyak yang telah mengolah minyak mentah dari sekitar Balikpapan, yaitu Sepinggan, Handil, Bekapai, Sanga-sanga, Tarakan, Bunyu dan Tanjung serta minyak mentah yang diimpor dari negara lain.

Balikpapan seperti yang dijelaskan oleh Pratama (2010) merupakan daerah yang tidak memiliki potensi alam yang tinggi. Adapun Balikpapan dapat maju karena mengembangkan potensi minyak yang ada. Balikpapan dapat berkembang dikarenakan adanya pembangunan di bidang infrastruktur dan jasa. Adanya keharusan untuk mengolah minyak yang pada awalnya dikelola oleh pihak asing, membuat infrastruktur yang ada di Balikpapan semakin baik. Seiring berjalannya industri ini, maka dibutuhkan tambahan pekerja, sehingga pihak pemerintahan hindia belanda mendatangkan pekerja untuk kuli kontrak minyak yang didatangkan dari Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maka muncul pedagang-pedagang yang pada masa tersebut di dominasi oleh orang tionghoa. Bergabungnya Balikpapan dengan NKRI tentunya berdampak pada nasioalisasi asset-asset kepemilikan belanda, tak terkecuali industri minyak yang kini menjadi milik pertamina. Selain itu Balikpapan tetap menggunakan investasi asing yang membantu membangun infrastuktur Balikpapan menjadi kota industri untuk membuka lapangan pekerjaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kota Balikpapan dibangun dengan warna sebagai kota industri dan jasa. Sehingga bagi masyarakat akses terhadap lapangan pekerjaan menjadi suatu hal yang penting agar mendapatkan hidup yang lebih baik.

Kota Balikpapan termasuk kota yang memiliki kegiatan ekonomi yang penting untuk provinsi Kalimantan Timur. Terkait hal tersebut, walaupun Kalimantan timur sebagai suatu provinsi yang terkenal dengan kemajuan ekonominya, provinsi ini tetap mengalami permasalahan kemiskinan, walaupun dari tahun ke tahun menunjukkan pola yang semakin menurun, bahkan cenderung stabil. Hal ini terlihat dari grafik 2.

Grafik 2 Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin, dan Garis Kemiskinan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2008-2012

79 Mengacu pada gambar diatas terlihat bahwa kondisi kemiskinan provinsi Kalimantan Timur pada dasarnya menunjukkan pola cenderung menurun, walaupun menurut data BPS (2012) provinsi Kalimantan Timur juga memiliki garis kemiskinan yang terus meningkat setiap tahunnya. Adapun dalam menganalisis kemiskinan di Balikpapan maka perlu melihat kondisi kemiskinan di Balikpapan hal ini lebih jelasnya dapat terlihat pada tabel 8.

Tabel 8 Jumlah Rumah Tangga Miskin Kota Balikpapan

Uraian 2008 2009 2010 2011 2012

Jumlah Rumah Tangga Miskin 8.426 7.127 7.030 6.013 6.013 Jumlah Anggota Keluarga

Rumah Tangga Miskin (Jiwa) 28.039 23.733 23.311 17.360 17.382 Persentase (dari total Jumlah

penduduk) 5,321 4,407 4,204 3,113 2,727

Sumber: Bappeda Kota Balikpapan, 2013

Merujuk pada tabel 8 terlihat bahwa jumlah rumah tangga miskin di Kota Balikpapan memiliki pola yang menurun dalam lima tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan jumlah anggota keluarga rumah tangga miskin (jiwa) dan persentase penduduk miskin dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Balikpapan secara keseluruhan yang juga mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin menurun dari 5,32 % di tahun 2008 menjadi 2,72 % di tahun 2012. Artinya, dalam kurun waktu lima tahun jumlah penduduk miskin di Kota Balikpapan berkurang hampir setengahnya. Melihat kondisi kemiskinan Balikpapan yang menurun dan karakteristik kota Balikpapan sebagai kota industri dan jasa, maka dalam menganalisis kemiskinan dan upaya pengentasan kemiskinan di Balikpapan adalah dengan melihat ketersediaan lapangan pekerjaan di Balikpapan.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa pilarisasi muncul akibat adanya identitas etnik yang semakin menguat melalui paguyuban etnis. Adanya pilarisasi masyarakat ini tentunya membawa dampak tersendiri bagi ekonomi masyarakat desa. Hal ini tercermin dari adanya potensi peluang akses terhadap lapangan pekerjaan yang lebih mudah. Terkait dengan hal tersebut, Balikpapan dalam Angka (2012) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Angkatan Kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) yang bekerja atau mempunyai pekerjaan tetapi sementara tidak bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Bukan Angkatan Kerja terdiri atas orang yang bersekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya. Oleh sebab itu untuk melihat seberapa pentingnya lapangan pekerjaan di Balikpapan, maka perlu melihat bagaimana komposisi penduduk di Balikpapan. Hal ini dapat lebih jelas terlihat pada tabel 9.

80

Tabel 9 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Kecamatan Tahun 2011 Kelomp ok Umur Balikpap an Selatan Balikpap an Timur Balikpap an Utara Balikpap an Tengah Balikpap an Barat Jumla h/ Total 0 – 4 20 169 5 437 12 384 10 261 6 232 54 483 5 – 9 24 255 9 106 10 591 8 979 8 868 61 799 10 – 14 16 085 5 924 9 639 9 406 9 828 50 882 15 – 19 14 809 3 811 10 273 6 413 8 868 44 174 20 – 24 13 022 3 149 10 299 5 558 7 192 39 220 25 – 29 16 850 5 324 10 371 9 834 6 471 48 850 30 – 34 19 148 6 143 13 498 8 765 7 671 55 225 35 – 39 21 956 4 584 9 715 10 689 6 714 53 658 40 – 44 15 063 4 899 8 763 5 772 6 709 41 206 45 – 49 12 254 2 976 7 566 5 986 5 273 34 055 50 – 54 9 191 4 995 8 024 5 346 4 554 32 110 55 – 59 4 340 1 638 4 303 3 848 2 637 16 766 60 – 64 2 552 1 102 3 277 2 564 718 10 213 65+ 2 043 1 576 4 511 5 131 1 677 14 938 Jumlah/ Total 191 737 60 664 123 214 98 552 83 412 557 579

Sumber: Balikpapan dalam Angka (2012)

Apabila melihat komposisi penduduk Balikpapan terlihat bahwa persentase terbesar sebanyak 11.08 % berumur 5-9 tahun, kemudian persentasi penduduk terbanyak kedua yaitu sebesar 9.90% berada pada usia 30 sampai 34 tahun dengan rincian 28.842 jiwa adalah laki-laki dan 26.383 jiwa adalah perempuan. Hal ini menunjukkan pada dasarnya komposisi penduduk di Balikpapan cukup banyak berada pada usia angkatan kerja. Selain itu komposisi penduduk pada usia 30-34 tahun paling banyak berada pada kecamatan Balikpapan Selatan dan Kecamatan Balikpapan Utara. Menurut data Bapedda (2013) Balikpapan Selatan merupakan kecamatan dengan penduduk miskin terbanyak, sedangkan Balikpapan Utara memiliki kelurahan dengan pertumbuhan penduduk miskin terbanyak yaitu kelurahan Karang Joang (lampiran 2). Terkait hal tersebut maka dapat disimpulkan daerah yang memiliki penduduk dengan usia angkatan kerja terbanyak ternyata juga memiliki penduduk miskin yang tinggi. Merujuk pada hal tersebut maka penting untuk melihat bagaimana penyerapan tenaga kerja di Balikpapan. (tabel 10).

81 Tabel 10 Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Kegiatan Utama dan Jenis

Kelamin Tahun 2011 Kegiatan Utama/ Activity Laki-laki/ Male Perempuan/ Female Jumlah/ Total Jumlah/ Total % Jumlah/ Total % Jumlah/ Total % ANGKATAN KERJA/ Economically Active 195.742 89,94 90.619 46,07 286.361 69,11 Bekerja/Working 170.116 78,16 81.472 41,42 251.588 60,72 Mencari Pekerjaan/

Seeking For Work 25.626 11,78 9.147 4,65 34.773 8,39

BUKAN ANGKATAN KERJA/Non Economically Active 21.887 10,06 106.062 53,93 127.949 30,89 Sekolah/Attending School 11.162 5,13 18.208 9,26 29.370 7,09 Mengurus Rumah tangga/House Keeping 3.343 1,54 82.625 42,01 85.968 20,76 Lainnya/Others 7.382 3,39 5.229 2,66 12.611 3,04 Jumlah/Total 217.629 100,00 196.681 100,00 414.310 100,00

Sumber : Balikpapan Dalam Angka 2012

Pada tabel terlihat bahwa angkatan kerja di Balikpapan adalah 69.11% adapun yang sudah bekerja sebanyak 60.72% dan masih terdapat 8.38% yang masih mencari pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat usia angkatan kerja yang cukup banyak di Balikpapan dan masih ada yang belum mendapatkan pekerjaan. Secara tidak langsung kondisi ini menjelaskan bahwa akses terhadap lapangan pekerjaan cukup sulit. Namun ironinya ternyata masih cukup banyak lapangan pekerjaan yang tersedia di Balikpapan, hanya saja dikarenakan kurangnya pendidikan para pencari pekerjaan, mereka tidak dapat mengakses lapangan pekerjaan tersebut. Hal ini lebih jelasnya dapat dilihat pada (tabel 11).

Jika melihat jumlah permintaan tenaga kerja yang kecil bagi mereka yang berpendidikan dibawah SMA dan melihat cukup banyak pencari pekerjaan pada tingkat pendidikan tersebut, membuat jumlah pencari kerja tetap banyak walaupun juga sudah cukup banyak lapangan pekerjaaan yang masih tersedia. Namun selain dikarenakan kurangnya pendidikan, masyarakat yang tidak memiliki jaringan juga semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan mengingat akses terhadap lapangan pekerjaan terkadang tidak semuanya terdata oleh pemerintah.

82

Tabel 11 BanyaknyaPencari Kerja dan Permintaan Kerja yang Terdaftar Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin (orang), Tahun 2011

Tingkat Pendidikan/