• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAGUYUBAN SEBAGAI ORGANISASI POLITIK Pola Hubungan Kelompok Etnis

Seperti kita ketahui bahwa kelompok etnis pada dasarnya memiliki hubungan-hubungan dan nilai-nilai yang menjadi landasan dalam membangun interaksi. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Narroll 1994 dalam Barth 1988 bahwa umumnya kelompok etnik dikenal sebagai suatu populasi yang: (1) Secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) Membentuk Jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Pada kota Balikpapan yang merupakan kota tujuan masyarakat dari beragam daerah, ternyata keempat ciri ini ditemukan pada masyarakatnya. Dimana masing-masing etnis berhimpun dalam kelompok-kelompok etnis yang disebut paguyuban yang memiliki ciri-ciri khusus atau ciri budaya yang berbeda dengan kelompok etnik lain. Adapun selanjutnya pada penelitian ini ingin dilihat bagaimana kelompok-kelompok etnis membangun jaringan komunikasi dan interaksi sendiri dan manfaatnya untuk mereka.

Masing-masing paguyuban etnis di Balikpapan memiliki ciri khas khusus, yang mana tradisi dari daerah asal masih dibawa dan dilaksanakan, walaupun ada yang telah mengalami penyesuaian dengan daerah baru, sebagai contoh yang masih sangat dilestarikan adalah adat dalam pernikahan. Walaupun dalam pengkategorian individu kedalam suatu kelompk etnis tertentu, sering tidak hanya di kategorikan berdasarkan biologis, tetapi juga kesamaan budaya maupun klaim dari individu tersebut atas atribut-atribut etnis yang digunakannya. Hal ini seperti yang dijelaskan Barth (1988) bahwa kelompok etnik tergantung pada kemampuan seseorang atau kelompok ini untuk memperlihatkan sifat budaya kelompok tersebut. Selain itu hal ini juga ditegaskan oleh Sanderson (1993) bahwa kelompok etnis digunakan untuk mengacu suatu kelompok atau kategori sosial yang perbedaannya terletak pada kriteria kebudayaan, bukan biologi.

Terbentuknya paguyuban etnis di Balikpapan, pada dasarnya adalah tempat untuk para pendatang yang memiliki etnis yang sama kemudian berhimpun dan saling berinteraksi untuk tujuan bersama. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Barth (1988) bahwa jika ditinjau dari segi sosial, maka kelompok etnik dapat dipandang sebagai suatu tatanan sosial. Kelompok-kelompok etnik sebagai tatanan sosial terbentuk bila seseorang menggunakan identitas etnik dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi. Adapun Eidheim (1988) dalam buku yang sama menyebutkan bahwa kelompok etnik juga merupakan pengelompokkan sosial yang memberikan dasar status asal, sehingga hubungan antaretnik tersebut tertata sesuai dengan status tersebut.

Terkait hal tersebut, tentunya setiap masing-masing etnis memiliki pola hubungan maupun pola interaksi yang berbeda-beda, maka dari itu akan dipaparkan secara khusus bagaimana pola hubungan dan interaksi yang dibangun oleh tiga etnis yang paling dominan secara jumlah penduduknya di Balikpapan

43 menurut data Podes (2011) yaitu etnis Jawa, Bugis, dan Banjar, serta satu etnis yang tidak dominan secara jumlah penduduk di Balikpapan yaitu etnis Batak. Kelompok Etnik Bugis

Etnis Bugis sudah lama terkenal akan kebudayaan baharinya. Begitupun di Balikpapan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan maupun pemilik-pemilik kapal didominasi kepemilikannya oleh orang-orang bugis. Selain nelayan, mata pencaharian orang Bugis juga didominasi oleh pedagang. Seperti yang dijelaskan ZA

“Kalau nelayan memang didominasi oleh etnis Bugis, selain nelayan banyak dari mereka juga jadi pedagang”

Selain nelayan, orang Bugis di Balikpapan juga didominasi oleh pedagang. Hal tersebut dapat dipengaruhi juga oleh karakteristik orang bugis yang memang selain terkenal dengan kebudayaan baharinya juga terkenal dengan kepiawaiannya dalam berdagang yang sudah mereka lakukan sejak lama. Fenomena ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang di lakukan oleh Lenggono (2011) menyebutkan bahwa sejak pertama kali orang bugis masuk ke bumi Kalimantan, mereka sudah mengawali dengan kegiatan perdagangan. Lenggono (2011) menjelaskan bahwa etnis Bugis masuk ke pantai Kalimantan Timur pada periode awal abad 18 dengan orientasi pedagang dan perkebunan kelapa, adapun strategi yang dibangun adalah komunitas bugis pertama di Kalimantan Timur yang bermigrasi karena tidak ingin tunduk pada Belanda dan Kepemimpinan Aru Palaka ini, hidup dari kegiatan

perkebunan kelapa dan perdagangan. Dipimpin seorang pangeran Wajo’ bernama La Ma’dukelleng, keturunan dari 3000 orang Bugis Wajo ini kemudian tersebar

ke Samarinda, Kutai, Bulungan dan Berau. Lenggono juga menambahkan bahwa budaya bisnis etnis Bugis yang terbangun yaitu Membina hubungan politik dengan Penguasa setempat lewat perkawinan dan memperoleh hak dari penguasa setempat untuk memonopoli ekspor hasil alam dari pedalaman. Penguasaan akses dan kendali atas jaringan perdagangan dari produsen menjadi kunci kekuatan bisnis yang dikembangkan (Lampiran 1).

Seperti yang dipaparkan sebelumnya terlihat bahwa orang Bugis masuk ke pantai Kalimantan Timur pada awal abad 18 dengan kegiatan perkebunan dan perdagangan dengan budaya yang dikembangkan yaitu dengan membina hubungan politik dengan penguasa setempat dan melakukan penguasaan akses dan kendali jaringan perdagangan. Selain itu budaya nelayan dan berdagang orang Bugis di pantai Kalimantan Timur juga dapat terlihat dari jumlah perusahaan eksportir aktif di Kalimantan timur pada tahun 2011 cukup banyak dimiliki oleh orang Bugis. Hal ini lebih jelasnya dapat dilihat pada matriks 3.

44

Matriks 3 Nama-Nama Perusahaan Eksportir Aktif, Lokasi dan Status Kepemilikannya Tahun 2011

No Nama Perusahaan Lokasi Status Kepemilikan 1 PT. Syam Surya

Mandiri Anggana

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal 2 PT. Aromah Nelayan

Mandiri Balikpapan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal 3 PT. Sumber Kalimantan

Abadi Balikpapan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa

4 PT. Bulungan Lestari

Mandiri Tj. Selor

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis Sulawesi

5 PT. Mustika Minanusa

Aurora Tarakan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa

6 PT. Sumber Kalimantan

Abadi Tarakan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa

7 PT. Tunas Nelayan

Mandiri Tarakan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal 8 PT. Malindo Kencana

Utama Tarakan

PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia

9 PT. Misaja Mitra Tarakan PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang 10 PT. Sabindo Raya

Gemilang I Tarakan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa

11 PT. Sabindo Raya

Gemilang II Tarakan

PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa

12 PT. Bonanza Pratama

Abadi Tarakan

PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Tionghoa Malaysia

13 PT. Nelayan Barokah Tarakan PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal 14 PT. Kota Marine Tarakan PMA dengan saham utama

dimiliki pengusaha Korea

15 UD.Perikani Tarakan PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Bugis lokal 16 UD. Harapan Maju Tarakan PMDN dengan saham utama

dimiliki pengusaha Bugis lokal

Sumber: Lenggono (2011)

Etnis bugis merupakan etnis yang hampir dapat ditemui disegala penjuru Indonesia. Karakter etnis bugis yang sering melakukan migrasi ke daerah baru merupakan bagian dari nilai-nilai orang bugis sendiri, yaitu mereka akan

45 cenderung meninggalkan daerah asal mereka jika mereka merasa mulai sulit untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di daerah asal mereka. Etnis bugis sendiri merupakan etnis yang dominan selain Jawa di Balikpapan. Selain dikarena lokasi Balikpapan yang dekat dengan Selat Makassar, hasil penelusuran sejarah keberagaman etnis seperti yang dibahas oleh bab sebelumnya menyebutkan bahwa etnis bugis kemungkinan sudah ada sejak lama di bumi Kalimantan.

Walaupun sering bermigrasi ke daerah lain, orang bugis tetap memegang nilai-nilai budayanya. Pelras (2006) menyebutkan bahwa begitu kuatnya motif ekonomi dalam setiap mobilitas yang dilakukan orang Bugis, memberikan kesan bahwa peranan uang atau hartalah yang banyak menentukan nasib dan status seseorang. Sangat banyak ulama yang menganggap usaha memperkaya diri sebagai suatu kewajiban, sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa’ dalle’ hallala’), karena memungkinkan seseorang mampu membantu sesama yang kurang beruntung. Hal ini berkaitan dengan budaya siri’ dan passe’. Kedua nilai ini yang sering menjadi landasan bagi orang bugis dalam berinteraksi maupun dalam berusaha.

Adapun Pelras (2006) menambahkan bahwa , siri’ lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masyarakat. Biasanya siri’ seiring sejalan dengan passe’

yang berarti “ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri”,

mengindikasikan perasaan empati yang mendalam terhadap tetangga, kerabat atau sesama anggota kelompok sosial. Passe’ berhubungan erat dengan identitas, merupakan pengikat para anggota kelompok sosial, seperti pada sesama perantau yang berada di negeri orang atau di suatu tempat di luar daerah Sulawesi Selatan,

yang kerap mendasari rasa memiliki identitas “ke-Bugis-an” mereka. Karenanya

konsep siri’ dan passe’, dapat digunakan sebagai kunci utama untuk memahami berbagai aspek perilaku sosial orang Bugis, khususnya dua perilaku mereka yang tampak saling berlawanan (ambigu), yaitu; 1) persaingan yang dapat dipahami melalui konsep siri’ dan; 2) kesetiakawanan yang dapat dipahami melalui konsep passe’

Pada dasarnya budaya siri’ berarti adalah bahwa mereka harus dapat berhasil di tempat yang baru sedangkan passe’ berarti mereka harus menolong sesama orang bugis untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Nilai passe’ pada orang bugis merupakan nilai yang melatar belakangi tindakan orang bugis dengan sesamanya di daerah perantauan. Mereka yang dianggap telah berhasil di daerah perantauan pada dasarnya harus menolong saudara-saudaranya di daerah perantauan jika mereka membutuhkan. Hal ini juga di temukan di Balikpapan seperti penuturan ketua paguyuban bugis-bone

“Ya tentunya bantu, terutama mereka yang duduk di jajaran pemerintahan dan pejabat, seperti yang menjadi kepala dinas, anggota DPR, dan lainnya. Biasanya mereka membantu mencarikan pekerjaan maupun membantu kegiatan-kegiatan paguyuban”

Pola memanfaatkan jaringan kekerabatan pada etnis bugis sangat kental terlihat, bukan saja untuk akses pekerjaan, melainkan juga dalam bidang politik. Sudah barang tentu mereka yang mencalonkan diri dari etnis bugis akan meminta

46

dukungan dari etnisnya, namun menariknya mereka yang diluar etnis bugis, jika mencalonkan diri terkadang juga meminta dukungan pada etnis bugis melaui para elit-elit orang bugis di Balikapapan. Hal ini dikarenakan bahwa sudah sangat terkenal etnis bugis merupakan etnis yang sangat kental hubungan persaudaraannya satu dengan yang lainnya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh ZA

“Karena disini orang bugis dominan, biasanya mereka yang mencalonkan diri tetapi bukan berasal dari etnis dominan juga meminta dukungan pada orang bugis”

Melalui paguyuban etnis bugis, hubungan silaturahmi diantara mereka dan nilai-nilai budaya tersebut semakin terjaga dan diturunkan. Sehingga pola-pola pemanfaatan jaringan kekerabatan tetap terjadi walaupun di daerah dengan keberagaman yang sangat tinggi. Sehingga pada dasarnya pola-pola pemanfaatan jaringan kekerabatan ini, khususnya melalui paguyuban menjadi hal yang penting dalam membantu kehidupan orang bugis khususnya pada aspek ekonomi dan politik.

Pada awalnya saat etnis Bugis datang ke Balikpapan paguyuban Bugis belum memiliki legalitas dan bentuk yang kokoh seperti sekarang. Paguyuban pada masa itu lebih berbentuk kelompok kecil yang memiliki fokus untuk menampung dan memfasilitasi mereka yang baru datang di Balikpapan. Fasilitas yang diberikan juga masih sederhana lebih berupa tempat tinggal dan informasi pekerjaan yang lebih kepada untuk membuka lahan maupun jaringan untuk bekerja menjadi nelayan. Seiring berkembangnya waktu dan semakin banyak etnis Bugis yang datang ke Balikpapan membuat kelompok tersebut semakin besar dan bahkan mulai terspesialisasi berdasarkan sub-sub etnisnya. Dewasa ini salah satu paguyuban etnis bugis adalah paguyuban Bugis-Bone. Paguyuban ini terdaftar secara resmi di pemerintahan pada tahun 1992, walaupun pada dasarnya paguyuban ini secara informal telah lama terbentuk sebelum itu. Seperti pada umumnya paguyuban lain, paguyuban ini juga memiliki kegiatan yang bersifat rutinan. Selain kegiatan rutin mereka juga memiliki koperasi yang dapat memasok kebutuhan anggotanya. Selain itu mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, seperti mengikuti pawai budaya, Hari Besar Islam, Ulang Tahun Kota, dan lainnya. Paguyuban ini juga telah banyak mendapatkan penghargaan dari pemerintah, salah satunya dalam eksistensinya menjaga keamanan kota. Hal ini diwujudkan karena mereka turut serta untuk membantu menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi, khususnya yang berkaitan dengan etnis bugis.

Konflik yang sempat terjadi yaitu antara etnis bugis dengan Gepak (Gerakan Pemuda Kalimantan). Konflik ini dipicu oleh dibentuknya Paguyuban Lagaligo. Dimana paguyuban ini beranggotakan seluruh orang bugis yang ada di Balikpapan. Adapun masalah utamanya adalah ketua DPRD Kota Balikpapan yang beretnis bugis disinyalir menggunakan wewenangnya untuk meresmikan paguyuban tersebut. Namun menurut masyarakat Bugis sendiri di bentuknya Lagaligo telah melalui proses yang seharusnya.

47 Kelompok Etnis Banjar

Etnis banjar merupakan etnis dominan ketiga setelah Jawa dan Bugis di Balikpapan. Etnis Banjar masuk ke Balikpapan pertama kali pada masa pra kolonial hingga kolonial. Sedikit berbeda dengan Bugis, etnis Banjar masuk ke Balikpapan dikarenakan pada masa itu Banjarmasin menjadi pusat pemerintahan dari Balikpapan sehingga memungkinkan etnis Banjar untuk melakukan migrasi ke Balikpapan yang masih dalam satu wilayah dengan mereka, maka dari itu awal munculnya kelompok-kelompok etnik lebih didasari keinginan untuk berkumpul dan mengembangkan jaringan yang banyak bermula dari terbentuknya arisan-arisan dalam kelompok kecil. Anggota dari arisan-arisan-arisan-arisan ini masih terdiri dari mereka yang memiliki kekerabatan langsung. Seiring berjalannya waktu, semakin banyaknya migrasi orang Banjar ke Balikpapan akhirnya muncul paguyuban-paguyuban etnis Banjar. salah satu paguyuban-paguyuban etnis Banjar di Balikpapan adalah Paguyuban Sakinah. Paguyuban Sakinah ini juga memiliki kegiatan rutinan seperti arisan dan acara-acara lainnya. Hal ini bertujuan agar para anggota paguyuban memiliki waktu berkumpul bersama secara berkala. Anggota paguyuban ini adalah etnis banjar yang beragama muslim, sehingga banyak kegiatan mereka erat kaitannya dengan nilai-nilai islami. Hal ini juga dikarenakan agama Islam sangat mempengaruhi adat-istiadat etnis Banjar, mengingat bagaimana sejarah munculnya etnis banjar seperti yang telah dibahas sebelumnya. Kegiatan yang dilakukan di paguyuban ini tidak hanya untuk para pengurus namun juga untuk para anggota yang masih muda. Sehingga partisipasi pemuda yang beretnis banjar pada paguyuban ini cukup banyak, hal ini seperti yang dijelakan oleh SR

“Iya kalau disini suka ngadain lomba. Misalnya lomba speech, lomba hapalan surah, dan macam-macam, dan yang disuruh ikut itu ya anak-anak mudanya…”

Seperti halnya paguyuban Jawa dan Bugis, paguyuban Sakinah juga masih memiliki pola pemanfaataan jaringan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, khususnya dalam memperoleh akses pekerjaan. Khususnya pada bidang berdagang barang-barang tradisional. Walaupun menurut penuturan informan pola tersebut masih ditemukan tetapi tetap disesuaikan dengan kemampuan, kecuali seperti di Samarinda yang memang penduduknya didominasi oleh etnis banjar, hal seperti itu memang masih kental ditemukan. Pola ini tetap akan selalu ada mengingat membantu sesama merupakan nilai-nilai yang melekat dan selalu di tanamkan kepada seluruh anggota, hal ini seperti yang di jelaskan oleh SR

“Kalau orang banjar di Balikpapan masuk itungan merantau meskipun udah tinggal disini sejak nenek buyut. Jadi atas dasar “asal keturunan” yang sama itu jadi latar belakang tolong menolongnya”

Penuturan informan tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa identitas etnis sesungguhnya tidak pernah luntur meskipun mereka sudah lama tinggal di daerah perantauan. Sehingga dimana pun mereka berada, mereka akan tetap menggunakan identitas etnik mereka dan tetap saling membantu sesama anggota etnisnya. Hal ini juga ditunjukkan oleh Walikota Balikpapan saat ini yang

48

merupakan etnis Banjar dan menurut penuturan SR beliau tetap hadir dan mengikuti kegiatan-kegiatan di Paguyuban. Selanjutnya dalam aspek politik fenomena yang sama juga terjadi dimana mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD pada umumnya akan melakukan kampanye secara non formal didalam paguyuban, hal ini juga kembali di jelaskan oleh SR

“Kalau diperhatikan strateginya itu “mengerahkan” keluarga dulu. Didatangi semua keluarga yang masih ada hubungan darah. Habis itu baru sosialisasi ke masyarakat”

Hal ini menunjukkan bahwa setelah mendapatkan dukungan dari keluarga akan lebih mudah untuk melakukan kampanye keluar. Pada dasarnya mereka yang ingin mencalonkan tetap menggunakan atribut etnisnya dalam berkampanye, walaupun tidak secara terang-terangan. Selain itu mereka yang pada akhirnya terpilih menjadi pejabat di tingkat pemerintahan tetap akan memberikan kontribusi kepada paguyuban etnisnya. Pola ini berbeda dengan janji politik, melainkan memang sudah menjadi keharusan mereka yang telah mapan secara ekonomi ikut membantu kebutuhan-kebutuhan saudaranya.

Kelompok Etnis Jawa

Etnis Jawa jika dilihat dari sejarah yang telah dipaparkan sebelumnya memang memiliki karakteristik pekerja atau pegawai mengingat etnis Jawa masuk ke Balikpapan karena didatangkan oleh penguasa saat itu, bukan datang sendiri tanpa melewati suatu program tertentu. Hal ini dapat membantu menjelaskan mengapa cukup banyak pegawai pemerintahan berasal dari etnis Jawa. Namun dewasa ini banyak dari masyarakat etnis Jawa di Balikpapan mulai merambah bidang lain seperti berdagang maupun membuka usaha kuliner. Adapun di Balikpapan ditemukan bahwa etnis Jawa lebih banyak berdagang dalam bidang industri garmen. Seperti yang di jelaskan ZA

“ Orang Jawa disini banyaknya dagang di garmen maupun buka usaha kuliner…”

Terkait hal tersebut, jika mengacu pada nilai-nilai budaya masyarakat Jawa, Sartini (2009) menyebutkan bahwa terdapat nilai-nilai masyarakat Jawa yang berkaitan dengan pandangan hidup dan tekad yang kuat, diantaranya Luwih becik alon-alon waton kelakon, tinimbang kebat kliwat yang artinya sikap orang Jawa yang tidak ingin gagal dalam meraih apa yang diinginkan dan Rawe-Rawe Rantas Malang-Malang Tuntas yang artinya segala sesuatu yang menghalangi akan diberantas dalam artian positif. Pranowo dalam Sartini (2009) juga menjelaskan bahwa hal penting yang dapat diresapi dari ungkapan tersebut adalah bahwa orang Jawa yang memiliki tekad yang kuat itu bukan karena keinginan yang membabi buta tanpa penalaran dan pertimbangan perasaan melainkan sudah dipikirkan dan diperhitungkan akibat baik dan buruknya. Hal ini juga ditunjukkan Albar (2000) dalam tulisannya yang menjelaskan bagaimana keberhasilan Nitisemito dalam membangun industri rokok, sehingga hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya etnis Jawa diperantauan juga dapat memiliki jiwa kewirausahaan yang dapat didorong dari nilai budaya tersebut.

49 Etnis Jawa di Balikpapan rata-rata memiliki latar belakang yang sama, yaitu perantau atau pendatang. Adanya kesamaan tersebut membuat mereka menghimpun diri dalam kelompok-kelompok etnis dengan tujuan membangun interaksi yang bermanfaat bagi mereka. Pada awalnya etnis Jawa masuk ke Balikpapan dikarenakan adanya kebijakan penguasa pada saat itu yang sengaja mendatangkan etnis Jawa untuk kepentingan penguasa saat itu. Sehingga terbentuknya kelompok-kelompok etnis Jawa di Balikpapan lebih didasari pada kesamaan nasib tinggal di perantauan, walaupun pada akhirnya kelompok ini berkembang dari hanya sebagai tempat sosialisasi nilai-nilai budaya dan penyediaan jaringan, seiring semakin tingginya pola migrasi etnis Jawa di Balikpapan, kelompok ini juga mulai memfasilitasi mereka yang baru datang di Balikpapan, sebagai contoh penyediaan tempat tinggal. Semakin tinggi peran paguyuban terhadap anggotanya maka semakin tinggi juga individu yang inginbergabung dengan paguyuban tersebut, sehingga pada akhirnya paguyuban tersebut berkembang dan menjadi organisasi yang memiliki legitimasi yang kuat.

Sebagai etnis dengan jumlah terbanyak di Balikpapan, tentunya paguyuban etnis Jawa juga memiliki paguyuban etnis yang lebih dari satu. Paguyuban-paguyuban etnis Jawa tersebut biasanya dibedakan menurut teritorialnya. Seperti Paguyuban Warga Ponorogo atau Paguyuban Menak Sopal Trenggalek dan lainnya. Masing-masing paguyuban memiliki kegiatan rutin untuk menjaga tali silaturahmi diantara mereka. Terkadang mereka juga mengadakan acara-acara yang lebih besar seperti yang dilaksanakan oleh Paguyuban Menak Sopal Trenggalek yaitu pentas kuda lumping. Terbentuknya paguyuban ini dirasa memiliki banyak manfaat bagi mereka yang tergabung dalam paguyuban, hal ini seperti yang diungkapkan oleh ST

“Keuntungannya ya kita diberikan wadah untuk berkumpul antar warga asli Trenggalek. Kan di Balikpapan kami perantauan, dengan adanya paguyuban tercipta sebuah komunitas atau keluarga”

Bagi masyarakat pendatang, pada kasus ini adalah warga trenggalek, mereka merasa bahwa yang termasuk keluarga bukan saja berdasarkan keturunan, melainkan saudara sekampung yang tergabung dalam paguyuban Menak Sopal adalah keluarga. Namun Selayaknya paguyuban sebagai suatu wadah perkumpulan, anggota paguyuban Menak Sopal sudah tentu memiliki peraturan-peraturan yang mengatur hak dan kewajiban para anggotanya. Tidak jauh berbeda dengan paguyuban lainnya, paguyuban Menak Sopal juga memiliki iuran bulanan,