• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tema 1 : Alasan Remaja Putri Melakukan Hubungan Seksual Pranikah Remaja adalah individu pada masa pubertas yang memiliki dorongan untuk

HASIL PENELITIAN

5.1. Interpretasi Hasil Penelitian

5.1.1. Gambaran tentang Pengalaman Remaja Putri yang sudah Melakukan Hubungan Seksual Pranikah

5.1.1.1 Tema 1 : Alasan Remaja Putri Melakukan Hubungan Seksual Pranikah Remaja adalah individu pada masa pubertas yang memiliki dorongan untuk

melakukan hubungan seksual pranikah lebih dikarenakan perubahan-perubahan yang dialami seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik mereka, di samping itu kondisi sosial juga memegang peranan. Menurut Hurlock (2004), manifestasi dorongan seksual dipengaruhi oleh stimulus yang berasal dari dalam diri individu akibat bekerjanya hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual pada individu yang bersangkutan dan hal ini menuntut segera dipuaskan. Sedangkan stimulus dari luar dapat di peroleh melalui pengalaman kencan, informasi

mengenai seksual, diskusi dengan teman, pengaruh teman atau orang dewasa, serta buku-buku bacaan dan tontonan porno.

Pandangan Aristoteles tentang perkembangan jiwa remaja yang sampai sekarang masih berpengaruh di dunia modernkita, yaitu

“Orang-orang muda punya hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakanya. Dari hasrat-hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal ini mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri”

Hampir semua Subjek penelitian adalah remaja putri yang mengungkapkan bahwa gejolak atau hasrat seksual dalam diri yang paling dominan, empat diantara lima Subjek penelitian mengungkapkan memiliki hasrat yang kuat terhadap dorongan seksual sehingga kurang mampu mengendalikan penyalurannya terhadap pasangan mereka, dan mereka memperkuat alasan melakukan hubungan seksual pranikah karena perasaan cinta, kesetiaan, atau takut ditinggal pasangannya. Sarwono (2003) mengungkapkan pengalamannya di ruang praktek dengan kesan bahwa :

“hubungan seks antar remaja terjadi hanya jika hubungan mereka sudah berjalan enam bulan. Dengan demikian, hubungan tersebut sudah cukup akrab dan intim. Jarang yang langsung melakukan hubungan seks setelah berkenalan tidak begitu lama, hal ini dapat dipahami memang diperlukan suasana hati tertentu untuk bisa melakukan hal itu. Khususnya pada remaja putri, harus timbul perasaan cinta, perasaan suka, percaya, menyerah dan sebagainya terhadap pasangannya. Akan tetapi, sekali perasaan itu timbul, apalagi kalau pihak laki-lakinya rajin dan tekun serta sabar untuk merayu pacarnya, remaja putri seringkali tidak dapat lagi mengendalikan diri dan terjadilah hubungan seks itu.”

Berbicara tentang hasrat seksual pada remaja, Kusmiran (2011) mengungkapkan bahwa pengaruh hormon pada remaja dapat meningkatkan

dorongan seksual, misalnya pada wanita yang sedang mengalami masa subur hormon-hormon akan meningkat kadarnya untuk mengatur ovulasi dan memerintahkan rahim untuk enebalkan endometrium. Kondisi hormonal ini menyebabkan remaja putri semakin peka terhadap stimulan seksual (Visual, audiovisual, dll) sehingga mendorong munculnya aktivitas seksual. Meningkatnya dorongan seksual pada remaja menyebabkan mereka mudah sekali terangsang secara seksual. Membaca bacaan yang romantis, melihat gambar romantis, melihat alat kelamin lawan jenis atau menyentuh alat kelaminnya akan menimbulkan rangsangan seksual.

Kajian di atas menerangkan pada kita bahwa perlu pemahaman istimewa dari berbagai pihak pada kelangsungan hidup generasi muda ini, karena dorongan atau hasrat seksual yang mereka miliki dapat menjadi bumerang apabila tidak dipahami oleh berbagai pihak maupun remaja itu sendiri, kita sadari, pendidikan seks saja belum cukup, pengertian yang mendalam terhadap hasrat dan perkembangan psikoseksual mereka perlu ditingkatkan oleh orang tua, pihak konseling maupun masyarakat, sehingga dapat memfasilitasi penyaluran yang mereka butuhkan secara positif dan tidak merugikan masa depan mereka.

Di sisi lain ada Subjek penelitian yang menganggap hubungan seksual pranikah adalah sesuatu yang biasa dan mereka memperoleh keuntungan lain dari kegiatan tersebut seperti imbalan, kesenangan dan terpenuhi kebutuhan yang semakin meningkat bagi kelangsungan pergaulan mereka. Sanderowitz & Paxman (1985) dalam Sarwono (2003) menunjukkan faktor sosial ekonomi mempunyai peranan

dalam meningkatnya prilaku seksual pranikah pada remaja, seperti rendahnya pendapatan dan taraf pendidikan, besarnya jumlah keluarga dan rendahnya nilai agama di masyarakat yang bersangkutan.

Fenomena di atas, mengindikasikan kuatnya pengaruh intenal dan eksternal dalam diri seorang remaja putri dalam kegiatan seksual pranikahnya cenderung menjadi masalah yang komplek dan selain menimbulkan masalah fisik, masalah psikologispun patut diwaspadai. Sarwono (2003) dalam bukunya mengungkapkan bahwa beberapa remaja terutama remaja putri beresiko mengalami gangguan atau disfungsi psikoseksual, diantaranya yaitu terdapatnya hambatan pada selera (minat) seksual, hambatan orgasme pada wanita, vaginismus (ketegangan otot vagina yang tidak terkendali) dan dyspreunia (rasa nyeri yang berulang dan menetap pada alat kelamin saat bersenggama) Dikatakan juga, tidak semua gangguan seksual tersebut sering terjadi pada remaja, namun yang paling sering ditemukan dikalangan remaja adalah gangguan prilaku seksual misalnya ada hambatan terhadap selera dan gairah seksual atau adanya kecemasan seksual atau hilangnya kepercayaan diri dan depresi. 5.1.1.2 Tema 2 : Pandangan Remaja Putri dalam Menilai Hubungan Seksual

Pranikah

Moral dan religi merupakan bagian penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi dapat mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa ini sehingga ia tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan masyarakat. Dalam penelitian ini hampir semua Subjek penelitian mengungkapkan kualitas iman mereka yang

menyebabkan mereka terjebak melakukan hubungan seksual pranikah bahkan sampai dilakukan berulangkali. Rata-rata Subjek penelitian menyadari bahwa hubungan seksual pranikah diharamkan agama.

Dari sudut pandang pengetahuan tentang agama bisa jadi berbeda dengan aplikasi spiritual dalam kehidupan nyata. Ketika kadar keimanan seseorang sedang turun maka individu tersebut rentan terhadap perbuatan dosa, begitu juga sebaliknya. Oleh kaarena itu, dikatakan bahwa faktor agama mungkin tidak berpengaruh langsung pada tingkah laku seksual masing-masing individu. Hasil penelitian disalah satu Perguruan Tinggi Islam di Provinsi Bengkulu yang menyimpulkan bahwa peranan pengetahuan agama terhadap penyimpangan prilaku seksual mahasiswa sebesar 0,14% sedangkan 99,86% disebabkan oleh variabel lain. Jika diinterpretasikan maka peranan pengetahuan agama terhadap penyimpangan prilaku seksual mahasiswa tidak terdapat korelasi yang signifikan.

Disamping itu, para Subjek penelitian mengatakan pendapat bahwa hubungan seksual pranikah bukan hal asing lagi dikalangan mereka, hampir semua orang tua mereka mengizinkan anaknya berpacaran. Muncul pertanyaan, bagaimana pandangan atau nilai nilai masyarakat sendiri tentang seks? Sudah biasa nilai-nilai itu, makin besar kecenderungan remaja untuk melakukan hal-hal yang melibatkan mereka dalam hubungan seksual pranikah. Mengenai nilai-nilai tersebut, ada beberapa penelitian yang mencoba mengungkapkan dan pada umumnya nilai-nilai yang terungkap itu ada dua golongan yaitu yang tradisional-konservatif dan yang lebih permisif. Nilai tradisional dalam prilaku seks yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan

seks sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita sering dilambangkan sebagai “mahkota” atau”harta yang paling berharga” atau “tanda kesucian” atau “tanda kesetiaan pada suami”. Hilangnya kesucian dapat berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin. Hasil penelitian tentang pentingnya kegadisan bagi perkawinan yang dilakukan oleh fakultas Psikologi UI pada siswa SMA kelas II di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan bahwa remaja putri cenderung lebih mementingkan kegadisan bagi perkawinan mereka, dengan demikian, remaja pria lebih bisa mengerti wanita yang sudah tidak gadis lagi.

Kebebasan pergaulan antar jenis kelamin pada remaja kiranya dapat dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Rex Forehand (1997) dalam Sarwono (2011) mengemukakan orang tua perlu komunikasi yang baik dengan anak, orang tua juga perlu mengembangkan rasa percaya kepada anaknya sehingga remaja lebih terbuka dan mau bercerita pada orang tua agar orang tua bisa memantau pergaulan anak remajanya.

Kondisi ini yang menyebabkan masyarakat menunjukkan adanya kecenderungan pergeseran nilai dikalangan remaja Indonesia. Bahkan, beberapa penelitian lokal menunjukkan 31% remaja kupang pernah berhubungan seks pranikah diakses pada tanggal 12 Maret 2012), atau 50% remaja Kota Bandung Lakukan Seks di Luar Nika

Kecenderungan pengendoran norma ke arah yang lebih permisif ini, bersumber terutama pada hubungan dengan orang tua yang kurang baik. Kendornya hubungan ibu dengan anak bisa mengarah pada hubungan seks ini, terbukti juga di Indonesia dari penelitian Afandi, B dan Dalana saat melakukan wawancara secara terpisah pada pasien-pasien mereka yang remaja putri dan hamil. Kepada pasiennya ditanyakan dimana mereka berbuat hubungan seks dengan pacaranya dan jawabannya adalah 80% angka kejadian senggama dilakukan di rumah, yang berarti bahwa remaja-remaja bersangkutan tidak lagi memedulikan kenyataan bahwa rumah adalah daerah teritori (wilayah psikologis yang tidak boleh dilanggar) orang tua, dengan kata lain kurangnya rasa hormat dan segan terhadap orang tua mereka.

5.1.1.3 Tema 3 : Pengetahuan Remaja Putri tentang Kesehatan Reproduksi