Tidak ada acuan standar untuk menyebut kover buku yang terbaik itu seperti apa. Namun, perkembangan teknologi komunikasi dan inter- net menempatkan kover buku tidak sekadar ber- fungsi melindungi halaman-halaman buku atau mengomunikasikan judul dan isi buku kepada calon pembaca. Lebih dari itu, kover buku juga menjadi etalase pemasaran yang memadukan
citra visual serta tipografi secara utuh, tepat ke- pada pembaca sasaran, serta juga mengesankan prestise tersendiri bagi tiga konstituen: penulis, penerbit, dan pembaca. Kover buku dapat men-
Perubahan yang
terjadi puluhan tahun kemudian pada tahun 1962 adalah penggu- naan warna pada kover,
tipografi, serta citra
visual. Gambar atau ilustrasi semula yang berupa kapal berlayar diganti hanya dengan layar dan tiang sebagai penafsiran yang lebih
jadi media yang ampuh untuk memberitahukan buku ke sebanyak mungkin khalayak lewat in- ternet, termasuk memanfaatkan media sosial. Karena itu, memajang buku yaitu kover buku di linimasa (timeline) atau avatar sebuah media sosial kini sudah menjadi sebuah fenomena tersendiri.
Untuk itu, pada dasarnya seorang desainer kover buku pada era digital kini tetap harus me- mahami tiga konstituennya dengan memberikan
benefit sebagai berikut:
1. bagi penulis adalah ketepatan pengungkap- an pesan serta judul dalam citra visual dan
tipografi sehingga selaras dengan isi buku;
2. bagi penerbit adalah penguatan citra pener- bit dan pemikat pembaca untuk mendukung daya serap buku di pasar;
3. bagi pembaca adalah kepuasan estetis untuk memandang dan memiliki buku serta men- jadikannya bukan hanya bahan bacaan, me- lainkan juga koleksi yang berharga.
Sebuah kriteria tentang perancangan kover buku diuraikan Fred Showker dalam laman si-
tus www.graphic-design.com2 (diringkas oleh
penulis) sebagai berikut:
1. Ketahui isi buku yaitu dengan memahami dan mengenali sosok penulis (pemikiran serta kepribadiannya) serta tujuannya. 2. Ketahui siapa pembaca sasaran buku karena
setiap buku ditujukan pada pembaca sasa- ran yang khas. Desainer yang mengetahuan
faktor demografi pembaca sasaran akan leb-
ih membantu penggabungan tipografi dan
citra visaul yang memikat.
3. Perlihatkan pesan paling penting dari isi buku dan jangan terjebak untuk menyam- paikan pesan yang saling tumpang tindih. 4. Buat tata letak yang memikat perhatian de-
ngan memberikan kenyamanan bagi mata
calon pembaca untuk mengalir mencerna pesan.
Kriteria tersebut dapat diterapkan de- ngan kemauan desainer kover untuk berpros- es ketika hendak mengeksekusi sebuah ide. Bagaimanapun desainer kover kini hidup di wilayah industri yang menuntut kualitas, kuan- titas, sekaligus kecepatan. Walaupun demikian, tidak berarti seorang desainer kover profesional mengabaikan proses standar dalam melakukan eksekusi karya desain.
Hal yang paling penting juga adalah me- ngenali objek desain yaitu kover buku itu sen- diri. Pada mata kuliah desain komunikasi visual (DKV), khusus materi tentang desain kover buku kerap tidak dibahas secara detail dibanding kan
dengan desain grafis lainnya, seperti poster, iklan,
logo, atau tata letak majalah/koran. Walaupun demikian, prinsip-prinsip desain komunikasi vi- sual juga diterapkan dalam desain kover buku hanya muncul kekhasan ketika desainer kover harus memahami betul tujuan, pemikiran, serta karakter penulis/pengarang sehingga desain yang dihasilkan benar-benar mewakili jatidiri penulis/pengarang.
Jika dicermati, anatomi kover buku pada Era Tradisional hanya terdiri atas tiga elemen: kover depan (front cover), kover belakang (back cover),
dan punggung kover (spine). Kover depan lebih
dominan dimanfaatkan untuk mencantumkan judul berikut anak judul, nama penulis, dan logo penerbit yang dipadu kemudian dengan citra vi-
sual serta tipografi. Umumnya kover belakang
dibiarkan kosong tanpa teks ataupun gambar. Para Era Digital kini dengan juga didorong
perkembangan teknologi grafika, anatomi kover
buku pun mulai muncul bervariasi. Beberapa
kover juga dikembangkan dengan flap (lidah)
pada bagian kiri dan kanannya. Flap ini juga ter-
dapat pada jaket buku yang desainnya terkadang dibuat sama atau berbeda dengan kover buku.
Di dalam flap termuat informasi buku yang lain,
seperti ringkasan/sinopsis isi buku dan biografi
singkat penulis/pengarang.
Perubahan yang mencolok juga dimanfaat- kannya kover belakang buku untuk memasuk-
2 Book Design Concept dalam http://www.graphic- design.com/DTG/Design/book_covers/design- ing_book_covers.html diunduh pada 10 Desember 2012.
kan berbagai informasi penting buku yang kerap
disebut blurb. Blurb berisikan ringkasan isi buku
beserta benefit yang akan didapatkan pembaca
hingga pada akhirnya ditutup dengan kalimat- kalimat iklan (sales closer). Di kover belakang
juga ditempatkan barkod International Standard
Book Number (ISBN), logo dan alamat penerbit,
serta juga terkadang endorsement dari tokoh atau
pilihannya sketsa biografi dari penulis/penga- rang. Hal ini menuntut para desainer kover juga harus memperhatikan desain belakang kover dengan saksama.
Selain itu, spine (punggung) buku juga diang-
gap sebagai unsur penting untuk menempatkan nama penulis, judul, dan logo penerbit. Pema-
jangan (display) buku di rak toko buku ataupun
perpustakaan demi menghemat space membuat
buku hanya dapat dikenali dari punggungnya.
Karena itu, desain spine pun harus dibuat mu-
dah dikenali serta memikat.
Elemen-elemen yang berkembang ini men- jadi suatu pembeda yang sangat jelas antara per- wajahan kover era tradisional dan perwajahan kover era digital kini. Namun, perkembangan serta munculnya kemudahan-kemudahan dari teknologi digital tidak serta merta membuat per- wajahan kover semakin berkualitas jika dipan- dang dari sudut ilmu DKV. Banyak kemudian para desainer kover yang terjebak mengguna- kan citra visual tidak pada tempatnya ataupun
tipografi tanpa didasari ilmu DKV yang mema-
dai.
Akibatnya, teknologi seperti desktop publish-
ing tidak serta merta membantu peningkatan
kualitas penampian sebuah kover buku ketika seorang desainer kover buku tidak memahami kriteria-kriteria perwajahan kover buku. Hal uta- ma yang paling fatal kerap terjadi dalam peren- canaan kover buku dari Era Tradisional hingga kini adalah kesalahan interpretasi terhadap isi buku serta pembaca sasaran. Alih-alih hendak menggambarkan isi buku, desainer kover malah membuat calon pembaca bingung memaknai buku ataupun malah salah tafsir terhadap isi buku.
Perbedaan Kover Buku Era Tradisional dan Era Digital
Era Digital kini memang memungkinkan eksplorasi proses kreatif perwajahan kover buku dengan sangat atraktif. Digitalisasi menyedia- kan perangkat-perangkat keras maupun lunak untuk memudahkan kerja seorang desainer kover buku. Namun, di satu sisi ketika sebuah ilmu bernama DKV tidak dikuasai dengan baik, desainer kover dapat saja tergelincir mengguna- kan berbagai kemudahan secara tidak bertang- gung jawab.
Sebagai contoh dalam Era Digital kini terse-
dia citra visual dalam bentuk gambar seperti clip
art ataupun foto-foto, berbayar maupun gratis
yang dapat diunduh di internet. Pertama, hal tersebut menimbulkan kreativitas dalam bentuk lain yaitu melakukan manipulasi foto ataupun gambar dengan menggunakan perangkat lunak kini seperti Adobe Photoshop ataupun Corel Draw. Kedua, hal tersebut menimbulkan juga pe- rilaku malas untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda atau lebih bermakna mewakili judul dan isi buku sehingga kerap terjadi antar kover buku menggunakan citra visual yang sama, ter- utama foto-foto ataupun gambar yang diunduh langsung dari internet. Buku-buku bidang bisnis atau pengembangan diri yang beredar di Indo- nesia kerapkali menggunakan citra visual yang sama karena didapatkan pula dengan cara yang sama.
Tren meniru sebagai epigon buku-buku
sukses atau best seller juga menggejala pada
Era Digital sebagai buntut maraknya perilaku
copy paste, termasuk manipulasi teks dan gam-
bar. Contoh mencolok terjadi pada desain kover
buku The Secret karya Rhonda Byrne. Tipografi
typeface The Secret serta citra visual berupa
stempel/cap dari lilin berwarna merah yang ba- nyak digunakan pada masa lalu sontak ditiru di buku-buku lain yang juga menggunakan kata
The Secret. Hal ini menunjukkan proses kreatif yang berkembang dengan instan melalui pe- niruan. Baik desainer kover, penulis, maupun penerbit tampaknya sama mengharapkan ter-
ciprat sukses dari buku yang sudah menjadi best
seller dunia tersebut dengan meniru penampilan perwajahannya.
Berdasarkan kajian pengamatan dengan prinsip-prinsip desain komunikasi visual serta mengikuti perkembangan industri perbukuan maka penulis dapat menyajikan tabel Perbedaan Proses Kreatif Kover Buku Era Tradisional dan Era Digital.
PERBEDAAN PROSES KREATIF KOVER BUKU
ERA TRADISIONAL ERA DIGITAL
l Perwajahan mengandalkan kemampuan manual desainer untuk membuat citra visual (ilustrasi garis/ tangan) dan tipografi juga secara manual;
l Perwajahan mengandalkan kemampuan manual sekaligus pengusaan perangkat lunak digital untuk menyatukan citra visual (gambar, foto, ikon) dan tipografi melalui desktop publishing.
l Typeface dibuat manual dengan tangan. l Typeface tersedia secara digital dengan ratusan, bahkan ribuan pilihan dari tiap family berikut jenisnya.
l Dominan hanya mengeksploitasi perwajahan kover depan.
l Eksploitasi penuh pada kover depan, kover belakang, dan punggung (spine).
l Banyak mengandalkan penggabungan citra visual dan tipografi.
l Ada yang hanya mengandalkan penampilan tipografi tanpa citra visual, termasuk warna.
l Perwajahan satu warna atau dua warna (duotone). l Perwajahan umumnya penuh warna (full color).
l Lebih orisinal dalam penampilan citra visual berupa gambar dan ilustrasi.
l Banyak melakukan “manipulasi” pada citra visual akibat tersedianya materi berupa foto, gambar (clip art), dan sebagainya secara digital.
l Model desain dipengaruhi aliran seni yang berkembang saat itu.
l Model desain dipengaruhi banyak aliran seni dari masa lampau maupun masa kini.
l Pewarnaan kover/ilustrasi dilakukan secara manual. l Pewarnaan kover, terutama ilustrasi dilakukan secara digital (digital painting).
Kesimpulan
Proses kreatif perancangan kover buku akan terus berkembang dari masa ke masa, bahkan
beberapa desainer kover dapat menjadi trend
setter atas karya-karya yang mewakili zaman- nya. Dalam konteks Indonesia dan menyikapi perkembangan digital yang ada, patutlah para desainer kover juga menonjolkan ciri orisinali- tasnya dengan membatasi diri untuk mengguna- kan citra visual yang sudah tersedia di internet, baik berbayar maupun gratis untuk kemudian diolah di perangkat lunak. Tampaknya sebuah desain kover akan lebih berkarakter, khas, serta memiliki kekuatan jika desainer kover membuat sendiri foto, gambar/ilustrasi, ornamen, tekstur, dan frame hasil karya sendiri, termasuk modi-
fikasi typeface. Pengolahan karya sendiri ini akan memberikan pengalaman estetis terhadap sen- tuhan-sentuhan pribadi terhadap kover diban- dingkan menggunakan segala kemudahan yang diberikan perangkat digital.
Kemajuan proses digital diharapkan tidak lantas mematikan kreativitas untuk mencipta- kan karya-karya desain kover yang tepat makna,
tepat pada pembaca sasaran, serta mengan dung ciri pembeda secara estetis dari karya-karya kover lainnya.
Menyikapi perkembangan berarti juga me- nyiapkan diri untuk menguasai segala informasi dan teknologi untuk meningkatkan kualitas, kuantitas, dan kecepatan para desainer kover untuk berkarya tanpa meninggalkan idealisme profesionalnya.
Daftar Pustaka
Kusrianto, Adi. 2007. Pengantar Desain Komunika-
si Visual. Jogjakarta: Penerbit Andi.
Poynter, Dan. 2003. The Self-Publishing Manual:
How to Write, Print and Sell Your Own Book. California: Para Publishing.
Safanayong, Yongki. Desain Komunikasi Visual
Terpadu. Jakarta: Arte Intermedia.
Trimansyah, Bambang. 2012. Apa dan Bagaimana
Menerbitkan Buku: Sebuah Pengalaman Bersa- ma Ikapi. Jakarta: Ikapi.
Woll, Thomas. 2002. Publishing for Profit: Success-
ful BottomLine Management for Book Publish- ers. New York: Chicago Review Press.
Pendahuluan
Karya seni dapat dikatakan sebagai cerminan pengalaman serta perasaan dan pikiran pem- buatnya. Seni merupakan suatu jenis kreasi yang dipengaruhi oleh faktor yang ada pada manusia itu sendiri, seperti pengalaman, pengetahuan, lingkungan, dan faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi karya. Seni sebagai salah satu bagian yang dapat diangkat dan divisualisasi- kan ke dalam karya merupakan fenomena yang umum terjadi di masyarakat sekitar. Seorang seniman bukan hanya memvisualisasikan setiap peristiwa yang terjadi apa adanya, tetapi juga menangkap sebuah realitas dan mengolahnya untuk dituangkan dalam bentuk karya.
Realitas dalam kehidupan merupakan wa- hana kreatif atau sumber inspirasi para seniman. Biasanya, realitas kehidupan yang diangkat berupa ketimpangan sosial, ketertindasan kaum lemah, dan kehidupan masyarakat bawah de- ngan berbagai ekspresi, serta berbagai ‘ideologi’ yang melandasinya. Karya seni dengan tema re- alitas sosial misalnya, dapat dilihat pada lukisan karya Djoko Pekik. Sebagian besar karya Djoko Pekik selalu menggambarkan realitas yang bu- ruk, buruh, masyarakat yang kurus, dan keku- muhan. Karya-karyanya merupakan cerminan kehidupan di Indonesia yang berbeda dengan gambaran realita alam yang indah dan molek. Realitas yang dihadirkan dalam karyanya dapat