B Membandingkan Puisi Indonesia dan Terjemahan
1. Membandingkan Berbagai Penyimpangan Bahasa dalam Puis
Berawal dari kreativitas, kebebasan berekspresi, dan eksperimentasi yang dilakukan para penyair, muncullah berbagai penyimpangan bahasa dalam puisi. Penyimpangan tersebut meliputi persoalan:
a. leksikal; c. semantik; b. fonologi; d. sintaksis.
Penyimpangan leksikal berarti penyimpangan yang terjadi ketika suatu kata tidak lagi digunakan sesuai dengan kebiasaan pemakaian kata- kata itu. Kata-kata digunakan dalam konteks yang sangat berbeda.
Penyimpangan fonologi menyangkut penyimpangan dalam hal bunyi bahasa atau pengucapan. Penyimpangan semantik adalah penyimpangan yang terjadi ketika makna suatu kata sudah berbeda dengan makna yang dimiliki kata itu.
Sedangkan penyimpangan sintaksis ialah penyimpangan berupa susunan kalimat yang tidak umum. Penyimpangan-penyimpangan tersebut umumnya terdapat pada puisi-puisi kontemporer, puisi masa kini yang penuh dengan eksperimen-eksperimen sehingga sering disebut dengan istilah puisi-puisi inkonvensional. Hal ini bisa di temukan pada puisi Indonesia maupun puisi terjemahan.
L atihan 5.1
Berikut ini disajikan puisi-puisi Indonesia dan puisi terjemahan yang di dalamnya terkandung berbagai penyimpangan bahasa meliputi penyimpangan leksikal, fonologi, semantik, dan sintaksis. Kelompokkanlah puisi-puisi yang mengandung empat aspek penyimpangan tersebut, kemudian tunjukkanlah bagian-bagian puisi yang mengandung penyimpangan leksikal, fonologi, semantik, atau sintaksis. Ada kemungkinan, dalam sebuah puisi terjadi lebih dari satu jenis penyimpangan bahasa.
a. Sutardji Calzoum Bachri Ah
Ah
rasa yang dalam datang Kau padaku! Aku telah mengecup luka aku telah membelai aduhai aku telah tiarap harap aku telah mencium aum! aku telah dipukau au! aku telah meraba
celah lobang
pintu
aku telah tinggalkan puri pura-puraMu rasa yang dalam!
rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau kubu dari segala resah dari segala rasa rusuh dari segala guruh sia dari segala saya duka dari segala duka ina dari segala Anu puteri pesonaku!
datanglah Kau padaku!
apa yang sebab? jawab apa yang senyap? saat. apa yang renyai? sangsai apa yang lengking? aduhai! apa yang ragu? guru apa yang bimbang? sayang apa yang mau? aku! dari segala duka jadilah aku dari segala tiang jadilah aku ari segala nyeri jadilah aku dari segala tanya jadilah aku dari segala jawab aku tak tahu
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak si apa burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?
bulan di atas kolam kasikan ikan! bulan di jendela kasikan remaja! daging di atas paha berikan bosan! terang di atas siang berikan rabu senin sabtu jumat kamis selasa minggu! kau sendirian berikan aku!
Mengisi Hidup dengan Berkreasi 103 Ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri pura-puraMu
yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung
yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang
mana tahu setelah waktu yang mana tanah selain tunggu yang mana tiang
selain Hyang mana Kau selain aku? nah
rasa yang dalam
tinggalkan puri puramu! kasih! jangan menampik! masuk kau padaku!
Sumber: Laut Biru Langit Biru, susunan Ayip Rosidi, Pustaka Jaya, 1977, hal. 507, 508, 509, 511.
b. Octavio Paz
Sepasang Tubuh
Sepasang tubuh berhadap-hadapan Adalah sepasang ombak
Dan malam adalah lautnya
Sepasang tubuh berhadap-hadapan Adalah sepasang batu
Dan malam adalah gurunnya Sepasang tubuh berhadap-hadapan Adalah sepasang akar
Menjalar ke pusat malam
Sepasang tubuh berhadap-hadapan Adalah sepasang pisau
Sepasang tubuh berhadap-hadapan Adalah sepasang bintang jatuh Di langit kosong cakrawala.
Sumber: Horison, November 2000, hlm. 26
c. Afrizal Malna
Soda Susu dan Bahasa Indonesia Buat Radhar
Aku minum soda susu bersama teman-teman. Dan teman-teman minum soda susu bersamamu, Radhar. Meja tempat kita minum seperti gedung rumah sakit yang sudah ditinggalkan. Kini jadi bangunan tua. Sisa-sisa jarum suntik telah berkarat. Pisau-pisau bedah tak mau berkarat, seperti menjagamu agar tak ada kawat berduri dalam tubuhmu.
Setiap malam terjadi perdebatan di gedung rumah sakit tua itu. Suasana sering jadi sinis, dendam yang mengintip di setiap akhir kalimat, kecerdasan dan kasih sayang yang sedih. Aku pinjam uangmu 300 ribu untuk makan dan naik taxi. Dan cerita di jalan yang mencari jalan pulang di antara barisan rumah dan pagar besi.
Kita sedang minum soda susu bersama teman-teman. Dan pisau bedah untuk memotong roti bakar. Aku tak tahu kapan pertama kali roti bakar membuat sejarah, pertemuannya yang penting dengan susu dan mentega. Dan ginjalmu membuat tubuh yang lain dari malam yang lain. Kisahnya aku dengar sejak musim dingin di Paris. Sejak bahasa Indonesia seperti rumah sakit yang meninggalkanmu seorang diri dengan soda susu di sebuah makan malam.
Ini mentega, Radhar. Dan ini diriku. Aku tak tahu, berapa yang harus kita bayar untuk menyewa hidup ini. Aku tak tahu, hujan yang mana yang akan membuat box untuk pakaian yang pernah kita kenakan. Udara di bawah dagu kita, dan kilauan air di lantai.
Sumber: Kompas, 6 Maret 2005, hlm. 20. 2. Membandingkan Nilai Estetika dan Etika yang Dianut oleh
Penyair dalam Puisinya
Nilai-nilai estetika merupakan suatu penilaian indah atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap suatu hal atau objek. Penilaian ini muncul dari diri sendiri secara subjektif atau akibat pengaruh lingkungan dan pengalaman.
Mengenal nilai-nilai estetika dan etika yang dianut para penyair dalam puisi-puisinya dan membandingkan satu sama lain dimaksudkan agar kita
Mengisi Hidup dengan Berkreasi 105
L atihan 5.2
lebih memahami nilai estetika dan etika yang ada di tengah kehidupan di era globalisasi yang multidimensional dan multikultural. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan penyair biasanya sesuai dengan keyakinan, pandangan hidup, filsafat, nilai-nilai kehidupan, dan keimanan yang dianutnya.
Nilai-nilai estetika dalam puisi bersumber dari keyakinan dan filsafat hidup yang dianut para penyair. Karena penyair ini berasal dari berbagai bangsa dengan berbagai latar belakang budaya dan agama, maka muncullah nilai-nilai estetika dan etika yang bersifat agamis, mistik, fatalis, pesimistis, agnostik, dan sebagainya. Nilai-nilai etika ini ada yang bersumber dari keyakinan akan agama tertentu, namun adakalanya bersumber dari filsafat kehidupan misalnya paham agnostik yang mengakui adanya Tuhan tanpa jalur agama tertentu.
Berikut ini beberapa nilai yang dianut oleh penyair.
1. Mistikisme adalah paham penyatuan diri dengan Tuhan atau kehendak Tuhan.
2. Fatalisme memandang segala sesuatu secara fatal, sikap ekstrem, tidak peduli.
3. Pesimisme menyikapi kehidupan dengan pandangan muram penuh kekhawatiran.
4. Hedonistik, yaitu mengutamakan kesenangan hidup dan kemewahan. 5. Permisif adalah pandangan hidup yang serbaboleh, amoral,
mengabaikan nilai-nilai moral.
6. Satanis yaitu tidak lagi takut berbuat dosa dan ingkar pada Tuhan. Ada beberapa puisi yang mengikuti paham-paham seperti yang sudah dijelaskan di atas. Namun, sebagai karya imajinatif, puisi tidak selalu merefleksikan kehidupan masyarakat atau pribadi penyair secara nyata. Oleh karena itu, mengidentifikasi puisi harus disikapi hati-hati.
1. Identifikasikanlah nilai-nilai estetika dan etika yang dianut penyair yang tercermin pada puisi-puisi pada Latihan 5.1!
Seberapa sering kalian membaca cerita pendek? Cerita pendek merupakan karya sastra yang kemunculannya di media cetak paling sering. Hampir setiap minggu, koran, majalah, maupun tabloid selalu memuat cerpen di dalamnya. Cerpen juga banyak yang sudah diterbitkan berupa buku kumpulan cerpen, hasil karya seorang cerpenis maupun beberapa orang cerpenis sekaligus.
Cerpen-cerpen yang muncul kadang bersifat konvensional dan ada pula yang bersifat inkonvensional (absurd), aneh, tidak umum. Bentuk absurditasnya antara lain ketidaklogisan penalaran di dalam cerita, ketidakjelasan cerita, namun biasanya masih bisa diurut sesuai alurnya sesuai urutan waktu. Cerpen-cerpen karya Danarto dan Putu Wijaya kebanyakan dianggap bersifat absurd. Di dalam sebuah cerpen dapat ditemukan standar budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah sebagai ekspresi gambaran masyarakat cerita tersebut. Bahkan di dalam cerpen sering dijumpai beberapa standar budaya yang dimunculkan secara bersamaan.
Sejarah sastra Indonesia dibagi menjadi beberapa periode dan masing- masing periode bisa dijumpai cerpen yang dianggap penting. Cerpen tersebut ditulis oleh para cerpenis yang terkenal pada zamannya. Di antara mereka, ada pula yang masih produktif dan kreatif pada periode sesudahnya. Bacalah kutipan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma berikut ini dengan saksama!
C.
Membaca dan Menanggapi Cerpen
Setelah mempelajari materi pembelajaran ini kalian diharapkan mampu:
1. mengenal cerita pendek Indonesia,
2. menganalisis cerpen yang dianggap penting pada setiap periode, 3. menemukan standar budaya yang dianut masyarakat.
Saksi Mata Saksi mata itu datang tanpa mata.
Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang pengadilan dengan tangan meraba-raba udara.
Dari lobang pada bekas tempat kedua matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada warna merah yang lebih merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terus-menerus dari lobang mata itu.
Mengisi Hidup dengan Berkreasi 107 Darah membasahi pipinya membasahi
bajunya membasahi celananya membasahi sepatunya dan mengalir pelan-pelan di lantai ruang pengadilan yang sebetulnya sudah dipel bersih-bersih dengan karbol yang baunya bahkan masih tercium oleh para pengunjung yang kini menjadi gempar dan berteriak-teriak dengan emosi meluap-luap sementara para wartawan yang selalu menanggapi peristiwa menggemparkan dengan penuh gairah segera memotret Saksi
Mata itu dari segala sudut sampai menungging-nungging sehingga lampu kilat yang berkeredup membuat suasana makin panas.
"Terlalu!" "Edan!" "Sadis!"
Bapak Hakim yang Mulia, yang segera tersadar, mengetuk- ngetukkan palunya. Dengan sisa wibawa yang masih ada ia mencoba menenangkan keadaan.
"Tenang saudara-saudara! Tenang! Siapa yang mengganggu jalannya pengadilan akan saya usir keluar ruangan!"
Syukurlah para hadirin bisa ditenangkan. Mereka juga ingin segera tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi.
"Saudara Saksi Mata." "Saya Pak."
"Di manakah mata saudara?" "Diambil orang Pak."
"Diambil?" "Saya Pak."
"Maksudnya dioperasi?"
"Bukan Pak, diambil pakai sendok." "Haa? Pakai sendok? Kenapa?"
"Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng." "Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang?"
"Yang mengambil mata saya Pak."
"Tentu saja, bego! Maksud saya siapa yang mengambil mata saudara pakai sendok?"
"Dia tidak bilang siapa namanya Pak."
Sumber: www.ukzn.ac.za
Gambar 5.1Seno Gumira Ajidarma
"Saudara tidak tanya bego?" "Tidak Pak."
"Dengar baik-baik bego, maksud saya seperti apa rupa orang itu? Sebelum mata saudara diambil dengan sendok yang katanya untuk dibuat tengkleng atau campuran sop kambing barangkali, mata saudara masih ada di tempatnya kan?"
"Saya Pak."
"Jadi saudara melihat seperti apa orangnya kan?" "Saya Pak."
"Coba ceritakan apa yang dilihat mata saudara yang sekarang mungkin sudah dimakan para penggemar tengkleng itu."
Saksi Mata itu diam sejenak. Segenap pengunjung di ruang pengadilan menahan napas.
"Ada beberapa orang Pak." "Berapa?"
"Lima Pak."
"Seperti apa mereka?"
"Saya tidak sempat meneliti mereka Pak, habis mata saya keburu diambil sih."
"Masih ingat pakaiannya barangkali?" "Yang jelas mereka berseragam Pak."
Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti dengungan seribu lebah. ***
Hakim mengetuk-ngetukkan palunya. Suara lebah menghilang. "Seragam tentara maksudnya?"
"Bukan Pak." "Polisi?"
"Bukan juga Pak." "Hansip barangkali?"
"Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film." "Mukanya ditutupi?"
"Iya Pak, cuma kelihatan matanya." "Aaah, saya tahu! Ninja kan?"
"Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!"
Lagi-lagi hadirin ribut dan saling bergunjing seperti di warung kopi. Lagi-lagi Bapak Hakim yang Mulia mesti mengetuk-ngetukkan palu supaya orang banyak itu menjadi tenang.
Mengisi Hidup dengan Berkreasi 109 Darah masih menetes perlahan-lahan tapi terus-menerus dari lobang hitam bekas mata Saksi Mata yang berdiri seperti patung di ruang pengadilan. Darah mengalir di lantai ruang pengadilan yang sudah dipel dengan karbol. Darah mengalir memenuhi ruang pengadilan sampai luber melewati pintu menuruni tangga sampai ke halaman.
Tapi orang-orang tidak melihatnya. ...
***
Dalam perjalanan pulang, Bapak Hakim yang mulia berkata pada sopirnya.
"Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban lebih besar lagi?"
Sopir itu ingin menjawab dengan sesuatu yang menghilangkan rasa bersalah, semacam kalimat, "Keadilan tidak buta." Namun Bapak Hakim yang Mulia telah tertidur dalam kemacetan jalanan yang menjengkelkan. Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus-menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun ajaib, tiada seorang pun melihatnya.
Ketika hari sudah menjadi malam, Saksi Mata yang sudah tidak bermata itu berdoa sebelum tidur. Ia berdoa agar kehidupan di dunia yang fana ini baik-baik saja adanya, agar segala sesuatu berjalan dengan mulus dan semua orang berbahagia.
Pada waktu tidur lagi-lagi ia bermimpi, lima orang berseragam ninja mencabut lidahnya -- kali ini menggunakan catut.
Jakarta, 4 Maret 1992
Sumber: Saksi Mata, Seno Gumira Ajidarma, 1994
L atihan 5.3
Kerjakan latihan berikut bersama teman kelompok belajar kalian! 1. Analisislah standar budaya yang terdapat pada cerpen di atas! 2. Bagaimana tanggapan kalian terhadap gambaran
masyarakat yang terdapat di dalam cerpen?
3. Mengapa cerpen “Saksi Mata” dapat dianggap sebagai karya sastra penting pada periodenya?
Kalian telah mempelajari bagaimana mengubah teks aksara Arab- Melayu ke dalam aksara Latin. Untuk kali ini, kalian kembali berlatih mentransliterasikan naskah berabjad Arab-Melayu ke dalam abjad Latin. Perhatikan kutipan naskah hikayat serta transliterasinya berikut ini!