KONFLIK MALI (2006-2009)
MOTIF KETERLIBATAN AQIM DALAM KONFLIK MALI
B. Membangun Tempat Persembunyian ( Sanctuary ) di Utara Mali
Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, AQIM memiliki daerah operasi yang luas. Dearah operasi itu membentang sepanjang wilayah Sahel-Sahara Afrika dengan pusat di Aljazair. Daerah operasi AQIM bagian selatan berpusat di Utara Mali, tepatnya di Kota Kidal.
AQIM berencana untuk membangun tempat persembunyiannya di Utara Mali (sanctuary). Keberadaan mereka yang bersifat rahasia menuntut mereka untuk memiliki sanctuary lebih dari satu. Mereka juga diuntungkan dengan daerah Utara Mali yang jauh dari perhatian pemerintah Mali sehingga mereka akan bebas bergerak disana. Sanctuary sangat bermanfaat bagi AQIM karena memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya dan mereka dapat bersembunyi dari pasukan keamanan setempat dan badan intelijen. Sanctuary juga menjadi tempat pertemuan untuk para jihadis yang datang dari kelompok-kelompok Islam yang berbeda dan berasal dari negara yang berbeda untuk saling bertemu dan berlatih bersama sehingga terjalin hubungan159.
Walaupun konstruktivis sangat terfokus pada ide, konstruktivis juga memperhatikan aspek kepentingan dan identitas yang dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Ini berarti bahwa setiap kepentingan yang dimiliki seorang aktor, selain didasari oleh ide tetapi juga proses sejarah yang melatarbelakanginya.
159Laurent de Castelli, “Al-Quaeda and state sanctuary in the Islamic Maghreb” [artikel on-line],
69
Kepentingan adalah hasil konstruksi sosial dan produk proses sejarah yang kompleks160.
AQIM memiliki alasan untuk memilih membangun tempat persembunyian di Utara Mali. Etnis Tuareg di Utara Mali memiliki persamaan warna kulit dengan mereka yakni lebih terang dan bentuk wajah yang lebih tajam dibandingkan etnis Afrika. Hal ini sangat membantu AQIM untuk berbaur dengan penduduk Utara Mali. Selain itu, mereka telah diterima dengan baik oleh etnis Tuareg dan menetap di Utara Mali dalam waktu yang lama. Penerimaan mereka dipengaruhi oleh hubungan pernikahan antara Mokhtar Belmokhtar dengan beberapa wanita dari pemuka etnis Tuareg dan Bérabiche161162.
AQIM juga mengambil simpati penduduk etnis Tuareg dengan mendistribusikan uang, menawarkan obat-obatan, mengobati orang sakit sertaa memberikan akses telepon seluler sambil terus mempromosikan tujuan utama mereka. Salah satu cara AQIM untuk mendekatkan diri dengan penduduk etnis Tuareg adalah dengan menjalin hubungan dekat dengan beberapa guru agama (marbot lokal) dan mendorong mereka memberitakan Islam versi AQIM. Organisasi ini bahkan memberdayakan para marbot aliansinya dengan kendaraan, uang, senjata dan pengawal163.
160
Keith Krause, “Critical Theory and Security Studies”, Cooperation and Conflict, Vol. 33 No. 33, 1998, 317
161
Bérabiche adalah komunitas yang berbahasa Arab Hassaniya serta menetap di Utara Mali dan Mauritania. Komunitas ini berbeda dengan etnis Tuareg.
162
Ricardo Rene Laremont, “Al-Qaida in the Islamic Maghreb”, 136-137 163
Morten Bøås, “Guns, Money and Prayers : AQIM‟s Blueprint for Securing Control of Northern Mali”
70
Strategi AQIM untuk melebur menjadi satu dengan etnis Tuareg dapat kita lihat sebagai bagian dari proses sejarah. Konstruktivis juga berpendapat bahwa kepentingan para aktor dapat didefinisikan ulang dengan adanya interaksi yang intensif164. Proses interaksi yang insentif antara AQIM dengan etnis Tuareg berbuah hasil penerimaan mereka dengan baik disana. Hal ini juga menyebabkan AQIM memilih Utara Mali sebagai sanctuary.
AQIM jelas memiliki rencana setelah membangun sanctuary di Utara Mali. Sanctuary tersebut tidak hanya digunakan sebagai tempat perlindungan bagi anggota-anggota AQIM dan akan memanfaatkan sanctuary sebagai berikut :
1. Membangun Gudang Persenjataan dan Pelatihan Pasukan
Jika AQIM memenangkan kontrol atas 300.000 mil2 atas Utara Mali, maka mereka akan membangun tempat persenjataan lengkap dengan fasilitas pelatihan siap pakai untuk pasukannya. Mereka juga berencana untuk membangun bandara disana165. Sebenarnya, AQIM telah berhasil mewujudkan kepentingannya ini dengan memiliki pusat pelatihan yang terletak di pinggir kota Timbuktu. Pusat pelatihan ini berjalan selama sembilan bulan hingga akhirnya dihancurkan oleh pasukan udara Perancis. Bangunan yang menjadi pusat pelatihan ini sebelumnya adalah markas besar tentara lokal Mali (Gendarmarie Nationale) dan AQIM memanfaatkannya setelah menguasai Timbuktu. Peserta pelatihan tidak hanya berasal dari Mali tetapi juga dari Pakistan, Aljazair, dan Mauritania. Akan tetapi,
164Ben Tonra, “Constructing the Common Foreign and Security Policy : The Utility of a Cognitive Approach”, Journal of Common Market Studies Vol. 41 No. 4, 2003 , 740
165 David Blair, “Telegraph finds Al-Qaeda plan in Timbuktu” [artikel on-line], http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/al-qaeda/9868922/Mali-Telegraph-finds-al-Qaeda-plan-in-Timbuktu.html , diakses pada 25 Mei 2014
71
sebagian besar peserta berasal dari Nigeria dan kesemuanya adalah anggota Boko Haram166.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Faraj Mohammed Arbi, seorang penduduk Timbuktu yang bertugas sebagai juru masak dan bersih-bersih di pusat pelatihan itu. Dia melihat bangunan tersebut menjadi asrama bagi anggota baru AQIM. Di asrama ini, para anggota rekrutan baru AQIM menerima pelajaran formal dengan subjek pelajaran agama dan doktrinisasi ideologi. Mereka belajar selayaknya seperti di sekolah biasa.167.
Pusat pelatihan ini dipimpin oleh Abu Harith yang berkewarganegaraan Aljazair. Wakilnya adalah Abu Hamza yang juga berkewarganegaraan sama dan bertanggung jawab untuk melatih senjata. Selain mereka, seorang berkewarganegaraan Pakistan, Amir yang bertugas untuk menjaga gudang senjata termasuk senapan mesin AK-47. AQIM juga sering menggunakan kendaraan roda empat seperti Toyota Land Cruisers untuk melewati Sahara. Spesisalisasi Amir sendiri adalah memperbaiki senapan mesin dan kendaraan. Saat ini, pusat pelatihan yang memiliki dua lantai ini telah dihancurkan oleh pasukan udara Perancis pada tanggal 10 Januari 2013168.
Konstruktivis juga menekankan pada peran pemikiran dan pengetahuan bersama mengenai dunia sosial169. Wendt juga mengungkapkan, bahwa suatu
166David Blair, “Timbuktu: Al-Qaeda‟s Terrorist Training Academy in the Mali Desert” The
Telegraph, 11 Februari 2013 [artkikel on-line], Loc. Cit.
http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/africaandindianocean/mali/9860822/Timbuktu-al-Qaedas-terrorist-training-academy-in-the-Mali-desert.html , diakses pada 25 November 2014 167
Ibid
168
Ibid
169
R. Jackson & G. Sorensen, Introduction to International Relations, (Oxford University Press, 1999), 309
72
pemahaman bersama sangat penting untuk menyamakan pandangan para aktor dalam menilai hubungan mereka dengan aktor lain. Pemahaman bersama ini nantinya akan menghasilkan suatu komunitas yang memiliki keseragaman ide. Untuk memiliki sebuah pemahaman bersama, dibutuhkan adanya shared idea agar aktor-aktor lain memiliki kesamaan pandangan dan visi-misi.
Terbentuknya pusat pelatihan ini tidak terlepas dari peran ide yang menjadi fokus utama AQIM. Ia menyebarkan ideologi dan tujuan utamanya dengan cara membangun pusat pelatihan dan mengajarkannya pada aktor lain dan dalam kasus ini adalah anggota rekrutannya yang baru. Ini adalah bentuk dari penyebaran ide atau shared idea, dengan cara doktrinisasi ideologi. Ini diharapkan agar anggotanya memiliki kesamaan pandangan dan visi misi.
2. Memudahkan Akses Perdagangan Gelap
Dengan menguasai daerah Utara Mali yang lemah dari pengawasan, AQIM dapat mengontrol akses dan jaringan perdagangan gelapnya di Trans Sahara dan Sahel dengan bebas. Mereka juga dapat mengumpulkan dana dengan terus melakukan kegiatan kriminal dan penculikan di wilayah tersebut tanpa merasa khawatir170.
AQIM yang telah menyerap ide tentang keinginan untuk mengembalikan khilafah dan menerapkan praktek Islam murni akan berusaha untuk membentuk identitas diri mereka agar menciptakan motivasi dan prilaku ciri khas yang
170Kaylan Branson and Henry Wilkinson, “ Conflict Over Resources and Terrorism : Two Facets of Insecurity Analysis of the Crisis in Northern Mali” [artikel on-line], 8 ,
http://www.keepeek.com/Digital-Asset-Management/oecd/development/conflict-over-resources-and-terrorism/analysis-of-the-crisis-in-northern-mali_9789264190283-5-en#page6 ,diakses pada 9 April 2014
73
dikenal banyak orang. Identitas adalah milik aktor internasional yang menghasilkan disposisi motivasi dan prilaku. Menurut konstruktivis, struktur normatif dan ideasional yang membentuk identitas sosial aktor-aktor politik. Selain itu, identitas yang signifikan dapat memberikan dasar bagi kepentingan yang nantinya akan berkembang dalam proses mendefinisikan situasi. Identitas memang adalah dasar untuk kepentingan dan lebih pokok lagi171.
Identitas menunjukkan “who or what actors are”, “kepentingan yang menunjuk “what actors want” dan hal tersebut akan menunjukkan motivasi
prilaku mereka. Wendt berpendapat bahwa mengandaikan identitas karena seorang aktor tidak dapat mengetahui apa yang ia lakukan hingga itu menunjukkan siapa dirinya dan identitas yang bervariasi itu akan memunculkan kepentingan. Identitas yang memiliki motivasi yang kurang tidak bisa menjelaskan tindakan yang dihasilkan dari keinginan dan keyakinan172.
Kalau kita kaitkan kembali, AQIM sangat bergantung dengan mata pencaharian perdagangan gelap. Tindakannya ini semata-mata karena kebutuhan yang primer dan hal ini telah dikenal publik luas. Ini yang membuat AQIM memiliki identitas sebagai jaringan kriminal transnasional. Identitas yang dipertanyakan, apakah kelompok yang selama ini bertindak atas nama ideologi dan agama mulai berpindah haluan menjadi kelompok yang bergerak karena ekonomi dan politik. Ambiguitas operasi tersebut menjadi ciri khas (identitas) AQIM. AQIM selain dikenal sebagai kelompok teroris Islam juga sebagai
171
Alexander Wendt, Anarchy is What States Make of It : The Social Construction of Power Politics, Review of International Studies 17 (4) yang dikutip oleh Maja Zehfuss, “ Constructivism and Identity”, Constructivism and International Relations ,eds.Stefano Guzzini & Anna Leander (London & New York : Routledge, 2006), 94
172
74
kelompok penculik serta penyeludup mobil, senjata, rokok dan bensin. Keberadaan mereka terlihat lebih politis ketimbang sebuah kelompok yang menjunjung agama173.
Seperti yang telah penulis singgung di bab sebelumnya, AQIM telah dikenal melakukan tindak kriminal seperti perdagangan gelap dan penculikan untuk memenuhi sumber pendapatan. Aksi penculikan yang dilakukan AQIM sering menargetkan warga negara Eropa. Hal ini bukanlah tanpa sebab, AQIM ingin membangun citra dan identitas kepada musuh-musuhnya bahwa mereka
„berbahaya dan jangan melihat kami rendah hanya karena beroperasi di Afrika‟.
Keterlibatan AQIM dalam konflik Mali tidak terlepas dari beberapa faktor diatas. Mereka memiliki kepentingan yang tak dapat dipungkiri akan mempengaruhi keputusan mereka untuk terjun dalam konflik Mali.
Melihat situasi genting dimana akan ada intervensi dari Perancis dan pasukan ECOWAS, Abdelmalek lalu memberikan pernyataan dan mendesak rakyat Mali untuk menolak intervensi asing. Pernyataan ini dirilis melalui video174 yang diedar oleh Al Jazeera dan berisi “untuk rakyat Muslim di Mali yang baik
dan membanggakan, masalah di negara anda adalah masalah antar muslim. Hal ini dapat diselesaikan secara internal melalui rekonsiliasi antar Muslim tanpa harus
menumpahkan setetes darah.”.
Phil Rees, seorang penulis yang sering membahas pergerakan Islam mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan oleh AQIM diatas adalah perjuangan
173
Mohammad-Mahmoud Ould Mohamdedou, “The Many Faces of Al-Qaeda in the Islamic
Maghreb”, GCSP Policy Paper n°15, Mei 2011, 3
174Al Jazeera, “ Al-Qaeda urges Mali to reject foreign troops” [artikel on-line],
http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/11/20121128225040863715.html ,diakses pada 25 Mei 2014
75
yang mereka lakukan diartikan sebagai perjuangan pembebasan nasional negara Mali175. Ini dapat diartikan bahwa AQIM ingin menarik perhatian para penduduk Mali agar mereka dapat diterima disana. Sayangnya, keinginan AQIM untuk diterima baik disana ditolak oleh penduduk Utara Mali yang trauma terhadap penerapan hukum syariah disana. Penduduk sangat mengharapkan intervensi asing agar membebaskan mereka dari jeratan kelompok-kelompok Islam militan tersebut.
175
76
BAB V KESIMPULAN
Konflik Mali 2012-2013 merupakan konflik kelanjutan dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Etnis Tuareg selaku pencetus konflik memiliki keinginan untuk memerdekakan wilayah Utara Mali karena merasa tidak diperlakukan adil oleh pemerintah Mali. Wilayah Utara Mali selama ini seperti wilayah terasingkan dan terabaikan. Ini yang menyebabkan wilayah Utara Mali dijadikan target kepentingan oleh kelompok-kelompok terorisme.
AQIM sebagai aktor eksternal dalam konflik Mali memiliki motif untuk terlibat dalam konflik Mali. Motif itu didasari oleh tujuan utama dan maksud tertentu yang dimiliki AQIM. Tujuan utama AQIM adalah mendirikan negara Islam dan menetapkan hukum syariah. Tujuan ini dipengaruhi oleh dogma Al-Qaeda dan pemikiran Sayyid Qutb mengenai negara Islam yang ideal. Sedangkan, maksud tertentu AQIM adalah membangun tempat persembunyian (sanctuary) di Utara Mali. Tempat persembunyian tersebut dimanfaatkan AQIM sebagai tempat perlindungan, membuat tempat pelatihan dan gudang persenjataan serta mengembangkan akses perdagangan gelap.
Tempat pelatihan yang dicanangkan oleh AQIM akhirnya dapat terlaksana dan berjalan selama sembilan bulan sebelum akhirnya dihancurkan Perancis. AQIM berhasil mengumpulkan dan melatih anggota-anggota rekrutan baru dari Mali dan di luar Mali. Tempat pelatihan tersebut juga dipakai AQIM untuk menyimpan beberapa senjata yang sering digunakannya untuk bertempur.
77
Penulis mencoba untuk menganalisa motif AQIM dengan menggunakan teori konstruktivisme. Konsep yang digunakan skripsi ini adalah ide dan identitas. Menurut skripsi ini, motif AQIM untuk mendirikan negara Islam dan menetapkan hukum Syariah didasari oleh konsep ide dalam konstruktivisme. Ide yang dimaksud adalah tujuan utama AQIM yakni mendirikan negara Islam dan menerapkan hukum Syariah.
Tujuan utama AQIM dipengaruhi banyak oleh tujuan utama Al-Qaeda. AQIM melihat kesempatan bahwa ada konflik internal di Utara Mali dan visi pemberontak adalah memerdekakan wilayahnya. AQIM yang memang telah lama menetap di Utara Mali menerima ajakan koalisi kelompok-kelompok pemberontak lokal seperti MNLA, Ansar Al Din dan MUJAO untuk terlibat dalam konflik. Akan tetapi, seiring waktu berjalan, MNLA dikeluarkan dari aliansi karena memiliki perbedaan pandangan. MNLA yang merupakan organisasi sekuler ingin memerdekakan wilayah Utara Mali tanpa harus menjadikannya negara Islam seperti yang diinginkan oleh kelompok Islam militan. Fenomena ini dilihat skripsi ini sebagai bentuk identitas kolektif dimana AQIM, Ansar Al Din dan MUJAO memiliki kesamaan ide dan identitas untuk mendirikan negara sekuler. MNLA yang berbeda dengan mereka, dikeluarkan dari kelompok aliansi.
Motif kedua AQIM adalah membangun tempat persembunyian (sanctuary) di Utara Mali. AQIM memiliki alasan untuk membangun disana karena etnis Tuareg mempunyai kesamaan fisik dengan mereka. Selain kesamaan fisik, adanya hubungan pernikahan antara salah satu petinggi AQIM dengan wanita etnis Tuareg serta pencitraan AQIM yang baik di mata etnis Tuareg menghasilkan
78
AQIM diterima dengan baik oleh etnis Tuareg. Skripsi ini mencoba melihat faktor tersebut dari sudut pandang sejarah dan interaksi yang insentif.
AQIM memanfaatkan sanctuary untuk membangun tempat pelatihan dan gudang senjata serta memperoleh akses perdagangan gelap lebih mudah. Skripsi ini melihat rencana pembangunan tempat pelatihan sebagai bentuk AQIM dalam menyebarkan ide (shared idea), yang berupa doktrinisasi ideologi.
Selain itu, keinginan AQIM untuk memperoleh akses perdagangan gelap dilihat skripsi ini sebagai bentuk identitas. AQIM telah lama dikenal sebagai kelompok teroris yang memperoleh pendapatan dengan melakukan penyeludupan dan penculikan warga negara asing. Ini merupakan bentuk identitas khas AQIM sebagai jaringan kriminal transnasional.
Keterlibatan AQIM di konflik Mali dalam bentuk langsung. Mereka turut berperang bersama kelompok-kelompok aliansinya melawan tentara Mali. AQIM telah mempersiapkan hal tersebut dengan menambah jumlah pasukan dan pasokan senjata. AQIM juga membantu dengan ikut merencanakan strategi penyerangan. Ditemukan juga fakta bahwa senjata-senjata yang digunakan AQIM untuk bertarung di Mali berasal dari Libya. Senjata-senjata itu diperoleh tentara etnis Tuareg saat peristiwa jatuhnya pemimpin Libya, Moammar Gaddafi.
Harapan AQIM untuk diterima baik di Utara Mali ditolak oleh penduduknya. Penduduk Utara Mali mengalami trauma dikarenakan penerapan hukum syariah yang ekstrem. Ini yang membuat penduduk Utara Mali sangat mengharapkan adanya intervensi asing agar membebaskan mereka dari pengaruh
79
kelompok-kelompok Islam militan. Harapan AQIM tidak terwujud saat Perancis bersama pasukan militer bentukan PBB dan Uni Afrika membantu pasukan Mali memukul mundur para pemberontak dari wilayah Utara Mali. Pada tanggal 27 Januari 2013, pasukan gabungan ini berhasil mengembalikan penguasaan kota Timbuktu pada pemerintah Mali.
xvii Daftar Pustaka
Buku
Abdalla, Muna, ed. 2011, Interregional Challenges of Islamic Extremist Movement in North Africa, Pretoria: Institute for Security Studies. Adnan, Abdul Hadi, 2008, Perkembangan Hubungan Internasional Di
Afrika, Bandung: CV. Angkasa.
Burchill, Scott. et al. 2005, Theories of International Relations Third Edition, New York: Palgrave Macmillan.
Cigar, Norman dan Stephanie E. Kramer, ed. 2011, Al-Qaida After Ten Years of War: A Global Perspective of Successes, Failures and Prospects, Virginia: Marine Corps University Press.
Creswell, John W., 2010, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chilson, Peter, 2013. We Never Knew Exactly Where Dispatches From The Lost Country of Mali. Foreign Policy and Pulitzer Center. Jackson, R. dan G. Sorensen, 1999. Introduction to International
Relations, Oxford University Press.
Marquardt, Erich dan Christopher Heffelfinger, ed. 2008. Terrorism & Political Islam : Origins, Ideologies, and Method 2nd Edition, Paperback.
Mas‟oed, Mochtar, 1994, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES.
Mingst, Karen A. dan Jack L. Snyder, 2004. Essential Readings in World Politics Second Edition, USA: W.W. Norton & Company.
Okumo, Wafula dan Augustine Ikelegbe, ed. 2010. Militias, Rebels and Islamist Militants Human Security and State Crisis in Africa, Pretoria: Institute for Security Studies.
Perwita, Anak Agung dan Yanyan Mochamad Yani, 2006. Pengantar Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Smith, Steve, Ken Booth dan Marysia Zalewski, ed. 2008. International
Theory: Positivism and Beyond, Cambridge: Cambridge University Press.
Wendt, Alexander, 1999. Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University Press.
Zehfuss, Maja, ed. 2006. Constructivism and International Relations, London & New York: Routledge.
xviii
Skripsi, Tesis dan Disertasi
Al Moustapha Toure Major, Mohamed, 2012, What is the Extent of Al- Qaeda in the Islamic Maghreb and Where Does it Derive its Strenghth in the Sahelian-Saharan Region: A Case Study of Northern Mali. Tesis Faculty of the US Army Command and General Staff College. Kansas.
Fariaty, Citra, 2014, Peranan Perancis Dalam Upaya Penyelesaian Konflik di Mali. Skripsi Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Makassar. Grillo, Giusseppe, 2009, The Next Battle of Algiers: An Analysis of
Al-Qaeda in the Islamic Maghreb Its Radical Roots, Present Threat and The Franchising of Global Terrorism. Tesis Graduate School Newark Rutgers The State University of New Jersey.
Mangrem, Sarah Faye, 2012, Going International: The Development and Operations of Al-Qaida in the Islamic Maghreb. Tesis Graduate School Global Affairs and Public Policy of the American University. Kairo.
Munkittrick, Prudence, 2010, The Art of Affiliation: Al-Qaeda in the Islamic Maghreb and the Politics of Terrorist Alliances. Tesis Faculty of the Gradute School of Arts and Sciences Goergetown University. Washington DC.
Schild, David, 2011, Constructivism as A Basis for Understanding Transnational Terrorism: The Case of Al-Qaeda. Disertasi Faculty of Humanities, University of Johannesburg.
Jurnal
Breslin, Joshua D. dan David H. Gray, Al-Qaeda in North Africa, Global
Security Studies Vol. 4 Issue 2 (2013),
http://globalsecuritystudies.com/Bresslin%20AQ%20North%20Afr ica%20(ag%20edits).pdf diakses pada tanggal 5 November 2013. Filliu, Jean-Pierre, The Local and Global Jihad of Al-Qaeda in the Islamic
Maghreb, The Middle East Journal Vol. 63 No. 2 (2009),
http://www.jstor.org/stable/25482634 diakses pada tanggal 9 Mei 2014
Finnemore, Martha dan Kathryn Sikkink, International Norm Dynamics and Political Change, International Organization Vol. 52 N0. 4 (1998),
http://home.gwu.edu/~finnemor/articles/1998_norms_io.pdf
xix
Goita, Modibo, West Africa’s Growing Terrorist Threat: Confronting
AQIM’s Sahelian Strategy, Africa Security Brief No. 11 (2011),
http://africacenter.org/wp-content/uploads/2011/03/AfricaBriefFinal_11.pdf diakses pada
tanggal 22 Oktober 2013.
Gray, David H. dan Erik Stockham, Al-Qaeda in the Islamic Maghreb: The Evolution from Algerian Islamism to Transnasional Terror, African Journal of Political Science and International Relations
Vol. 2 (4) (2008),
http://www.academicjournals.org/article/article1379760530_Gray
%20and%20Stockham.pdf diakses pada tanggal 20 November
2012.
Harmon, Stephen, From GSPC to AQIM: The Evolution of an Algerian Islamist Terrorist Group into an Al-Qa’ida Affiliate and its
Implications for Sahara-Sahel Region, Concerned Africa Scholars US Militarization of the Sahara-Sahel Security, Space &
Imperialism Bulletin N°85-Spring (2010),
http://concernedafricascholars.org/bulletin/issue85/ diakses pada tanggal 20 November 2012.
Hulse, Rainer dan Alexander Spencer, The Metaphor of Terror: Terrorism Studies and the Constructivist Turn, Security Dialogue Vol. 39 No. 6 (2008), http://libra.msra.cn/Publication/44588613/the-metaphor-of-terror-terrorism-studies-and-the-constructivist-turn diakses pada tanggal 25 Maret 2014.
Mohamedou, Mohammad-Mahmoud Ould, The Many Faces of Al-Qaeda in the Islamic Maghreb, Geneva Centre for Security Policy (GCSP) Policy Paper N°15 (2011),