• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memperluas Ruang Keterlibatan Warga

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 86-90)

Meninjau Peran Jurnalis dan Komunitas

Kotak 1. Apa yang terjadi dalam ruang berita

6.4. Memperluas Ruang Keterlibatan Warga

Tumbuhnya media konglomerasi baru, meskipun tidak disertai dengan kebijakan yang kuat, telah menempatkan warga negara dalam situasi rumit dalam kaitannya dengan pemanfaatan hak mereka terhadap media (silakan lihat Nugroho, Putri, dkk, 2012). Situasi ini diperparah oleh semakin lemahnya independensi di ruang media. Situasi seperti ini sepertinya membuat media Indonesia khawatir. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah masih ada ruang untuk memperbaikinya. Ketika perubahan seringkali tidak mampu digagas oleh pemerintah dan sistem pasar, masyarakat sipil menjadi salah satu pilar masyarakat yang harus mengambil insiatif dalam memulai perubahan ini.

Kami berusaha memetakan keterlibatan dari beberapa organisasi kemasyarakatan yang berjuang untuk memperbaiki media. Kami percaya bahwa warga negara cukup pintar untuk memilih informasi

mana yang pas untuk kebutuhan mereka. Masalahnya adalah, apakah informasi yang mereka butuhkan ini tersedia di media. Dalam kaitannya terhadap media yang saat ini sudah berdiri, warga negara seringkali menyadari rendahnya kualitas produk media, tetapi mereka tidak tahu bagaimana untuk menyampaikan komentar atau kritik mereka terhadap media.

Langkah pertama dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Dengan menciptakan suatu gerakan warga negara, organisasi masyarakat sipil ini dapat mengajak warga untuk berpartisipasi dalam upaya perbaikan media. TIFA Foundation memiliki program untuk ibu rumah tangga di Jawa Tengah untuk menyalurkan kekhawatiran mereka tentang program televisi. Kelompok ibu rumah tangga ini dapat mengkomunikasikan kekhawatiran mereka ini kepada KPI lokal yang meneruskan pesan mereka ke KPI pusat di Jakarta.

Langkah menarik lainnya telah dilakukan oleh Remotivi, suatu organisasi yang berperan sebagai pengawas televisi. Alih-alih mematikan televisi, Remotivi mengajak warga negara, khususnya generasi muda, untuk terus menonton televisi dan mengkritisinya. Warga negara diharapkan menjadi pengawas media. Kritik dapat disalurkan melalui media sosial, KPI lokal atau organisasi masyarakat sipil.

Kedua, warga negara harus tetap kritis terhadap media: selain melek media dan memiliki pengetahuan mengenai bagaimana konten media diproduksi, mereka juga harus memiliki sikap dalam menentukan benar dan salah di media, atau mengetahui informasi apa yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Protes dapat disampaikan melalui media sosial atau media lainnya. Bersama dengan organisasi masyarakat sipil, seorang individu dapat mengkritik media sebagai diskursus arus utama.

harus tetap kritis [pada media]. [Media] Jangan dibiarkan, kalau dibiarkan dia akan bertindak semaunya. Skeptis boleh... Kalau konten-nya jelek, protes. Kita [masyarakat] harus berani bersuara... Sudah waktunya. Jangan diam. Protes aja kalau nggak suka sama isinya. Sekarang makin banyak orang kritis terhadap media.

(Wawancara dengan R. Thaniago, Aktivis Media, 13/01/2013).

Jalan untuk memperbaiki media adalah bukan dengan menghindarinya. Masyarakat harus terus berperan sebagai pengawas dan mengkritisi media serta kontennya. Media massa kini bergantung kepada pemirsa mereka dan karenanya mereka harus sensitif terhadap kebutuhan pemirsa. Karena itulah, kritik dari penonton merupakan alat yang kuat dalam mendorong perbaikan media. Dalam beberapa kasus, hal ini telah membuahkan hasil, seperti contohnya kasus Primitive Runway43, sebuah program yang ditayangkan di Trans TV.

Orang nyinyir di twitter Metro TV, marah menyebut Surya Paloh apa segala macem itu menurutku bagian yang harus didorong dan dibikin lebih berbunyi lagi supaya watchdocnya lebih banyak lagi. Orang sudah nggak nulis surat pembaca sekarang, ya. Orang sudah tidak ngirim fax atau nelpon ke redaksi. Orang sudah memaki di twitter. (Wawancara dengan DD Laksono, Pembuat film dan anggota AJI, 15/01/2013).

Meskipun bukan merupakan satu-satunya jalan, protes di media sosial telah terbukti efektif dalam beberapa kasus. Protes semacam itu mampu menekan orang-orang di media; hal ini pada akhirnya juga menekan badan independen negara seperti KPI dan Dewan Pers, yang memicu mereka untuk lebih sensitif dalam perannya sebagai pengawas media. Mereka memandang reaksi instan dan viral yang ada di Twitter sebagai masukan. Lebih lanjut, aksi dalam media sosial ini juga dapat menolong KPI untuk memperkuat radar mereka untuk memantau konten media.

Cara lain untuk memperkuat media kita adalah dengan memusatkan perhatian pada pers kampus, di mana bibit-bibit jurnalisme dapat dipupuk dari awal.

43 Primitive Runaway adalah program yang tayang di Trans TV yang melibatkan selebriti yang dikirim ke berbagai komunitas terpencil. Program ini menggambarkan komunitas terpencil sebagai kelompok ‘terbelakang’ atau ‘primitif’ yang seolah-olah hidup di zaman kuno. Program ini diprotes oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional dan Remotivi - organisasi yang berperan sebagai pengawas televisi - karena penggambarannya yang tidak benar mengenai masyarakat terpencil ini. Setelah diprotes, Trans TV meminta maaf untuk konten yang menyesatkan ini, dan kemudian mengganti judul program ini menjadi Ethnic Runaway.

Pers kampus, aku juga dorong mereka masuk ke fase itu [menjadi pengawas media]… Aku minta mereka untuk, mendorong mereka untuk masuk ke wilayah watchdog juga. Karena dalam sejarahnya pers kampus selalu mengambil peran-peran media umum… Setelah reformasi, mereka [pers kampus] jadi komunitas hobi… Tapi pers kampus kan, sepanjang jaman dia [ada], selama masih ada mahasiswa, peran itu [pers kampus] ada. Mereka tidak usah mengambil porsi nasional, mereka cukup menjadi watchdog media- media lokal yang juga sama buruknya dengan media di nasional.

(Wawancara dengan DD Laksono, Pembuat film dan anggora AJI, 15/01/2013).

Kebanyakan wartawan yang kami wawancarai aktif di kegiatan pers di kampus. Dalam perkembangannya akhir-akhir ini, pers kampus dapat juga memainkan peran di multimedia, yakni dengan mendorong pers kampus untuk menghasilkan reportase dan film pendek untuk mengimbangi apa yang kita lihat di televisi.

Dengan beberapa tindakan yang telah disebutkan di atas, ada banyak cara bagi warga negara untuk mempengaruhi konten media. Sayangnya, terkadang cara yang paling mudah untuk memprotes media adalah dengan tidak menonton, membaca atau mendengarnya. Ternyata, dengan mengabaikan media, kita memberikan mereka kesempatan bagi mereka untuk melakukan apapun yang ingin mereka lakukan.

Hal utama yang dapat dilakukan warga negara dan masyarakat sipil untuk mendorong perbaikan media adalah justru dengan menonton, membaca dan mendengar media. Media selalu membutuhkan warga negara dan setidaknya, apa yang dapat kita lakukan adalah menjadi pengawas dan menyuarakan keprihatinan kita melalui cara apapun.

Keberagaman saluran dan program tidak selalu berarti keberagaman konten. Di Amerika Serikat…, sebuah penelitian menunjukkan bahwa satu keluarga rata-rata hanya menonton 15 saluran per minggu (Mandese, 2007). Banyak konten adalah pengulangan. Kapasitas untuk mengkonsumsi film yang mengandung seks dan kekerasan dengan jalan cerita yang mirip terbatas. Jadi, surga yang ditawarkan kepada pemirsa dengan menyediakan 100 sampai 500 saluran, pada kenyataannya menjadi realita yang lebih kerdil ketika dihadapkan dengan konten yang tidak imajinatif dan keterbatasan uang dan waktu. (Manuel Castells, Communication Power, 2009: 129)

Apa yang diobservasi oleh Castell di Amerika Serikat juga terjadi di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki saluran media yang beragam (10 stasiun televisi nasional dan lebih dari 40 stasiun televisi lokal), tetapi terbukti bahwa ada keterbatasan pada tipe hiburan dan berita yang disajikan. Contohnya, yang dapat dilihat pada bab sebelumnya atau dalam ringkasan yang akan kami sajikan di bab ini, menunjukkan bagaimana media kita tidak memiliki konten yang beragam dan kurang mewakili partisipasi atau penggambaran warga negara. Dalam kaitannya dengan warga negara, situasi ini membahayakan warga negara pada level di mana mereka hanya menjadi konsumen dan bukannya warga yang aktif dalam menggunakan haknya kepada media.

Bab ini merupakan sintesis dari penelitian mengenai penentuan konten pada sistem media dengan konseptualisasi dan pemahaman yang lebih mendalam, khususnya dalam kaitannya kepada upaya memajukan industri media saat ini – di tengah buruknya kebijakan media – dan bagaimana situasi ini membahayakan hak warga negara kepada media. Dalam membedah kondisi ini, kami juga mengetengahkan isu mengenai penurunan kualitas jurnalisme, permainan kekuasaan pada sistem media, dan bagaimana faktor eksternal dan juga pelaku memainkan peran dalam menentukan konten media. Singkatnya, bab ini menyajikan ekonomi politik media dan alasan di balik perkembangan (atau kurangnya) hak warga negara terhadap media di Indonesia.

7.1. Meningkatnya nexus: Antara Konten dan Ekonomi Politik

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 86-90)