• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

Produksi Konten,

Penentuan Hidup

Bersama:

Sejauh mana media

menjunjung prinsip

kewarganegaraan ?

Oleh

Yanuar Nugroho Dwitri Amalia

Leonardus K. Nugraha Dinita Andriani Putri Jimmy Tanaya Shita Laksmi

Laporan Berseri

Engaging Media, Empowering Society:

Assessing Media Policy and Governance in Indonesia

Riset kerjasama antara:

(2)
(3)

Produksi Konten, Penentuan Hidup Bersama: Sejauh mana media menjunjung prinsip kewarganegaraan?

Terbit pertama kali dalam Bahasa Inggris pada bulan Juni 2013.

Edisi Bahasa Indonesia terbit Desember 2013 oleh

Centre for Innovation Policy and Governance

Jl. Siaga Raya (Siaga Baru), Komp. Bappenas RT 01/006 No. 43A Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12510 Indonesia.

www.cipg.or.id

Desain sampul dan tata letak oleh FOSTROM (www.fostrom.com)

Kecuali dinyatakan berbeda, seluruh isi laporan ini dilindungi dengan lisensi Creative Commons Attribution 3.0.

Hak cipta dilindungi secara terbatas.

Alihbahasa dari Bahasa Inggris: Devi Kusumaningtyas Penyunting Bahasa Indonesia: Billy Aryo Nugroho

Cara mengutip laporan ini:

(4)
(5)

Penelitian ini didanai oleh Ford Foundation Indonesia dan dikerjakan oleh Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Jakarta dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara

Peneliti Utama Dr. Yanuar Nugroho, University of Manchester Peneliti Pelaksana (CIPG) Dwitri Amalia

Leonardus Kristianto Nugraha Dinita Andriani Putri

Jimmy Tanaya

Penasihat Akademis Dr. B. Herry-Priyono, STF Driyarkara, Jakarta Shita Laksmi

Sepanjang riset ini, tim peneliti menerima bantuan dan dukungan yang amat besar dari sejumlah kontak mitra, masyarakat sipil, dan individu-individu yang berpartisipasi dalam studi kami melalui survei, wawancara, diskusi terbatas, dan lokakarya. Kami secara khusus berterima kasih kepada – Roy Thaniago, Roselina Lie, Indah Wulandari; Aliansi Jurnalis Independen (Alliance of Independent Journalists), Combine Resource Institution – Bantul, rekan-rekan di stasiun-stasiun radio komunitas; Ria Ernunsari, Dandhy Dwi Laksono, R. Kristiawan, Inaya Rakhmani; peserta magang di CIPG: Klara Esti dan Levriana Yustriani yang telah banyak berkontribusi pada riset ini.

Kathryn Morrison membaca dan mengoreksi versi Bahasa Inggris laporan ini, yang dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Devi Kusumaningtyas dan disunting akhir oleh Billy Aryo Nugroho.

(6)
(7)

AJI Aliansi Jurnalis Independen

BPP-P3I Badan Pengawas Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia  BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan

BPS Badan Pusat Statistik CSO Civil Society Organisation CSR Corporate Social Responsibility Depkes Departemen Kesehatan DKI Daerah Khusus Ibukota

FPI Front Pembela Islam

GMDSS Global Maritime Distress and Safety System Golkar Golongan Karya

Hanura Hati Nurani Rakyat HTI HizbutTahrir Indonesia Kemensos Kementrian Sosial

KPI Komisi Penyiaran Indonesia

KPU Komisi Pemilihan Umum

LGBT Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender LSPP Lembaga Studi Pers dan Pembangunan MUI Majelis Ulama Indonesia

MAVI Misionaris Awam Vincentian Indonesia MNC Media Nusantara Citra

Nasdem Nasional Demokrat

NGO Non-governmental Organisation Pilkada Pemilihan Kepala Daerah PON Pekan Olahraga Nasional

P3SPS Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran

PP Peraturan Pemerintah

PWI Persatuan Wartawan Indonesia RCTI Rajawali Citra Televisi Indonesia RRI Radio Republik Indonesia

SCTV Surya Citra Televisi Indonesia TPI Televisi Pendidikan Indonesia TVRI Televisi Republik Indonesia

UDHR Universal Declaration of Human Rights

UU Undang-Undang

(8)
(9)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji secara empiris isi media di Indonesia, cara kerja media, dan faktor yang mempengaruhi kerja media. Penelitian ini akan mengulas konten televisi di Indonesia, faktor - faktor yang mempengaruhi konten media – khususnya televisi, serta dampaknya terhadap warga negara Indonesia.

1. Meskipun dipandang sebagai pendorong proses transparansi, tingginya pertumbuhan industri media di Indonesia semenjak era reformasi 1998 menunjukkan tanda-tanda munculnya konglomerat-konglomerat media. Saat ini, 12 grup media memiliki kuasa atas hampir seluruh jaringan media di Indonesia. Praktik oligopoli media ini telah menempatkan industri media sebagai entitas yang semata-mata berorientasi kepada profit/keuntungan. Hal ini juga membuat media dapat dengan mudah dipengaruhi oleh kepentingan pemiliknya dan karenanya akan sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan. Kuatnya keterkaitan antara sistem kekuasaan dan industri media ini mau tidak mau tercermin dalam bentuk konten media.

2. Tidak ada keberagaman dalam konten media. Analisis konten terhadap tayangan televisi menunjukkan bahwa penggambaran/peliputan antara kelompok mayoritas dan minoritas tidak seimbang. Kami menemukan bahwa dalam konteks geografis, isi media di Indonesia sangat berpusat kepada gambaran kehidupan kota Jakarta. Dalam konteks orientasi keagamaan, penggambaran Islam sangat mendominasi, dan dalam konteks identitas etnis, budaya Jawa sangat mendominasi. Dalam hal identitas geografis, Jakarta mendominasi konten media dengan presentase 34,1% (dengan 69,9% konten dari Jawa). Untuk konten keagamaan, identitas Islam mendominasi dengan 96,7%, sedangkan konten yang merefleksikan etnisitas didominasi oleh identitas Jawa sebesar 42,8%. Hal tersebut tidak hanya mencerminkan kurangnya keberagaman yang terbuka (open diversity), tetapi yang harus lebih diwaspadai adalah bukti adanya pemaksaan yang berlebihan terhadap konten yang condong kepada kelompok mayoritas dibandingkan kelompok minoritas.

3. Penelitian kami menyimpulkan bahwa industri media yang berorientasi kepada profit telah meminggirkan warga negara dalam ranah media itu sendiri. Konten media yang serupa merupakan bukti sederhana bahwa media melihat warga negara semata-mata sebagai konsumen, bukan sekelompok orang yang memiliki hak. Menurut dalil Hotelling, hal ini dapat diartikan bahwa konten media mengalami kesamaan (sameness) dan memiliki tingkat keberagaman yang rendah. Karena media yang didorong oleh kepentingan bisnis sangat mementingkan profit, produksi konten akan selalu terpaku dalam pakem mendapatkan keuntungan dari program yang dihasilkan. Permainan kekuasaan melalui konten media ini berbahaya karena beberapa alasan; hal ini merupakan bukti penindasan opini dalam kondisi demokrasi. Hal ini juga berbahaya bagi kekayaan budaya lokal dan memberikan penggambaran yang kurang akurat terhadap kelompok minoritas karena konten dikuasai oleh mereka yang menguasai akses terhadap media. Secara keseluruhan, bukti adanya konsentrasi dalam konten media mungkin bukanlah suatu hal yang alami, tetapi hasil dari rancangan, atau yang lebih tepat disebut sebagai “pemusatan konten”.

(10)

4. Ada beberapa faktor lainnya yang secara langsung membentuk konten media seperti kepentingan pemilik, struktur organisasi media serta wartawan/pekerja media itu sendiri. Oleh karena itu, diskusi mengenai konten media tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor tersebut. Kami memahami gagasan bahwa tidak ada media yang bebas dari intervensi. Meski demikian, tujuan kami dalam penelitian ini adalah untuk melihat sejauh mana pengaruh faktor-faktor tersebut diterapkan, dalam situasi apakah intervensi tersebut terjadi dan bagaimana hal ini mempengaruhi konten media. Kekuasaan pemilik terhadap media dapat dipastikan sangat kuat, namun di sisi lain, hal ini dapat terjadi karena ruang redaksi yang memungkinkan terjadinya intervensi. Minimnya profesionalisme di kalangan wartawan juga ikut membentuk produksi konten media.

5. Di dalam industri di mana banyak politisi memiliki jaringan media, peliputan mengenai aktivitas politik dari pemilik media menjadi hal yang penting; bahkan, beberapa media memiliki tim peliputan khusus untuk melaporkan dan menyiarkan aktivitas politik tersebut. Hal ini berseberangan dengan etika jurnalistik karena media tersebut hanya meliput aktivitas dari partai yang diasosiasikan dengan pemiliknya dan tidak memberikan peliputan yang seimbang mengenai partai lainnya. Di samping pengaruh politik, ruang redaksi juga cenderung mempertimbangkan kepentingan pengiklan. Sebagai sumber pemasukan utama bagi media, pengiklan juga memiliki andil besar dalam mempengaruhi konten media. Meskipun pengiklan tidak secara langsung meminta media untuk menyesuaikan isi pemberitaan yang terkait dengan mereka, namun di beberapa media, ruang redaksi biasanya “berhati-hati” dalam memberitakan liputan yang terkait dengan pengiklan mereka untuk mempertahankan hubungan baik dengan pengiklan. Dalam beberapa kasus, wartawan bahkan memilih untuk tidak meliput berita yang berkaitan dengan pengiklan meskipun berita tersebut sangat penting. Hal ini disebabkan karena berita tersebut pada akhirnya tidak akan ditayangkan. Kami juga menemukan bahwa tidak semua media dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pemilik maupun pengiklan. Media seperti ini biasanya memiliki tim redaksi dan wartawan yang solid sehingga mereka tidak sepenuhnya mengandalkan pemilik/ organisasi di mana mereka bekerja.

6. Minimnya profesionalisme wartawan dapat juga memiliki korelasi dengan tingginya tingkat pertumbuhan industri media yang selalu membutuhkan lebih banyak wartawan dan reporter. Sayangnya tingginya permintaan akan tenaga kerja wartawan atau reporter ini tidak diiringi juga dengan peningkatan kualitas mereka. Wartawan seringkali terlihat memiliki dualisme dalam pekerjaannya sehari-hari, yaitu sebagai pekerja profesional dan sebagai pekerja harian, di mana hal ini menciptakan tarik menarik antara jurnalisme sebagai komitmen atau jurnalisme sebagai pekerjaan. Tarik menarik ini tercermin dalam kualitas pekerjaan mereka; di mana terkadang wartawan mengabaikan etika jurnalistik Sebagian dari wartawan bahkan tidak mengetahui apa saja isi dari etika jurnalisme. Pengabaian etika jurnalisme yang dipadu dengan rendahnya pendapatan wartawan, pada akhirnya berujung kepada munculnya praktik ‘jurnalis amplop’, di mana wartawan menerima sogokan atau “hadiah” dari narasumber untuk pemberitaan yang ‘memihak’ mereka. Meskipun demikian, masih banyak wartawan yang berpegang teguh pada komitmen mereka, dan seringkali, komitmen ini terkait juga dengan tingkat upah yang layak dari perusahaan.

(11)
(12)
(13)

Ucapan Terima Kasih Daftar Singkatan Ringkasan Daftar Isi

Bab 1

Penentuan Konten: Sebuah Pengantar

Bab 2

Hak Warga Bermedia: Sebuah Konsep Genealogis

Bab 3

Mengupas Penentuan Konten dan Cara Kerja Media: Metode dan Data

Bab 4

Mendebat Keberagaman dalam Konten Media: Suatu Tinjauan terhadap Data

Bab 5

Mekanisme Produksi Konten oleh Media: Logika Kerja Media

Bab 6

Menggagas dan Membentuk Strategi untuk Terlibat: Meninjau Peran Jurnalis dan Komunitas

Bab 7

Memastikan Perbaikan Konten, Membudayakan Diri Sendiri: Sintesa dan Tantangan

Daftar Pustaka Lampiran

Daftar Isi

iii v vii xi

1

9

21

31

53

67

77

(14)

1. Penentuan Konten:

Sebuah Pengantar

Pada bulan Februari 1999, sekitar 150 tahun setelah Morse menciptakan standarisasi sinyal panjang dan pendek atau dikenal dengan sebutan ‘dot’ dan ‘dash’, sandi Morse pada akhirnya tidak lagi digunakan sebagai standar internasional komunikasi maritim. Fungsi sandi Morse digantikan oleh sebuah sistem berteknologi satelit yang disebut GMDSS (Global Maritime Distress and Safety System)1, yang mampu dengan seketika melacak posisi kapal dalam keadaan bahaya. Sementara sandi Morse tidak lagi digunakan; di sisi lain, rutinitas keseharian kita juga dipengaruhi oleh perubahan elektronik. Saat ini, kita mungkin lebih familiar dengan wajah seorang bintang olahraga internasional dibandingkan wajah tetangga kita sendiri. Hal ini merupakan contoh yang menunjukkan seberapa jauh keseharian kita telah berubah, dan mengindikasikan bagaimana komunikasi elektronik yang instan telah mengubah karakter kehidupan kita.

Terkait dengan media, kemajuan teknologi ini tidak hanya membuat proses pemberitaan atau penyampaian informasi menjadi semakin cepat, namun juga membawa tantangan baru. Tantangan itu adalah tentang bagaimana media dapat menyediakan ruang yang layak bagi keterlibatan warga yang kemudian mendorong media untuk dapat menjalankan fungsi publiknya secara lebih aktif – untuk menjadi perantara dan penyedia berbagai kemungkinan hidup bersama. Akan tetapi, dengan kemajuan industri media global akhir-akhir ini, media tidak lagi diposisikan sebagai penyedia ruang yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berhubungan satu sama lain. Ketika media semata-mata dipandang sebagai bisnis belaka, komodifikasi terhadap informasi dan berita dan kapitalisasi konten telah terjadi, dan hal ini telah telah melemahkan masyarakat. Cara kerja media arus utama pada umumnya justru melanggengkan kepasifan, voyeurism, dan sinisme, ketimbang menjunjung nilai-nilai kewarganegaraan dan partisipasi. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, tren media tampaknya telah mengarah ke arah yang tidak sehat – di mana semakin banyak pesan disampaikan dari semakin sedikit sumber pesan, yang semakin sedikit berbicara (Gamson, Croteau dkk, 1992). Pada akhirnya, hal ini memposisikan penonton/ pembaca/ pendengar semata-mata sebagai konsumen (yang hanya dapat memilih program apapun yang disajikan kepada mereka), bukan sebagai warga negara (yang memiliki hak). Kondisi ini menghambat cita-cita akan “ruang publik” (Habermas, 1989 dan Habermas 2006) yang mendukung terciptanya partisipasi publik dalam konteks demokrasi.

Dalam kaitannya dengan kelompok minoritas, implikasinya semakin besar. Secara umum, kelompok minoritas hanya dapat mengakses media tanpa memiliki suara dalam pembentukan konten. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menjadi sasaran stereotip dan/atau dijadikan korban (Nugroho, Nugraha dkk, 2012). Yang patut diingat adalah bahwa konsep awal kewarganegaraan berakar dari keseimbangan antara hak dan kewajiban dari warga negara (Janowitz, 1980); dalam kaitannya dengan kelompok rentan, ada ketidakseimbangan di mana media yang digerakkan oleh pasar telah berpartisipasi untuk meniadakan harmoni dan membuat kelompok tertentu sebagai korban.

Dalam laporan ini, kami berfokus pada penentuan konten (content determinism), dengan menggunakan sudut pandang hak warga bermedia. Penentuan konten ini berhubungan dengan seberapa spesifik konten media dirancang dan diproduksi untuk tujuan-tujuan tertentu dan bagaimana hal ini berpengaruh kepada masyarakat. Konten media dan bagaimana konten tersebut dirancang dan diproduksi dalam suatu sistem yang didorong oleh kekuasaan di dalam struktur organisasi media telah memainkan peran dalam merancang kembali dan merekonstruksi dinamika dalam masyarakat.

(15)

1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran

Meskipun dipandang sebagai sesuatu yang positif dari segi peningkatan transparansi dan demokratisasi, tingginya perkembangan media di Indonesia pasca reformasi di tahun 1998 juga menandai era kemunculan kembali bagi konglomerat-konglomerat media. Kompas-Gramedia Group, Mahaka Media Group, dan Grafiti Pers Group - induk perusahaan Jawa Pos, dan Global Mediacomm (MNC) Group adalah beberapa nama di antara 12 kelompok media besar di Indonesia yang menguasai hampir seluruh saluran media di Indonesia (Nugroho, Putri dkk, 2012). Praktik oligopoli media yang saat ini terjadi di Indonesia telah menempatkan industri media di negara ini menjadi industri yang murni digerakkan oleh motivasi profit dan karenanya mewakili bisnis yang menguntungkan yang dapat dibentuk oleh kepentingan pemiliknya. Hal ini menyebabkan media pada akhirnya menjadi saluran yang sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan.

Situasi ini menjadi semakin buruk karena praktik media sekarang ini, khususnya media penyiaran, didukung oleh kebijakan yang tidak bergigi. Meskipun Undang-Undang Penyiaran (2002) memiliki nilai-nilai keberagaman konten, namun implementasinya sangat berbeda (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Hal yang sama terjadi pula dengan Undang - Undang Pers No. 40/ 1999 (UU Pers 40/1999) yang tidak mampu memitigasi logika bisnis industri media yang sangat mengedepankan keuntungan. Para pengambil kebijakan dan pejabat negara telah gagal untuk memisahkan antara monopoli dan oligopoli. Pada kenyataannya, proses perumusan kebijakan justru mempersulit warga negara untuk menggunakan hak mereka dalam bermedia. Karenanya, tugas media untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya dengan mempertahankan karakter publik serta menyediakan ruang publik sebagaimana disarankan oleh beberapa ahli (Joseph, 2005) tampak tidak memungkinkan. Sebagai pilar keempat (‘Fourth Estate’) (Carlyle, 1840, Schultz, 1998), media seharusnya mampu memainkan peran yang penting terutama di negara demokrasi baru seperti Indonesia. Namun demikian, jika dilihat dengan seksama, sejatinya cara media bekerja saat ini memang dipengaruhi oleh tekanan politik dan ekonomi dari berbagai kelompok kepentingan yang berbeda. Pada saat yang bersamaan, hal tersebut telah mengubah sektor media menjadi alat untuk fabrikasi kesadaran (manufacture consent) (Herman dan Chomsky, 1988) karena kepentingan ekonomi dan politik media telah mengalahkan fungsi sosial dan publiknya. Sebagai hasilnya, alih-alih menyediakan ruang bagi pubik untuk berdiskusi tentang beragam isu menyangkut kehidupan publik, media memposisikan publik sebagai sekadar konsumen sebagai implikasi dari logika pasar dan kepentingan bisnis yang dimiliki media.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami menganggap bahwa media arus utama sepertinya beroperasi dalam lingkup neoliberal di mana logika profit mengalahkan hal lainnya. Karena bisnis neoliberal bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan, dan memfinansialkan hal-hal lainnya (Harvey, 2005, hal 33), salah satu akibatnya adalah penyeragaman konten sebagai hasil sistem rating yang merupakan alat dari mekanisme pasar. Contoh nyata dari mekanisme ini adalah munculnya fenomena sinetron yang disiarkan ke seluruh penjuru Indonesia dan berfokus pada gaya hidup dan masalah masyarakat perkotaan. Fenomena semacam ini berjarak dari realitas keseharian sebagian besar penonton di Indonesia, khususnya yang tinggal di daerah terpencil. Hilangnya keberagaman konten telah menciptakan ketercerabutan media (disembeddedness) yaitu kondisi di mana praktik media dan kontennya tidak lagi terhubung dengan konteks sosial tempat mereka berada (sebagaimana diungkapkan Polanyi, 1957 (1944)).2 Selain keseragaman konten, strategi lain yang digunakan media untuk menarik penonton adalah dengan memproduksi tayangan dan liputan yang hiperbolis dan sensasional. Dengan terus menerus memproduksi tayangan yang tidak mendidik semacam ini, media telah turut mencederai kehidupan publik warga negara.

Penurunan kualitas konten media yang gagal untuk menyediakan ruang yang cukup untuk setiap kelompok kepentingan yang ada di masyarakat, terutama kelompok terpinggirkan (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012), berpotensi menghancurkan kredibilitas media sebagai Pilar Keempat/Fourth State (Carlyle, 1840), Schultz, 1998). Hal ini terjadi karena media telah gagal menjalankan fungsi publiknya untuk

(16)

memfasilitasi demokrasi keterwakilan. Dalam kasus empat kelompok minoritas yakni Ahmadiyah, kaum difabel, LGBT, serta wanita dan anak - anak (sebagaimana diulas Nugroho, Nugraha, dkk, 2012), penurunan ini berkorelasi kuat dengan motivasi media dalam menyediakan cerita sensasional dan bukannya menyediakan laporan yang berimbang. Tidak bisa dipungkiri bahwa situasi demikian telah menyebabkan terjadinya intepretasi yang keliru dari objek pemberitaan, karena media lebih memilih untuk menjadi ‘lidah yang akan didengar oleh kelompok lainnya’, dan hal ini akan membahayakan hak kelompok minoritas sebagai warga negara.

Ketika praktik media saat ini gagal menyediakan program yang edukatif, hal lain yang menjadi tantangan besar bagi media di masa mendatang adalah ide konvergensi media. Dengan logika konvergensi yang mendikte semua saluran media untuk menyediakan konten yang sama, media berpotensi semakin mendangkalkan pemirsanya melalui tayangan non-edukatif. Karenanya, media perlu dijaga melalui penerapan kebijakan media sehingga karakter publik media dapat dipertahankan (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Namun demikian, tumbuhnya media daring akhir-akhir ini menyediakan harapan baru bagi terciptanya ruang alternatif yang menfasilitasi keterlibatan warga ketika media arus utama gagal menyediakan hal ini. Untuk itu, kami mengajukan gagasan penciptaan dan perlindungan saluran alternatif, termasuk media siaran komunitas, untuk terus dijaga demi memastikan hak warga bermedia. Dalam laporan terakhir ini, kami tidak dapat tidak menyentuh konten beserta proses produksinya. Tidak dapat dipungkiri, kepemilikan media yang terpusat dan bertendensi mengubah media menjadi suatu konglomerasi adalah suatu problematika besar (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Tetapi, pada akhirnya, masalah utama yang kita hadapi adalah isi media yang kita konsumsi setiap hari. Bagi kami, hal yang paling memprihatinkan ketika berbicara tentang kebijakan media adalah ketiadaan perhatian terkait kebijakan mengenai produksi, jenis, dan keberagaman konten media yang dilihat/didengar/dibaca setiap hari oleh pemirsa/pendengarnya. Dengan kata lain: tiadanya perhatian terhadap penentuan konten (determination of the content).

Ketika kita menyaksikan bagaimana kemajuan teknologi dapat mengubah media dan berkontribusi pada perubahan sosial (McLuhan, 1964), konten yang linear ini juga berkontribusi pada pembentukan masyarakat. Suka atau tidak, media telah membentuk konsumsi kita, cara kita berinteraksi dengan sesama, dan bahkan membangun selera kita. Kemajuan teknologi media, seperti percetakan dan penerbitan buku, jelas telah menyebabkan perubahan sosial yang luar biasa besar melalui “literasi” - yakni keterwakilan suara atau kata melalui huruf. Manusia tidak hanya berpikir linear dan menjadi individualis, tetapi juga mampu menguasai ide dan keinginan. Hal ini juga menciptakan persoalan ketercerabutan dalam konteks media dan masyarakat (Nugroho, Putri, dkk 2012, hal. 109). Kemajuan media adalah implikasi dari fungsi teknologi: kemajuan teknologi telah mengubah media (termasuk cara-cara penyampaian pesan) yang dalam prosesnya akan mengubah masyarakat, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Menurut McLuhan, struktur media lebih berpengaruh kepada pembentukan kesadaran manusia dibandingkan dengan pesan yang dikirim melalui saluran media. McLuhan menuliskan:

Isi atau kegunaan media sama beragamnya, sebagaimana mereka tidak berperan dalam membentuk asosiasi manusia. Bahkan, merupakan suatu hal yang tipikal bahwa isi dari medium apapun telah membutakan kita dari karakter medium tersebut (McLuhan, 1964, hal. 9).

(17)

termanifestasi, industri media mengusik kohesi masyarakat. Dengan memperkenalkan logika bisnis melalui berbagai macam konten, ide tentang kewarganegaraan terkikis tanpa perlawanan signifikan dari pemerintah (yang berpihak kepada bisnis) atau yang diperintah (warga negara yang pasif dan belum memiliki tingkat literasi yang cukup). Dalam industri yang bersifat oligopoli (Nugroho, Putri, dkk, 2012), mereka yang memiliki pengaruh terhadap produksi konten relatif bebas untuk menyetir konsumsi publik. Meskipun demikian, penelitian kami menemukan bahwa kekuasaan media tidak semata-mata terletak di tangan pemiliknya, tetapi juga dalam sistem itu sendiri. Dalam hal ini, jika kita mencermati relasi kekuasaan dan media, kita akan menemukan bahwa ada keterlibatan agenda pengiklan, bisnis lain yang dimiliki pemilik, dan bahkan dari para pejabat dan/atau mereka yang terpandang. Penjelasan terperinci mengenai isu relasi kekuasaan ini akan dibahas pada bab 5.

Pencarian kekuasaan tercermin pula dalam tingkat kompetisi antar sesama media. Karena berbeda dari saingannya merupakan suatu hal yang membahayakan bagi produser (Cuilenburg, 1999), maka konten yang dihasilkan oleh sistem pasar oligopolis yang berorientasi pasar ini menjadi bersifat homogen. Hal ini disebabkan oleh kompetisi antar jaringan media dengan produk-produk yang saling mensubtitusi satu sama lain.

Dalam hal ini, kita perlu lebih kritis dalam memahami relasi kekuasaan dalam media dan pada saat yang bersamaan memastikan bahwa sudut pandang hak asasi manusia terwakilkan dalam produksi media, baik itu cetak, siar maupun daring. Indonesia memiliki definisi tersendiri untuk hak asasi manusia yang terakomodasi dalam Undang-undangnya. Hak warga negara, yang tentunya termasuk pula hak kelompok minoritas, secara eksplisit tercermin dalam perundangan ini. Undang-undang ini dibentuk berdasarkan hak asasi dan idealisme kebangsaan, bukan dari keinginan kelompok mayoritas semata. Untuk itu, kami merekomendasikan bahwa produk yang dihasilkan wartawan dan pelaku industri media lainnya seharusnya mencerminkan nilai-nilai perundangan ini.

1.2. Tujuan

Penelitian ini melanjutkan hasil dari tiga laporan penelitian sebelumnya mengenai media dan hak warga bermedia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan pandangan terhadap (produksi) konten di mana kekuasaan termanifestasi dengan kuat. Dalam menyelesaikan seri laporan mengenai media ini, kami tidak dapat tidak menyentuh persoalan konten. Sebab, ketika kita berbicara mengenai hak warga, maka kita perlu menganalisis lebih dalam proses produksi dari isi media. Dengan mendalami hal ini, kami berharap dapat memberikan masukan tentang implikasi yang lebih luas dari manifestasi kekuasaan di dalam sistem media, terkait dengan hak warga bermedia dan proses demokratisasi.

Untuk menyelidiki persoalan ini, kami memilih untuk menggunakan kacamata hak-hak warga negara kepada media, yang merupakan jawaban atas Artikel no. 19 DUHAM.3 Penelitian semacam ini melindungi hak media sebagai bagian dari kebebasan institusi pers, namun kami percaya bahwa yang lebih diperlukan adalah perlindungan warga negara yang seringkali memiliki keterbatasan dalam hal kebebasan pada media. Penelitian mengenai kaitan antara hak warga bermedia dengan ekonomi politik media di Indonesia ini jarang adanya. Dalam pengamatan kami mengenai hak warga negara terhadap media, kami menggarisbawahi tiga hal berikut: 1) Hak kepada akses informasi yang terpercaya dan untuk menciptakan informasi yang juga membutuhkan 2) Akses kepada infrastuktur media, sehingga warga negara dapat melaksanakan dimensi ketiga yakni 3) Berperan aktif untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, terutama kebijakan yang terkait dengan kewarganegaraan.

(18)

1.3 Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut:

Sejauh apa konten media di Indonesia mencerminkan keberagaman dalam masyarakat? Bagaimanakah media membuat dan mendistribusikan konten, dan mengapa? Apakah dampak dari konten media terhadap hak warga dalam bermedia dan apakah kaitannya dalam prinsip kewarganegaraan yang ada di masyarakat? Apakah tanggapan masyarakat dan bagaimana mereka menangani hal tersebut? Apakah implikasi dari hal ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan pekerja media baik junior maupun senior, para ahli serta aktivis media dalam rentang waktu Januari hingga Maret 2013. Data sekunder didapat melalui studi literatur. Data sekunder bertujuan untuk meneliti dengan cermat ekonomi dan politik media serta gagasan hak warga negara.

Bab ketiga akan mengulas mengenai metodologi dan pengumpulan data secara lebih mendetail.

1.4 Penentuan Isi: Sebuah Pengantar

Saat ini, praktik oligopoli dalam industri media telah menempatkan media sebagai industri yang berorientasi profit. Situasi semacam ini mewakili sistem media yang rentan untuk disetir oleh kepentingan pemilik dan sangat menguntungkan bagi mereka yang mencari kekuasaan (Nugroho, Putri, dkk, 2012). Kegagalan dari kebijakan yang ada untuk mencegah logika yang mengedepankan profit secara berlebihan ini semakin memperparah masalah. Penerapan payung hukum media, yakni UU Pers 40/ 1999 dan UU Penyiaran 32/ 2002 telah gagal untuk mengatur media sebagai industri (Nugroho, Siregar, dkk, 2012). Di sisi lain, pembuat kebijakan dan pejabat pemerintah juga gagal dalam menarik garis yang tegas antara monopoli dan oligopoli.

Dalam hal ini, dengan berpegang kepada logika rating, media cenderung memiliki konten yang homogen. Untuk menarik semakin banyak penonton, media juga memproduksi reportase dan berita yang lebih hiperbolis dan sensasional. Dalam kaitannya terhadap kelompok rentan, keterwakilan media sangat buruk, sehingga berkontribusi pada pelanggaran hak-hak dasar mereka (Nugroho, Nugraha, dkk, 2012). Implikasi yang lebih besar adalah, kelompok rentan ini memiliki akses yang terbatas terhadap institusi dasar masyarakat sipil, serta minimnya pemenuhan hak mereka sebagai warga negara yang dalam beberapa kasus mengarah kepada eksklusi sosial (Macionis dan Plummer, 2008: 255). Lebih dari itu, dengan terus menerus menyediakan konten yang kurang mendidik, media pada akhirnya juga bertanggung jawab atas pendangkalan warga negara.

Dalam mendalami politik ekonomi media, akhirnya kami menemukan bahwa ikatan yang kuat yang mengikat antara sistem kekuasaan dan industri media adalah konten. Melalui distribusi konten, reproduksi makna dalam masyarakat dikontrol oleh mereka yang memiliki akses tertentu serta kekuasaan dalam media. Tanpa disadari, konsekuensi dari kualitas konten ini terkait dengan masyarakat sebagai warga negara. Karena logika yang mengedepankan rating, penonton dilihat hanya sebatas pelanggan potensial bagi industri, alih-alih warga negara yang memiliki hak. Gagasan bahwa media sebagai salah satu pilar demokrasi tidak dapat berjalan dalam kondisi ini. Bahkan, keterbatasan dalam mengakses media dapat menghambat pelaksanaan hak-hak warga. Ada beberapa keterbatasan bagi warga negara untuk berperan dalam proses perumusan kebijakan yang berkaitan dengan sektor ekonomi-sosial-politik dan juga dalam keterlibatan komunitas.

(19)

televisi.4 Dengan menyediakan analisis konten televisi, kami berpendapat bahwa meskipun banyak pihak yang berpendapat konten media di Indonesia “beragam” dan telah “mewakili” (warga negaranya), namun faktanya bertolak belakang. Dengan mengetengahkan tujuh kategori kewarganegaraan sebagai proxy keberagaman dengan menggunakan pengukuran kuantitatif, kami dapat menyimpulkan bahwa penentuan konten sebagian besar didasarkan kepada sistem nilai yang paling dominan - baik itu dalam konteks agama, etnisitas ataupun geografis.

Yang dipelajari dalam analisis konten ini sebenarnya merupakan refleksi dari apa yang terjadi dalam proses editorial dan bagaimana konten diproduksi. Karena praktik media saat ini telah berubah menjadi institusi bisnis yang dimiliki oleh privat dan bukan institusi sosial publik, maka produk akhir dari industri media akan ditentukan oleh seberapa besar keuntungan yang dihasilkannya. Dengan kompleksitas seperti ini, maka kekuasaan pun berbicara. Dalam perkembangannya saat ini, pertumbuhan bisnis media mencerminkan hukum ‘survival of the fittest’ yang memberikan ruang sangat terbatas untuk pendatang baru. Karenanya, bukan hal yang mengejutkan jika terjadi merger dan akuisisi. Untuk bertahan hidup, perusahaan media yang lebih kecil bergabung dengan kelompok yang lebih besar. Proses ini sekali lagi menunjukkan kepada kita bagaimana perusahaan besar tidak hanya mengontrol konten dan kepemilikan, tetapi juga lini distribusi dan sirkulasi media.

Penggambaran yang besar ini juga menunjukkan bagaimana perusahaan media yang lebih besar memegang kekuasaan. Namun demikian, relasi kekuasaan juga dimiliki oleh media sebagai suatu sistem besar yang utuh. Penelitian kami mengungkap bahwa intervensi di media sangat berpengaruh terhadap pembentukan konten: bukan hanya dalam memalsukan/membuat fakta, tetapi juga menerbitkan (atau tidak menerbitkan) cerita karena adanya permintaan khusus. Ada dua tipe permintaan khusus ini: eksternal dan internal. Intervensi eksternal datang dari bisnis lain yang dimiliki pemilik media atau intervensi politik, sedangkan intervensi internal datang dalam bentuk sensor dan bingkai editorial yang dirancang oleh sistem. Namun, intervensi lainnya datang dengan cara yang lebih halus. Dalam sistem yang cenderung melayani kepentingan pemilik, wartawan harus sensitif dalam menyenangkan perusahaan tempat mereka bekerja. Melalui pendalaman yang berhati-hati, kami menemukan bahwa kebebasan wartawan dan editor hanya terjadi jika mereka memiliki tempat yang cukup untuk mengekspresikan pikiran mereka. Di beberapa media, di mana pemiliknya terafiliasi dengan politik, para awak media dapat dikatakan tidak memiliki ruang gerak sama sekali. Tetapi, masih ada beberapa praktik yang baik dalam media di mana wartawan memiliki posisi tawar untuk menolak beberapa permintaan khusus untuk membentuk cerita mereka. Seringkali, situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai integritas wartawan.

Terbatasnya pilihan saluran ― Indonesia memang memiliki banyak saluran, tetapi secara konten pilihan yang ada tidak banyak — serta adanya kepentingan pribadi atau kelompok dapat mendistorsi informasi yang kita terima. Dalam kacamata hak warga, kombinasi ini telah mengancam hak terhadap informasi yang dapat dipercaya, khususnya dalam situasi di mana tingkat ‘melek’ media masih harus ditingkatkan.

Pada saat media sebagai sebuah kesatuan sistem perlu diperbaiki, hal yang sama perlu dilakukan oleh wartawan sebagai salah satu komponen utama dalam sistem media. Meskipun pers yang demokratis telah mulai bertumbuh pasca era reformasi tahun 1998, ada suatu keprihatinan akan penurunan profesionalisme jurnalis di Indonesia. Meskipun secara umum wartawan Indonesia sangat kritis terhadap isu politik di negara ini, ada beberapa tantangan serius yang harus ditangani, yaitu: etika jurnalistik yang rendah, kurangnya profesionalisme dan korupsi di antara wartawan (Pintak dan Setiyono, 2010). Hal ini berhubungan erat dengan krisis etika profesi. Idealnya, sebagai profesi yang mengemban misi publik, wartawan harus selalu ingat bahwa mereka menciptakan dan mengantarkan pesan dengan misi untuk melayani khalayak umum, bukannya untuk kepentingan tertentu. Memilih untuk menjadi wartawan berarti memiliki tanggung jawab pelayanan publik.

Ketika warga negara tidak lagi dapat mengandalkan pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, dan sistem media yang berorientasi pasar, maka harapan terakhir jatuh di pundak publik. Ada beberapa hal

4 LIhat tautan berikut:

(20)

yang dapat mereka lakukan, yakni: koalisi dan membangun jaringan antar CSO, membantu penegak hukum dalam proses pembuatan kebijakan mengenai media, berperan sebagai pengawas karena pemilik media sangat sensitif terhadap protes warga negara, atau meningkatkan tingkat melek media bagi masyarakat luas.

Saat ini, kita dihadapkan pada fakta bahwa perusahaan media memiliki identitas ganda. Di satu sisi, mereka mengemban tanggung jawab yang besar dalam menjalankan fungsi sosial, budaya, dan politiknya. Di sisi lain, mereka didorong oleh kepentingan ekonomi. Akan tetapi, karena media mempunyai hubungan yang dekat dengan kehidupan publik, maka media harus mulai membangun bisnis yang didasari oleh kepercayaan dan mempunyai komitmen untuk menjalankannya.

1.5. Struktur Laporan

(21)
(22)

Kemajuan teknologi dan industri media memberikan harapan lebih bahwa media dapat berada pada posisi yang tepat untuk tersedianya ruang bagi segenap anggota masyarakat untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian, semakin besar kemungkinan tercipta masyarakat yang demokratis. Namun, dambaan tersebut sepertinya tidak terjawab karena tren yang terjadi justru bergerak ke arah yang salah, di mana semakin banyak pesan dari produser yang jumlahnya semakin sedikit tetapi ukurannya semakin besar, dan bersuara semakin sedikit (Gamson, Croteau, dkk, 1992). Kondisi ini menjadikan warga negara hanyalah sekadar “pelanggan” yang harus menerima program apapun yang disediakan oleh produser, alih-alih warga negara yang memiliki hak. Warga negara hanya dipandang sebagai pelanggan yang dipaksa menikmati apa yang tersedia dalam saluran media tanpa memiliki daya untuk membentuk konten. Kondisi serupa dialami kelompok rentan karena akses mereka kepada media seringkali dikompromikan. Situasi ini menghalangi cita-cita ideal akan terciptanya ‘ruang publik’ (Habermas, 1989, Habermas, 2006) yang mendukung keterlibatan aktif publik dalam konteks demokrasi.

Industri media di manapun, dalam perkembangannya, senantiasa terkait erat dengan sistem ekonomi (Mansell, 2004), tidak terkecuali Indonesia. Perubahan situasi politik dan ekonomi apapun dalam suatu negara akan berpengaruh kepada industri media. Karenanya, ‘perkawinan’ antara politik dan bisnis dalam media merupakan hal yang dapat dimengerti. Kondisi ini telah menggeser warga negara menjadi melulu pemilih dalam hal dinamika politik, dan sebagai ‘pelanggan’ dalam kepentingan bisnis. Media pun tidak lagi menyediakan ruang publik bagi warga negara (Habermas, 1989), di mana setiap warga negara dapat bertukar dan terlibat dalam wacana.

Dalam menelaah persoalan ini, kami menggunakan perspektif hak warga negara. Dalam penelitian ini, ‘hak’ merujuk kepada nilai-nilai yang tertulis dalam Universal Declaration of Human Rights.5 Sebagian besar aktivis media seringkali menggunakan Artikel 19 dalam DUHAM6 untuk mempertahankan hak media ― dalam kasus ini, institusi pers maupun wartawan — namun seringkali yang lebih dibutuhkan adalah perlindungan warga negara dalam ruang lingkup kebebasan media yang semakin sempit dan terbatas. Berdasarkan gagasan tersebut, kami berpendapat bahwa yang perlu ditingkatkan bukanlah sekadar hak media per se, namun juga akses (kepada media), sesuatu yang mendefinisikan kewarganegaraan (alih-alih pelanggan) dalam ranah media.

Melalui konsep hak warga bermedia, kami meminjam apa yang dirumuskan oleh UNESCO (Joseph, 2005)7 dan menggunakannya untuk meneliti bagaimana warga negara menggunakan hak mereka di dalam tiga aspek: a) akses warga negara terhadap informasi; yang tanpanya mereka akan tercerabut dari perkembangan dan transformasi kehidupan mereka sendiri; b) akses warga negara terhadap infrastuktur media; yang tanpanya, akses kepada informasi dan konten media lainnya tidak akan mungkin didapat; dan c) akses warga negara terhadap kerangka kebijakan, yang tanpa hal tersebut, warga negara akan tertinggal dalam proses pengambilan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Kami juga bermaksud untuk meluaskan pemahaman akan hak warga negara, dengan

5 Lihat http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml

6 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).

7 Lihat juga http://www.unesco.org/new/en/communication-and-information/flagship-project-activities/ world-press-freedom-day/previous-celebrations/worldpressfreedomday200900/themes/empowering-citizenship-media-dialogue-and-education/

2. Hak Warga Bermedia:

(23)

memasukkan perspektif etika media, pengawasan media, akses terhadap informasi, dan infrastuktur informasi, serta wacana akan peran media dalam masyarakat.

2.1 Media: Antara Medium dan Pesan

Media memainkan peran sentral dalam masyarakat masa kini. Melalui media, masyarakat dapat bertukar informasi, pandangan, gagasan, serta wacana yang mendorong perkembangan masyarakat untuk terus berjalan. Dalam masyarakat modern, media tertanam secara kuat pada kehidupan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa tidak ada permasalahan sosial yang tidak melibatkan media. Istilah media sendiri berasal dari bahasa Latin (kata tunggal: medium-ii) yang berarti sesuatu yang berada di tengah-tengah. Media juga dapat berarti sesuatu yang ‘terlihat secara publik’, ‘milik publik’ atau ‘mediasi’; dan karenanya mengacu pada ruang yang dimiliki oleh publik — locus publicus. Mengacu pada pemahaman tersebut, esensi media tidak dapat dipisahkan dari keterhubungannya dengan ruang privat dan publik, yang acapkali problematis. Media memperantarai kedua pihak untuk mencari kemungkinan(atau ketidakmungkinan) dalam kehidupan bersama.8 Dalam pemahaman ini, ranah media memang diartikan secara sangat luas, mulai dari ruang secara fisik seperti pengadilan, plaza, teater dan tempat pertemuan publik, hingga ke wujud non-fisik seperti koran, radio, televisi, dan internet, serta aneka bentuk ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Pemahaman secara luas ini yang kami pakai dalam penelitian ini.9

Berdasarkan latar belakang tersebut, ‘alasan adanya’ media adalah untuk menyediakan ruang bagi publik untuk berinteraksi dan terlibat di dalam ranah publik secara bebas. Singkatnya, tujuan media adalah melayani gagasan kehidupan ‘sipil’. Gagasan ini dapat ditelusuri dari pandangan Habermas mengenai ruang publik (Habermas, 1984, Habermas 1987). Dia mendefinisikan ruang publik sebagai perjumpaan antara individu privat untuk mendiskusikan masalah-masalah yang menjadi isu bersama ― dan dengan kekuatan media, ide perseorangan dapat dengan cepat berubah menjadi opini publik. Pemikiran ini tidak hanya berpusat pada pemahaman mengenai bagaimana rasionalitas publik “dibuat”, bahwa seharusnya ada perhatian khusus mengenai mengenai batasan ranah pribadi dan publik, namun sekaligus memberi petunjuk bahwa publik akan selalu terhubung erat dengan politik (Habermas, 1989).10 Sebagai tambahan dari gagasan ini, hal yang tidak kalah penting adalah memastikan ketersediaan akses bagi suara-suara minoritas dan kelompok rentan demi menjamin ruang publik berfungsi dengan baik (Ferree, Gamson et al., 2002).

Kembali kepada gagasan Habermas (1989), ranah publik yang ideal adalah yang dapat diakses oleh semua orang dan memiliki otonomi yang tidak dapat diganggu atau diklaim oleh negara atau pasar. Adalah penting untuk menggarisbawahi hal ini karena gangguan pada otonomi tersebut berpotensi mengancam keseimbangan dan dapat mendesakkan kepentingan masyarakat, terutama aneka kelompok rentan, ke tepian ranah publik. Lebih lanjut, ruang publik tidak bersifat tunggal, tetapi plural: ranah publik tidaklah satu, melainkan jamak (Habermas, 1984). Karena ruang publik mencerminkan pluralitas karakter dari masyarakat itu sendiri, maka adalah alamiah bahwa ruang publik yang sama seharusnya mengakomodasi perbedaan opini dalam masyarakat.

Senada dengan Habermas, Marshall McLuhan dalam ‘Understanding Media: The Extension of Man’ (1964) mengajukan sebuah desain yang mampu menyediakan keterwakilan pemerintah secara tidak langsung melalui perkembangan teknologi media untuk meluaskan model partisipatif yang baru di mana semua orang dapat terlibat. McLuhan memperhitungkan pentingnya keterwakilan karena jika digabungkan, dampak dari masalah kenegaraan dan kemasyarakatan akan menjadi terlalu banyak, terlalu kompleks, dan terlalu membingungkan untuk dapat dipecahkan oleh warga negara secara perseorangan

8 Sebagian besar isi dari paragraph ini diambil dari ringkasan presentasi Dr. B. Herry-Priyono, SJ tanggal 5 Oktober 2011, saat memberikan materi pada Critical Research Methodology (CREAME) Training di Yogyakarta, sebagai bagian dari proyek penelitian ini.

9 Kami juga merujuk pada pemahaman ini dalam laporan-laporan kami sebelumnya (Nugroho, Putri et al., 2012:20-21, Nugroho, Siregar et al., 2012:19)

(24)

(Lippmann, 1927, sebagaimana dikutip oleh Levinson, 1999).11 Untuk itu, McLuhan berpendapat bahwa teknologi media yang sedang berkembang ini tidak hanya memungkinkan masyarakat lokal mengakses dunia, tetapi juga menciptakan bentuk partisipasi baru di mana semua orang dapat terlibat dalam aneka isu global.

Harus diakui bahwa kemampuan media untuk menciptakan model partisipasi baru telah mendukung persebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia (Mansell, 2004, Castels, 2010). Namun demikian, hal ini tentu memiliki problematikanya sendiri. Lippman (1922) berpendapat bahwa masalah dasar media dalam demokrasi adalah ketepatan berita dan perlindungan narasumber yang akan semakin mengintensifkan cacatnya pengaturan opini publik.

Lebih lanjut, Lippmann (1992) mengungkapkan peran media masih belum mencapai apa yang diharapkan12 dan bahwa penciptaan kesadaran masih terjadi:

Penciptaan kesadaran bukanlah suatu hal baru. Hal tersebut sudah lama dikenal; dan seharusnya sudah punah seiring dengan munculnya demokrasi. Namun demikian, ternyata itu belum mati. Bahkan, dalam kenyataannya penciptaan kesadaran telah berkembang dengan luar biasa pesat, terutama dalam teknisnya karena kini hal itu telah didasarkan pada analisis, alih-alih norma yang berlaku umum. Untuk itu, sebagai hasil dari penelitian psikologis serta cara-cara komunikasi modern, praktik demokrasi telah berganti. Revolusi kini telah menggantikan tempatnya, dan yang jelas, hal ini lebih signifikan dibandingkan pergantian kekuatan ekonomi (hal. 87).

Herman dan Chomsky (1988) lebih lanjut membahas isu ini dengan memberi peringatan bahwa media memiliki kapasitas sebagai salah satu alat propaganda karena kemampuan mereka untuk mengatur opini publik.

‘Tujuan sosial’ dari media adalah untuk menanamkan dan membela agenda ekonomi, sosial, dan politik dari kelompok terpilih yang mendominasi masyarakat domestik dan negara. Media melayani tujuan ini melalui beberapa cara: pemilihan topik, distribusi dan pembentukan isu, menyaring informasi, penekanan, dan dengan menjaga agar suatu perdebatan berada dalam lingkup alasan yang dapat diterima (Herman dan Chomsky, 1988: xi).

Bagi Herman dan Chomsky, sepertinya media selalu rentan untuk dimanipulasi dan digunakan oleh kelompok tertentu yang memiliki kekuasaan di atas kelompok lain (sebagaimana dikatakan Nugroho, Putri, dkk, 2012, hal.22).13 Manipulasi ini jelas-jelas membahayakan keberimbangan ruang publik. Ketika kelompok dengan kekuasaan lebih besar diuntungkan, kelompok yang lebih lemah kehilangan keistimewaan mereka sebagai sesama aktor dalam ranah publik. Menanggapi hal ini, Levinson (1999, yang meneruskan argumentasi McLuhan, 1964) menyatakan pentingnya peran masyarakat untuk turut mengontrol media dengan mendefinisikan kembali ‘medium sebagai pesan’ (the medium as the message). Dengan adanya konsep ini, Levinson menggaungkan kembali apa yang telah dijabarkan oleh McLuhan bahwa implikasi sosial dari medium atau ‘perantara’ ini harus diidentifikasi daripada sekadar mengartikan pesan yang mereka bawa (McLuhan, 1964). Pengartian kembali (redefinisi) ini sangat penting dalam studi kami guna menggali kaitan antara media dan masyarakat, karena audiens cenderung untuk berfokus kepada konten (misalnya sinetron), namun gagal untuk memahami elemen struktural (seperti obsesi ilusif akan gaya hidup perkotaan) yang memiliki dampak signifikan terhadap realitas kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan kultural.

11 Pernyataan ini diambil dari Walter Lippmann dalam bukunya The Phantom Public; (Lippmann, 1927), yang dikutip dalam Levinson (1999:72)

12 Bagi Lippmann, masalah ini muncul dari ekspektasi bahwa media (pers) dapat membenarkan/menambal kekurangan dari teori demokrasi. Dalam hal ini, media (media cetak) oleh para demokrat dianggap sebagai panacea untuk kekurangan mereka. Sementara analisis dari hakikat pemberitaan dan basis ekonomi dari jurnalisme tampak menunjukkan bahwa media cetak tak pelak lagi merefleksikan, dan oleh karenanya, dalam skala besar maupun kecil, semakin membunyikan kekurangan dari organisasi tersebut dalam opini publik.

(25)

Dalam dunia kapitalis sebagaimana terjadi saat ini, apa yang diungkapkan oleh McLuhan dapat kita pahami dengan baik ketika kita melihat praktik media saat ini baik sebagai sebuah industri maupun sebagai suatu sektor dalam masyarakat. Karena perkembangan media telah jauh mengubah masyarakat menjadi ‘masyarakat yang haus akan informasi’ (Castells, 2010), akumulasi profit telah menjadi tujuan utama dari media masa kini; alih-alih menyediakan ‘konten yang beradab’. Yang dimaksud ‘konten yang beradab’ di sini adalah sekumpulan materi yang membantu publik untuk menjadi lebih dewasa dan membantu berefleksi lebih dalam perihal isu dan wacana publik, seperti misalnya konten yang mencerminkan keberagaman masyarakat dan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat — khususnya kelompok rentan — berhak untuk mendapatkan liputan dan penggambaran yang akurat dalam media. Mengingat akumulasi profit telah mengubah media menjadi saluran dari produksi massa, mereka juga telah dikontrol oleh para aktor yang berlibat dalam proses produksi tersebut.

Secara jelas, media secara terus menerus telah berperan dalam menentukan dan membentuk ulang cara-cara di mana seorang individu, maupun masyarakat dan sebuah kebudayaan mempelajari, memaknai, dan memahami dunia. Dengan bantuan teknologi, media kini mampu menyebarkan informasi tertentu kepada sekelompok massa dalam seketika. Kekuatan media sedemikian besar, sehingga dapat memaksakan ‘asumsi, bias, dan nilai-nilai’ (McLuhan, 1964). Mengingat media memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat kita, maka media menjadi arena yang diperebutkan. Demikian, upaya untuk mengontrol media telah semakin terkait erat dengan upaya mengontrol publik dalam hal wacana, kepentingan, dan bahkan cita rasa (Curran, 1991). Pihak-pihak yang memegang kekuasaan atas media akan mendapatkan keuntungan sedangkan kelompok yang lemah (dan dilemahkan) akan terbuang tanpa suara karena mereka tidak memiliki kekuatan untuk masuk ke dalam sistem. Prinsip dasar dari media, baik fisik maupun non fisik, telah beralih dari medium dan mediator ruang publik yang dapat menggerakkan keterlibatan kritis dari warga negara (Habermas, 1984, Habermas, 1987, Habermas, 1989), menjadi sekadar alat bagi mereka yang berkuasa untuk ‘membentuk kesadaran’ (Herman dan Chomsky, 1988). Gagasan ini penting untuk memahami dinamika media saat ini, khususnya media massa, apapun bentuknya.

Setelah menguraikan beberapa ide dasar mengenai peran media dalam masyarakat, satu hal yang jelas adalah bahwa kerja media sangat bergantung tidak hanya kepada kepentingan ekonominya, melainkan juga terhadap pengaruh politik. Karenanya, pemahaman mengenai politik ekonomi media menjadi sangat penting untuk mengungkap bagaimana relasi kekuasaan dalam media bekerja dan bagaimana motif ekonomi mendorong mereka. Pemahaman ini akan membantu untuk mencegah media kehilangan fungsi sosialnya, sekaligus raison d’etre (alasan keberadaan) mereka.

2.2. Hak Warga Negara terhadap Media: Penanda Status

Kewarganegaraan

Akses kepada informasi, yang mana media merupakan salah satu salurannya, merupakan suatu hal yang penting bagi penentuan nasib sendiri, bagi partisipasi sosial dan politis, dan bagi pembangunan (Samassekou, 2006). Karena itulah kesadaran baru bahwa warga negara memiliki suara dalam media mulai terangkat; sebab media, dalam beberapa hal, merupakan suatu prasyarat untuk demokrasi. Kekuasaan media massa dapat mendorong partisipasi kelompok yang diperintah dalam lingkup pemerintah mereka. Karenanya, hal tersebut dianggap sebagai landasan demokrasi (Arnstein, 1969). Selain itu, kekuatan media massa yang besar ini sangat penting artinya bukan hanya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan, tetapi juga dalam membentuk nilai dan norma, mencetak perilaku dan tindakan, dan mempengaruhi proses kehidupan. Akses dan kekuatan yang seimbang ini khususnya akan memampukan kelompok-kelompok rentan untuk menggunakan hak mereka dan turut mengambil bagian dalam keterlibatan sipil karena mereka memiliki saluran yang dapat menggaungkan suara lemah mereka.

(26)

memampukan warga negara untuk menggunakan haknya dengan mempertahankan karakter publik yang dimilikinya dan menyediakan ruang untuk keterlibatan publik. Akan tetapi, belakangan ini hak warga negara terhadap informasi — dan juga kebebasan berekspresi — telah terancam, karena saat ini hampir mustahil untuk memiliki media yang independen, yang sama sekali bebas dari kelompok dengan kepentingan khusus, baik kepentingan politis maupun ekonomis. Di samping itu, semakin sulit pula bagi kelompok minoritas dan rentan untuk menyalurkan suara mereka dalam ranah publik karena mereka memiliki kekuatan yang sangat terbatas dalam mengakses media. Situasi ini juga berarti bahwa kepentingan suara-suara di arus bawah ini (Habermas, 1989) tidak terwakilkan; dan sebagai hasilnya, kelompok warga negara ini tidak mampu berpartisipasi secara utuh dalam proses pembuatan kebijakan yang penting.

Demokrasi bermula dari masyarakat. Masyarakat demokratis yang sesungguhnya bergantung kepada populasi yang melek informasi dan mampu membuat pilihan politis. Oleh karenanya, informasi dan komunikasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Dengan penanda yang serupa, demokratisasi komunikasi merupakan syarat demokrasi. Isu mengenai hak warga negara terhadap media, khususnya partisipasi media dalam pembuatan kebijakan atau dalam pembuatan berita itu sendiri telah lama menjadi pembicaraan di tataran lokal maupun global. Hal ini terjadi karena warga negara dari seluruh penjuru dunia, dengan perlahan tapi pasti, telah sadar akan gagasan bahwa mereka memiliki hak dalam media, bahkan ketika mereka tidak selalu dianggap sebagai pemangku kepentingan oleh pemegang kekuasaan, baik itu pemerintah maupun organisasi media. Kesadaran baru ini didasari oleh pemahaman bahwa, di dunia saat ini, media massa memainkan (dan dalam pengertian tertentu, menggantikan) suatu peranan penting, yang dahulu dipegang oleh keluarga, komunitas, agama, serta lembaga pendidikan formal. Semakin banyak orang yang menyimpulkan bahwa merupakan suatu hal yang penting bagi publik untuk secara kritis sadar akan media — tidak hanya dalam hal program, tetapi juga dalam berbagai hal yang menentukan kebijakan, seperti struktur institusi, pembiayaan, dan regulasi (Joseph, 2005). Jensen (2006) bahkan menekankan pentingnya audiens untuk memainkan peranan yang lebih aktif dalam struktur media daripada sebatas sebagai pengguna dan konsumen. Audiens didorong untuk terlibat sebagai produser (pendamping) yang membuat konten sehingga dapat memberikan nilai kepada kewarganegaraan itu sendiri.

Sementara orang di seluruh dunia mulai mengerti bahwa mereka perlu untuk bersikap kritis kepada media, termasuk dalam hal kebijakan dan struktur institusi di sekitarnya, proses demokratisasi komunikasi masih tetap membutuhkan masukan dari negara untuk menjamin akses ini. ‘Hak’ dipandang sebagai ‘hak’ jika, dan hanya jika, seseorang/sebuah pihak dapat menjamin keberadaannya. Karena itulah, berkaitan dengan hal ini, hak warga negara memerlukan penjamin, yaitu negara. Negara diperlukan untuk mengaktifkan hak-hak ini, yang juga akan menjadi penjamin dari pelaksanan hak dasar lainnya.

2.3. Hak Warga Negara kepada Media: Peranan Negara

Konsep ‘warga negara’ mengindikasikan bahwa ‘negara’ yang memiliki masyarakat berada dalam hubungan hak dan status yang legal dan bahwa segala aktivitas yang selayaknya terjadi didefinisikan dalam relasi masyarakat dengan negara. Bertentangan dengan konsep ini, konsep konsumen merupakan subjek yang tidak bernegara, tidak berakar, yang segala aktivitasnya terdiri dari tindakan memilih dan membeli dalam suatu pasar di mana produk dari semua negara berdesak-desakan untuk mendapatkan tempatnya di rak (Hilmes, 2004).

(27)

Namun jelaslah bahwa sebuah negara yang makin lama makin menjadi satu pada akhirnya bukan lagi merupakan negara. Negara menurut kodratnya adalah sebuah kemajemukan. … Di samping itu negara tidak hanya terdiri dari banyak manusia, melainkan pula dari orang-orang yang berbeda-beda jenisnya. Negara tak dapat terjadi dari orang-orang yang sama sekali sama (Aristoteles, Politik, 1261a16-25).

Aristoteles menyiratkan bahwa keberagaman individu dalam suatu proses politik telah ditanamkan dalam konsep kewarganegaraan. Konsep ini berasumsi bahwa setiap individu, yang berbeda-beda dalam keunikannya, memiliki hak yang sama di hadapan hukum. Dengan memberikan setiap warga negara hak dan partisipasi yang samalah, proses pembuatan kebijakan publik dapat terlaksana. Selain itu, konsep partisipasi publik merupakan fondasi demokrasi. Alexis Tocqueville dalam De la democratie en Amrique (1835 (2010)) menggambarkan hal ini: “kesetaraan kondisi sosial” merupakan semangat/ dasar dari demokrasi.

Karena secara alamiah manusia adalah makhluk yang tidak cukup-diri (tidak autarkis; tidak dapat menghidupi diri sendiri), mereka berbeda satu dengan lainnya dan untuk itulah saling membutuhkan satu sama lain; manusia perlu untuk berkomunikasi untuk proses pengungkapan diri dan pemenuhan kebutuhan (Aristoteles, 1944, bagian 1261a16-25). Komunikasi merupakan proses pengungkapan diri terhadap individu berbeda.14 Demikian dari sudut pandang ini, komunikasi mengandaikan dan menjadi aspek utama keberagaman. Berkaitan dengan pandangan ini, Habermas juga mengajukan pentingnya komunikasi dalam negara modern kontemporer, baik dalam sistem politik maupun ruang publik. Ranah publik sebagai ruang bagi wacana publik untuk menghasilkan opini publik dan aspirasi berarti membentuk kontrol tidak langsung bagi pihak pemerintah. Dengan cara yang sama, opini dan aspirasi sebagai partisipasi publik juga disalurkan melalui perwakilan warga. Persis dalam kerangka inilah media juga dapat memainkan peran signifikan dalam menyalurkan aspirasi publik.

Dalam kaitannya dengan Aristoteles dan Habermas, sangatlah penting bagi setiap warga negara untuk mendapatkan akses yang layak kepada media. Tanpa keterlibatan setiap warga negara dalam menggunakan haknya atau berpartisipasi penuh dalam proses demokrasi, ideologi kebangsaan tidak lagi memiliki arti. Hak warga negara terhadap media adalah ‘hak yang memungkinkan’ (enabling rights) karena hak ini memiliki kesanggupan untuk memastikan bahwa hak-hak dasar yang lain tersedia dan terlindungi dengan baik. Dengan menjamin akses yang layak kepada media, warga negara akan memiliki kesempatan untuk membentuk pengetahuan dan kebudayaan, dan karenanya dapat memperkaya kebudayaan, komunikasi, dan demokrasi secara utuh. Untuk itulah, perlindungan bagi hak warga negara terhadap media yang akan memungkinkan terwujudnya seluruh dambaan ini menjadi sangat penting.

Adapun tantangan yang kini dihadapi dewasa ini adalah bahwa kepentingan yang tertanam dalam media industri telah memperlakukan gagasan penciptaan konten secara partisipatif (bottom up) dan penyediaan akses yang setara sebagai ancaman, alih-alih sebagai suatu bagian yang melengkapi demokrasi dan kebudayaan modern. Pendekatan neoliberal secara terbuka semacam ini bahkan telah menggarisbawahi bahwa media adalah bagian dari sistem pasar. Dari sudut pandang ini, output dari media adalah komoditas. Dinamika media pun lantas terjerembab ke dalam hukum pasar. Pengecualian memang selalu ada, namun gejala utama tidak lagi dapat disembunyikan. Lebih lanjut, dengan menggunakan logika pasar, audiens – sebagai kumpulan konsumen – menjadi objek individualisasi di mana pasar dapat mengkapitalisasikan perbedaan kelas, gender, umur, cita rasa, dan lain sebagainya, untuk keperluan diferensiasi dan segmentasi. Dalam pandangan konsumerisme inilah, para audiens memiliki ruang yang sangat terbatas untuk berekspresi. Sementara secara ideal warga negara dapat mengakses setiap aspek kehidupan budaya, sosial, politik, dan ekonomi; konsumen hanya dapat menemukan ekspresi mereka dalam pasar. Karena itu, ketika media dijalankan dengan menggunakan logika bisnis semata, dan lantas membuat informasi melulu sebagai komoditas serta mengkapitalisasikan konten; kondisi ini akan membawa pengaruh buruk pada partisipasi publik. Kondisi yang demikian dapat menegasi pemberdayaan audiens sebagai warga negara karena hak budaya, politik, hukum, sosial, dan ekonomi mereka terabaikan.

(28)

Perlindungan hak warga negara mengasumsikan dan membutuhkan dua hal. Pertama, pada level individu dan komunitas, warga negara perlu memahami kemampuan media dan fakta bahwa media dapat mendorong perubahan kebudayaan. Dengan kata lain, warga dan komunitas perlu diberi peningkatan kapasitas dan pemberdayaan untuk tidak hanya menggunakan, tetapi juga menciptakan konten pada media. Kedua, dalam tataran kebijakan dan tata kelola, yakni akses layak terhadap media – baik dalam artian infrastruktur maupun konten – perlu untuk disediakan dan dijaga. Karenanya, perlindungan hak-hak warga negara kepada media juga membutuhkan peran dari pihak pemerintah.

Berbicara tentang hak terhadap media merupakan isu yang menarik jika kita memasukkan wacana tentang ‘kebebasan’. Dengan menggunakan bahasa sistem pasar, ‘kebebasan’ berarti kebebasan untuk memilih sesuai dengan cita rasa perorangan, atau ‘preferensi’ dalam terminologi ekonomi: eligo ergo sum - saya memilih, maka saya ada (Wolfson, 1994). Jika kita berhenti di sini, hal tersebut terdengar sangat elok. Kendati demikian, pendekatan neoliberal semacam ini cenderung menggerus makna preferensi hanya sebatas daya beli. Orang tidak akan memiliki kebebasan untuk memilih ketika mereka tidak memiliki daya beli. Dan bagaimanakah kita memiliki daya beli jika tidak memiliki wadahnya? Hak mengandaikan kebebasan. Kebebasan sebagai otonomi, yaitu kemampuan untuk mengatur diri sendiri, merupakan fondasi dari hak (Beiser, 2005, hal.197). Jika seseorang memiliki hak, itu berarti dia memiliki kebebasan tertentu atas hal tersebut. Namun demikian, dalam kaitannya dengan hak warga negara terhadap media, apakah benar bahwa warga negara bebas untuk memilih dan mengakses informasi? Ataukah sebaliknya, di mana warga negara hanya memiliki pilihan yang amat terbatas dan memilih di antara apa yang telah disediakan saja? Ketika warga negara disuguhkan pada beragam pilihan bebas, yang terjadi adalah pilihan. Pilihan tersebut dibuat dari kekosongan dan jenis yang sama, karenanya, yang disebut sebagai ‘hak untuk memilih’ sesungguhnya merupakan terminologi formal belaka, melainkan tanpa isi.

2.4. Gagasan Hak Warga Negara terhadap Media: Tiga Area

Ide mengenai hak warga negara selalu disepakati oleh segenap pemangku kepentingan dalam ranah media. Hal ini mirip dengan gagasan partisipasi warga negara. Partisipasi dari yang diperintah dalam lingkup pemerintahan adalah, dalam teorinya, landasan demokrasi – suatu ide yang dihormati dan dirayakan oleh semua orang (Arnstein, 1969). Hak warga negara terhadap informasi, di sisi lain, hanyalah salah satu aspek dari keseluruhan isu hak warga negara terhadap media yang perlu untuk dipenuhi (Joseph, 2005). Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga negara untuk menikmati hak-hak mereka dengan mempertahankan karakter publiknya dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil.

Hak di sini mengacu kepada rumusan DUHAM15 – sejalan dengan pandangan aktivis yang menggunakan Artikel 19 DUHAM16 dalam membela hak bermedia, terutama terkait institusi pers dan profesi jurnalis. Kami berpendapat bahwa hal yang paling penting diperhatikan saat ini adalah bagaimana melindungi warga negara yang memiliki kebebasan terbatas terhadap media. Kami berpandangan bahwa akses warga negara terhadap ranah media merupakan cara untuk memperbaiki hak bermedia. Dengan mengajukan ‘akses’, kami menggarisbawahi elemen utama yang mendefinisikan kewarganegaraan – daripada konsumen/pelanggan – dalam studi media. Karenanya, perhatian kami berpusat pada gagasan mengenai ‘hak warga negara’ dalam tiga area berikut17:

Pertama: Akses warga negara terhadap informasi. Akses terhadap informasi memampukan

kelompok yang paling rentan sekalipun untuk terlibat dalam pembangunan manusia dan memiliki

15 Lihat http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml.

16 Artikel 19 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menuliskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).

(29)

potensi untuk mengubah hidupnya. Dalam hal ini, ada dua aspek hak yang terlibat: 1) akses terhadap informasi yang terpercaya, dan 2) kemampuan untuk menghasilkan informasi. Tanpa informasi yang spesifik mengenai, misalnya, hak atas kesehatan, perumahan, dan pekerjaan, warga negara tidak akan mampu menjalankan/menikmati hak-haknya tersebut. Hal ini juga dapat dilihat sebagai kesempatan untuk memberdayakan warga negara – tidak terbatas kepada kelompok rentan saja – bahwa informasi yang terpercaya dapat membantu warga negara dalam membuat keputusan yang tepat terkait kehidupan mereka sendiri atau untuk terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang terkait dengan kewarganegaraan mereka. Demikian pula halnya dengan hak warga negara untuk menghasilkan informasi. Hak tersebut harus dilindungi karena mampu membuat mereka menciptakan konten yang dapat dibagi antar sesama warga untuk kepentingan pemberdayaan diri. Seringkali, penciptaan konten dari pengguna yang bersifat bottom-up (bawah ke atas) mengarah kepada penciptaan informasi terpercaya dari bawah ke atas pula. Kendati demikian, akses terhadap hal ini juga mengandaikan akses yang lain, yakni akses ke infrastruktur yang mendukung penciptaan konten.

Kedua: Akses warga negara terhadap infrastruktur media. Akses terhadap media bagi warga

negara membutuhkan dan mengandaikan kesempatan dan akses yang setara pada infrastruktur. Dalam konteks Indonesia, sebagian besar infrastruktur media dan telekomunikasi tidak tersebar secara merata. Radio memang telah menjangkau sebagian besar wilayah negara, disusul oleh televisi (terutama yang dikelola oleh negara), namun kualitas infrastruktur media, khususnya dan terutama kabel kecepatan tinggi untuk mengakses internet, hanya terkonsentrasi di Jawa, Bali, serta bagian barat Indonesia. Dengan kemajuan konten yang tersedia di dalam media berbasis internet, di mana konten dihasilkan oleh pengguna, situasi ini menghambat kapasitas warga negara dalam memproduksi dan menyalurkan konten yang mereka buat (Nugroho, 2011).

Ketiga: Akses warga negara untuk andil dalam perumusan kerangka kebijakan. Kebijakan publik,

dan kerangka perundangan secara umum, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan warga. Namun demikian, warga negara yang tidak melek informasi dan tidak memiliki kapasitas lantas tidak dapat berpartisipasi dalam proses penting ini – suatu hal yang acap kali terjadi di Indonesia. Pemberdayaan masyarakat karenanya adalah suatu hal yang tidak dapat ditawar, guna memastikan partisipasi mereka dalam proses perumusan kebijakan, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak mereka, dan dalam hal ini hak-hak yang berhubungan dengan media.

Pemenuhan ketiga hak di atas merupakan gagasan sentral dalam masyarakat modern yang kehidupannya sebagian besar bergantung kepada berbagai jenis media. Pemenuhan hak-hak ini penting dalam pemberdayaan individu dan komunitas tertentu sehingga mereka dapat memperoleh peran yang lebih besar dalam masyarakat. Melalui penciptaan, penyebaran, dan berbagi informasi dan pengetahuan, masing-masing individu, komunitas, atau masyarakat dapat membangun dan memberdayakan diri mereka sendiri. Untuk memanfaatkan kesempatan ini, diperlukan keterbukaan dan kemampuan untuk merangkul dan merefleksikan sejumlah sudut pandang dan realitas yang berbeda, tetapi pada saat yang bersamaan juga menyediakan kesempatan belajar bagi kita semua (Samassekou, 2006).

(30)

dalam media (Jorgensen, 2006). Pengabaian hak warga negara terhadap media akan memiliki dampak yang besar, bukan hanya kepada proses demokratisasi, tetapi juga kepada kehidupan setiap warga negara.

2.5. Menjamin Hak terhadap Media, Melindungi Hidup Bersama

Media ada untuk menciptakan atau menemukan kemungkinan bagi kemajuan hidup bersama. Sebagai elemen utama dari perkembangan masyarakat, media perlu memberikan ruang kepada publik untuk berinteraksi dengan bebas dan terlibat dalam masalah-masalah publik di ranah publik (Habermas, 1987, Habermas, 1984). Dalam konteks negara demokrasi baru seperti Indonesia, media terbukti memiliki peran penting, yakni sebagai ‘Fourth Estate’ atau Pilar Keempat(Carlyle, 1840:392, Schultz, 1998:49).

Media diberikan mandat untuk menjalankan aktivitasnya dengan mengikuti ideal ini. Namun, perkembangan industri media yang berorientasi pada logika pasar dalam beberapa hal telah berperan dalam mengubah karakter ruang publik. Ketiadaan kebijakan tentang media yang seharusnya mampu mengatur industri media membuat situasi ini bertambah runyam. Meskipun masalah ini telah diangkat, kami berpendapat bahwa media telah semakin berkurang perannya dalam memberadabkan masyarakat melalui progamnya dan hal ini dapat berdampak serius bagi hak warga negara terhadap infrastuktur media, konten, dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.

Karena hampir tidak mungkin untuk menemukan media independen yang bebas dari pengaruh kepentingan kelompok, ekonomi dan politik inilah, maka khususnya bagi kelompok minoritas dan kelompok rentan – yang sayangnya dipandang sebelah mata oleh kelompok mayoritas – akan menghadapi tantangan yang berat untuk menyalurkan suaranya di ranah publik. Kondisi semacam ini berarti kepentingan kelompok minoritas atau suara dari bawah (Habermas, 1989) tidak dapat terwakilkan dengan semestinya. Selain itu, bagi kelompok warga negara semacam ini, ruang untuk berpartisipasi penuh dalam proses perumusan kebijakan yang penting pun tidak tersedia.

Kondisi ini pada akhirnya akan berbahaya tidak hanya bagi proses demokrasi, tetapi juga bagi pelaksanaan hak warga negara, dalam kehidupan politik maupun sehari-hari. Karena media cenderung untuk memprioritaskan kepentingan tertentu di atas kepentingan publik, diskursus terkait persoalan publik ini seringkali diletakkan dalam daftar paling bawah. Situasi ini mengancam pelaksanaan hak warga negara karena mereka kehilangan ruang untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan wacana yang terkait erat dengan hidup mereka. Sebagaimana konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan media berkembang pesat, sepertinya tidak ada tindakan dari pemerintah untuk melindungi fungsi media sebagai penyedia ruang diskursus publik. Pemerintah benar-benar berperan minimal untuk menyediakan mekanisme yang layak demi memastikan terpenuhinya hak warga negara. Terkait hal ini, sosiolog T.H Marshall mengungkapkan definisi menarik mengenai kewarganegaraan:

Status, yang dimiliki oleh seseorang sebagai anggota penuh dari sebuah komunitas bangsa. Kewarganegaraan memiliki tiga komponen: sipil, politis, dan sosial. Hak sipil penting bagi kebebasan individu dan tertanam di dalam hukum peradilan. Kewarganegaraan politis menjamin hak untuk berpartisipasi dalam penggunaan kekuasaan politis dalam masyarakat, baik melalui pemilihan, atau memegang jabatan pemerintahan. Kewarganegaraan sosial adalah hak untuk berpartisipasi dalam standar kehidupan yang layak; hak ini tertanam dalam sistem kesejahteraan dan pendidikan pada masyarakat modern (Marshall, 1994: 54).

Gambar

Gambar 5.1 Iklan dalam bentuk jacket cover.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyediakan pandangan terhadap (produksi) konten di mana kekuasaan termanifestasi dengan kuat. Dalam menyelesaikan seri laporan mengenai

Dengan adanya kurikulum yang telah diterapkan di atas diharapkan dapat dipelajari oleh semua siswa Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri (SP IAIN) Al-Jami’ah Imam

Format-format pendidikan yang mungkin tersedia di abad ke-21 yaitu Cyber ( E-Learning) yang merupakan belajar atau pembelajaran melalui pemanfaatan

ItulahAlasannya disebut Asimetris.Berbeda dengan Asimetri pada modem 56K, para perancang Khusus ADSL membagi bandwidth yang tersedia dari loop lokal tidak merata

biji kopi yang kurang dari setengah bagian luarnya berwarna hitam, atau satu bintik hitam kebiru-biruan tetapi tidak berlubang atau ditemukan lubang dengan warna hitam yang

(1) Retribusi terutang berdasarkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, SKRDKBT, STRD dan Surat Keputusan keberatan yang menyebabkan jumlah retribusi yang

Famili vespidae yang termasuk genus Vespa termasuk dalam keluarga lebah, tetapi menjadi hama (pemangsa) bagi lebah madu. Jenis semut paling banyak ditemukan yaitu

Sebuah sistem ETL yang dirancang dengan baik akan mengekstrak data dari sistem sumber, memberlakukan standar kualitas data dan konsistensi data, melakukan penyesuaian data