• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendulum antara Kewarganegaraan dan Konsumerisme: Sebuah Kesimpulan

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 63-66)

Suatu Tinjauan terhadap Data

4.4. Pendulum antara Kewarganegaraan dan Konsumerisme: Sebuah Kesimpulan

Dari analisis pada bagian sebelumnya, kami dapat mengamati bahwa media kita bersifat Jakarta-sentris dalam hal konteks geografis, Islam-sentris dalam hal orientasi keagamaan dan Jawa-sentris dalam konteks identitas etnis. Karakteristik ini mengemuka secara simultan ketika fungsi media diharapkan menjadi sistem yang mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat. Sebagai institusi “Fourth Estate”/Pilar Keempat (Carlyle, 1840, Schultz, 1998), kontribusi media dalam memperkaya ranah publik seharusnya menjadi hal yang wajib ada pada masyarakat demokratis.

Konsep warga negara tercermin ketika sebuah ‘bangsa’ di mana publik berada dalam hubungan hak dan status yang legal dan ketika aktivitas yang sesuai didefinisikan sebagai hubungannya dengan negara. ‘Konsumen’, di sisi lain adalah subjek tanpa negara dan tanpa akar di mana aktivitasnya terdiri dari sekumpulan tindakan dan konsumsi pada suatu pasar di mana produk dari seluruh bangsa memperebutkan tempatnya di rak. Lebih lanjut, dalam persepsi pemikiran liberal demokratis, semua warga negara adalah setara; kewarganegaraan merupakan status yang homogen dan kohesif yang idealnya tidak membeda-bedakan warga negaranya, yang tanpa terkecuali ‘semuanya sama di hadapan hukum’. Konsumsi, di sisi lain, biasanya merupakan konseptualisasi dari tingginya tingkat aktivitas individu, di mana perbedaan kelas, gender, usia, wilayah, dan rasa diidentifikasi dan dimanfaatkan oleh pasar – dan bahkan mereka ciptakan jika memungkinkan, demi mendorong diferensiasi dan segmentasi (Hilmes, 2004).

Sebelumnya kami telah menemukan ketegangan yang substantif antara kewarganegaraan dan konsumerisme yang digambarkan di televisi. Dalam kerangka kewarganegaraan, kami mengamati adanya konsentrasi karakter identitas yang berulang – sebagian besar karena adanya kedekatan jarak geografis, agama, dan etnisitas. Hal ini bermuara kepada beberapa hal. Pertama, ini menunjukkan bahwa media tidak hanya berpihak kepada kelompok mayoritas, tetapi juga, dalam beberapa hal memasukkan kepentingan mereka sendiri secara berlebihan. Kedua, media tidak menyediakan ruang yang cukup untuk mengangkat tema mengenai kelompok marjinal, dilihat dari kurang berkembangnya isu ketika meliput konten yang mewakili golongan rentan. Ketiga, keterlibatan warga negara dalam mempengaruhi konten berjalan satu arah dan kurang terwakili. Hal ini terlihat dari banyaknya konten yang menggambarkan kelompok minoritas tetapi diteropong dari lensa kelompok mayoritas.

Dalam kerangka konsumerisme, kami juga telah menyimpulkan beberapa hal. Pertama, media terbukti tidak bergerak berdasarkan fungsi utama mereka dalam melayani warga negara; mereka lebih mengikuti dorongan nilai-nilai konsumerisme dalam hasil produksinya untuk mendapatkan lebih banyak pemasukan melalui iklan. Nielsen sebagai sistem rating tunggal memainkan peranan besar dalam manifestasi hal tersebut. Kedua, ada suatu ketergantungan yang besar antara representasi konten ‘murni’ terhadap nilai konsumerisme (yang didorong oleh pasar), di mana karakteristik unsur kekerasan, kriminalitas, kecelakaan, bencana alam dan selebritas tidak dapat dihindarkan. Terakhir, dan mungkin yang paling penting, adalah bahwa seluruh konstruksi opini dan identitas yang berdasar pada konsumerisme ini masuk dalam pikiran penonton seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini memaksakan suatu model gaya hidup yang penuh dengan kepalsuan dan kepura-puraan, yang menyebabkan penonton terjebak dalam konsumerisme, terisolasi antara satu sama lain dan tercerai- berai (Herman dan Chomsky, 1988, Chomsky 2002).

Karenanya, upaya untuk menjembatani pentingnya kewarganegaraan dan kepentingan konsumerisme sangat diperlukan. Perbaikan internal dan eksternal memainkan peranan yang penting. Secara internal, hal ini dapat dijalankan dengan meningkatkan kualitas produksi konten melalui tindakan dari jurnalis, editor dan pemilik, dan juga melalui sistem rating yang lebih baik yang tidak hanya berfokus dalam memanfaatkan penonton sebagai konsumen. Dari sisi eksternal, dukungan pemerintah yang lebih baik untuk memproduksi jurnalisme yang baik juga merupakan alternatif yang dapat dilakukan dengan lebih signifikan melalui pemberian subsidi, hibah, dan sistem kontrol dan sebagainya (Bell, Anderson dkk, 2012). Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi warga negara dalam mempengaruhi konten, yang dapat dilakukan melalui kontribusi media yang lebih aktif dengan memanfaatkan beragam alternatif yang dimungkinkan dengan adanya media baru. Kesimpulannya, ekologi media yang tidak sepenuhnya tergantung pada iklan merupakan suatu sistem yang lebih kami pilih.

Keberagaman dan keterwakilan yang lebih aspirasional ini hanya dapat terealisasi di media jika kita bergerak dari konten yang didorong oleh konsumsi ke arah dorongan dari warga negara. Inovasi dalam media, tidak hanya sebagai industri, tetapi juga sebagai entitas publik merupakan hal yang penting. Pada bab selanjutnya, kami akan mengetengahkan isu mengenai kerja internal dari industri media dan alternatif apa yang dapat kita ambil untuk membentuk suatu sistem media yang lebih baik.

Menggunakan kekuasaan untuk intervensi, pemilik yang juga politisi, dan profesional yang lemah... Itu adalah kombinasi yang berbahaya [untuk media kita]... Dan hal itu sedang terjadi sekarang ini. (Wawancara dengan DD Laksono, mantan wartawan dan pembuat film dokumenter, 15/01/2013)

Cepatnya perkembangan industri media telah menyebabkan persaingan industri informasi semakin ketat. Ditambah lagi dengan perkembangan teknologi yang menyediakan berbagai moda komunikasi, media menjadi alat yang penting dalam menyebarkan informasi dan hiburan – dua hal yang semakin penting bagi kehidupan warga negara. Dengan beragam pilihan akses terhadap informasi, seperti siar, cetak atau online, media dikondisikan untuk memproduksi konten yang dapat menagkap perhatian warga negara.

Dalam bab ini kami mencoba untuk menilik bagaimana konten diproduksi dan faktor apa sajakah yang mempengaruhi produksi konten sebelum disajikan kepada warga negara. Kami menemukan ada tiga aspek penting yang mempengaruhi produksi konten di media. Pertama adalah bagaimana wartawan mengumpulkan informasi dan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh warga. Sebagai orang pertama yang menerima informasi, wartawan diharapkan mampu menjaga fakta, akurasi dan objektivitasnya terhadap informasi tersebut sebelum disajikan kepada warga. Aspek kedua yang mempengaruhi produksi konten adalah mekanisme ruang redaksi, di mana informasi diteruskan ke otoritas yang berlapis-lapis sebelum disajikan kepada publik. Secara umum, dalam proses editorial, ada nilai-nilai perusahaan tertentu yang harus dimasukkan pada setiap publikasi. Nilai-nilai ini berbeda dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan dalam beberapa hal bertindak sebagai proses sensor yang membentuk informasi dalam konten yang disajikan oleh media. Aspek ketiga adalah intervensi yang tidak mungkin terelakkan, baik dari dalam maupun luar media. Dari dalam, intervensi ini dapat berasal dari proses editorial, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, maupun dari kepentingan pemilik perusahaan; sedangkan dari luar, pengaruh ini berasal dari kepentingan pengiklan, pemerintah maupun sekelompok elit.

Tiga aspek tersebut bersama-sama membentuk konten media dan menciptakan sistem yang mempengaruhi bagaimana media memproduksi konten. Dalam sub-bab berikut, kami menyelidiki bagaimana media bekerja dan bagaimana kaitan antara intervensi, mekanisme editorial, dan kerja dari para wartawan dapat menggerakkan media.

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 63-66)