• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ukuran Keberagaman dan Keterwakilan

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 47-49)

Suatu Tinjauan terhadap Data

4.2. Ukuran Keberagaman dan Keterwakilan

Dalam konteks industri media, ada dua hal penting yang menandakan seberapa sehatnya suatu sistem demokrasi. Pertama adalah melalui pengukuran keberagaman dan yang kedua adalah pengukuran keterwakilan. Kami akan memaparkan bagaimana kami mendefinisikan standar keberagaman dan keterwakilan sebelum kami mulai menganalisis konten media.

Keberagaman media mengacu pada tingkatan heterogenitas konten media. Hal ini termanifestasi dalam dua bentuk, yakni keberagaman reflektif dan keberagaman terbuka (Cuilenburg, 1999). Ada dua perbedaan dari pengukuran ini sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut:

Apakah media berhubungan dengan masyarakat melalui cara-cara yang mencerminkan –secara pro rata – dan menyalurkan preferensi, opini, kedekatan atau karakteristik lainnya sebagaimana yang ada dalam populasi? Ataukan distribusi konten dalam media membagi perhatiannya secara merata untuk semua preferensi, aliran, atau kelompok, atau posisi, yang ada dalam masyarakat? Jika yang digunakan adalah skenario yang pertama, maka media terkait dengan ‘cerminan’ sebagai norma dari keterbukaan media: konten media secara proporsional mencerminkan perbedaan dalam politik, agama, budaya dan kondisi sosial dalam masyarakat melalui cara- cara yang kurang lebih telah proporsional. Jika yang terjadi adalah skenario kedua, maka kinerja media dapat dikatakan berada dalam norma keterbukaan, yaitu di mana media secara seragam, dalam pengukuran matematis yang absolut, telah menyediakan akses yang telah benar-benar adil dalam seluruh salurannya kepada semua orang dan semua ide dalam masyarakat (McQuail dan Cuilenburg, 1983).

Untuk lebih lanjut menjelaskan hal ini, ketika hendak mengukur heterogeneitas konten, keterbukaan reflektif akan menjadi cerminan identik dari apa yang terjadi di masyarakat, dan membuat kelompok mayoritas dikuantifikasi lebih banyak dibandingkan kelompok minoritas. Di sisi lain, keberagaman terbuka akan menghadirkan ilustrasi masyarakat, dengan masing-masing perbedaan yang ada ditampilkan secara berimbang, terlepas dari di golongan mana mereka berada dalam realitanya. Karena penelitian kami bertujuan untuk menelisik seberapa adil konten media di Indonesia dalam suatu peliputan isu, baik itu pada kelompok mayoritas atau minoritas; dan, apakah penggambaran kewarganegaraan yang ada telah cukup mewakili untuk dapat menjadi bagian dari konsumsi nasional, tentunya keberagaman terbuka menjadi ukuran yang paling sesuai dalam hal ini.

Untuk lebih mudah memahami metode yang digunakan, kami mengambil contoh kasus keberagaman dalam konteks agama. Mengacu kepada konsep keterbukaan reflektif, di Indonesia, di mana 87% warganya beragama Islam (BPS, 2010), kami berasumsi bahwa 13% sisa konten akan terbagi menjadi 4 agama resmi lainnya (menggabungkan Kristen Protestan dan Kristen Katolik): Kristen, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu (Agama lokal dan tradisional tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena tidak secara resmi diakui oleh negara). Untuk menerjemahkan hal ini dalam konteks konten media, gagasan keberagaman reflektif (reflective diversity) akan menawarkan suatu kondisi di mana media menampilkan 87% karakter konten yang bersifat Islami dan membagi 13% sisanya untuk meliput konten dengan karakter agama lainnya. Konsep keberagaman reflektif tercermin dalam bagan berikut:

Bagan 4.1. Keberagaman reflektif. Sumber: Cuilenburg (1999).

Di sini kita dapat melihat bahwa peliputan media akan mengakomodasi kelompok mayoritas dan minoritas dalam proporsi yang identik dengan realitas di masyarakat. Hal ini menjadi cerminan sempurna yang mengukur keberagaman. Untuk menjelaskan gagasan ini dalam bentuk angka, keberagaman reflektif berarti dalam setiap 100 jam acara yang mengandung unsur agama, 87 jam akan didedikasikan untuk konten yang mengandung unsur Islam, dan 13 jam sisanya diisi oleh konten dari empat agama lainnya, dengan frekuensi yang sesuai dengan porsi masing-masing dalam masyarakat. Dengan menggunakan contoh serupa, keberagaman terbuka (open divesity) menawarkan kondisi di mana media membagi konten siarannya secara benar-benar merata untuk semua agama terlepas dari adanya mayoritas di negara ini. Dengan kata lain, total 100% isu keagamaan yang diliput oleh media akan dibagi rata untuk 5 agama resmi sehingga masing-masing agama mendapatkan jatah yang sama yakni 20%. Gagasan keberagaman terbuka ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 4.2 Keberagaman terbuka. Sumber: Cuilenburg (1999).

Bagan di atas menunjukkan sebuah garis lurus yang menggambarkan suplai media yang dikuantifikasi. Garis tersebut menggambarkan akses yang sama bagi semua agama baik itu agama mayoritas ataupun minoritas. Garis lurus ini juga mengindikasikan tingkatan maksimum keberagaman media di mana heterogenitas tercermin paling sempurna. Untuk menjelaskannya dalam angka, hal ini berarti setiap 100 jam pemberitaan yang berkaitan dengan isu agama, semua agama dan aliran kepercayaan (Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu Chu, termasuk pula ateisme dan agnostik) memiliki bagian pemberitaan yang benar-benar sama rata, atau masing-masing mendapatkan jatah selama 14.3 jam untuk masing-masing agama dan aliran kepercayaan (100 jam tayang dibagi rata untuk tujuh agama dan kepercayaan yang disebutkan sebelumnya).

Dalam upaya kami mencari bentuk demokrasi yang paling ideal, gagasan keberagaman terbuka – di mana semua perbedaan preferensi, sudut pandang, opini, dan ide yang ada dalam masyarakat dianggap setara atau seragam secara statistik (Cuilenburg, 1999) – terjalin dengan erat dengan konsep ruang publik sebagaimana diungkapkan oleh Habermas (1984) yang mengacu kepada literatur “On Liberty” (Mill, 1985), yang menyatakan bahwa:

Kebenaran, dalam kenyataannya, seringkali merupakan persoalan rekonsiliasi dan kombinasi antara dua kubu yang saling berseberangan, yang hanya beberapa orang yang memiliki pemikiran luas dan tidak berpihak dapat membuat penyesuaian untuk mendekatkan diri kepada kebenaran, dan hal tersebut harus diciptakan melalui suatu perseteruan yang keras antara dua pihak dengan panji-panji yang saling berseberangan (Mill, 1859, hal. 86).

.... Hanya melalui eksistensi keberagaman pendapat, dalam keadaan di mana kecerdasan manusia itu ada, muncul kesempatan yang sama bagi semua sisi kebenaran. Ketika ditemukan beberapa orang yang bersuara berbeda dari kebulatan suara yang ada, apapun subjeknya (dari perbedaan suara ini), bahkan jika kebulatan suara itu merupakan suatu hal yang benar, ada kemungkinan bahwa orang-orang yang tidak setuju ini memiliki suatu hal yang layak untuk dikatakan tentang diri mereka sendiri yang patut didengarkan, dan kebenaran akan kehilangan sesuatu karena mereka tidak berkata apa-apa (Mill 1859, hal. 87).

Media memiliki tendensi untuk meliput satu sisi dari ‘kebenaran’. Keterkaitan yang penting antara media dan penguatan masyarakat ditunjukkan melalui potret warga negara di media. Jika media mampu mengajak warga negara untuk berpartisipasi dan menganggap penonton, pembaca, dan pendengarnya sebagai konsumen aktif dan bukannya pasif, maka masyarakat telah berada dalam kondisi yang lebih baik (Joseph, 2005).

Ide mengenai keterwakilan media dapat dinilai melalui cara-cara kualitatif. Contohnya adalah dengan mengambil sampel dari orang asing, di mana kasus-kasus yang ada merupakan anekdot tetapi secara kuantitatif signifikan, kami tidak hanya mengukur frekuensi variabel atau sub-variabel yang ada tetapi juga variasi reportase yang diterima. Peleburan antara ukuran keberagaman dan keterwakilan adalah instrumen utama dalam menjawab pertanyaan bagaimana konten televisi melayani kepentingan publik. Kami mengajukan suatu analisis mendalam sebagai berikut.

Dalam dokumen Produksi Konten Penentuan Hidup Bersama (Halaman 47-49)