• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENDAMPINGAN PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH

B. Pendampingan Pastoral Bagi Orang Sakit Dalam Gereja

2. Meneladani St. Elisabeth Hongaria

2. Meneladani St. Elisabeth Hongaria

Elisabeth Hongaria adalah seorang ratu yang meninggalkan takhtanya, turun menyamakan diri dengan masyarakat, orang yang disingkirkan dan orang yang menderita sakit. Elisabeth meninggalkan puri yang indah (dunia), dengan memilih hidup miskin dalam kegembiraan dan penderitaan. Elisabeth meninggalkan segala-galanya (termasuk putra-putrinya) untuk melayani Tuhan dalam diri orang tersingkir dan menderita.

Elisabeth mengalami penjelmaan diri Allah dalam diri Yesus Kristus. Gejolak cinta kepada Kristus membuat dia tidak betah hidup di istana sebagai seorang permaisuri pangeran. Penderitaan dan kesengsaraan rakyat di sekitarnya mendorong dirinya untuk berbuat sesuatu dalam cinta akan Tuhan. Hidup St. Elisabeth dijiwai oleh semangat hidup St. Fransisikus Asisi dalam kemiskinan dan pertobatan, dalam pertemuan dengan orang-orang yang menderita. Elisabeth adalah seorang penganut hidup St. Fransiskus Asisi sehingga gerak hidupnya mengikuti teladan St. Fransisikus yang menghidupi kemiskinan dalam pertobatan. Gereja menghormati St. Elisabeth sebagai pencinta orang yang menderita sakit.

Bagi Kongregasi FSE, St. Elisabeth adalah seorang tokoh yang menjadi nama Kongregasi sekaligus pelindung karya. Keteladanan hidup St. Elisabeth merupakan suatu hal yang dicita-citakan dalam hidup seluruh anggota Kongregasi. Pendampingan Pastoral orang sakit di RSE mengambil konsep dasar pendampingan dari tokoh ini. Konsep itu dapat dilihat dalam keteladanan St. Elisabeth dalam melayani dan mendampingi orang yang sakit dan menderita.

a. Penyerahan Diri Pada Allah

St. Elisabeth meninggalkan semuanya dengan memilih hidup kesederhanaan dan dalam kemiskinan. Keyakinan Elisabeth, miskin demi kerajaan Allah, merupakan satu-satunya jalan mengatasi kekerasan dunia (Ilija, 2006:2). St. Elisabeth yakin dengan panggilannya kepada karya cinta kasih dan kemiskinan. Kemapanan dunia ini tidak membuat dia tenang, tetapi ia memilih untuk turun dan melayani mereka yang menderita. Semangat pemberian diri kepada Allah memampukan dia untuk berani meninggalkan kemapanan hidup dan kedudukannya di istana kerajaan Turingen Jerman. St. Elisabeth menyadari panggilan Tuhan dalam hidupnya untuk berpihak pada orang yang membutuhkan kasih. St. Elisabeth senantiasa mengandalkan Allah dalam rencana dan hidup yang dia pilih. Satu-satunya yang diperjuangkan St. Elisabeth adalah Kehendak Allah. Ia mempersembahkan diri kepada Allah lewat pelayanan kepada orang-orang yang menderita teristimewa mereka yang sakit.

St. Elisabeth adalah sebagai seorang istri dan ibu, yang dipanggil sebagai alat belas kasih Allah. St. Elisabeth menjadi gambaran pribadi Maria yang dekat dengan Allah dan pribadi Marta yang berkarya bagi sesama. Doa dan karya menjadi suatu kesatuan yang utuh. Kekudusan St. Elisabeth adalah suatu kegilaan yang nyata terhadap salib. Semangat hidupnya bersumber dari Injil. Seluruh hidupnya suatu madah kasih, yang dinyatakan dalam pelayanan dan penolakan, kasih yang dengan sendirinya tertuang dalam menebarkan kebaikan.

Relasi yang dekat dengan Tuhan, menjadi api yang mendorong St. Elisabeth untuk berkarya bagi sesama. St. Elisabeth hidup dihadirat Tuhan dan di tengah-tengah sesama yang menderita. Cinta kasih, kemurahan hati, kesabaran, kesederhanaan, penghargaan terhadap kehidupan dan mengagumi ciptaan, bersumber dari kontemplasi yang mendalam akan Allah yang penuh kasih. Cinta menjadi catatan tertinggi dalam kekudusan St. Elisabeth. Cinta dihidupi dalam dimensi vertikal yang dihidupi oleh cinta yang berasal dari Allah. Kekuatannya dalam berkarya sungguh berasal dari Allah. St. Elisabeth adalah contoh nyata dalam kharisma belas kasih Fransiskan (Ilija, 2007:15). St. Elisabeth, seorang wanita yang paling autentik menghidupi semangat peniten Fransiskus.

Belas kasih St. Elisabeth jatuh bagaikan bunga mawar ke tangan orang-orang yang menderita (bunga mawar menjadi salah satu tanda penuh makna dalam ikon santa ini). Dalam pendampingannya kepada penderita, St. Elisabeth berusaha untuk memberdayakan mereka dengan menyadari kekuatan yang ada dalam diri mereka. Bagi seorang peniten yang mengabdi pada karya-karya cinta kasih, ia menjadi contoh bagaimana kita menuangkan balsem pada luka-luka para penderita, memanusiakan lingkungan kita dan menyapu linangan air mata sesama kita manusia.

Semangat hidup St. Elisabeth ini menjadi suatu kewajiban dan tuntutan bagi Tim Pastoral orang sakit. Keduanya harus berjalan seimbang dan menjadi kesatuan yang utuh. Mereka memperoleh kekuatan yang berasal dari Allah serta diwujudkan dalam pendampingan penuh kasih dalam kesabaran dan kerendahan hati. Hidup mereka menjadi doa pujian yang dapat dirasakan orang-orang yang mereka layani. Mereka membantu orang sakit menyadari kasih Allah dalam hidupnya. Daya kasih ilahi yang memampukan Tim pastoral berkarya mendampingi orang-orang sakit serta membawa mereka kepada kasih Allah.

c. Berguru pada Hati

Dalam pelayanan pendampingan kepada orang sakit, Elisabeth berguru pada hatinya. Tidak ada sumber yang pernah mencatat di mana dan kapan St. Elisabeth belajar tentang penyembuhan maupun kesehatan. St. Elisabeth belajar dari Guru Ilahi yang menuntun hatinya untuk melaksanakan pelayanan penuh kasih mendampingi orang menderita hingga memiliki harapan. St. Elisabeth mendampingi orang sakit dengan pendampingan hati. St. Elisabeth mengalirkan belas kasih Allah ke dalam sungai kepedihan orang-orang yang sakit dan menderita hingga memperoleh kesegaran.

Pendampingan dengan hati, suatu yang perlu diperjuangkan dan dikembangkan oleh Tim Pastoral orang sakit, sehingga mereka sungguh hadir sebagai teman bagi orang-orang yang berada dalam ambang ketidak mampuan. Pendampingan hati menuntut seorang pendamping untuk peka akan suara Tuhan tentang apa yang harus dilakukan dalam mendampingi orang-orang menderita. Hal

ini penting sehingga Tim tidak tergoda menjadi ”penasehat-penasehat” yang kurang berguna.

d. Menemukan Kristus dalam Diri Penderita

Hidup St. Elisabeth merupakan suatu tindakan Allah secara harafiah merefleksikan Injil Yesus Kristus. Elisabeth menerima dan meyakini perkataan-perkataan Yesus yang menyatakan keallahan Bapa, dan yang mengatakan bahwa manusia perlu mengekang diri terhadap segala sesuatu, serta membuat diri sendiri menjadi kecil demi Kerajaan Allah. St. Elisabeth telah mengosongkan diri, dengan demikian dia layak bagi semua orang yang membutuhkan. St. Elisabeth menemukan Yesus dalam diri orang yang miskin, tersingkir, lapar dan sakit (Mat 25). Bagi St. Elisabeth, orang yang menderita adalah wajah Kristus yang menderita. St. Elisabeth sungguh meyakini rahmat Tuhan yang memampukan dia melihat semuanya sebagai sesuatu yang istimewa. Dalam pendampingan terhadap orang yang menderita “sakit yang menjijikkan”, ia menyadari Allahlah yang memberi dia kekuatan yang sedemikian besar untuk mengatasi rasa jijik itu. Dengan rahmat itu, St. Elisabeth didorong merangkul dan mencium orang yang penuh luka borok (kusta). Pengalaman St. Elisabeth merangkul dan mencium orang kusta, sama dengan pengalaman St. Fransiskus Asisi dalam pertemuan dengan orang kusta, yang merupakan awal pertobatannya. St. Elisabeth menemukan wajah Kristus dalam diri orang menderita sakit yang tidak diperhitungkan oleh sesamanya.

St. Elisabeth yakin, surga terbuka serta penuh pengharapan dan kegembiraan ketika ia bersatu dengan orang sakit dengan pelukan. Dalam keterbukaan roh, dia mengalami suatu kemanisan dalam jiwanya hingga suatu kali ketika Elisabeth

mengenakan baju pada orang sakit, dia mengatakan: ”betapa indahnya kalau kita bisa membasuh dan membersihkan Tuhan” (Huyskens,1908:128). Seorang pendamping orang sakit diharapkan mampu mengalahkan diri sendiri untuk bertemu dengan orang sakit, bahkan yang paling menjijikkan sekalipun. Keyakinan akan Rahmat Tuhan selalu ditambahkan dalam diri mereka. Rahmat itu jugalah yang memampukan Tim Pastoral orang sakit menemukan Kristus dalam diri orang sakit yang mereka layani dalam pendampingan.

e. Kegembiraan Yang Sejati

Salah satu aspek yang paling menantang dari kepribadian St. Elisabeth adalah keunggulannya memelihara kegembiraan dan ketenangan dalam dirinya, sekalipun dalam cobaan dan tantangan hidup yang paling sulit. Salah satu motivasi utama dalam hidupnya disimpulkan dari komentarnya yang sangat terkenal pada sebuah pesta karitatif di Marburg. St.Elisabeth mengatakan: ”We owe it to the people to make them happy” artinya: kita berutang kepada orang-orang untuk membuat mereka gembira (Ilija, 2006:1).

St. Elisabeth menyatakan bahwa kegembiraan bukanlah sesuatu yang dapat dibeli, tetapi lebih merupakan sebuah bunga yang dapat dikumpulkan setiap hari, sebab kegembiraan selalu ada di sekeliling kita. Kendati demikian kita harus mengenalinya dengan benar. St. Elisabeth memberikan keteladanan lewat sikap dan kesaksian hidupnya. Ketika suaminya meninggal, ia dengan ketiga anaknya diusir dari istana, karena perbuatan kasih terhadap orang yang menderita. Saat-saat seperti ini ia justru menyanyikan Te Deum (Madah Allah Tuhan Kami) bersama dengan para Fransiskan yang tinggal di Eisenach. Pengalaman ini sangat dekat dengan

pengalaman St. Fransisikus Asisi, ketika ia kembali dan mengetuk pintu, mereka diusir dan dihina sebagai penjahat dan orang murtad. Mereka menerima penghinaan itu dengan sabar. Demikian juga St. Elisabeth menerima semua perbuatan saudara sepupunya dengan sabar. Kesabaran seperti inilah ditemukannya sebagai kegembiraan sejati.

Pelayanan kasih St. Elisabeth penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. St. Elisabeth mengalami penderitaan disalibkan di tengah masyarakatnya sendiri yang tidak memahami kemurahan hati. Dengan cara inilah diperkenalkan kabar baik kegembiraan dalam kesulitan yang lahir dari kebebasan mendalam dan mengalir dari kemiskinan roh. Kegembiraan sejati St. Elisabeth juga nyata ketika seorang wanita yang sering menerima derma darinya, mendorong dia dengan keras hingga dia jatuh ke jalan yang penuh lumpur. Namun St. Elisabeth tidak marah dan sakit hati, melainkan tersenyum dan membersihkan pakaiannya yang penuh lumpur. Senyum itu menunjukkan suatu kekonsistenan dalam diri Elisabeth. Betapa bijaksananya ritus paskalis (tertawa paska) karena di dalamnya Elisabeth berpartisipasi dalam wafat dan kebangkitan Kristus (Ilija, 2006:2). Kegembiraan sejati Kristiani dalam semangat Fransiskan inilah yang dihidupi St. Elisabeth dalam hidupnya. Sekalipun orang berjalan di jalan gelap dalam penderitaan dan kematian (Saudari maut), terang agung bisa kelihatan. Uskup Francois-Xavier, missionaris agung untuk Mato Grosso Brazilia mengungkapkan kenyataan ini dalam motto episkopalnya: Per crucem ad lucem (melalui salib menuju terang). St. Elisabeth memelihara kegembiraan dalam dirinya serta membagikan kegembiraan itu kepada orang yang menderita.

Keteladanan St. Elisabeth ini menjadi nilai yang diperjuangkan dalam pendampingan pastoral orang sakit. Memelihara kegembiraan dalam diri dan

membagikannya bagi orang yang dilayani. Kegembiraan sejati menjadi kesaksian bagi orang sakit yang didampingi untuk tetap mampu berharap akan kasih Allah sumber kegembiraan sejati, sekaligus yang merupakan kegembiraan itu sendiri. Penderitaan seberat apapun tidak mampu memisahkan kita dari cinta Kristus. Dengan kegembiraan menunjukkan ada pengharapan dan kekuatan yang berasal dari sumber kegembiraan sejati.

Dokumen terkait