• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KETERLIBATAN KONGREGASI FRANSISKANES ST. ELISA-

B. Kharisma dan Spiritualitas

3. Spiritualitas FSE Berdasarkan Semangat Fransiskan

Pada bagian ini akan dijelaskan secara khusus tentang spiritualitas Fransiskan. Kemudian akan ditampilkan juga suatu pengalaman St. Fransiskus Asisi tentang kisah perjumpaannya dengan orang sakit kusta sebagai awal pertobatannya. Kisah perjumpaan St. Fransiskus Asisi dengan orang kusta tersebut menjadi semangat pertobatan dalam Kongregasi FSE sekaligus menjadi spiritualitas Kongregasi. Maka pada akhir sub ini akan diuraikan tentang spiritualitas Kongregasi FSE.

a. Spiritualitas Fransiskan

Pandangan Spiritualitas Fransiskan, spiritualitas dapat dipahami sebagai cara khusus, atau tekanan khusus dalam mengikuti Yesus Kristus. Banyak hal yang sama dihayati oleh semua orang Kristen dalam mengikuti Yesus Kristus, misalnya: mengasihi dan mengampuni seperti Kristus, hidup dalam persekutuan, hidup doa pribadi dan bersama, perayaan hidup sakramental Gereja, kesetiaan kepada Gereja yang sah, mencintai Kitab Suci dan keprihatinan pada masalah sosial dan perdamaian. Tidak ada perbedaan dalam tujuan dalam banyak cara serta sarana itu. Perbedaan terletak dalam apa yang menjadi tekanan, tidak ada spiritualitas yang lebih tinggi dan lebih rendah (Paskalis, 2007:24).

Adanya perbedaan dalam penghayatan spiritualitas, sebagian besar bergantung pada kepribadian para pendiri dan waktu komunitas-komunitas religius itu berkembang. Sehubungan dengan ini Paus Pius XII melukiskannya sebagai berikut:

Spiritualitas setiap santo-santa merupakan cara khususnya untuk menggambarkan Allah baginya, berbicara tentang-Nya, cara mendekati-Nya. Setiap santo melihat gelar Allah dalam terang apa yang paling menyentuh pikirannya, menyerap hatinya secara mendalam, yang menarik, menaklukkan dirinya. Bagi setiap santo-santa, satu keutamaan khusus dari Kristus merupakan cita-cita yang hendak diperjuangkan dalam hidupnya (Paskalis, 2007:25).

Penghayatan spiritualitas berhubungan erat dengan pengalaman santo-santa pada zamannya. Mereka terlebih dahulu mengalami Allah dalam pengalaman hidup kemudian menggambarkan Allah sesuai dengan pengalaman yang paling menyentuh sebagai suatu keutamaan pribadi Yesus Kristus yang akan dihidupi dan diperjuangkan.

Meyangkut kekhususan spiritualitas St. Fransiskus Asisi, seorang Fransiskan mengatakan demikian:

Jika sesuatu yang khusus dapat diamati pada diri Fransiskus, hal itu adalah keinginan yang kuat untuk tidak memiliki kekhususan. Spiritualitas Fransikan adalah semata-mata menghayati Injil. Namun karena dia adalah seorang pribadi yang unik dan menarik, Gereja menemukan kharismanya yang khusus itu, yang disebut dengan spiritualitas Fransiskan. Pius XII lebih jauh menyatakan, Ajaran Fransiskan memandang Allah adalah kudus, besar, dan melampaui semua, baik, sungguh baik. Allah juga dialami sebagai kasih. Dia hidup karena kasih, menciptakan karena kasih, menjadi daging, menebus, menyelamatkan dan menjadikan suci karena kasih. Fransiskus memandang Yesus dalam kasih manusiawinya (Paskalis, 2007:26).

Maka yang menjadi tekanan kuat spiritualitas Fransiskan terletak pada kenyataan bahwa Allah adalah Kasih. Dari tekanan pokok spiritualitas Fransiskan, ada unsur-unsur pokok agar dapat menghidupi Injil seturut semangat Fransiskus Asisi yaitu : “dalam persekutuan dengan Kristus yang miskin dan tersalib, dalam kasih

Allah, dalam persaudaraan dengan semua orang dan segenap ciptaan, berpartisipasi dalam hidup dan missi Gereja, dalam pertobatan terus-menerus, dalam hidup doa-liturgis, pribadi, bersama dan sebagai pembawa damai” (Paskalis, 2007: 24). Pada kenyataannya, salah satu unsur hakiki dari spiritualitasnya adalah menjadi lebih hina-dina dan pengikutnya menjadi saudara-saudara hina-hina-dina.

b. Pengalaman St. Fransiskus Asisi Sebagai Cara Hidup Mengikuti Yesus

Perjumpaan St. Fransiskus Asisi dengan orang sakit kusta menjadi saat pertobatan yang mengubah seluruh orientasi hidupnya (Groenen, 1997:121). Pada awalnya Fransiskus menganggap penyakit kusta menjijikkan dan menakutkan, sehingga ia memberi perhatian lewat bantuan orang lain. Suatu kali Fransiskus dalam perjalanan pulang dari Roma, ia berjumpa dengan seorang sakit kusta. Batinnya tergugah dan ia bergulat dengan diri sendiri. Fransiskus mengalahkan dirinya dan mengalami kemenangan atas dirinya ketika ia turun dari kudanya dan memeluk serta mencium orang sakit kusta itu. Suatu hal yang aneh ia rasakan, sesuatu yang dulu terasa pahit dan menjijikkan sekarang berubah menjadi manis. Sejak itu Fransiskus sungguh memberi perhatian pada orang sakit kusta, mengunjungi dan merawat orang sakit kusta (Groenen, 1981:14).

Pengalaman Fransiskus dalam perjumpaan dengan orang sakit kusta, merupakan pengalaman akan Allah. Sekalipun pada awalnya Fransiskus mengalami Allah yang samar-samar (tak berwajah). Tetapi ketika Fransiskus mengadakan pesta pora bersama sahabat-sahabatnya, tiba-tiba Fransiskus mengalami perasaan yang damai yang tidak pernah ia rasakan. Fransiskus spontan merasakan suatu kebekuan, tidak mampu berkata-kata. Fransiskus yakin bahwa ia telah ditangkap oleh Allah

(Gronen, 2000: 39-51). Kendati demikian, Allah yang dialami oleh Fransiskus adalah Allah yang tidak berwajah. Allah tetap Allah yang tersembunyi, yang melampaui pola pikir dan perasaan manusiawinya.

Dalam suatu pengalaman Allah yang tidak berwajah itu berubah ketika Fransiskus memandang dan berbicara dengan Yesus yang tersalib di kapel san Damiano. Allah yang tidak berwajah, dan tidak bernama itu menjadi jelas dalam Yesus Kristus yang tersalib. Bagi Fransiskus, Yesus Kristus itulah yang menjadi wajah Allah dalam Manusia Yesus dari Nazareth, seperti yang tertulis dalam Yoh 15 ”Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”. Wajah Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus bagi Fransiskus tetap merupakan misteri. Perjumpaan dengan orang sakit kusta merupakan pematangan pengalamannya akan Allah. Dalam wasiat yang dibuat Fransiskus menjelang akhir hidupnya, Fransiskus menulis:

Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka dengan penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku menetap, lalu aku meninggalkan dunia (Ladjar, 2001).

Kutipan di atas mau menjelaskan bahwa seluruh hidup Fransiskus, terutama pertobatannya tidak dapat terlepas dari perjumpaannya dengan orang sakit kusta. Peristiwa perjumpaan dengan orang sakit kusta merupakan buah meditasinya terhadap penderitaan Kristus dalam Salib di san Damiano (Murray Bodo, 2003:33). Tuhan hadir membantu dan menyadarkan Fransiskus, untuk menyadari dosa jiwanya seperti orang kusta terbalut rasa sakit dan borok (Hormise, 1975:53). Fransiskus juga disadarkan di dalam diri orang sakit kusta, merupakan gambaran wajah Kristus yang

tersalib di kapel san Damiano. Wajah penuh borok, luka dan bernanah, wajah yang penuh penderitaan dan kemiskinan.

Fransiskus yakin bahwa dalam diri orang sakit kusta, Tuhan Yesus datang menjumpai dan menciumnya. Kini, hati Fransiskus telah mendapatkan kemanisan Roh Kudus Allah, yang menggerakkan seluruh hidupnya untuk terus menerus, memikirkan, merasakan, dan mencintai kehendak Allah (Hormise, 1975:54). Akhirnya Fransiskus mengalami Allah yang berwajah banyak, terutama pada orang yang berada dalam kelompok minores, wajah yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan, dan yang disingkirkan masyarakat dan Gereja.

Untuk memahami apa yang mesti dia lakukan, Fransiskus tidak membutuhkan banyak bacaan lagi, karena perjumpaannya dengan orang sakit kusta, merupakan pewahyuan diri Allah. Kristus yang tersalib dalam kemiskinan, yang menampakkan diri-Nya dan berbicara kepada Fransiskus, nampak jelas dalam diri orang sakit kusta. Ini merupakan rahmat Allah yang mengantar menuju pertobatan, sebuah hidup baru bercermin pada wajah Yesus. Ia sendiri merasakan rahmat yang bekerja dalam dirinya untuk mengatasi rasa muak ketika berjumpa dengan orang sakit kusta. Tuhan memberi kekuatan di dalam mengubah rasa jijik yang besar menjadi rasa cinta yang mengagumkan. Yesus Kristus yang tersalib dalam kemiskinan kini menjadi sangat jelas dalam diri seorang yang menderita penyakit kusta (Wahyosudibyo, 1990:5-10). Menurut Fransiskus Asisi orang sakit kusta adalah saudara yang tidak ada bedanya dengan dirinya sendiri. Sekalipun pada zaman itu orang sakit kusta diidentikkan sebagai kelompok manusia yang disingkirkan karena berbahaya dengan segala keberadaan mereka. Orang kusta mempunyai jati diri seperti manusia yang lainnya, serta mempunyai hak penuh demi kemanusiaannya (Lobo, 2004:68-69).

Orang kusta dia sapa sebagai saudara-saudara Kristiani. Perjumpaan dan ciuman Fransiskus Asisi dengan orang kusta menyimpan dimensi persaudaraan umat manusia, yang senantiasa membutuhkan sentuhan afeksi. Fransiskus memberikan ciuman persaudaraan untuk mengangkat orang sakit kusta yang disingkirkan itu sebagai sesama manusia (Lobo, 2004:70-71).

Fransiskus meyakini orang sakit kusta adalah Dia yang turun dari salib untuk menyapa dan mengunjunginya. Fransiskus mulai mengambil jalan lain, jalan orang-orang miskin. Perubahan ini dimatangkan oleh perjumpaan dan pembicaraannya dengan Yesus yang tersalib di gereja san Damiano ”Lord, what do You want me to do?” Yesus yang tersalib menjawab: ”Pergilah dan perbaikilah Gereja-Ku yang hampir roboh”. Pesan itu pertama-tama ia tangkap sungguh manusiawi, sehingga ia memperbaiki gereja secara fisik. Kemudian Fransiskus sadar bahwa yang dimaksud adalah Gereja secara spiritual, Tubuh Kristus. Kini ia mengemban tugas bukan hanya secara personal tetapi eklesial. Fransiskus harus membangun dan memugar Gereja sesuai dengan Injil Yesus Kristus (Groenen, 1986:25).

Demi Kristus yang tersalib Fransiskus meninggalkan segalanya. Dengan telanjang Fransiskus mengikuti yang telanjang. Fransiskus mengikuti pesan Kristus dengan menempuh jalan salib, jalan kemiskinan, kelemahan sosial ekonomi. Tugas Fransiskus adalah membangun Gereja melalui jalan salib dalam kelemahan dan ketidak berdayaan manusiawi. Ia memperbaiki Gereja bukan atas dasar kekuasaan, kekayaan, maupun gengsi keduniawian. Nilai yang ia tampilkan sungguh terbalik dengan Gereja zaman itu. Gereja resmi para Paus, Uskup dan seluruh lembaganya berusaha untuk mempertahankan dan memulihkan Gereja lewat jalan kekuasaan,

kekayaan dan gengsi sosial. Secara batiniah dan injili Gereja telah kehilangan diri dan hakikat panggilannya.

Jalan yang ditempuh Fransiskus adalah jalan yang terbalik, jalan salib Kristus yang tergantung dan telanjang dalam segala-galanya (Groenen, 1986:25-26). Dengan kesaksian hidupnya, ia mengajak dan menghimpun orang untuk mengikuti Kristus tersalib, untuk hidup bersama dan menjadi orang sakit kusta. Karena itulah, gerakannya disebut Ordo Fratrum Minorum, yaitu cara hidup mengikuti Yesus Kristus dan Injil-Nya dalam kedinaan dan kerendahan.

c. Spiritualitas FSE

Sebagai pengikut Yesus Kristus berdasarkan keteladanan St. Fransiskus Asisi dan St. Elisabeth Hongaria, Kongregasi FSE menghayati semangatnya sebagaimana dikatakan di dalam konstitusi Kongregasi:

Sebagai pengikut St. Fransiskus Asisi, para Suster Kongregasi FSE, mengikat diri seumur hidup pada cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian, serta dalam kesatuan persaudaraan. Mereka dijiwai oleh semangat doa dan samadi, pengabdian dan pengorbanan, semangat tapa dan matiraga sebagai peniten recolektin (Konst. FSE, 2000: no.11-12).

Kutipan di atas menyiratkan ciri khas spiritualitas Kongregasi FSE, yaitu mencintai Yesus Kristus yang miskin dan menderita; hidup dalam komunitas perdana lewat semangat persaudaraan Injili, hidup dalam pertobatan; belarasa terhadap orang yang miskin dan menderita.

Berdasarkan catatan sejarah, keluarga Yesus bukanlah keluarga miskin dan menderita. Keluarga Yesus masuk dalam golongan menengah (Suharyo, 1998: 51). Meskipun demikian, tidak menjadi penghalang bagi Yesus untuk bersahabat dan dekat dengan orang kecil, miskin dan lemah. Relasi-Nya dengan orang miskin dan menderita menjadi pendorong bagi para suster FSE untuk membantu sesama. Yesus memperkenalkan Allah yang Maha rahim, berpihak pada orang miskin, meyembuhkan orang sakit, memberi makan yang lapar, mengampuni yang berdosa. Allah yang menyelamatkan adalah Allah yang sangat dekat umatNya khususnya mereka yang miskin dan menderita (Suharyo, 1998:50).

Seluruh kesaksian hidup Yesus menghadirkan Kerajaan Allah Bapa yang Maharahim, berbelas kasih dan berbela rasa. Yesus memperhatikan dan menyamakan diri-Nya dengan orang-orang tersingkir, menderita dan sakit sebagai sasaran perhatian Allah. Dalam dan melalui Yesus, Allah yang hidup bertindak menyelamatkan mereka yang miskin, dan tertindas. Kesadaran Yesus itu tampak jelas dalam Injil Lukas:

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Luk 4:18-19). Yesus yang sungguh berbelas kasih, mencintai dan berbelarasa terhadap orang miskin dan menderita menjadi spiritualitas para suster FSE. Sikap dan tindakan Yesus itu menginspirasikan pendiri dan suster pertama untuk melayani orang miskin dan sakit. Dalam karya perutusan, mereka selalu berusaha menemukan dan mencintai Yesus yang sungguh hadir dalam diri orang kecil, miskin dan menderita.

Yang menjadi dasar dan inspirasi pangilan untuk mengikuti Yesus dalam pelayanan kasih kepada sesama adalah kata-kata Yesus sendiri dalam Injil-Nya: “ ketika Aku sakit kamu melawat Aku” (Mat 25:36). Sikap kesiapsediaan untuk melayani ini dimotivasi oleh keyakinan Allah yang adalah kasih. Allah yang adalah kasih itu senantiasa menghendaki agar semua orang diselamatkan dan dipersatukan menjadi umat-Nya (Konst. FSE, 2000:6).

2) Hidup Dalam Semangat Komunitas Perdana

Untuk menghayati dan mewujudkan cita-cita Injili adalah hidup dalam kesatuan dan persaudaraan yang dibangun atas dasar panggilan yang satu dan sama dalam Yesus Kristus. “Yesus Kristuslah yang menjadi pusat persaudaraan, yang mempersatukan dan mengikat persaudaraan sebagai murid-murid-Nya” (Konst. FSE, 2000:79). Dalam hidup persaudaraan, Kongregasi FSE meneladani gaya hidup jemaat perdana yang bertekun dalam doa, sehati-sejiwa dan saling memperhatikan satu sama lain (Kis 2;41-47).

Dalam semangat persaudaraan Injili, “mereka saling menghargai perbedaan, saling melengkapi, mendengarkan bersama kehendak Allah, mempercayai satu sama lain, saling mendukung dan meneguhkan dalam panggilan masing-masing” (Konst. FSE, 2000:78). Mereka bekerja sama mewujudkan panggilan di dalam melayani Dia yang hadir dalam diri orang sakit dan menderita.

Untuk memelihara semangat persaudaraan, setiap anggota harus memahami dan membangun di dalam dirinya suatu persudaraan sejati yang didasarkan atas kasih tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Sehingga setiap anggota dipanggil untuk menjadi sahabat bagi semua orang, secara khusus bagi orang yang menderita (sakit).

Dengan demikian dapat dikatakan mereka jadi saudara bagi semua, dengan hati yang senantiasa terbuka dan siap menerima siapa saja yang datang sebagai saudara kepada mereka (Ang Tbula, 7:14).

3) Hidup Dalam Pertobatan

Sebagai Kongregasi peniten recolektin, Kongregasi suster FSE dituntut mewujudkan suatu pertobatan secara terus menerus. Para suster menjalin relasi yang intim dengan Yesus yang mereka ikuti dan layani. Di dalam doa mereka menjalin relasi dengan Dia sekaligus peka terhadap bisikan Roh yang menggerakkan mereka untuk berkarya dalam perutusan.

Doa Kongregasi FSE memiliki kekhasan tersendiri sesuai dengan nama aslinya peniten recolektin. Mereka harus dapat menghidupi beberapa hal antara lain cinta kepada Tuhan dan sesama, menolak dosa-dosa, berpartisipasi dalam hidup sakramental, khususnya Ekaristi dan rekonsiliasi pribadi. Tujuannya mempraktekkan pertobatan yang terus menerus. Pertobatan itu bukan demi kesucian dan keselamatan pribadi, namun sebagai kesaksian yang memperlihatkan sikap belarasa bagi yang tersingkir (Ladjar, 1988:159).

Dalam tindakan pertobatan itu yang mau diperjuangkan adalah penyangkalan diri terhadap kekuasaan, kenikmatan dan harta yang menghambat dan tidak mendukung dalam hidup dan kerasulan. Artinya di dalam doa mereka berniat untuk mencari Allah di atas segala-galanya. Allah menjadi yang utama sedangkan yang lain yang dapat membantu pengenalan akan kasih Allah itu merupakan sarana. Dengan relasi yang sungguh mendalam dengan Yesus Kristus maka pribadi suster FSE dapat menampakkan kehadiran Allah terhadap sesama.

Pertobatan merupakan suatu rahmat dari Allah yang dicurahkan kepada umat melalui Yesus Kristus. Setiap orang yang menanggapi panggilan itu akan diubah dan diberi hati yang baru, yaitu hati yang terbuka mengenal penciptanya, dirinya sendiri dan saudaranya. Dengan demikian, pertobatan memiliki dimensi vertikal dengan Tuhan dan juga horizontal dengan sesama sebagai saudara dan semua mahluk ciptaan. Dimensi ini dirumuskan dalam Konst. FSE psl 3 art. 11:

Tuhan Yesus Kristus selalu bekerja di dalam diri kita. Ia mengubah dan memanggil kita untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Dia, dan di dalam Dia dengan Bapa, dengan saudara kita dan dengan seluruh ciptaan-Nya, hidup kita menjadi doa seperti St. Fransiskus Asisi (2 Celano, 95).

4) Belarasa Terhadap Orang Miskin

Orang miskin merupakan orang yang rentan terhadap penyakit, baik secara jasmani maupun rohani. Karena situasi ekonomi yang kurang mendukung, orang miskin sering mengalami kesulitan dalam pengobatan penyakit secara fisik. Situasi demikian membuat keadaan mereka sungguh terpuruk dan menderita. Yesus yang penuh belas kasih sungguh mencintai orang menderita, miskin dan sakit. Mereka sungguh mendapat tempat di hati Yesus. Di tengah keputusasaan karena ketidak mampuan mereka untuk melepaskan diri dari keterpurukan, Yesus hadir sebagai pribadi yang membawa dan memberi harapan baru serta menyembuhkan mereka yang miskin. Belarasa Yesus terhadap orang miskin ditunjukkan dengan tindakan merangkul, menyembuhkan dan mengampuni dosa. Dalam tindakan-Nya Yesus tidak pernah menuntut balasan ganti rugi. Yesus hanya melihat soal sikap iman mereka. Iman sungguh berperan dalam kesembuhan setiap orang yang sakit. Dalam Injil Mrk 5:34 dikatakan, “Imanmu telah menyelamatkan engkau”. Imanlah yang memungkinkan adanya mukzijat yang merupakan tanda hadirnya Kerajaan Allah

(Nolan, 1990:47). Yesus mengidentikkan diri-Nya dengan orang yang paling hina, kecil, miskin dan menderita, “segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Sabda Yesus inilah yang mendorong dan menginspirasikan pendiri untuk terlibat dan berpihak pada orang kecil dan menderita.

Siapapun yang dengan rela hati dan siap sedia melayani si penderita, sesungguhnya ia melayani Yesus sendiri yang hadir dalam diri orang yang menderita itu. Semangat dan dasar pelayanan ini menjadi jiwa yang diwariskan terus menerus di dalam Kongregasi FSE.

Dokumen terkait