• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN SKRIPSI"

Copied!
189
0
0

Teks penuh

(1)

i

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Riahukur M. Purba NIM : 031124012

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Allah Bapa yang Penuh Kasih

Persaudaraan Suster Fransiskanes St. Elisabeth dan Yayasan RSE, Medan Tim Pastoral Orang Sakit RSE, Medan dan Saudara-saudari yang menderita sakit

Ayah dan Ibu serta Seluruh Keluarga yang penuh cinta almamaterku,

dan

(5)

v

“Allah Adalah Kasih”

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 Februari 2009

(7)

vii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Riahukur M. Purba

Nomor Mahasiswa : 031124012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmah saya yang berjudul:

PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN

Beserta perangkat yang diperlakukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu minta izin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 17 April 2009 Yang menyatakan

(8)

viii

Judul skripsi ini adalah PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN. Pemilihan judul ini didasari oleh keprihatinan penulis terhadap pendampingan Tim pastoral orang sakit bagi pasien rawat inap di Rumah sakit St. Elisabeth (RSE), Medan. Fakta menunjukkan bahwa pelaksanaan pendampingan Tim pastoral orang sakit terhadap pasien di RSE Medan belum sepenuhnya disemangati oleh kharisma kongregasi Fransiskanes St. Elisabeth (FSE). Pendampingan yang dilakukan Tim pastoral orang sakit berjalan seadanya. Dan ada kecenderungan bahwa pendampingan terhadap pasien sebatas urusan Sakramen semata.

Keprihatinan di atas menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Skripsi ini dimaksudkan untuk membantu Tim pastoral orang sakit RSE untuk dapat memberikan pendampingan yang lebih baik. Oleh karena itu, tim akan dibantu meningkatkan semangat pendampingan terhadap pasien dengan memaknai kharisma kongregasi FSE, dengan menggunakan katekese model Shared Christian Praxis

(SCP). Model katekese ini adalah katekese model dialog partisipatif. Tim akan dituntun untuk sampai pada suatu refleksi yang dalam. Sejauh mana Tim pastoral orang sakit RSE menyadari pentingnya pemaknaan terhadap kharisma kongregasi FSE dalam pendampingan terhadap pasien? Usaha apa yang harus dibuat untuk membantu Tim dalam meningkatkan pemaknaan dan penghayatan terhadap kharisma kongregasi FSE?

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis. Penulis juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dan hasil wawancara dengan anggota Tim pastoral orang sakit di RSE. Selain itu, penulis juga menggunakan studi pustaka untuk memperoleh pemikiran-pemikiran maupun gagasan baru yang dapat mendukung untuk meningkatkan semangat pendampingan Tim pastoral orang sakit RSE sesuai dengan kharisma kongregasi.

Hasil akhir menunjukkan bahwa katekese model Shared Christian Praxis

(9)

ix

The title of this writing is FRANSISKANES SANTA ELISABETH CONGREGATION CHARISMA IN INCREASING THE ASSISTANCE SPIRIT OF PASTORAL TEAM FOR THE SICK IS SINT ELISABETH HOSPITAL MEDAN. The choosing of this title is based on the writer’s concern towards the assistance of the sick-pastoral Team in St. Elisabeth Hospital (RSE), Medan. The fact is that the assistance given by sick-pastoral Team to the patient in RSE has not been fully inspired by the charism of the congregation of the Franciscans of St. Elisabeth (FSE). It is not well-prepared and planed. Even, there is tendency to see that assistance is merely a matter of sacrament.

Taking this fact as a concern, the writer has been prompted and eager to compose this writing. It is meant to be a help for the RSE sick-pastoral Team that they may give a better assistance. By it, the team will helped to enhance the spirit of assistance to the patient by living out the charism of the congregation of FSE through the Shared Christian Praxis (SCP) Model of catechism. This model of catechism offers a participative dialog. The team will be led to a deep reflection of their assistance. How far the RSE sick-pastoral Team realizes the importance of living out the charism of the congregation in assistance of the sick? What afford should be made to help the Team in living out the charism of the congregation of FSE.

In composing this writing, the writer uses the descriptive-analytic method based on the writer’s experience and observation. The writer also uses the secondary data and the interview with the personnel of the FSE sick-pastoral care Team. Beside that, the writer also uses literature study in which the writer found new thoughts and ideas supporting the spirit of assistance for RSE sick-pastoral Team according to the charism of the congregation of FSE.

(10)

x

melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FRANSISKANES SANTA ELISABETH DALAM RANGKA MENINGKATKAN SEMANGAT PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT SANTA ELISABETH MEDAN”.

Penulisan skripsi ini diilhami oleh keterlibatan penulis sendiri dalam pendampingan terhadap orang sakit sebagai seorang anggota Tim pastoral orang sakit di Rumah Sakit St. Elisabeth (RSE) Medan. Sebagai seorang anggota persaudaraan FSE penulis merasa bahwa semangat pendampingan terhadap orang sakit (pasien) penting dan perlu ditingkatkan. Pasien tetap dibantu agar tetap beriman, mempunyai harapan dan mampu memaknai derita yang dialami.

Tim pastoral orang sakit adalah orang yang secara khusus mendampingi pasien dalam segala keberadaan mereka. Suatu tugas yang tidak mudah berhadapan dengan berbagai macam pribadi dan situasi pasien maupun keluarga. Pendamping diharapkan tetap mempunyai semangat, kesabaran dan iman akan Allah.

Penulis merasa penting memberi perhatian terhadap kekhasan pelayanan di RSE sesuai kharisma kongregasi FSE yaitu, “Daya kasih Kristus yang menyembuhkan..” terinspirasi dari Mat 25:35 “ ketika Aku sakit kamu melawat aku” (motto FSE dan RSE). Pemaknaan kharisma ini penting dalam pendampingan terhadap orang sakit.

(11)

xi

Skripsi ini berhasil disusun tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu penulis dengan hati yang tulus mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dra. J. Sri Murtini, M. Si., selaku dosen pembimbing utama yang telah mendampingi, membimbing, memberikan perhatian dan sumbangan pemikiran, mengkritik, dan memotivasi penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

2. Dr. C. Putranta, S.J., selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah bersedia mendampingi membimbing dan memotivasi penulis selama ini.

3. P. Banyu Dewa HS., S.Ag., M.Si., selaku dosen penguji III yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari keseluruhan isi dari skripsi ini.

4. Segenap staf dosen dan karyawan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang mendidik, membantu, dan memberi teladan yang baik bagi penulis selama studi sampai selesainya penulisan skripsi ini.

5. Dewan Pemimpin Umum Persaudaraan FSE, yang memberikan kesempatan, kepercayaan, perhatian dan segala dukungan selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

6. Para Saudari FSE Komunitas Don Bosco Yokyakarta yang setia mendoakan, memberi perhatian, pengertian serta mendukung dengan berbagai cara.

(12)

xii

10.Sahabat yang dikaruniakan Tuhan dalam hidup penulis yang selalu setia mendoakan dan mendukung dengan penuh cinta.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberi bantuan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan, pemahaman dan pengalaman sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya, semoga skripsi ini dapat memberikan banyak manfaat bagi pembaca sekalian.

(13)

xiii

PENGESAHAN... iii

PERSEMBAHAN... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBARAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vii

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan... 8

D. Manfaat Penulisan... 9

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. KETERLIBATAN KONGREGASI FRANSISKANES ST. ELISA- BETH DALAM PENDAMPINGAN PADA ORANG SAKIT ... 12

A. Sejarah Singkat Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)... 13

1. Cikal Bakal Kongregasi FSE ... 13

2. Riwayat Singkat Pendiri Kongregasi FSE ... 16

3. Misi Kongregasi FSE di Indonesia ... 19

B. Kharisma dan Spiritualitas ... 21

1. Kharisma ... 21

a. Arti Kharisma ... 21

b. Kharisma Tarekat Religius ... 23

(14)

xiv

3. Spiritualitas FSE Berdasarkan Semangat Fransiskan ... 35

a. Spiritualitas Fransiskan ... 35

b. Pengalaman St. Fransiskus Asisi Sebagai Cara Hidup Mengikuti Yesus ... 37

c. Spiritualitas FSE ... 41

C. Perutusan Kongregasi FSE ... 45

1. Tugas Perutusan Gereja ... 46

2. Perutusan Kongregasi FSE ... 50

a. Karya Perutusan FSE ... 51

b. Karya-karya Kongregasi FSE di Indonesia ... 52

c. Karya Pastoral di Rumah Sakit St. Elisabeth ... 54

BAB III. PENDAMPINGAN PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT ST. ELISABETH ... 60

A. Situasi Hidup Orang Sakit Pada Umumnya ... 60

1. Pengertian Sakit ... 61

a. Sakit Dalam Pandangan Medis ... 61

b. Sakit Dalam Pedoman Etis dan Pastoral Rumah Sakit Katolik (KWI) .………... 61

c. Sakit Menurut Pandangan Teologis ... 62

d. Sakit Menurut St. Fransiskus dari Asisi... 63

2. Keadaan Orang Sakit ... 64

3. Kebutuhan Orang Sakit ... 65

4. Tugas Hidup Orang Sakit ... 66

B. Pendampingan Pastoral Bagi Orang Sakit Dalam Gereja... 70

1. Pengertian Pastoral ... 71

2. Pelayanan Pastoral ... 72

3. Pastoral Orang Sakit Bagian Tugas Gereja... 73

a. Pengertian Pastoral Orang Sakit ... 74

(15)

xv

C. Konsep Pendampingan Orang Sakit di Rumah Sakit St. Elisabeth ... 80

1. Meneladani Semangat St. Fransiskus dari Asisi ... 82

a. Membawa Kedirian ... 82

b. Persaudaraan Dalam Semangat Kerendahan Hati ... 82

c. Cinta Kasih ... 83

d. Berdoa dan Mendoakan Saudara yang Sakit ... 85

e. Semuanya Untuk Kemuliaan dan Kehormatan Allah ... 85

2. Meneladani St. Elisabeth Hongaria ... 86

a. Penyerahan Diri Pada Allah ... 87

b. Dekat Dengan Allah dan Sesama di Dalam Cinta ………... 88

c. Berguru Pada Hati. ... 89

d. Menemukan Kristus Dalam Diri Penderita... 90

e. Kegembiraan Yang Sejati Cinta Kasih ... 91

D. Faktual Pelaksanaan Pendampingan Tim Pastoral bagi Pasien di Rumah Sakit St. Elisabeth ... 93

1.Keberadaan Tim Pastoral Orang Sakit di Rumah Sakit St. Elisabeth ... 93

a. Anggota Tetap ... 93

b. Tenaga Volunteer ... 94

2. Proses Pelaksanaan Pendampingan Pastoral Orang Sakit ... 95

a. Proses Pendampingan Oleh Anggota Tetap ... 97

b. Proses Pendampingan Oleh Tenaga Volunteer ... 104

3. Prioritas Dalam Pendampingan di Rumah Sakit St. Elisabeth ... 106

4. Kesulitan-kesulitan Yang Dialami oleh Tim Pastoral Orang Sakit .. 107

a. Kesulitan Dari Pendamping Pastoral Sendiri ... 108

b. Kesulitan Dari Pihak Pasien dan Keluarga ... 108

c. Kesulitan Dari Pihak Rumah Sakit ... 109

E. Penggunaan Sarana Dalam Pelaksanaan Pendampingan ... 111

1. Audio Pastoral ... 111

(16)

xvi

2. Tujuan Pendampingan Terhadap Tim Pastoral Orang Sakit ... 116

BAB IV. KATEKESE MODEL SCP (SHARED CHRISTIAN PRAXIS) SEBAGAI USAHA UNTUK PEMAKNAAN KHARISMA KONGREGASI FSE DALAM PENDAMPINGAN TIM PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH SAKIT ST. ELISABETH MEDAN ... 118

A. Paham Katekese ... 118

1. Pengertian katekese ... 118

2. Tujuan katekese ... 121

3. Isi katekese... 123

B. Pemilihan Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Model Katekese Yang Sesuai Untuk Pendampingan Tim Pastoral Orang Sakit ... 124

C. Shared Christian Praxis (SCP), Model Katekese Yang Dipilih Untuk Usaha pendampingan Tim Pastoral Orang Sakit ... 126

1. Pengertian Model Katekese SCP: ... 126

2. Langkah-langkah SCP ... 129

a. Langkah pendahuluan ... 129

b. Langkah pertama: Pengungkapan Pengalaman Hidup Faktual .... 129

c. Langkah kedua: Refleksi Kritis Atas Sharing Pengalaman Hidup Faktual ... 130

d. Langkah ketiga: Mengusahakan Supaya Tradisi dan Visi Kristiani lebih Terjangkau ... 130

e. Langkah keempat: Interpretasi/Tafsir Dialektis Antara Tradisi dan Visi Kristiani Dengan Tradisi dan Visi Peserta ... 131

f. Langkah kelima : Keterlibatan Baru Demi Makin Terwujudnya Kerajaan Allah di Dunia Ini... 132

D. Usulan Program Katekese dan Contoh Persiapan Katekese Untuk Tim Pastoral Orang Sakit ... 132

1. Latar Belakang dan Tujuan Pembuatan Program ... 133

(17)

xvii

B. Saran ... 155

DAFTAR PUSTAKA ... 156

LAMPIRAN ... 160

Lampiran 1 : Tuntunan Pertanyaan Wawancara ... (1)

Lampiran 2 : Kisah dr. Eleanor Chesnut“Menjadi Pelayan Bagi Sesama” ... (2)

Lampiran 3 : Lagu Hymne Elisabeth ... (3)

(18)

xviii

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA). Ende: Arnoldus, 1978/1979, hal. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

AA :Apostolicam Actuositatem, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam, 18 November 1965.

CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus UU kepada para Uskup, Klerus, dan segenap umat beriman tentang Katekese Masa Kini, 16 Oktober 1979.

EN : Evangelii Nuntiandi, Ajakan apostolik Paus Paulus VI tentang Pewartaan Injil dalam Dunia Modern, 8 Desember 1975.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja, 21 November 1964.

C. Singkatan Lain

Art : Artikel

AD III Reg : Anggaran Dasar Ordo Ketiga Regular Ang. Tbula : Anggaran dasar tanpa bulla

(19)

xix

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia KHK : Kitab Hukum Kanonik

Konst. : Konstitusi

Kan : Kanon

MAWI : Majelis Wali Gereja Indonesia OFM Cap : Ordo Fratrum Minorum Capusin

Psl : Pasal

PERDHAKI : Persatuan Dharma Karya Indonesia Prodi : Program Studi

RSE : Rumah Sakit St. Elisabeth SCP : Shared Ciristian Praxsis

St : Santo atau Santa

SEKAFI : Sekretariat Keluarga Fransiskan Indonesia UGD : Unit Gawat Darurat

USD : Universitas Sanata Dharma

(20)

1 A. Latar Belakang

Pengalaman sakit merupakan suatu realitas dalam kehidupan manusia yang tidak dapat disangkal sekaligus merupakan tanda kebakaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Pengalaman sakit bukanlah suatu pengalaman yang mudah diterima apalagi penyakit yang diderita bukan penyakit ringan tetapi merupakan penyakit serius. Dalam menghadapi situasi sakit, manusia mempunyai reaksi yang berbeda-beda sesuai dengan pengaruh pengalaman itu pada kehidupannya dan bagaimana seseorang bersikap terhadap pengalaman sakit itu. Menurut Kieser “mereka yang menderita sakit beraneka ragam, ada yang tanpa harapan, putus asa, tak berdaya, sengsara, hancur, hilang bentuk, sedih, sepi, aib dan malu” (Kieser, 1996:325). Penderitaan karena sakit merupakan beban dalam hidup, bila kita tidak mampu memaknai penderitaan itu.

Tidak ada manusia yang mengharapkan kemalangan atau penyakit. Setiap orang tentu mengharapkan diri atau keluarganya selalu sehat dan bahagia, tetapi tentu hal itu tidak mungkin. Selama manusia masih hidup di dunia ini, manusia selalu dihadapkan pada kenyataan hidup antara kebahagiaan dan penderitaan. Dalam kenyataan inilah manusia ditantang untuk melihat suatu realitas dirinya yang membutuhkan orang lain untuk menemani dengan setia.

(21)

pergulatan dan pemberontakan, tawar menawar, ketegangan, kecemasan, hingga pengalaman yang sungguh menyedihkan. Suatu kegembiraan dapat kita lihat ketika sebuah keluarga menyambut seorang anak yang dirindukan lahir dengan selamat, atau melihat angota keluarga yang mengalami kesembuhan. Sebaliknya ada suatu pergulatan ketika melihat anggota keluarga yang sedang sakit dan berjuang dalam penderitaannya. Bahkan banyak pengalaman yang sungguh menyedihkan ketika harus melepas anggota keluarga karena meninggal dunia. Disadari atau tidak, pengalaman-pengalaman ini senantiasa mewarnai kehidupan setiap orang selama masih ada di dunia ini. Pengalaman sakit ternyata bukanlah suatu hal yang mudah diterima seperti ketika mengalami kegembiraan. Karena pada umumnya orang yang menderita sakit akan berontak, walaupun mereka merasa tidak berdaya sedikitpun (Kieser, 1996:325).

Ketika tertimpa penyakit setiap orang akan berusaha untuk sembuh dengan berbagai macam usaha. Salah satunya adalah mencari bantuan perawatan medis di rumah sakit, dengan harapan akan mendapat pelayanan lebih baik dan memuaskan dalam proses penyembuhan. Dalam hal ini, kehadiran karya kesehatan atau rumah sakit yang siap melayani akan sangat penting. Pelayanan sepenuh hati sungguh dibutuhkan oleh penderita karena mereka sepenuhnya tergantung kepada bantuan orang lain yang mencintai dan menemani mereka dalam situasi yang rapuh itu.

(22)

sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS, art.1).

Karya kesehatan merupakan suatu tugas perutusan Gereja yang khusus membantu orang-orang yang menderita sakit. Gereja senantiasa memperhatikan kebutuhan konkrit umatnya, teristimewa mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Perutusan Gereja ini menjadi tugas perutusan setiap orang Kristen demi suatu karya keselamatan. Setiap orang berhak mendapat perlakuan yang manusiawi dari sesamanya dan penghargaan martabat sebagai mahluk ciptaan yang mulia sekalipun dalam keadaan yang kurang menguntungkan secara manusiawi. Tugas perutusan Gereja ini menjadi tugas perutusan lembaga-lembaga dalam Gereja yang senantiasa memperhatikan keprihatinan yang ada di tengah-tengah umat manusia. Sebagai pengikut Yesus Kristus semua harus terlibat dalam karya keselamatan sesuai dengan kemampuan dan bidang masing-masing.

(23)

Rumah Sakit St. Elisabeth (RSE) Medan yang terbuka bagi masyarakat luas dan siapa saja yang datang membutuhkan pelayanan.

Pelayanan di RSE Medan pada umumnya diwarnai dengan pelayanan yang berciri khas Katolik, terbuka dan menghormati siapa saja dan secara khusus memperhatikan semangat pelayanan yang ada dalam Kongregasi FSE yang diwariskan oleh ibu pendiri Sr.M. Mathilda Leenders, “Daya Kasih Kristus Yang Menyembuhkan...”. Pelayanan di RSE memadukan pelayanan secara medis dan pendampingan secara rohani. Hal ini sebagai penghormatan terhadap pribadi pasien yang bermartabat mulia, sekalipun situasi mereka kurang menguntungkan. Pendampingan ini dikenal dengan pastoral orang sakit yang biasa disebut dengan istilah Pastoral Care yang menjadi nilai tersendiri dalam pelayanan di RSE Medan.

(24)

terabaikan. Karena dengan penderitaan fisik, biasanya psikis, relasi dan keberimanan seseorang juga ikut terganggu. Penyembuhan yang diharapkan adalah penyembuhan yang utuh sebagai suatu penghormatan bagi martabat manusia. Tim Pastoral orang sakit hadir sebagai teman dalam pergulatan, penderitaan maupun proses penyembuhan. Ini merupakan medan pastoral yang meliputi seluruh pribadi pasien. Hal ini merupakan pesan-pesan KWI kepada Karya-karya Kesehatan Katolik di Indonesia (Hadisumarta, 1987:5).

Rumah Sakit St. Elisabeth Medan yang mempunyai motto “ketika Aku sakit kamu melawat Aku,” (Mat 25:36), senantiasa berusaha memberikan pelayanan yang terbaik sesuai dengan kharisma. Dalam hal ini memperhatikan penyembuhan yang menyeluruh bagi para pasien yang merindukan kesembuhan. Namun dalam perjalanan waktu ada fakta yang memperlihatkan bahwa pengembangan pelayanan di bidang medis lebih mendapat perhatian dari pada bidang pendampingan pastoral orang sakit.

Tim pastoral orang sakit bergerak dalam pelayanan pendampingan orang sakit senantiasa berusaha mendampingi dengan penuh perhatian dan pengabdian, supaya pasien tetap berpengharapan. Tim pastoral orang sakit sering dihadapkan pada situasi yang sulit. Misalnya pasien yang dalam penolakan terhadap penyakit, tawar-menawar dan berbagai reaksi yang lain. Berbagai situasi pasien itu membutuhkan semangat pendampingan yang penuh kesabaran, empati dan kesetiaan.

(25)

sakit, bahkan harus diopname, mungkin karena kelelahan atau stres saat melakukan pendampingan pada pasien atau keluarga pasien. Masalah-masalah yang dihadapi sedemikian kompleks. Kekurang seimbangan tenaga pastoral orang sakit dengan jumlah pasien yang harus didampingi adalah salah satu penyebabnya. Selain itu, anggota Tim kurang dipersiapkan untuk tugas pendampingan orang sakit. Dituntut kedewasaan dan kematangan pribadi dari seorang pendamping orang sakit, sehingga mampu menjadi pendamping yang setia untuk mendengarkan, sabar dan berempati. Tim Pastoral orang sakit perlu dipersiapkan, baik dari segi pengetahuan dan ketrampilan serta hal-hal yang mendukung untuk tugas pendampingan mereka terhadap orang sakit (pasien). Lebih penting lagi bahwa Tim Pastoral orang sakit perlu meningkatkan pemaknaan dan penghayatan terhadap kharisma Kongregasi yaitu, “Daya kasih Kristus yang menyembuhkan...” yang terinspirasi dari Injil Mat 25:36, ”Ketika Aku sakit kamu melawat Aku”, dan sesuai dengan keteladanan St. Fransiskus Asisi dan St. Elisabeth Hongaria.

(26)

Yesus Kristus memberikan daya kasih-Nya kepada mereka dalam setiap pengalaman hidup. Maka Tim Pastoral orang sakit juga didorong untuk mencintai orang-orang yang menderita. Dalam hal ini mereka yang menderita sakit dan yang dirawat di rumah sakit.

Menyadari bahwa tugas sebagai pendamping orang sakit adalah suatu panggilan khusus maka dibutuhkan suatu relasi yang mendalam dengan Tuhan sehingga para pendamping orang sakit dapat membantu orang sakit memaknai penderitaannya dan memberi arti positif terhadap penderitaan mereka (Melania, 1989:229). Tim Pastoral orang sakit di RSE harus berjuang menggali lebih dalam makna kharisma kongregasi untuk meningkatkan pemaknaan mereka terhadap kharisma kongregasi, sehingga mereka sungguh menghayati dan menghidupi pelayanan mereka dalam mendampingi orang sakit.

Tim Pastoral orang sakit kiranya membutuhkan hal-hal yang dapat membantu mereka untuk meningkatkan penghayatan dan pemaknaan tentang kharisma Kongregasi untuk pendampingan yang penuh persaudaraan dan cinta yang tulus pada pasien serta hidup keberimanan mereka terhadap Yesus Kristus sebagai Gembala utama. Maka dengan melihat kebutuhan dan keprihatinan ini, penulis merasa terpanggil untuk membantu Tim Pastoral orang sakit di RSE dalam pemaknaan Kharisma Kongregasi FSE dengan mengusulkan sebuah katekese model SCP (Shared Christian Praxis). Untuk tujuan ini penulis memberi judul pada karya tulis ini:

(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apa makna Kharisma Kongregasi FSE bagi Tim Pastoral Orang Sakit di RSE Medan ?

2. Sejauh mana Tim Pastoral Orang Sakit menyadari pentingnya pemaknaan terhadap kharisma Kongregasi FSE dalam pendampingan kepada pasien di RSE Medan? 3. Upaya apa yang harus dibuat untuk membantu Tim Pastoral orang sakit

meningkatkan penghayatan Kharisma Kongregasi FSE sehingga dapat mendampingi lebih baik?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Menemukan makna Kharisma Kongregasi FSE dalam pendampingan orang sakit yang menyembuhkan.

2. Menemukan gambaran pelayanan pendampingan Tim pastoral orang sakit dalam menghayati tugas mereka sesuai dengan Kharisma Kongregasi FSE (Daya Kasih Kristus yang menyembuhkan…).

3. Menemukan usaha yang dapat membantu Tim pastoral orang sakit dapat mendampingi pasien lebih baik.

(28)

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Bagi penulis sendiri merasa diperkaya dalam pengetahuan, pengalaman, khususnya pendampingan orang sakit sesuai dengan Kharisma Kongregasi FSE. 2. Memberikan sumbangan bagi pelayanan Tim pastoral orang sakit di RSE Medan

3. Bagi para suster FSE yang berkarya dalam bidang kesehatan lebih menyadari tugas perutusan mereka

4. Bagi yayasan, direktur dan semua yang terkait dalam kepengurusan yayasan RSE Medan lebih menyadari pentingnya pendampingan Pastoral orang sakit.

5. Untuk Karyawan dan karyawati RSE Medan, ambil bagian dalam pendampingan lewat tugas mereka

E. Metode Penulisan

(29)

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini mengambil judul “Pemaknaan Kharisma Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth Dalam Rangka Meningkatkan Semangat Pendampingan Tim Pastoral Orang Sakit di RSE Medan” yang diuraikan dalam lima bab:

BAB I. Pendahuluan

Bab pertama ini berisi pendahuluan yang menguraikan Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penulisan, Manfaat penulisan, Metode penulisan dan Sistematika penulisan.

BAB II. Keterlibatan Kongregasi FSE Dalam Pendampingan Pada Orang Sakit. Pada bab ini Penulis akan memaparkan keterlibatan Kongregasi FSE dalam pelayanan pada orang sakit sesuai dengan kharisma dan spiritualitas Kongregasi. Pemaparan itu diawali dengan sejarah Kongregasi hingga aplikasi pastoralnya dalam pendampingan orang sakit, teristimewa di RSE yang merupakan salah satu karya perutusan Kongregasi FSE di Indonesia. BAB III. Pendampingan Pastoral Orang Sakit di Rumah Sakit St. Elisabeth

(30)

BAB IV. Katekese Model SCP (Shared Ciristian Praxsis) Sebagai Usaha Untuk Pemaknaan Kharisma Kongregasi FSE Dalam Pendampingan Tim Pastoral Orang Sakit di RSE Medan. Bab ini merupakan suatu usulan program dalam usaha pendampingan terhadap Tim Pastoral Orang Sakit di RSE Medan untuk pemaknaan kharisma kongregasi FSE, yang dirasa cukup signifikan dan efektif, yakni dengan Katekese model SCP (Shared Ciristian Praxsis).

BAB V. Penutup

(31)

12

Setiap Kongregasi religius lahir dalam suatu konflik yang menimbulkan keprihatinan dalam setiap zamannya. Melihat situasi demikian setiap pendiri Tarekat religius di bawah inspirasi Roh Kudus, dikaruniai rahmat istimewa (kharisma) untuk ambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Setiap pendiri Tarekat religius diundang untuk terlibat dalam tugas perutusan Gereja untuk karya keselamatan sesuai dengan karunia khusus yang dianugerahkan kepada mereka dan diwariskan kepada anggotanya.

Keprihatinan yang ada dalam setiap zaman mendorong pendiri untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan semangat yang dihidupi Yesus Kristus sendiri. Hal ini diwujudkan dalam keterlibatan setiap Tarekat religius dalam tugas perutusan Gereja. sesuai dengan kekhasan masing-masing Tarekat religius. Kharisma yang dianugerahkan mengundang mereka untuk melayani Kerajaan Allah serta pengabdian pada Kerajaan Allah (Darminta, 1999:209).

Mereka dianugerahi kharisma khusus dalam rangka pembangunan jemaat dalam tugas pelayanan Gereja kepada umat yang sungguh membutuhkan. Demikian halnya Kongregasi FSE yang merupakan salah satu Tarekat religius, turut serta ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja sesuai dengan semangat Kongregasi FSE.

(32)

Pengalaman ini mendorong beliau untuk bersolider dengan mereka yang menderita. Hal ini menjadi latar belakang berdirinya Kongregasi FSE (Konst. FSE, 2000:1).

Pelayanan yang diaplikasikan dalam karya-karya kongregasi FSE selalu didasarkan pada semangat pendiri dengan kharisma serta spiritualitas yang telah diwariskan kepada para suster FSE. Kharisma kongregasi menjadi dasar dan pedoman yang penting untuk dihayati dan dikembangkan dalam tugas perutusan Kongregasi FSE.

Rumah sakit St. Elisabeth menjadi salah satu karya Kongregasi FSE yang bergerak dalam pelayanan kesehatan masyarakat umum. Pelayanan kepada orang sakit menjadi perhatian yang besar dalam Kongregasi FSE, mengingat semangat awal berdirinya Kongregasi FSE adalah perhatian pada mereka yang menderita sakit. Orang sakit juga dipandang sebagai citra Allah dan mahluk yang bermartabat tinggi yang wajib mendapatkan perhatian dan cinta. Mereka merupakan bagian tubuh Gereja yang menderita dan layak mendapat perhatian khusus.

A. Sejarah Singkat Kongregasi Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE)

Untuk mengenal lebih jauh Kongregasi FSE, maka pada bagian ini akan dipaparkan sejarah singkat Kongregasi FSE yang diawali dengan cikal bakal Kongregasi, riwayat singkat pendiri, dan akhirnya melihat misi serta karya-karya Kongregasi FSE di Indonesia.

1. Cikal Bakal Kongregasi FSE

(33)

yang tinggal di rumah masing-masing terlantar tanpa mendapat perawatan. Situasi ini menggerakkan hati Mgr. Henricus van Beek (Uskup Breda) untuk melakukan sesuatu demi keselamatan orang-orang sakit yang terlantar itu. Didukung oleh semangat pelayanan yang tinggi dan tugasnya sebagai Uskup, ia membutuhkan keterlibatan dan uluran tangan dari orang-orang yang bersedia mewujudkan keinginannya melayani orang sakit dari rumah ke rumah.

Atas dasar kebutuhan dan keprihatinan tersebut, Mgr. Henricus van Beek mulai berunding dengan para “suster hitam” (karena memakai jubah warna hitam) dari Biara Antwerpen Belgia untuk kemungkinan mendirikan biara di Keuskupan Breda. Ketika perundingan belum selesai ada sesuatu hal yang sulit untuk disepakati, yakni biara tersebut memiliki cara hidup yang tertutup (clausura ketat) tidak mungkin untuk melakukan pelayanan dari rumah ke rumah. Kenyataan ini mendorong Mgr. Henricus van Beek meminta nasehat dari pemuka masyarakat dan Dewan Paroki di kota Breda. Setelah dipertimbangkan bersama, mereka menyampaikan kepada Uskup supaya mencari kongregasi pribumi yang anggotanya berasal dari Belanda, yang memiliki budaya dan bahasa yang sama. Dengan pertimbangan akan lebih mudah baik bagi suster yang merawat maupun bagi orang yang dirawat. Mgr Henricus van Beek memahami usul itu, tetapi ia dihadapkan pada kesulitan, sebab zaman itu semua kongregasi memiliki peraturan dan tradisi biara clausura (pingitan) abadi yang ketat (Wilfrida, 2008:1).

(34)

dimaksud adalah Kongregasi religius), yang diyakini memiliki kemampuan untuk menangani karya baru tersebut (Wilfrida, 2008:1).

Rumah Sakit Haagdijk yang kemudian disebut Biara Alles voor Allen

didirikan oleh Moeder Theresia Saelmakers pada tahun 1826. Biara ini secara khusus membaktikan diri pada perawatan orang sakit di rumah sakit dan memiliki corak hidup yang khas yakni mengejar kesempurnaan hidup, dengan menjunjung tinggi dan mencintai secara mendalam anggaran dasar yang mengikat hidup rohani dan persaudaraan. Mereka akan mempertahankan keanggotaan kongregasinya di atas segala-galanya (Wilfrida, 2008:2).

Ketika Mgr. Henricus van Beek mengetuk pintu Biara Alles voor Allen dan meminta kepada pemimpin umum (Sr. Alfonse) untuk melayani orang sakit dari rumah ke rumah langsung ditolak karena situasi biara yang sedemikian ketat. Bahkan untuk membicarakan secara resmi lebih lanjut pun tidak bersedia karena clausura

abadi. Pemimpin umum tidak yakin, para suster dapat menyelaraskan usul yang baru itu dengan Anggaran Dasar Ordo III Regular yang telah mereka hidupi.

Mgr. Henricus van Beek menjelaskan, bahwa anggaran dasar tidak bertentangan dengan permintaannya. Mengenai cara hidup peniten recolektin, akan disesuaikan dengan karya pelayanan yang baru. Usulan ini tetap ditolak. Akan tetapi, Mgr. Henricus van Beek tidak putus asa, malah mendesak pemimpin umum Alles voor Allen supaya menerima karya pelayanan tersebut.

(35)

cerita yang tidak berdasar mengenai pendirian kongregasi baru maka kedua belah pihak sepakat supaya dibuat satu surat resmi dengan isi sebagai berikut:

Berhubungan dengan pendirian kongregasi suster-suster yang bertujuan merawat orang sakit dari rumah ke rumah, Yang Mulia Mgr. Henricus van Beek, telah mengajukan permohonan kepada Pemimpin Umum Kongregasi “Alles voor Allen” yang berpusat di Rumah Sakit Swasta (Gasthuis) di Breda, agar kiranya mereka bersedia menyerahkan beberapa suster untuk memulai usaha tersebut. Setelah perembukan bersama, diputuskan bahwa yang mulia Mgr. Henricus van Beek akan bertanya kepada setiap suster mengenai kesediaannya untuk turut memulai karya kasih itu. Sebagai syarat ditentukan bahwa tak seorang pun dapat dipaksa atau diwajibkan atas nama ketaatan untuk menerima penugasan ini. Orang yang bersangkutan hanya boleh secara bebas memilih dan dengan demikian bersedia secara bebas juga meninggalkan Kongregasi “Alles voor Allen”, tanpa menuntut hak apapun dari Kongregasi tersebut. Mengenai dote yang telah dibawa masuk ke kongregasi, Mgr. Henricus van Beek dan Pemimpin Umum Kongregasi Alles voor Allen akan berunding di kemudian hari (Buku 100 tahun Alles voor Allen, 104-105). Setelah Mgr. Henricus van Beek mendengar pendapat semua suster, ternyata hanya dua orang yang bersedia dalam rencana itu. Kedua suster itu adalah Sr. M. Mathilda Leenders dan Sr. M. Anna yang atas kehendaknya sendiri meninggalkan Kongregasi Alles voor Allen, sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Surat resmi ini ditanda tangani kedua suster tersebut pada tanggal 25 Juli 1880 (Wilfrida, 2008:3).

2. Riwayat Singkat Pendiri Kongregasi FSE

(36)

yang teguh, bijaksana, hati-hati, ramah dan peka pada situasi lingkungan hidupnya (Eddy Kristianto, 2008:5).

Wilhelmina Leenders terpanggil untuk memasuki hidup membiara pada usia 26 tahun, usia yang cukup matang menentukan pilihan hidupnya. Maka tepat pada tanggal 12 September 1849, ia masuk biara Alles voor Allen, dengan nama Sr. M. Mathilda Leenders dan mengucapkan kaul kekal 26 Oktober 1851.

Biara Alles voor Allen adalah biara yang menganut cara hidup Ordo III Regular Santo Fransiskus Asisi sebagai peniten rekolektin. Mereka menghayati hidup religius dalam bentuk pengabdian total kepada Allah dan dunia, dalam keheningan dan kontemplasi. Mereka tinggal dalam clausura ketat, tidak ‘merasul’ ke luar kintal

biara (lingkungan biara). Hidup doa, matiraga, penitensi dan kerja tangan sangat dijunjung tinggi (Wilfrida, 2008:6).

Kehidupan religius sebagai peniten rekolektin di Biara Alles voor Allen telah memperkokoh pribadi dan membentuk hidup religius Sr. M. Mathilda Leenders menjadi seorang pengikut Fransiskus Asisi sebagai peniten rekolektin. Ia memiliki semangat hidup yang menekankan penyangkalan diri dan mati raga. Menurutnya, pandangan dan kehendak sendiri harus dikekang secara keras. Dengan demikian jiwa-jiwa akan tumbuh kuat, sehingga mampu menghadapi setiap kesulitan yang ada. Doa yang mendalam menjadi dasar bagi kehidupan religiusnya. Dalam doanya ia mampu melihat wajah Kristus dalam diri orang yang menderita. Semangat hidupnya itulah menjadi fundasi yang kokoh bagi generasi penerus kongregasi (Wilfrida, 2008:7).

(37)

dibentuk dengan hidup religius peniten rekolektin di Biara Alles voor Allen. Namun keprihatinan untuk melayani orang sakit dari rumah ke rumah yang ditawarkan Tuhan lewat Mgr. Henricus van Beek, Uskup Breda sangat menggugah hatinya. Ia dihadapkan pada dua pilihan, tetap tinggal di dalam biara awal atau menerima tawaran Mgr. Henricus van Beek untuk pelayanan pada masyarakat yang sangat membutuhkan.

Sr. M. Mathilda Leenders memikirkan dan merenungkan secara matang dalam doanya. Akhirnya dalam keheningan ia menemukan jawaban bahwa pelayanan dari rumah ke rumah merupakan panggilan kedua dari Tuhan baginya untuk dilaksanakan segera. Maka pada tanggal 25 Juli 1880, Sr. M. Mathilda Leenders dan Sr. M. Anna, menandatangani surat yang menyatakan kerelaan melepaskan diri dari keanggotaan Biara Alles voor Allen. Empat hari kemudian tanggal 29 Juli 1880, mereka meninggalkan Biara Alles voor Allen. Kedua suster ini tinggal di sebuah rumah sederhana di St. Janstraat, di belakang Gereja St. Antonius Breda (Yubileum FSE dalam bahasa Belanda, Wilfrida 2008:12).

Tiga hari kemudian, tepat 01 Agustus 1880, resmi berdiri kongregasi baru dengan nama “Kongregasi Religieuze Penitenten Recolectinen van de Heilige Franciscus van Asisi”. Sebagai Pelindung Kongregasi dipilih “Santa Elisabeth dari Hongaria”, karena santa ini diteladani Gereja Katolik sebagai pencinta orang-orang miskin dan menderita, khususnya orang-orang sakit.

(38)

membantu yakni Sr.Yuliana dan Sr. Berta. Namun setelah sembilan bulan, kedua suster terakhir ini kembali ke biara asal.

Sesuai dengan kharisma, tujuan dan cita-cita pertama pendirian Kongregasi baru, adalah “merawat orang sakit dari rumah ke rumah” maka cara hidup peniten rekolektin yang kontemplatif ketat, tidak mungkin lagi dilaksanakan oleh Sr. M. Mathilda Leenders. Namun demikian, penghayatan Anggaran Dasar Ordo III Regular St. Fransiskus Asisi sebagai peniten rekolektin, yang dihidupi dari Biara

Alles voor Allen, tidak ditinggalkan. Tetapi Sr. M. Mathilda Leenders bersama suster yang lain menghayati dan menghidupinya secara baru dengan menyusun aturan hidup guna menyeimbangkan antara hidup doa dan kerja, sesuai dengan karya pelayanan yang dimulai. Sebagai peniten rekolektin, ia tetap menaruh tekanan kuat pada penyangkalan diri dan matiraga. Relasi dengan Tuhan selalu diutamakan sebagai sumber hidup religiusnya.

Kesibukan dalam pelayanan tidak menghalangi Sr. M. Mathilda Leenders dan para suster yang lain untuk mencari kekuatan Tuhan dalam doa dan Perayaan Ekaristi. Kesatuan dengan Tuhan dalam doa mendorong mereka rajin dan bergembira dalam melaksanakan karya pelayanan. Sr. M. Mathilda Leenders menanamkan bahwa pelayanan yang benar ádalah pelayanan yang mengandalkan daya penyembuhan dari Allah.

(39)

yang diwariskan oleh Sr.M. Mathilda Leenders untuk menjiwai seluruh kehidupan mereka.

3. Misi Kongregasi FSE di Indonesia

Cinta kasih Allah yang tumbuh dalam diri para suster yang pertama di negeri Belanda didorong untuk disebarkan dan dibagikan keseluruh dunia, hingga sampai ke Indonesia. Kerinduan misi ini mulai pada tahun 1922, saat itu Mgr. Mathias Brans, pemimpin misi OFM Cap di Sumatera, ingin mengembangkan misi khususnya di bidang kesehatan. Mgr. Mathias Brans, meminta tenaga ke Belanda melalui Mgr. Petrus Hopmans. Pilihan itu jatuh pada Kongregasi FSE Breda yang sudah berpengalaman dalam merawat orang sakit. Tawaran itu disambut baik oleh Moeder Asisia, selaku pemimpin umum Kongregasi FSE saat itu (Konst. FSE, 2000:8).

Pada awalnya tawaran tersebut tidak dipedulikan oleh para anggotanya, mereka tidak ada yang mendaftarkan diri. Baru setelah 16 Juli 1924, ada empat orang suster yang dikirim ke Indonesia untuk menjadi missionaris yaitu ; Sr. Pia, Sr. Philotea, Sr. Gonzaga dan Sr. Antoninette. Para suster ini tiba di Indonesia satu tahun kemudian yaitu pada tanggal 29 September 1925 (Konst. FSE, 2000:8).

(40)

Imam Bonjol Medan. Pada tanggal 1 Februari 1934 mereka membangun sebuah rumah istirahat bagi penderita TBC di Berastagi (Konst. FSE, 2000:9).

Pada awalnya karya kesehatan berjalan dengan baik. Namun dengan kehadiran Jepang di Indonesia, khususnya di Medan, memberi dampak yang kurang baik. Salah satu dampaknya adalah Rumah sakit milik Kongregasi harus diserahkan kepada Jepang. Sedangkan para suster ditawan dan dimasukkan ke dalam penjara (Konst. FSE, 2000:10). Sekalipun di dalam penjara, para suster tetap merawat orang sakit dan menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan. Penderitaan yang dialami di penjara membuat para suster banyak yang meninggal, antara lain Sr. Philotea yang adalah seorang suster missionaris pertama di Indonesia.

Memasuki tahun 1945 Jepang kalah dan perang berakhir. Maka pada tahun 1947 RSE dikembalikan dan sejak itu RSE mulai beroperasi lagi. Pada tahun 1950 FSE memulai kembali karyanya, banyak gadis setempat yang berminat dan menggabungkan diri. Kemudian calon-calon ini di kirim ke Belanda untuk dibekali pendidikan iman. Karena calon hari demi hari bertambah, akhirnya pada tanggal 19 November 1955, Kongregasi memutuskan untuk mendirikan Novisiat di Jl. Slamet Riyadi 10, Medan (Konst. FSE, 2000:10).

B. Kharisma dan Spiritualitas

(41)

1. Kharisma a. Arti Kharisma

Kharisma berasal dari bahasa Yunani charisma, yaitu pemberian karunia secara pribadi untuk kepentingan umat beriman. Menurut Santo Paulus, Kharisma merupakan karunia (hadiah istimewa) atau anugerah Roh Kudus yang luar biasa, yang diberikan kepada orang beriman supaya membantu karya keselamatan dan melayani umat. Karunia atau anugerah itu bermacam-macam (1Kor 12:1-4, Rm.12). Kharisma ialah bakat kemampuan baik yang sederhana maupun yang luar biasa dan dijiwai oleh Roh.

Karunia-karunia itu diwujudkan untuk perkembangan dan kemajuan Gereja, bukan hanya kegiatan atau kesibukan belaka, tetapi terutama pada pengembangan umat. Paulus menyatakan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus. Komunitas Kristiani merupakan kesatuan. Dalam komunitas Kristiani setiap anggota mempunyai talenta masing-masing, tetapi semua anggota adalah penting dan tubuh komunitas membutuhkan karya masing-masing. Setiap anggota melaksanakan tugas pelayanan lewat pewartaan iman Kristiani, kesaksian hidup, semangat melayani. Dapat dikatakan bahwa kharisma merupakan rahmat khusus yang diterima oleh orang tertentu maupun kelompok dalam bermacam-macam anugerah (1 Kor 12:11) yang harus dikembangkan (Jacobs, 1997:19).

Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium secara spesifik menjelaskan kharisma sebagai berikut:

(42)

Dalam pelayanan setiap orang mampu bersikap dan bertindak sebagai murid Kristus, yang mau berjuang bersama sesamanya dalam segala aspek kehidupan.

Kharisma merupakan anugerah kepada setiap pribadi atau suatu kelompok. Kelompok ini dapat menimba kelimpahan anugerah yang diberikan pada seorang tokoh. Kharisma juga dapat dimengerti sebagai anugerah Roh Kudus yang diberikan kepada perorangan atau kelompok untuk membangun jemaat, yang disertai dengan kemampuan untuk mewujudkannya dalam bentuk pelayanan (Darminta, 1983:14).

Dari penjabaran di atas dapat dipahami bahwa setiap orang Kristen adalah karismatis karena masing-masing menerima rahmat Allah dengan cuma-cuma dengan segala pemberian rohani dalam Roh Kudus, teristimewa keselamatan dalam Yesus Kristus dan hidup kekal. Setiap orang maupun kelompok dianugerahi kemampuan dalam Roh Kudus, sehingga mampu melakukan hal-hal yang sesuai dengan kebutuhan jemaat.

Kharisma yang dianugerahkan menuntut suatu pilihan bagi setiap orang atau kelompok yang menerimanya. Ada orang menanggapi kharisma yang dianugerahkan dengan hidup di tengah-tengah dunia ini sebagai seorang awam yang memperkembangkan jemaat. Ada juga orang menanggapi kharisma dengan memilih hidup sebagai seorang selibat. Dengan demikian orang tersebut bergabung dalam tarekat yang ia masuki yang tentunya memiliki kharisma khusus yang dihidupi.

b. Kharisma Tarekat Religius

(43)

semangat pendiri Tarekat yang telah terlebih dahulu digerakkan oleh Roh. Dalam hal ini kharisma dimengerti sebagai berikut :

Daya kekuatan Allah dalam Roh sebagai daya cipta. Kharisma merupakan daya kehidupan untuk melawan daya kematian dan penghancuran. Kharisma merupakan kekuatan untuk menjalankan Misi sesuai dengan Visi Tarekat. Sesuai dengan kebutuhan keadaan, Allah menganugerahkan daya hidup ilahi-Nya. Kharisma memberikan kekhasan dalam menjawab kebutuhan. Kharisma memberikan ciri khas dalam hidup dan menjawab tantangan serta kebutuhan. Kharisma merupakan kekuatan atau keunggulan jawaban Allah. Berdasarkan kharisma, setiap Tarekat memberikan sumbangan khas dalam pelayanan terhadap kemanusiaan dan kehidupan. Kekhasan dan keunggulan bukan berarti mengungguli yang lain, melainkan melakukan pelayanan secara berbeda kualitatif, melakukan pelayanan yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak lain. Dari sini terdapat salah satu pembentuk unsur khas dari kerohanian Tarekat Religius. Dari sini akan muncul prinsip pengabdian (Darminta, 1999:20).

Secara umum dapat dikatakan bahwa kharisma tarekat dianugerahi Roh untuk pembangunan Gereja dan pelayanan misi dari Tuhan di dalam Gereja. Secara historis kharisma dianugerahkan kepada Gereja lewat orang tertentu atau kelompok tertentu untuk menjawab tantangan-tantangan hidup, supaya kuasa Allah nampak dalam kehidupan manusia. Maka kharisma dapat berkaitan dengan misteri hidup Allah dalam wujud konkretnya dalam hidup Yesus, sifat-sifat ilahi yang nampak dalam pribadi Yesus, tindakan-tindakan Allah dalam diri dan hidup Yesus terhadap banyak orang.

(44)

keterlibatan hidup bagi kepentingan sesama. Oleh karena itu kharisma selalu mempunyai ciri pengabdian atau pelayanan.

Pada zaman sekarang orang semakin menyadari bahwa sebagaimana Gereja dipanggil untuk melayani Kerajaan Allah, maka kharisma tidak dapat tidak juga tertuju kepada pengabdian kepada Kerajaan Allah. Boleh dikatakan kalau demikian kharisma merupakan pelayanan ilahi bagi manusia, supaya hidup menurut nilai-nilai Kerajaan Allah, sekaligus memperjuangkan terwujudnya hidup berdasarkan Kerajaan Allah (Darminta, 1999: 208).

c. Kharisma Kongregasi FSE

Sebagai Tarekat Religius, Kongregari FSE mempunyai warisan kharisma lewat pribadi pendiri. Karena itu kharisma Kongregasi senantiasa terkait dengan pendiri Kongregasi, yang telah menerima anugerah khusus dari Tuhan dan alat istimewa untuk karya penyelamatan di dunia. Dengan demikian seluruh anggota wajib menyesuaikan prilaku, cara melihat dan mendasarkan hidup dan karya, cara berpikir sesuai dengan apa yang telah diwariskan Pendiri.

(45)

Allah dialami sebagai kesatuan dengan dirinya, dengan seluruh keprihatinan dan kepeduliannya (Konst. FSE, 2000:3). Kesatuan ini melahirkan tindakan berbela rasa dengan orang sakit, sekaligus melihat Kristus yang menderita dalam diri orang-orang sakit dan mau melayani mereka yang menderita sebagai saudara. Karena itu dapat disimpulkan bahwa kharisma yang menjiwai pendiri lebih mengarah pada mistik serafika (memandang wajah Allah dari muka ke muka). Mistik serafika ialah menyatakan jiwa manusia yang mau membangun kesatuan mesra/afektif dari hati ke hati (Wilfrida, 2007:24).

(46)

Pertama; Kasih, hidup dan pelayanan seorang suster FSE mengalir dari kasih oleh kasih dan demi kasih Allah. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa seluruh hidup anggota FSE, merupakan ungkapan kasih Allah kepada sesama.

Kedua; Penyembuhan dan Pengampunan, berarti kasih yang benar dan sejati merupakan suatu daya yang mengalirkan kesembuhan bagi orang “sakit”. Oleh karena itu seorang suster FSE diharapkan adalah orang yang berkualitas penyembuh baik bagi dirinya sendiri, bagi saudara sekongregasi, sekomunitas dan bagi orang-orang yang dilayani. Menjadi penyembuh bukan saja berarti bagi penderita fisik, tetapi juga bagi setiap orang yang menderita, baik secara fisik maupun secara psikis. Penyembuhan hati sangat erat terkait bahkan menyatu dengan pengampunan. Oleh sebab itu anggota FSE sejati adalah orang yang mampu mengampuni dan sebaliknya dengan rendah hati mau dengan rela minta diampuni dan rela mengampuni.

Ketiga; Opsi orang kecil, berarti bahwa dalam pelayanan kasih seorang anggota FSE senantiasa mengutamakan orang-orang yang paling membutuhkan. Karena itu orang-orang kecil dan menderita menjadi prioritas (option of the poor).

Dalam opsi ini seorang anggota FSE hadir sebagai hamba dan menjadi hamba bagi orang-orang yang dilayani. Hal ini dihayati dalam kesederhanaan hidup.

(47)

Kharisma ini mau menggambarkan unsur kemuridan Suster FSE yang mau mengikuti Sang Guru. Mereka rela memperjuangkan kasih bagi yang miskin dan lemah sekalipun mereka sendiri harus berkorban dan menderita. Karena kharisma yang sejati tidak pernah terpisahkan dari salib, yaitu menanggung derita karena memperjuangkan manusia secara adikodrati, yang biasanya ditentang oleh hidup duniawi (Formator Junior FSE, 2006:4). Sifat dan ciri kharisma ini kemudian diwariskan secara turun-temurun dalam Kongregasi FSE.

Kemudian kharisma ini dipertajam dalam visi dan misi Kongregasi. Visi itu adalah: “Allah adalah Kasih, yang secara konkret menyapa umat manusia khususnya kaum tertindas dan menderita. Allah menghendaki agar semua orang diselamatkan dan dipersatukan menjadi umatnya” (Konst. FSE, 2000:6). Untuk itu Kongregasi dipanggil untuk dibentuk dalam Roh-Nya, disucikan lewat wafat dan kebangkitan-Nya, serta dipanggil secara pribadi untuk mengikuti Kristus (Rom 6:4-5), yang adalah jalan, kebenaran dan hidup (Yoh14:6). Sedangkan misinya adalah: “Merawat orang sakit dan orang-orang yang memerlukan pertolongan serta bersedia membagi kasih kepada sesama dengan semangat pengosongan diri dan penuh kegembiraan di dalam melayani” (Konst. FSE, 2000:7-8).

2. Spiritualitas Dalam Lingkup Gereja

(48)

a. Arti Spiritualitas

Kata, “spiritualitas” pertama-tama digunakan pada abad ke-17. Spiritualitas berasal dari kata Latin spiritus, yang berarti roh, jiwa dan semangat. Dari kata Latin ini terbentuk kata Prancis l,esprit dan kata bendanya laspiritualite. Dari kata ini, kita mengenal kata Inggris spirituality, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata spiritualitas. Spiritualitas berarti hidup berdasarkan atau menurut roh. Dalam hubungan dengan Yang Transanden, roh itu adalah Roh Allah sendiri. Spiritualitas adalah hidup yang didasarkan pada pengaruh bimbingan Roh Allah. Dengan spiritualitas, manusia bermaksud memberi diri dan hidupnya dibentuk sesuai dengan semangat dan cita-cita Allah (Hardjana Agus, 2005:64).

Karena spiritualitas terasa begitu umum dan abstrak, agar penghayatan spiritualitas menjadi konkret dan jelas, maka dalam praktek spiritualitas diwujudkan dengan mengikuti jejak atau hodup tokoh-tokoh agama, para pendiri agama atau para pengikut agama yang dapat diteladani (Hardjana Agus, 2005:65).

Dapat disimpulkan bahwa pengertian dan makna spiritualitas, yaitu perwujudan harapan akan hidup Kristiani melalui Kristus dalam Roh yang mengarah pada suatu tujuan bersama. Spiritualitas digunakan untuk melukiskan cara yang berbeda yang menjadi sarana orang mengalami Yang Transanden. Orang memupuk hidup kristiani dalam Kristus sejauh iman merupakan akar hidup yang dipahami sebagai jawaban manusia atas rahmat Allah.

(49)

Secara sadar kita sebagai orang beriman sedang menghidupkan warisan rohani (spiritualitas) dalam situasi konkrit kita: di sini dan saat ini. Berdasarkan pengalaman, kita mengetahui dengan baik sekali bahwa cara pandang, cara tafsir, aturan (statuta atau konstitusi) sangat dipengaruhi oleh siapa yang mengajar kita (dengan berbagai bobot dan kualifikasi), bagaimana kita sendiri mencoba mendalami warisan rohani itu dan mengembangkannya dalam hidup sehari-hari, bagaimana kita mengkomunikasikan kepada sesama apa yang merupakan keyakinan rohani kita, dan lain sebagainya (Kristianto Eddy, 2005:11).

Spiritualitas yang diwariskan dan dilestarikan oleh seorang tokoh kepada para

pengikutnya tidak berdiri sendiri. Dalam hal ini Darminta (1999:10), menyatakan bahwa terbentuknya spiritualitas terdiri dari beberapa unsur yaitu:

1) Visi Keadaan Serta Visi ke Depan

Visi adalah penglihatan tentang keadaan yang ditandai oleh gerakan perubahan. Visi merupakan penglihatan arah atas arah baru perjalanan hidup dengan segala kebutuhan-kebutuhan untuk menciptakan kemanusiaan baru. Bila dihubungkan dengan visi kristiani, visi dapat dimengerti sebagai penglihatan iman. Visi menunjukkan arah hidup dari Allah, yang nampak dalam kebutuhan-kebutuhan baru, yang mendorong perlunya jawaban-jawaban yang sesuai dan baru.

2) Misi

(50)

dan keadaan dan diyakini sebagai kehendak dan pengutusan Allah. Misi adalah sesuatu yang harus diperjuangkan demi terwujudnya arah perubahan yang ditemukan dalam visi. Misi merupakan buah penemuan dari daya daya imaginatif, kreatif dan innovatif Allah, yang dianugerahkan kepada pendiri Tarekat untuk menjawab kebutuhan agar terwujud kemanusiaan dan kehidupan yang lebih.

3) Pengalaman Akan Allah yang Melahirkan Model Mistik

Mistik adalah pengalaman akan Allah dalam Roh Kudus yang membawa Injil yaitu Yesus Kristus, sejalan dengan tantangan yang perlu dijawab, melahirkan pengalaman mistik para pendiri. Hidup mistik ialah hidup kedalaman manusia serta seluruh alam cipataan. Dari situlah akan nampak sumbangan khas hidup atau Tarekat Religius. Di dalam nya muncul prinsip kebersamaan: persatuan, persaudaraan, kesatuan hati dan budi, solidaritas dan belas kasih.

Berdasarkan kemuridan dari Yesus, dapatlah disebut tiga model mistik sebagaimana dimiliki oleh Yesus Kristus yakni:

Pertama; Model kenyataan manusia sebagai gambaran dan rupa Allah (Kej 1:26) yang dinyatakan secara utuh dan sempurna oleh Yesus Kristus (Kol 1:15; 3:10; Ibr 1: 3). Mistik Kecitraan inilah dalam teologi para Bapa Gereja disebut mistik Kerubika. Mistik kerubika ini disebut juga mistik intelektual, yang mengungkapkan kebenaran manusia dalam Allah. Manusia sebagai manifestasi Allah diharapkan mengenakan sifat-sifat Allah dan cara bertindak Allah.

(51)

lain-lain). Dalam tradisi para Bapa Gereja disebut mistik serafika, mistik hati dan afeksi. Fokus mistik ini adalah nilai persaudaraan, karena sama-sama anak Bapa yang sama. Dalam hubungan jiwa dan Allah sering disebut mistik kemempelaian. Ketiga; Model hidup yang terarah kepada pelaksanaan kehendak Allah dalam kehidupan yang intergral. Model ini sering disebut model mistik hamba. Yesus pun juga dimengerti sebagai Hamba (Mat 12:15b-21; Luk 4:16-21). Dalam tradisi para Bapa Gereja, mistik ini disebut mistik angelika, mistik kehendak.

4) Kharisma

Kharisma adalah daya kekuatan Allah dalam Roh sebagai daya cipta. Kharisma merupakan daya kehidupan untuk melawan daya kematian dan penghancuran. Kharisma merupakan kekuatan untuk menjalankan misi sesuai visi. Sesuai dengan kebutuhan keadaan, Allah menganugerahkan daya hidup ilahi-Nya. Karisma memberikan cirikhas dalam hidup dan menjawab tantangan serta kebutuhan.

5) Pilihan Pola Hidup untuk Memperjuangkan Visi dan Misi

Pilihan-pilihan untuk membangun pola hidup religius baru disertai dengan pendalaman sejarah Tarekat serta riwayat hidup pendiri beserta kharisma dan visi pendiri. Pilihan pola hidup dikhususkan untuk memperjuangkan visi dan misi yang telah dipilih.

(52)

Pangilan pada jalan kemuridan merupakan suatu undangan untuk masuk ke dalam dan terlibat dalam seluruh dinamika komunitas. Berdasarkan semangat dasar yang dimiliki dalam kharisma memberikan ciri khas dan sumbangan khas dalam hidup Gerja dan pelayanan pada umat manusia. Kekhasan atau keunggulan bukan berarti mengungguli yang lain, melainkan melakukan pelayanan secara berbeda kualitatif, melakukan pelayanan yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak lain.

7) Inner Force dan Inner Fire

Perpaduan antara kebutuhan jaman, jawaban Allah serta pilihan orang, yang melahirkan model mistik, mengkristalisasikan dalam keyakinan iman dasar. Keyakinan dasar itulah yang merupakan daya juang asasi dari Tarekat Religius. Keyakinan dasar sebagai daya juang asasi merupakan Inner Force untuk hidup bertindak. Keyakinan dasar sebagai buah Inner Force dari Allah yang dianugerahkan akan berciri tiga macam secara asasi, sebagaimana tiga mistik. Inner Force yang merupakan kekuatan dasar kerohanian itu dapat berupa sesuatu doa, atau syahadat baik singkat atau panjang.

(53)

bentuk trilogi pada umumnya akan dirumuskan sesuai dengan mistik yang dimiliki, sejalan dengan Inner Force yang dianugerahkan pula.

c. Spiritualitas Tarekat Religius

Dalam hubungan dengan Tarekat Religius, Darminta (1999:15), melihat dan mengemukakan hubungan erat antara spiritualitas dengan kharisma (pendiri), serta unsur-unsur yang ada dalam spiritualitas. Spiritualitas, atau ”inner force” yang memberikan jiwa dan semangat (inner fire) sesuai dengan kharisma, karena inner force melekat dengan kharisma yang dianugerahkan. Spiritualitas ini mencakup pokok-pokok sebagai berikut:

1) Spiritualitas sebagai ‘Inner Force’ dan ‘Inner Fire.

Kharisma memiliki dimensi pendayaan dan penyemangatan. Kharisma merupakan kekuatan kedalaman hidup sekaligus kekuatan penggerak hidup. Dengan demikian kharisma memberikan model kedalaman, ketinggian, serta keluasan hidup. Kharisma merupakan kekuatan kedalaman hidup yang bersumber pada Roh. Setiap Tarekat religius memiliki kekuatan dasar, dalam hal ini sebagai penentu kekhasan kerohanian serta perjalanan hidup dan pengabdian.

2) Spiritualitas Fundamental

(54)

Spiritualitas ini akan bergerak dalam pilihan-pilihan fundamental dalam hidup. Karena itu spiritualitas ini akan membentuk kepribadian dalam arti pancaran hidup yang akan berpengaruh ke sekitar. Di sinilah daya dan obor hidup mendapatkan arah ke depan, karena kepribadian terutama adalah kenyataan diri yang akan diwujudkan, sekaligus kekuatan untuk mewujudkan. Kepribadian sesungguhnya akan nampak pada akhir serta tujuan.

3) Spiritualitas sebagai Kebatinan atau Interioritas

Spiritualitas ini menyangkut daya-daya batin serta jiwa manusia sebagai akibat ‘Inner Force’ dan Inner Fire’ di dalam model mistik yang hidup di dalam diri seseorang. Daya-daya batin ini merupakan kekuatan unutk mempengaruhi dalam pembentukan bangunan jiwa manusia. Dalam perjumpaan dan relasi dengan sesama ciptaan disebut keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan itu dapat dibagi menjadi tiga, yaitu keutamaan teologal, keutamaan kardinal dan keutamaan moral. Sesuai dengan model mistik yang dimiliki oleh orang, maka akan terjadi penekanan-penekanan menenai keutamaan mana yang sentral, atau memberikan konsistensi gerak dalam hidup.

4) Spiritualitas Sosial-Historis yang Mengikuti Hukum Inkarnasi

(55)

tergantung pilihan dan keyakinan mana yang dianggap akan efektif untuk menyampaikan pelayanan dan pengabdian. Dalam level ini kita menjumpai pola hidup serta cara bertindak yang selalu dapat diubah serta preferensi-preferensi yang dapat diperbaharui serta diubah pula.

3. Spiritualitas FSE Berdasarkan Semangat Fransiskan

Pada bagian ini akan dijelaskan secara khusus tentang spiritualitas Fransiskan. Kemudian akan ditampilkan juga suatu pengalaman St. Fransiskus Asisi tentang kisah perjumpaannya dengan orang sakit kusta sebagai awal pertobatannya. Kisah perjumpaan St. Fransiskus Asisi dengan orang kusta tersebut menjadi semangat pertobatan dalam Kongregasi FSE sekaligus menjadi spiritualitas Kongregasi. Maka pada akhir sub ini akan diuraikan tentang spiritualitas Kongregasi FSE.

a. Spiritualitas Fransiskan

(56)

Adanya perbedaan dalam penghayatan spiritualitas, sebagian besar bergantung pada kepribadian para pendiri dan waktu komunitas-komunitas religius itu berkembang. Sehubungan dengan ini Paus Pius XII melukiskannya sebagai berikut:

Spiritualitas setiap santo-santa merupakan cara khususnya untuk menggambarkan Allah baginya, berbicara tentang-Nya, cara mendekati-Nya. Setiap santo melihat gelar Allah dalam terang apa yang paling menyentuh pikirannya, menyerap hatinya secara mendalam, yang menarik, menaklukkan dirinya. Bagi setiap santo-santa, satu keutamaan khusus dari Kristus merupakan cita-cita yang hendak diperjuangkan dalam hidupnya (Paskalis, 2007:25).

Penghayatan spiritualitas berhubungan erat dengan pengalaman santo-santa pada zamannya. Mereka terlebih dahulu mengalami Allah dalam pengalaman hidup kemudian menggambarkan Allah sesuai dengan pengalaman yang paling menyentuh sebagai suatu keutamaan pribadi Yesus Kristus yang akan dihidupi dan diperjuangkan.

Meyangkut kekhususan spiritualitas St. Fransiskus Asisi, seorang Fransiskan mengatakan demikian:

Jika sesuatu yang khusus dapat diamati pada diri Fransiskus, hal itu adalah keinginan yang kuat untuk tidak memiliki kekhususan. Spiritualitas Fransikan adalah semata-mata menghayati Injil. Namun karena dia adalah seorang pribadi yang unik dan menarik, Gereja menemukan kharismanya yang khusus itu, yang disebut dengan spiritualitas Fransiskan. Pius XII lebih jauh menyatakan, Ajaran Fransiskan memandang Allah adalah kudus, besar, dan melampaui semua, baik, sungguh baik. Allah juga dialami sebagai kasih. Dia hidup karena kasih, menciptakan karena kasih, menjadi daging, menebus, menyelamatkan dan menjadikan suci karena kasih. Fransiskus memandang Yesus dalam kasih manusiawinya (Paskalis, 2007:26).

(57)

Allah, dalam persaudaraan dengan semua orang dan segenap ciptaan, berpartisipasi dalam hidup dan missi Gereja, dalam pertobatan terus-menerus, dalam hidup doa-liturgis, pribadi, bersama dan sebagai pembawa damai” (Paskalis, 2007: 24). Pada kenyataannya, salah satu unsur hakiki dari spiritualitasnya adalah menjadi lebih hina-dina dan pengikutnya menjadi saudara-saudara hina-hina-dina.

b. Pengalaman St. Fransiskus Asisi Sebagai Cara Hidup Mengikuti Yesus

Perjumpaan St. Fransiskus Asisi dengan orang sakit kusta menjadi saat pertobatan yang mengubah seluruh orientasi hidupnya (Groenen, 1997:121). Pada awalnya Fransiskus menganggap penyakit kusta menjijikkan dan menakutkan, sehingga ia memberi perhatian lewat bantuan orang lain. Suatu kali Fransiskus dalam perjalanan pulang dari Roma, ia berjumpa dengan seorang sakit kusta. Batinnya tergugah dan ia bergulat dengan diri sendiri. Fransiskus mengalahkan dirinya dan mengalami kemenangan atas dirinya ketika ia turun dari kudanya dan memeluk serta mencium orang sakit kusta itu. Suatu hal yang aneh ia rasakan, sesuatu yang dulu terasa pahit dan menjijikkan sekarang berubah menjadi manis. Sejak itu Fransiskus sungguh memberi perhatian pada orang sakit kusta, mengunjungi dan merawat orang sakit kusta (Groenen, 1981:14).

(58)

(Gronen, 2000: 39-51). Kendati demikian, Allah yang dialami oleh Fransiskus adalah Allah yang tidak berwajah. Allah tetap Allah yang tersembunyi, yang melampaui pola pikir dan perasaan manusiawinya.

Dalam suatu pengalaman Allah yang tidak berwajah itu berubah ketika Fransiskus memandang dan berbicara dengan Yesus yang tersalib di kapel san Damiano. Allah yang tidak berwajah, dan tidak bernama itu menjadi jelas dalam Yesus Kristus yang tersalib. Bagi Fransiskus, Yesus Kristus itulah yang menjadi wajah Allah dalam Manusia Yesus dari Nazareth, seperti yang tertulis dalam Yoh 15 ”Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa”. Wajah Allah yang hadir dalam diri Yesus Kristus bagi Fransiskus tetap merupakan misteri. Perjumpaan dengan orang sakit kusta merupakan pematangan pengalamannya akan Allah. Dalam wasiat yang dibuat Fransiskus menjelang akhir hidupnya, Fransiskus menulis:

Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka dengan penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku menetap, lalu aku meninggalkan dunia (Ladjar, 2001).

(59)

tersalib di kapel san Damiano. Wajah penuh borok, luka dan bernanah, wajah yang penuh penderitaan dan kemiskinan.

Fransiskus yakin bahwa dalam diri orang sakit kusta, Tuhan Yesus datang menjumpai dan menciumnya. Kini, hati Fransiskus telah mendapatkan kemanisan Roh Kudus Allah, yang menggerakkan seluruh hidupnya untuk terus menerus, memikirkan, merasakan, dan mencintai kehendak Allah (Hormise, 1975:54). Akhirnya Fransiskus mengalami Allah yang berwajah banyak, terutama pada orang yang berada dalam kelompok minores, wajah yang tidak memiliki kekuasaan, kekayaan, dan yang disingkirkan masyarakat dan Gereja.

(60)

Orang kusta dia sapa sebagai saudara-saudara Kristiani. Perjumpaan dan ciuman Fransiskus Asisi dengan orang kusta menyimpan dimensi persaudaraan umat manusia, yang senantiasa membutuhkan sentuhan afeksi. Fransiskus memberikan ciuman persaudaraan untuk mengangkat orang sakit kusta yang disingkirkan itu sebagai sesama manusia (Lobo, 2004:70-71).

Fransiskus meyakini orang sakit kusta adalah Dia yang turun dari salib untuk menyapa dan mengunjunginya. Fransiskus mulai mengambil jalan lain, jalan orang-orang miskin. Perubahan ini dimatangkan oleh perjumpaan dan pembicaraannya dengan Yesus yang tersalib di gereja san Damiano ”Lord, what do You want me to do?” Yesus yang tersalib menjawab: ”Pergilah dan perbaikilah Gereja-Ku yang hampir roboh”. Pesan itu pertama-tama ia tangkap sungguh manusiawi, sehingga ia memperbaiki gereja secara fisik. Kemudian Fransiskus sadar bahwa yang dimaksud adalah Gereja secara spiritual, Tubuh Kristus. Kini ia mengemban tugas bukan hanya secara personal tetapi eklesial. Fransiskus harus membangun dan memugar Gereja sesuai dengan Injil Yesus Kristus (Groenen, 1986:25).

(61)

kekayaan dan gengsi sosial. Secara batiniah dan injili Gereja telah kehilangan diri dan hakikat panggilannya.

Jalan yang ditempuh Fransiskus adalah jalan yang terbalik, jalan salib Kristus yang tergantung dan telanjang dalam segala-galanya (Groenen, 1986:25-26). Dengan kesaksian hidupnya, ia mengajak dan menghimpun orang untuk mengikuti Kristus tersalib, untuk hidup bersama dan menjadi orang sakit kusta. Karena itulah, gerakannya disebut Ordo Fratrum Minorum, yaitu cara hidup mengikuti Yesus Kristus dan Injil-Nya dalam kedinaan dan kerendahan.

c. Spiritualitas FSE

Sebagai pengikut Yesus Kristus berdasarkan keteladanan St. Fransiskus Asisi dan St. Elisabeth Hongaria, Kongregasi FSE menghayati semangatnya sebagaimana dikatakan di dalam konstitusi Kongregasi:

Sebagai pengikut St. Fransiskus Asisi, para Suster Kongregasi FSE, mengikat diri seumur hidup pada cita-cita Injili dengan hidup dalam ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian, serta dalam kesatuan persaudaraan. Mereka dijiwai oleh semangat doa dan samadi, pengabdian dan pengorbanan, semangat tapa dan matiraga sebagai peniten recolektin (Konst. FSE, 2000: no.11-12).

Kutipan di atas menyiratkan ciri khas spiritualitas Kongregasi FSE, yaitu mencintai Yesus Kristus yang miskin dan menderita; hidup dalam komunitas perdana lewat semangat persaudaraan Injili, hidup dalam pertobatan; belarasa terhadap orang yang miskin dan menderita.

(62)

Berdasarkan catatan sejarah, keluarga Yesus bukanlah keluarga miskin dan menderita. Keluarga Yesus masuk dalam golongan menengah (Suharyo, 1998: 51). Meskipun demikian, tidak menjadi penghalang bagi Yesus untuk bersahabat dan dekat dengan orang kecil, miskin dan lemah. Relasi-Nya dengan orang miskin dan menderita menjadi pendorong bagi para suster FSE untuk membantu sesama. Yesus memperkenalkan Allah yang Maha rahim, berpihak pada orang miskin, meyembuhkan orang sakit, memberi makan yang lapar, mengampuni yang berdosa. Allah yang menyelamatkan adalah Allah yang sangat dekat umatNya khususnya mereka yang miskin dan menderita (Suharyo, 1998:50).

Seluruh kesaksian hidup Yesus menghadirkan Kerajaan Allah Bapa yang Maharahim, berbelas kasih dan berbela rasa. Yesus memperhatikan dan menyamakan diri-Nya dengan orang-orang tersingkir, menderita dan sakit sebagai sasaran perhatian Allah. Dalam dan melalui Yesus, Allah yang hidup bertindak menyelamatkan mereka yang miskin, dan tertindas. Kesadaran Yesus itu tampak jelas dalam Injil Lukas:

Gambar

Tabel 1: Identitas Tim Pastoral Orang Sakit RSE

Referensi

Dokumen terkait

Chua (2006) mendeskripsikan wilayah pesisir dengan memasukkan pentingnya aspek aktivitas manusia, karena sebagian besar wilayah pesisir telah dimanfaatkan oleh manusia.

Ajaran ini memiliki arti penuh hati-hati menjaga kekayaan yang telah diperoleh. Resources capabilities artinya kemampuan internal perusahaan untuk koordinasi dan

Beliau yang namanya kini diabadikan sebagai nama jalan yang merentang dari persimpangan jalan Abu Bakar Ali hingga persimpangan jalan Sabirin: Faridan Muridan

TPA Assalam adalah untuk mencetak generasi penerus yang Qur’ani. Jika bangsa ini memiliki generasi penerus yang qur’ani , maka akan menjadi bangsa yang bermoral

Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian video pendewasaan usia perkawinan terhadap tingkat pengetahuan tentang dampak perkawinan usia dini pada remaja

Penelitian dari Alif (2015) tentang Pengaruh Motivasi Kerja, Pengembangan Karir dan Lingkungan Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) dengan

Pada kejadian El-Nino, pantai barat benua Amerika akan mempunyai curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan kondisi rata-rata. Namun demikian, fenomena El-Nino memberikan

[r]