• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. PENDAMPINGAN PASTORAL ORANG SAKIT DI RUMAH

A. Situasi Hidup Orang Sakit Pada Umumnya

4. Tugas Hidup Orang Sakit

Penyakit menimbulkan tugas baru dalam hubungan dengan tujuan hidup. Pandangan terhadap penyakit sebagai gangguan, hambatan dan kekacauan mesti diberantas. Dalam hal ini penderita sendiri sebagai manusia yang harus berjuang menyempurnakan hidupnya, untuk bisa memberi arti positif terhadap keadaan sakitnya (Suhardi, 1987:29). Di samping itu, orang sakit yang dirawat di Rumah Sakit, kiranya kritis terhadap segala pelayanan yang mereka terima karena mereka bukanlah objek dari profesi medis tetapi sebagai subjek. Mereka berhak untuk

bertanya tentang seluk beluk penyakitnya, serta mengerti berbagai tindakan medis yang perlu dijalankan dalam rangka kesembuhannya. Diharapkan pasien bisa menolong dirinya sendiri untuk hal-hal yang masih dapat dibuat sendiri, kecuali pasien yang sakit parah dan tergantung penuh pada orang lain.

Menyadari bahwa keadaan sakit adalah suatu kenyataan hidup yang harus dihadapi maka ketika dalam keadaan sakit seorang pasien mempunyai tugas yang luhur untuk memaknai penderitaannya sakit, sehingga memberi makna baru bagi hidupnya dan bagi orang lain. Dari penelitian secara medis diketahui bahwa kesembuhan seseorang ketika sakit banyak dipengaruhi oleh faktor dari dirinya sendiri, yaitu sejauh mana pasien tersebut mempunyai semangat juang untuk sembuh atau bagaimana pasien menerima situasi sakit tersebut. Cara pandang dan sikap seorang dalam menghadapi penderitaan sakit sangat berpengaruh dalam memaknai suatu penderitaan.

Dalam keadaan sakit, tidak jarang orang menemukan jati dirinya yang sesungguhnya dalam hubungan dengan Tuhan dan sesama. Keadaan sakit kadang menjadi kesempatan untuk merefleksikan diri dan merasakan rahmat Tuhan yang selama ini terabaikan karena kurang disadari. Sewaktu sakit seseorang tetap dapat melayani sesama dengan berbagai cara dan sikap hidup yang ditampilkan, sehingga orang lain dibantu untuk memaknai kehidupannya sendiri.

Seorang dokter pernah menyatakan bahwa selama sakit seorang pasien dapat berdoa, merenung bahkan meditasi dan kontemplasi untuk membantu proses penyembuhannya. Beliau membagikan pengalamannya ketika sakit seperti berikut:

” ketika sakit, kita dapat merenungkan anugerah yang diberikan Tuhan pada diri kita, termasuk proses kesembuhan yang kita alami selama sakit. Dari pengalaman saya ketika mengalami operasi besar di Rumah Sakit Panti Rapih, saya bersyukur atas situasi yang saya alami, lewat alam yang dapat saya

saksikan dari jendela kamar rumah sakit serta suara kicauan burung yang saya dengar menghantar saya pada pengenalan akan kasih Allah, hal ini saya temukan ketika saya meditasi dan kontemplasi” (Andry, 2005:83-84).

Dalam kesempatan lain dr. Andry (2005:33) mengatakan bahwa orang sakit tetap harus menyadari tugas sebagai orang sakit dalam hubungan dengan penebusan yang telah diterima dari Tuhan Yesus Kristus. Hal itu ditegaskannya dalam pernyataan ini:

Sebagai manusia yang berdosa yang ditebus oleh penderitaan dan kematian Yesus Kristus, kita harus bersedia pula untuk membantu meringankan salib Yesus dengan menerima penderitaan kita sebagai bagian dari salib Yesus Kristus. Salib yang kita pikul tidak melebihi kekuatan kita untuk menanggungnya. Yakinlah bahwa Yesus mendampingi kita sebagaimana Ia didampingi malaikat pada saat berdoa di Taman Getsemani.

Pernyataan ini kiranya menegaskan bahwa dalam situasi apapun orang tetap memiliki tugas sebagai seorang manusia, teristimewa dalam hubungan dengan Tuhan Yesus Kristus yang telah terlebih dahulu menderita. Rahmat Tuhan memampukan orang sakit dalam melaksanakan tugasnya.

Tugas hidup seorang yang menderita sakit tetap menjadi suatu perhatian yang serius dan penting. Keadaan sakit seringkali membuat orang yang menderita sakit tersebut memiliki pemahaman lain terhadap situasi dirinya. Ia tidak berbuat apa-apa kecuali memberontak, marah, putus asa dan berbagai hal yang dapat melemahkan manusia itu sendiri untuk melihat dan menyadari suatu hal berguna yang dapat dibuat ketika mengalami penderitaan sakit.

Dalam hal ini, seorang Santo dalam Gereja Katolik yaitu Fransiskus Asisi menekankan pada saudara-saudari yang sakit: “Hendaklah mereka bersyukur kepada Pencipta atas segalanya yang menimpa diri mereka; dan yang hendaknya mereka inginkan ialah berada dalam keadaan yang dikehendaki Tuhan untuk mereka, entah sehat entah sakit” (AD. Reg III,1997:22 psl.7). Dalam Anggaran Dasar tanpa Bula,

Fransiskus menegaskan kepada saudara-saudaranya sikap ketika sakit sebagai berikut:

Saudara yang sakit kuminta, agar mengucap syukur kepada Pencipta untuk segala-galanya; dan hendaklah ia ingin berada dalam keadaan sebagaimana Tuhan menghendakinya, entah sehat entah sakit; sebab semua yang ditentukan Allah untuk hidup kekal, dilatih-Nya dengan deraan cemeti dan penyakit serta roh keremukredaman, sebagaimana Tuhan berfirman: Aku menegur dan menghajar mereka yang Kukasihi (Why 3:19). Jika orang menjadi gelisah atau gusar terhadap Allah atau saudara-saudaranya, atau dengan cemas menuntut obat-obatan karena terlampau ingin menyelamatkan daging yang segera akan mati dan yang merupakan seteru jiwa, pasti hal itu dibangkitkan dalam dirinya oleh si jahat; orang itu sendiri bersemangat kedagingan; ia tidak bersikap sebagai seorang dari saudara-saudaraku, karena ia lebih mengasihi badan daripada jiwa (Ladjar, 1988:104).

Dalam situasi sakit pun Saudara dan saudari harus menyadari bahwa Tuhan tetap menyertai dan melindungi mereka. Kasih Tuhan tidaklah terhapus karena sakit jasmani. Iman akan Yesus harus semakin kokoh justru ketika dalam keadaan sakit dan yakin bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkannya (Martino Sardi, 2007:34). Perlu suatu sikap dari manusia untuk menghadapi penderitaan sakit, sehingga mampu melihat suatu nilai lewat penyakit yang diderita. Keyakinan ini dapat dilihat dari peneguhan St. Fransiskus kepada seorang saudara yang menderita kusta ”Anakku, bersabarlah karena kerapuhan tubuh di dunia ini justru akan menyelamatkan kita. Kita memperoleh pahala besar bila menanggungnya dengan sabar” (Fioretti, 1997:103).

Fransiskus Asisi dalam mengalami penderitaan sakit senantiasa berjuang sehingga penyakit jasmani tidak mengalahkan hatinya akan kasih Allah. Dalam pergulatan mengalami sakit mata, awalnya ia merasa bahwa hal itu hukuman Allah dan hukuman atas dosa-dosanya. Tetapi dalam kesendirian ia menjalin relasi yang intim dengan Tuhan dalam doa-doanya. Fransiskus berterimakasih dengan segenap hatinya dan berseru:

”Tuhanku, saya memang pantas untuk menderita serupa ini dan malah harus lebih hebat lagi, Tuhanku Yesus Kristus, Gembala yang baik, Engkau telah memperlihatkan belas kasihan-Mu kepada kami pendosa yang tak pantas ini, dengan banyak penderitaan dan kesengsaraan badan. Berikanlah saya, dombaMu yang kecil ini rahmat dan keutamaan sedemikian rupa, agar jangan sampai penderitaan, sengsara dan kesakitan menyebabkan saya lepas dari engkau” (Fioretti, 1997:85).

Dalam kesakitannya Fransiskus merasakan penghiburan ilahi dari Allah sehingga ia sungguh bergembira. Kegembiraan itu ia bagikan bagi orang lain, yaitu kepada umat di Gereja Rietti. Selama tinggal di situ, Fransiskus mengumpulkan panenan jiwa dari penduduk yang datang mengunjunginya. Mereka memiliki cinta yang bernyala-nyala dan mengingkari dunia setelah melihat kesaksian hidup Fransiskus. Berkat imanya yang teguh akan kasih Allah saat itu juga terjadi mukjizat buah anggur yang berkelimpahan, sekalipun pokok anggur yang ada di paroki itu sudah rapuh, tetapi menghasilkan buah berlipat ganda berkat pahala Fransiskus. Umat dibawa menuju penyesalan dan pertobatan. Sama seperti anggur itu, umat Kristen juga sering mandul akan keutamaan karena dosa, sering menghasilkan buah-buah baik dari suatu penyesalan yang berlimpah-limpah berkat pahala dan ajaran Fransiskus (Fioretti, 1997:86-88).

Demikianlah tugas hidup orang sakit yang dapat menjadi suatu tugas yang mulia dan suci selama sakit. Sehingga ketika sakit setiap orang tetap mampu bersyukur kepada Allah dalam berbagai situasi yang dialami dan menjadi satu kesempatan untuk ambil bagian dalam hidup Yesus yang menderita. Suatu nilai penderitaan menjadi bermakna dengan mampu meyakini bahwa hidup tidak hanya sebatas hidup saat ini, tetapi ada hidup yang lebih mulia dari hidup saat ini.

Dokumen terkait