• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menentukan nilai-nilai dalam cerpen

Ada Apa dalam Bahasa Kita?

1. Menentukan nilai-nilai dalam cerpen

Sebuah karya sastra termasuk cerpen bukanlah menara gading. Cerpen harus memiliki tanggung jawab untuk mengkritisi apa yang berlaku dan diberlakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari agar tidak terjadi pola perilaku yang menjauhi nilai-nilai keberadaban. Oleh karena itu, semestinyalah cerpen tetap memiliki relevansi dengan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata.

Bacalah dan nikmati cerpen berikut! Setelah itu, cobalah untuk menjawab beberapa pertanyaan dan kegiatan yang menyertainya.

Rumah yang Bercahaya

Oleh Adek Alwi

Lelaki tua itu ingin mati di rumah yang bersih dan bercahaya karena kebersihannya. Ia hampir 70 tahun, lebih dari usia Nabi Muhammad, dan merasa maut bertambah dekat. Malah pernah seperti dilihatnya tamu itu menatap lekat-lekat dari ambang pintu, lalu lenyap, seakan memberi isyarat. Dan dia yakin lain kali kehadirannya tidak lagi membawa isyarat, melainkan untuk menjemput.

Lelaki tua itu pun bersedia dijemput. Tetapi bila saat itu tiba, entah kapan, ia tidak ingin rumahnya kotor awut-awutan. Tamu itu harus disambut dengan sebaik-baiknya. Lelaki tua itu sudah sering melepas mereka yang berangkat dijemput tamu itu, dan kerap pula ia saksikan orang-orang tersiksa oleh bau tidak sedap serta kotoran dari rumah orang yang pergi.

Mula-mula beberapa orang mulai berbisik-bisik, sambil menutup hidung mereka seperti tidak disengaja. Kemudian seperti wabah, bertambah banyak yang melakukan. Akhirnya mereka tidak lagi berbisik-bisik, tetapi membincangkan bau-bau busuk dan kotoran itu terang-terangan.

Di beberapa tempat peristiwa itu bahkan tanpa memerlukan prolog. Begitu tiba orang-orang bergabung dengan mereka yang datang lebih dulu, lalu terlibat dalam percakapan yang seru mengenai aib itu.

”Alangkah celakanya orang ini,” renung orang tua itu di hadapan mayat yang terbujur kaku. ”Alangkah malang. Bahkan saat keberangkatannya pun dia masih meninggalkan siksa bagi sesama, karena rumahnya kotor dan bau. Ampunilah manusia ini ya, Allah. Maafkan kekhilafannya.”

Lelaki tua itu tidak mau kemalangan serupa menimpa dirinya. Ia menggigil membayangkan orang tersiksa karena sesuatu yang buruk yang berasal dari rumahnya, justru saat kepergiannya pula. Dia merasa harus bersiaga dan berbenah. Dia ingin orang-orang bebas dari bau tidak sedap, kotoran, juga debu yang menempel di mana-mana, jika tamu itu tiba. Lelaki tua itu ingin rumahnya bersih dan bercahaya karena kebersihannya, supaya penjemput itu tidak datang memberengut dan mereka yang ditinggalkan merasa lega. ”Selamat jalan, Pak Tua. Sambutlah tamumu dengan gembira dan mudiklah dengan tenang.”

Tetapi sungguh berat merawat rumah dalam usia tua. Membersihkan kotoran sembari menjaga kotoran baru tidak timbul, apalagi menumpuk dan menjaga bau-bau busuk tidak muncul, debu jangan menempel di lekuk-lekuk rumah.

Lelaki tua itu merasakan benar beratnya melakukan semua itu. Dia kerap terengah-engah dibuatnya. Seolah berderak tiap persendiannya. Sering berair matanya yang lamur. Hanya tekad agar senantiasa siap menanti tamu itu yang membuatnya bertahan, terus membersihkan rumah sambil berupaya menanam bunga-bunga.

Untunglah, jika bisa disebut begitu ia tak terlalu asing dengan laku itu. Almarhum istrinya adalah orang yang khusyuk, sabar, dan juga rajin. Puluhan tahun perempuan itu tak pernah berhenti membersihkan rumah, menghias rumahnya dengan bunga-bunga sehingga jangankan tumpukan kotoran dan bau tak sedap, debu seakan enggan hinggap di sudut-sudut rumah. Harum bunga-bunga yang ditanamnya semerbak sampai ke rumah-rumah tetangga, menyamankan perasaan dan pikiran mereka.

Waktu lelaki tua itu aktif sebagai pejabat, istrinya selalu siap dengan pakaian pengganti yang bersih begitu ia pulang kantor. Pakaian kerjanya langsung dimasukkan perempuan itu ke bak cucian. Bahkan tas kerjanya tak lepas dari perhatian istrinya. Isinya dikeluarkan, kemudian dilap dan dibersihkan, sebab debu maupun kotoran bisa jadi menodai tas itu.

Dan sewaktu-waktu istrinya memang menemukannya. ”Lho, ini apa, Pak? Kotornya dari sini lho sumbernya!” ujar perempuan itu mengeluarkan amplop yang lengket di dalam tas.

”O, itu ...tadi....”

”Dibuang sajalah, Pak! Mengotori tas Bapak saja. Hm, rumah bau jadinya. Kasihan Bapak, kasihan anak-anak!”

Adakalanya perempuan itu menjadi amat berduka dan gemas menemukan hal-hal serupa itu. ”Sampai hati orang-orang itu menghina Bapak,” ujarnya dengan rasa masygul yang menjebol dinding kesabaran. ”Mengotori tas serta rumah Bapak dengan benda-benda kotor dan bau ini!”

”Baiknya kita tidak berprasangka. Barangkali maksud mereka....”

”Tetapi mengapa Bapak yang dipilih? Mengapa pejabat negara? Lebih tepat panti asuhan atau lembaga sosial lainnya kalau mereka tulus. Sekiranya bukan bermaksud untuk menghina dan mengotori.”

Diam-diam lelaki tua itu merasa terharu. Bagaimanapun sebelum ia pensiun, bau-bau tak sedap, kotoran, dan debu bertebaran riuh di luar rumah. Tidak terkecuali di kantornya. Dan tempo-tempo ada saja yang terbawa pulang, menempel pada pakaian atau tas kerja, sekalipun dia telah menepis-nepiskan. Angin di luar berembus kencang sehingga sulit menghindar dari kotoran dan bau-bau busuk yang bertebaran. Beberapa kawannya malah jadi terbiasa, bergelimang kotoran serta bau tidak sedap setiap waktu. Untung dia punya istri yang khusyuk, sabar, dan rajin, yang menjadi bumper bagi kelemahannya. Istri yang tidak pernah letih membersihkan rumah, merawatnya dengan aneka bunga-bunga, dan membesarkan anak-anak mereka di dalamnya.

Lelaki tua itu mengenang perempuan itu dengan takjub, serta berterima kasih, di sela-sela kesibukannya berbenah dengan tulang-tulang yang rapuh. Dan tenaga yang ia rasakan semakin redup bagai nyala lilin menjelang habis. Seperti banyak kawannya, bukan tidak mungkin dia akan terbiasa dengan kotoran dan bau-bau itu seandainya istrinya tak ada. Angin terlalu kencang di luar rumah, bau-bau busuk dan kotoran bertebaran di mana-mana.

Mengagumkan betapa istrinya menjaga kekhusyukan dan kesabaran merawat rumah terus-menerus selama berpuluh tahun, sampai-sampai dijemput tamu itu tiga tahun silam dalam usia enam puluh lima. Apa yang membuat istrinya bertahan? Keyakinan bahwa penjemput itu mesti diterima dengan tangan terbuka di rumah yang bersih? Mengapa istrinya tidak terengah-engah seperti dia? Mengapa istrinya tidak goyah-goyah oleh angin, melayang-layang bagai banyak istri kawan-kawannya?

Lelaki tua itu menarik napas panjang mengenang semua itu. ”Ia memang perempuan luar biasa,” bisiknya dalam kesunyian yang menggigit, di tengah-tengah sisa tenaganya yang bertambah redup. Dia merasa tidak mampu menandingi kekhusyukan istrinya,

Pada suatu hari lelaki tua itu pun jatuh sakit atau sakit-sakitan. Menurut dokter, penyebabnya lebih karena kecapaian, serta berbagai akibat dari tubuh yang telah lapuk dimakan usia maka lelaki tua itu terbaring saja di tempat tidur.

Ketiga anaknya berdatangan bersama istri atau suami mereka. Rumah jadi ramai. Apalagi anak perempuannya, si bungsu yang serupa benar dengan ibunya itu, membawa kedua anaknya yang belum bersekolah.

Menyaksikan cucunya menerobos kamarnya bagai dua perampok kecil, lelaki tua itu seperti mendapatkan tenaganya kembali untuk berbenah membersihkan dan merawat rumah. Ia merasa harus berkejaran dengan waktu. Warnanya semakin kuning-tua, mersik bagai kerisik, sementara daun-daun muda, cucu-cucunya, telah tumbuh dengan segala kesegarannya.

”Mau mengapa Bapak? Berbaring sajalah, Pak,” anak perempuannya mencegah dia bangkit. Mata anaknya memerah dan basah.

”Hanya mau salat.”

”Sambil berbaring juga bisa, Pak. Badan Bapak masih lemah. Muka Bapak pucat.” Lelaki tua itu tergolek lagi di tempat tidur. ”Kemarikan cucu-cucuku.”

Kedua anak itu ditarik ibunya mendekat. Lelaki tua itu mengusap-usap kepala kedua bocah itu, menatap mata mereka tanpa berkata-kata, kemudian tersenyum. ”Aku ingin salat sambil duduk,” gumamnya.

”Asal jangan dipaksakan, Pak,” sahut anak lelakinya.

”Ibu kalian itu menakjubkan,” ujar lelaki tua itu. ”Aku mencium bau bunga-bunga yang ditanamnya. Apakah kalian tidak mencium wanginya?”

Sambil menangis, dia sesali lelaki tua itu tidak mau tinggal bersamanya.

”Bapak tahu saya tak bisa terus-terusan ke sini untuk merawat Bapak,” kata anak perempuannya. ”Tidak mungkin saya tinggalkan rumah tiap hari, Pak.”

”Sudah betul itu, Nak. Mengapa pula kamu menangis? Masing-masing orang memiliki rumah dan wajib merawat rumahnya baik-baik.”

”Bapak jangan berkata begitu. Pedih hati saya,” anaknya terisak-isak. ”Sungguh, Pak. Saya ... saya tidak bermaksud....”

”Bapak tahu maksudmu. Jangan kamu menangis lagi. Rawat saja rumahmu baik-baik. Teladani ibu kalian, rajin dan khusyuk merawat rumah sejak mudanya.”

”Tetapi Bapak juga rajin merawat rumah,” sela anak laki-lakinya menghibur. ”Bersih kami lihat rumah Bapak.”

Lelaki tua itu tersenyum. ”Akan lebih baik jika sedari dulu dilakukan, Buyung,” jawabnya. Matanya menerawang. ”Sekarang sudah kasip. Tenagaku sudah tidak ada lagi. Eh, aku cium lagi harum bunga-bunga ibu kalian. Apakah kalian tidak mencium wanginya?”

Anak perempuannya kembali menangis. Begitu pula kedua menantunya yang perempuan. Sementara menantu serta kedua anak lelakinya saling pandang. Dan malam itu mereka tidur bergantian, berjaga-jaga.

Tetapi tamu itu tidak datang. Juga keesokan hari dan besoknya lagi, penjemput itu tidak muncul. Tanda-tandanya pun tidak. Lelaki itu malah kelihatan sehat dan segar, tiap sebentar mengusap kepala kedua cucunya, serta merenungi mata bocah-bocah itu sambil tersenyum.

”Kakek sakit ya, Kek?” ”Ya, kakek sakit.”

”Kakek sudah tua, ya?” ”Kakek sudah tua.” ”He, gigi Kakek ompong!”

”He-he-he. Namanya sudah mersik, Cu.” ”Nanti kami juga mersik seperti Kakek?”

”Semua orang bakal mersik. Tetapi kalian sekarang hijau segar. Rawat saja rumah kalian baik-baik.”

”Kami kan belum punya rumah, Kek.”

”Nanti juga punya. Semua orang punya rumah.” Lelaki tua itu terkekeh-kekeh membelai kedua bocah itu.

Tidak ada cahaya membersit laksana ledakan meteor dari rumah lelaki tua itu ketika tamu-tamu yang dinanti-nantikan itu tiba. Orang-orang yang datang ingin melepas kepergian lelaki tua itu pun tak berbisik-bisik sambil menutup hidung bagai tidak disengaja. Mereka berbicara saja lazimnya pelayat. Para tetangga ngobrol memperbincangkan kegemaran lelaki tua itu menanam bunga-bunga, seperti dulu dilakukan istrinya. Sementara yang tua-tua bercakap-cakap tentang musim, ketika angin pernah bertiup demikian kencang sehingga bau busuk dan kotoran bertebaran di mana-mana. ”Jarang yang mampu terhindar dari cipratan kotoran dan bau-bau tak sedap itu,” ujar orang satu sama lain seraya memandang rumah lelaki tua itu.

Jawa Pos, 4 September 2005

Pengertian nilai-nilai yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hal-hal, sifat atau suasana penting, baik, dan bermanfaat bagi manusia. Dalam karya sastra, termasuk cerita pendek, nilai-nilai tersebut dapat dirinci sesuai bidang atau ruang lingkupnya.

Nilai-nilai tersebut meliputi sebagai berikut. a. Nilai-nilai ketuhanan/keagamaan (religius)

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ibadah, sujud, bakti manusia kepada Tuhannya.

b. Nilai-nilai sosial kemasyarakatan

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan hubungan antarsesama. c. Nilai-nilai sosial pendidikan (edukasi)

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan budi pekerti, perubahan sifat hidup. d. Nilai-nilai kemanusiaan (humanitas)

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan hati nurani. e. Nilai-nilai budaya adat (kultur)

Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan seni, budaya, sifat/kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan.

f. Nilai-nilai politik

Uji Kompetensi 6. 3

1. Apa tema dalam cerpen ”Rumah yang Bercahaya”? 2. Siapa tokoh cerpen tersebut?

3. Bagaimana perwatakan tokoh utama?

4. Apa maksud pernyataan ”Jarang yang mampu terhindar dari cipratan kotoran dan bau-bau tak sedap itu,” ujar orang satu sama yang lain seraya memandang lelaki tua itu? 5. Apakah cerpen ”Rumah yang Bercahaya” memiliki kesesuaian/relevansi dengan kehidupan

sehari-hari? Sebutkan salah satu contoh kejadian dalam cerpen tersebut yang menurut Anda relevan dengan kehidupan sehari-hari!