Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman didalam Al Qur'an:
"Dan orang-orang yang belum mampu untuk melaksanakan per-nikahan, maka hendaklah mereka menjaga kesucian diri sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. " (An Nuur 33)
Yang penulis maksudkan dengan mengangkat derajat insting biologis seperti diistilahkan oleh para ahli jiwa adalah, bahwa memuliakan insting tersebut merupakan keharusan dan mengangkatnya ke forum ilmiah, sastra serta seni, dimana ada kecenderungan terhadap keengganan untuk menikah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada seorang yang masih lajang untuk berpuasa. Hal ini merupakan salah satu cara pandang Islam di dalam memuliakan insting tersebut. Akan tetapi, cara ini tidak berlaku untuk selamanya, seperti yang banyak dilakukan para pemuda non-Muslim.
Tindakan ini sangat berarti bagi dunia pendidikan, penelitian dan repro- duksi. Jika demikian, lalu dimana letak perbedaan cara pandang Islam dengan Farwed —seorang tokoh dari agama Yahudi— dalam masalah ini. Menurut Farwed, kita harus segera melampiaskan insting biologis kita, dengan dalih; bahwa tanpa melampiaskan insting tersebut akan menyebab- kan seseorang mengalami gangguan pada jiwanya.
Dr. Cases Carl menuliskan didalam kitabnya yang berjudul "Al Insaan DzaalikalMajhuula": "Bahwa biasanya kecerobohan didalam seks itu akan
menurunkan daya kerja otak dan akal sehat hanya membutuhkan hubungan seksual yang sehat, sehingga mampu mencapai orgasme" (hal, 174).
Kesimpulan dari pandangan Farwed, yaitu; bahwa ajaran Yahudi mem- bolehkan umatnya melakukan hubungan seks secara bebas dengan maksud memperbanyak keturunan mereka, dimana hal ini berhubungan dengan tuntutan dunia Internasional mengenai berdirinya negara Israel. Adapun pandangan dari para pemuka Zionis adalah, bahwa kita (bangsa Israel) harus menghancurkan setiap peradaban yang tumbuh dan berkembang di muka bumi ini hingga memudahkannya untuk menguasai mereka. Adapun menurut generasi muda bangsa Israel, bahwa pandangan Farwed dimaksud bermakna memperbolehkan untuk melakukan hubungan seks dibawah matahari, sehingga tidak ada lagi hal-hal yang dianggap sakral dan pada saat itulah terjadi krisis moral yang sangat besar.
Teori Farwed ini pada akhirnya ditolak oleh beberapa negara, setelah timbul pengaruh yang buruk terhadap generasi muda mereka pada saat hal tersebut masih dipelajari di berbagai lembaga pendidikan. Sekalipun ada keharusan untuk memuliakan insting seks, akan tetapi tetap tidak dapat dibenarkan jika caranya dengan menonton atau membaca hal-hal yang ber- bau mesum.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda:
"
Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian memiliki ke- mampuan untuk menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya hal itu dapat mencegah pandangan mata kalian dan menjaga kehormat-an kalian. Sedang bagi siapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, dan puasa itu adalah perisai baginya." (HR. Bukhari, Muslim)
Atau dengan kata lain, barangsiapa di antara kalian memiliki kemampu- an untuk memberi nafkah, baik itu berupa makanan, pakaian dan melakukan hubungan seksual. Nash-nash dari Al Qur'an dan sunnah mengisyaratkan, bahwa menikah itu diwajibkan bagi yang telah mampu. Sedangkan yang tidak penulis pahami adalah, mengapa ada sebagian dari para ulama yang
Hal tersebut terjadi pada awal dari perkembangan Islam. Akan tetapi, pada saat pemerintahan Islam telah kaya raya, maka setiap muslim berhak (wajib) untuk melangsungkan pernikahan, meski hal itu dilakukan dengan cara berhutang terlebih dahulu untuk membayar mahar dan kebutuhan lain- nya. Karena, pemerintah dalam hal ini diharuskan untuk menanggung pem- bayaran hutang dari orang tersebut yang diambilkan dari bagian zakat atas orang yang berhutang.
Penulis kemukakan kepada para pembaca, bahwa didalam kitab bio-grafi yang menceritakan tentang Umar bin Abdul Aziz yang dikarang oleh Ibnu Al Hakam dijelaskan: "Bahwa putera beliau meminta beliau untuk menikahkannya dan membayarkan mahar dari pernikahan tersebut yang diambil dari Baitul Maal. Pada saat itu, putera beliau telah memiliki se-orang wanita sebagai calonnya. Maka beliau pun marah dan menulis surat untuk puteranya yang menyatakan: Bahwa suratmu telah aku terima, yang isinya meminta kepadaku untuk mengambil harta dari Baitul Maal guna memenuhi kebutuhan pernikahanmu, sementara putera-putera kaum Mu-hajirin pun juga belum menikah dan aku tidak tahu mengapa hal ini engkau tuliskan didalam suratmu kepadaku? Kemudian sang putera pun membalas surat bapaknya yang berbunyi: Jika demikian halnya, maka ananda melihat, bahwa kita masih memiliki beberapa harta (yang diperoleh sebelum bapaknya berkuasa), maka juallah dan tentukan harga yang pantas sebagai maharku" (hal. 125 Cet. 'Ubaid).
Khalifah sendiri tidak merasa heran akan tuntutan puteranya itu. Akan tetapi, beliau lebih mengutamakan pernikahan bagi para pemuda dari kaum Muhajirin. Kemudian Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada karya- wannya yang berisi: "Laksanakanlah hak orang-orang yang berhutang." Maka mereka membalas surat yang beliau tulis: "Kami menemukan se- orang pria yang telah memiliki tempat tinggal, pembantu, kuda dan be- berapa perabot rumah tangga di dalam rumahnya." Beliau membalasnya: "Seorang pemuda muslim memang harus memiliki tempat tinggal untuk berteduh, pembantu untuk melayaninya, kuda untuk berjuang menghadapi musuh dan perabot rumah untuk dirinya sendiri, isteri dan anak-anaknya. Namun, ia adalah seorang yang berhutang. Maka dari itu, bayarkanlah se- gala hutangnya yang bersangkutan dengan kebutuhan rumah tannga" (hal. 164, bersumber dari kitab yang sama).
Hal tersebut hendaknya dibicarakan sebelumnya, yakni bahwa peme- rintah mempunyai tanggungan kepada segenap rakyatnya berupa jaminan terhadap isteri, tempat tinggal dan pengadaan pembantu rumah tangga.
Sesuai dengan pembahasan kita, bahwa kita harus menjaga diri dari hal- hal yang melanggar syari'at dan memuliakan insting seks sejauh per-