• Tidak ada hasil yang ditemukan

RAHMAT DAN SYAFA'AT BAGI ORANG YANG JATUH CINTA

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman didalam Al Qur'an:

"Barangsiapa memberikan syafa 'at berupa kebaikan, niscaya ia akan memperoleh bagian pahala daripadanya. Sedang bagi siapa yang memberi syafa'at berupa keburukan, niscaya ia akan memikul bagian dosa daripadanya." (An Nisa' 85)

Allah juga berfirman:

"Dan tolong menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa serta jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al Maaidah 2)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Berilah syafa'at, niscaya engkau diberi pahala. Dan Allah mene- tapkan melalui lisan Rasul-Nya apa-apa yang Dia cintai." (HR. Bukhari)

Syafa'at ini hendaknya terbatas pada perkara dimana kedua belah pihak adalah orang-orang shalih. Jika tidak, atau salah satunya fasiq, maka tidak layak memberi syafa'at. Disamping itu, wajib untuk menjaga pihak yang shalih dari orang sesat yang mencintainya. Serta memperingatkannya untuk memilih pendamping hidupnya dengan hati-hati, tidak dengan hawa nafsu menggelora yang dijalin oleh angan-angan. Karena, hal itu dapat menye- babkan perceraian dan kekerasan hati yang tidak terpuji akibatnya.

Cinta bukanlah segalanya. Ada faktor-faktor lain yang masih perlu untuk dipertimbangkan. Masing-masing mempunyai kondisi dan pengaruh yang penting untuk keberhasilan kehidupan perkawinan. Dorongan menikah yang hanya didasari atas cinta semata merupakan pertaruhan sosial atau individu.

Abubakar Ash Shiddiq pada masa menjabat sebagai khalifah pernah melintasi sebuah jalan di Madinah. Tiba-tiba terdengar suara wanita muda sedang menggiling gandum dengan penggilingannya seraya melantunkan sya'ir cinta. Maka Abubakar pun mengetuk pintu rumah wanita tersebut dan ia pun keluar menemui beliau. Abubakar bertanya: "Apakah engkau merdeka atau seorangbudak?" Ia menjawab: "aku seorang budak wahai Khalifah." Beliau bertanya lagi: "Siapa yang engkau cintai?" Kemudian ia menangis dan berkata: "Demi hak Allah atas dirimu, pergilah engkau dari-ku!" Beliau berkata: "Aku tidak akan meninggalkanmu hingga engkau memberitahukan kepadaku." Kemudian ia berkata: "Aku adalah orang yang telah dipermainkan oleh cinta. Kemudian menangis karena cinta itu tertuju kepada Muhammad bin Qasim." Maka Abubakar pergi ke masjid dan meng-utus seseorang untuk menemui tuannya (pemilik budak), kemudian mem-beli darinya (membebaskannya). Lalu beliau mengutus seseorang kepada Muhammad bin Qasim dengan berkata: "Mereka ini (cinta dan wanita) adalah penyebab fitnah bagi banyak lelaki. Berapa banyak orang mulia mati karenanya dan berapa banyak orang yang sehat (jiwa raganya) me-nyerah kepadanya."

Pernah datang kepada 'Utsman seorang budak wanita meminta per- tolongan karena ancaman dari seorang lelaki Anshar. 'Utsman bertanya kepadanya: "Apa yang sebenarnya tengah terjadi?" Budak wanita itu men- jawab: "Wahai Amirul Mukminin, aku dibebani dengan kemenakannya hingga tiada henti aku mengasuhnya." Kemudian 'Utsman bertanya kepada sang lelaki: "Engkau menghibahkan hartamu sebagai upah untuk mengasuh kemenakanmu ataukah aku membelinya darimu?" Ia menjawab: "Aku beri- kan padamu, wahai Amirul Mukminin dan saat ini ia (budak wanita) men- jadi milikmu."

Didatangkan kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu seorang lelaki dari bangsa Arab yang didapati dirumah suatu kaum pada malam hari. Maka Ali bertanya kepadanya: "Apa yang telah terjadi denganmu? Lelaki itu menjawab pertanyaan Ali dengan melantunkan sebuah sya'ir cinta yang ia tujukan untuk seorang gadis. Ketika Ali mendengar lantunan sya'irnya, maka beliau kasihan padanya dan berkata kepada Muhlab bin Rabah: "Perkenankan ia memiliki yang sepertinya."

Mu'awiyah bin Abi Sufyan membeli seorang budak perempuan dari Bahrain dan ia sangat mengaguminya. Pada suatu hari ia mendengar budak tersebut bersenandung tentang sebuah sya'ir. Maka Mu'awiyah bertanya kepadanya tentang siapa yang dimaksudkan didalam sya'irnya tersebut. Ia pun menjawab, bahwa yang dimaksud adalah anak pamannya. Lalu Mu- 'awiyah mengantarkan budak tersebut kembali kepada anak pamannya, sedangkan dihati Mu'awiyah sendiri masih ada bayangan dirinya.

Al Mahdi pergi untuk menunaikan ibadah haji. Sewaktu di tengah per- jalanan ia menuju ke suatu tempat untuk sarapan pagi. Maka datanglah seorang Badwi dan memanggilnya: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguh- nya saat ini aku sedang jatuh cinta, sambil ia berteriak!" Maka Al Mahdi berkata kepada pegawalnya: "Celaka, ada apa ini!" Ia menjawab: "Ada orang berteriak, aku jatuh cinta!" Al Mahdi berkata: "Bawalah ia masuk." Kemudian mereka membawanya masuk menemui Al Mahdi. Maka Al Mahdi bertanya: "Siapa yang engkau cintai?" Lelaki itu menjawab: "Anak pamanku." Beliau bertanya lagi: "Apakah ia tidak mempunyai bapak?" Ia menjawab: "Punya." Beliau bertanya: "Apa alasannya hingga ia tidak mau menikahkanmu dengan puterinya?" Ia menjawab: "Ada sesuatu, wahai Amirul Mukminin." Beliau bertanya: "Apa itu?" Ia menjawab: "Sesung- guhnya aku hajin (anak seorang budak perempuan)." Al Mahdi bertanya padanya: "Ada apa dengan hajin?" Ia menjawab: "Hal itu merupakan aib bagi kami." Maka Al Mahdi mengutus seseorang untuk mencari bapaknya. Kemudian ia mendatangkannya. Maka Al Mahdi bertanya: "Apakah ini anak saudaramu?" Ia menjawab: "Ya." Beliau bertanya kembali: "Mengapa engkau tidak mau menikahkannya dengan anakmu?" Ia menjawab seperti perkataan kemenakannya: "Bahwa ia adalah salah seorang keturunan 'Abbas dan mempunyai jamaah." Al Mahdi berkata: "Mereka itu keturunan 'Abbas dan mereka hajin. Lalu apa yang menjadi madharat bagi mereka." Maka ia menjawab: "Hal tersebut merupakan aib bagi kami." Maka Al Mahdi ber- kata: "Kawinkanlah anakmu ini dengan kemenakanmu, dengan bayaran 20.000 dirham. 10.000 dirham untuk menghilangkan aib dan 10.000-nya lagi sebagai maharnya." Maka ia berkata: "Baiklah." Kemudian ia memuji Allah dan menikahkan puterinya dengan kemenakannya. Kemudian Al

Mahdi mendatangkan 20.000 dirham dan membayarkan kepadanya. Pe- muda itu berkata: "Engkau membeli 'kijang betina' (wanita) dengan harga mahal, hanyalah untuk memberi teladan terhadap orang-orang sepertiku.

Al Imam Ibnu Hazm meriwayatkan kisah mengenai masalah diatas. Yaitu, seorang lelaki Andalusy menjual budak, padahal ia sangat men- cintainya. Karena mengalami kesulitan, ia menjual kepada penduduk negeri itu juga. Ia tidak menyangka kalau dirinya merasa sangat kehilangan setelah menjual sang budak. Ketika sang budak perempuan itu sampai pada pembeli, hampir saja ia menumpahkan perasaan (emosinya). Maka ia men-datangi orang yang membelinya dan minta dikembalikan. Akan tetapi, si pembeli itu menolaknya. Kemudian ia mencari penengah dari penduduk negeri, akan tetapi tidak berhasil juga.

Akhirnya, ia mengadukan persoalan ini kepada Raja. Ketika sampai dihadapan sang Raja, ia menceritakan kisahnya dan meminta belas kasihan sambil menunduk-nunduk. Maka sang Raja pun kasihan padanya dan me- merintahkan untuk menghadirkan pembelinya seraya berkata kepadanya: 'Hai lelaki 'asing', seperti yang engkau lihat aku —perantara— meminta pertolongan darimu." Akan tetapi, pembeli itu enggan dan berkata: "Aku lebih mencintainya daripada ia." Maka sang Raja pun tak mampu berbuat apa-apa. Akibatnya, lelaki (penjual) itu melemparkan diri dari ketinggian ke tanah (bunuh diri). Raja menjadi takut dan ia pun berteriak. Datanglah pengawal berhamburan untuk menolongnya dan mengembalikan pada Raja. Lalu ia ingin melemparkan diri lagi, namun dapat dicegah. Maka sang Raja menoleh pada pembeli dan berkata: "Temanmu ini menampak-kan tanda 'cintanya' dengan berkeinginan untuk mati. Sedangkan kamu; berdiri dan tunjukkan cintamu dan lemparkanlah dirimu dari ketinggian ini seperti temanmu. Jika engkau mati, memang sudah ajalmu. Akan tetapi, jika engkau hidup, maka engkau Iebih berhak daripadanya." Ragu-ragulah pembeli itu dan bersedia mengembalikannya. Kemudian sang Raja mem-beli budak tersebut dan menyerahkannya pada lelaki yang tertambat hati-nya itu. ‡

Bab 4. Memudahkan Untuk Menikah dan Berkahnya

KEWAJIBAN MEMINTA IZIN GADIS MUDA