• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Marsirimpa “Gotong-Royong” pada Adat Martutu Aek/Tardidi Suku

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Performansi Marsirimpa “Gotong-Royong” pada Tahapan Siklus Daur Hidup

4.2.3 Tradisi Marsirimpa “Gotong-Royong” pada Adat Martutu Aek/Tardidi Suku

49

sanak keluarganya. Arti lain dalam mamboan sipir ni tondi ini adalah “pasu-pasu”.

Ketiga mangulosi, dalam tahapan gotong-royong ini keluarga dan tamu yang hadir memberikan kain tradisional “ulos” kepada si bayi untuk bertujuan agar si bayi dapat terlindung dari mara bahaya, juga dapat menjadi anak yang berguna untuk kedepan hari. Tahapan gotong-royong memberikan “ulos” ini juga di kaitkan sebagai pererat antara si bayi dan kedua orang tuanya. Setelah kain “ulos” diberikan kepada si bayi oppung dari si bayi memberikan berupa uang tanda terimakasih bahwa sudah datang dan memberikan partisipasi berupa “pangurupion” mereka kepada cucunya.

Tradisi ini masih sangat erat kaitanya dengan bergotong-royong, terlihat mulai dari segala jenis tahapan dalam melaksanakan adat mangharoan. Tradisi ini juga masih dilaksanakan di desa Sigapiton dengan membawa unsur kekeluargaan dan kerukunan umat beragama dan berbudaya.

4.2.3 Tradisi Marsirimpa “Gotong-Royong” pada Adat Martutu Aek/Tardidi

50

Pemberian nama sekaligus

menabalkan aliran kepercayaan atau agama

mamispis, Ikan mas, ulos,

parjambaran Dll

pergi ke mual pada zaman dahulu, pada zaman sekarang kegereja.

Setelah itu pulang kerumah melakukan acaara di rumah bersama tetangga dan seluruh keluarga besar Konteks situasi:

pagi hingga sore hari

51

Martutu aek merupakan salah satu aturan atau ibadat aliran kepercayaan parmalim. Namun perlu diperhatikan bahwa sebelum kerangka keyakinan parmalim mayoritas ada, khususnya pada masa Sisingamangaraja I, bahkan sejak Siraja Batak, martutu aek telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Batak Toba. Pada saat itu martutu aek merupakan syarat yang biasa dilakukan untuk memandikan bayi serta mengganti namanya. Selain itu, sudah menjadi kebiasaan bagi orang Batak Toba untuk membuat pesta dengan menyambut anggota keluarga dan tetangga, dengan asumsi sebuah keluarga mendapat hadiah dari Tuhan, khususnya pengenalan seorang anak. Makan seperti itu merupakan bentuk apresiasi sekaligus menunjukkan keceriaan inti seluruh keluarga.

Tidak jauh berbeda dengan adat mangharoan, pembaptisan atau tardidi “martutu aek” juga dilakukan dengan bergotong-royong. Tradisi ini dilakukan dalam bentuk kekeluargaan dan lingkungan tempat tinggal “jabu” keluarga yang baru melahirkan seorang anak bayi. Biasanya melibatkan warga sekitar, tulang dari sianak “paman”, bou “adik atau kakak dari ayah” oppung, dan keluarga besar dari ayah dan ibu si anak tersebut. Tradisi ini dilakukan di pekarangan rumah atau didalam rumah tergantung situasi yang ada.

Perlu diketahui bahwa jauh sebelum upacara dilaksanakan pihak yang punya hajat (suhut) sudah harus berunding lebih dahulu dengan pimpinan ritual(ulupunguan) setempat untuk menentukan waktu yang dianggap baik dan tepat untuk pelaksanaan upacara tersebut. Dahulu sebelum masuk kristen di tanah batak, acara peresmian

52

nama ini disebut dengan martutu aek yang dilaksanakan oleh parbaringin „pemimpin adat‟ pada masa itu. Sibayi dibawa ke mata air dan dicucikan mukanya sambil disebut namanya. Sekarang ini, acara martutu aek tidak lagi dilaksanakan dan sudah diganti dengan acara tardidi di gereja. Pada acara ini, semua pihak dalihan na tolu datang dan melaksanakan peran masing-masing. Pihak boru bersama-sama menyiapkan makanan dan kebutuhan acara dan mereka juga manumpahi sebelum pulang. Pihak dongan tubu secara bersama-sama manumpahi sebelum pulang. Pihak hula-hula secara bersama-sama membawa boras sipir ni tondi, ikan mas, dan ulos.

Nilai gotong-royong yang diperankan para pihak dalihan na tolu tersebut memperlihatkan kebersamaan membantu pihak keluarga yang melaksanakan acara tardidi. Setiap pihak secara bersama-sama melakukan gotong royong sebagai kearifan lokal membantu keluarga.

Dalam upacara adat martutu aek etnik Batak Toba ada (5) tahapan performansi bergotong-royong yang dilakukan yaitu :

1) Mardebata 2) Lao tu mual 3) Maralaman

4) Mardalihan natolu 5) Marsaor

1) Mardebata

Tahap awal adalah tahapan mardebata, yaitu tahapan yang pertama sekali dilaksanakan oleh orangtua dan ulupunguan (kepala golongan). Mereka akan

53

berkumpul diacara mardebata. Acara mardebata dilakukan di rumah orang itu saat martutu aek. Orang-orang yang harus berpartisipasi dalam acara mardebata adalah (1) orangtua dari anak yang akan martutu aek, dan (2) ulupunguan atau kepala golongan untuk menjalankan upacara tersebut. Dalam acara ini yang memimpin di ulaon mardebata yaitu ulupunguan atau kepala golongan.

Mardebata adalah bentuk persembahan kepada ompung mulajadi nabolon dan pomparan siraja Batak (kerabat raja orang Batak terdahulu) dengan mempersembahkan 3 ayam yang masih hidup dan ayam yang berbeda-beda pula.

Diantaranya ayam putih (mira puti), ayam jarum besi (mira jarum bosi), dan ayam merah (mira polin). Ayam tersebut dipersembahkan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dan Siraja Batak.

Dimana acara mardebata ini guna untuk menghormati Ompung Mulajadi Nabolon supaya persembahan berupa ayam yang dipersembahkan dan Ompung Mulajadi Nabolon dan Siraja Batak.

Tugas kepala golongan yaitu: (a) memimpin doa persembahan kepada Ompung Mulajadi Nabolon (b) memotong ayam yang akan dipersembahkan kepada Ompung Mulajadi Nabolon dalam bentuk doa dan harapan serta memohon acara berjalan dengan lancar.

2) Lao tu mual

Acara lao tu mual (pergi ke mata air) berangakat dari rumah dilakukan oleh semua orangtua perempuan yaitu ibu dari si anak yang akan martutu aek kalau anak tersebut perempuan maka yang dibawa ke mata air adalah baliga (alat tenun pembuat ulos)

54

dan kalau anak tersebut laki laki maka yang dibawa ke mata air adalah batahi (alat pengembala kerbau sejenis bambu sepanjang satu meter), nenek anak tersebut ,inang ulupunguan yang sekaligus bertanggung jawab memimpin acara lao tu mual.

Posisi pergi ke mata air dibarisan pertama adalah inang ulupunguan, yang bertugas meletakkan itak nabontar beralaskan daun rimbang di setiap persimpangan jalan ke mata air menandakan ada yang martutu aek, di sebelah inang ulupungan yaitu orangtua dari anak yang martutu aek sekaligus membawa baliga atau batahi, dan di sebelah ibu dari si anak yaitu nenek dari anak yang martutu aek sekaligus yang menggendong anak tersebut (ucok atau butet). Semua orang yang pergi ke mata air berbaris rapi dibelakang barisan pertama dan mengikutinya ke mata air dan memakai ulos masing-masing.

3) Maralaman

Tahapan selanjutnya adalah maralaman (acara dihalaman rumah) pada tahap ini orangtua perempuan dari anak dan nenek duduk beralaskan tikar serta ulupunguan (kepala golongan) berdiri dan memberi nasehat, harapan kepada anak yang baru saja menerima pemberkatan melalui upacara adat martutu aek yang diselenggarakan keluarga sibayi. Pelaksanaan maralaman dilaksanakan setelah acara dari mual telah selesai.

4) Mardalihan Na Tolu

Tahapan berikutnya setelah maralaman semua undangan dan struktur dalihan natolu di undang masuk kedalam rumah yang kemudian pemberian jambar atau bagian simbolis dalam konteks adat dalihan na tolu diberikan dalam bentuk daging

55

ayam. kemudian pihak hula-hula sebaliknya memberikan ulos kepada orangtua dan bayi yang baru menerima nama. Begitu juga pihak boru memberikan tumpak (amplop berisi uang) bersama dengan kerabat tetangga dan saudara semarga sibayi.

5) Marsaor

Tahapan terakhir yaitu marsaor (temu ramah dan makan bersama) duduk di rumah hasuhuton. Pada tahap terakhir ini seluruh audiens atau seluruh elemen dalihan natolu setelah mereka makan mereka menyampaikan doa harapan kepada si bayi dan ditutup dengan mangampu (membalas jawaban dan ungkapan terima kasih) dan acarapun selesai. Kalau pun elemen dalihan na tolu ingin pulang telah dapat kembali ke rumah mereka sendiri karena acara sudah terlaksanakan berjalan dengan lancar.

Namun adat martutu aek ini sudah tidak berlaku lagi di desa Sigapiton melainkan sudah beralih ke tradisi pembaptisan “tardidi” karena tradsisi adat martutu aek ini boleh dikatakan bertolak belakang dengan ajaran agama yang dianut. Tradisi ini dilestarikan pada masa sebelum mengenal aliran agama. Tetapi menganai acara adat pembaptisan ini tidak jauh beda dengan marsitutu aek. Hanya saja unsur magis yang di lestarikan zaman dahulu sudah berganti menjadi mengatas namakan Tuhan dan gereja yang dianut sebagai permohonan doa untuk menyebutkan nama dan penabalan nama si bayi tersebut.

4.2.4 Tradisi Marsirimpa “Gotong-Royong” pada Adat Marhajabuan Suku