• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat deskriptif analisis maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti.

Analisis dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan.36

Penelitian ini termasuk ruang lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa hukum yang bersifat umum dan peraturan perundang-undangan mengenai permasalahan penggolongan penduduk dan SKAW, sehingga dapat diperoleh penjelasan bagaimana membuktikan bahwa SKAW keturunan Tionghoa beragama Islam dapat dilakukan dan sebagai hasilnya dapat dijelaskan akibat hukum serta penyelesaian masalah yang terjadi dalam pembuatan SKAW tersebut.

35 Sudrajat Ajat, dkk, Din Al-Islam, Yogtakarta, UNY Press, 2008

36 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung, Alumni, 1994, hal. 101.

2. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu bagian pokok dari ilmu pengetahuan, yang bertujuan untuk lebih mengetahui dan lebih memahami segala segi kehidupan.

Sehingga suatu penelitian harus dilakukan secara sistematis dengan metode-metode dan teknik-teknik, yakni yang ilmiah.37

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa: ”Penelitian merupakan suatu kegiatan karya ilmiah yang berkaitan dengan analisis konstruksi yang dilaksanakan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu. Sistematis adalah berdasarkan suatu alasan, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu karangan tertentu.38

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris atau dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis, karena merupakan suatu kegiatan penelitian dengan mengambil masyarakat di Kota Medansebagai objek penelitian dengan maksud menyelidiki respon atau tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum.39

Metode penelitian hukum normatif-empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat, maka metode penelitian hukum normatif-empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis.

37 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakrata, 1986, hal.3

38Ibid, hal. 5

39 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V No.3, Maret 2006

Dan dapat dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.40

Jenis penelitian hukum normatif-empiris digunakan dalam penelitian ini karena subjek dalam penelitian ini adalah pejabat dan instansi yang berwenang membuatnya, dari mulai UUD 1945 sampai dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan peraturan lainnya yang merupakan peraturan-peraturan berkaitan dengan peraturan-peraturan pelaksana dari pembuatan SKAW.

Disamping itu juga turut dikaji peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pewarisan di Indonesia. Bahwa dalam penelitian ini yang dikaji adalah asas-asas, norma, dan kaedah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta doktrin-doktrin, maka dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana sinkronisasi sistem norma dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan SKAW baik secara vertikal dengan Undang-undang, maupun secara horizontal dengan peraturan-peraturan lainnya serta historis dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang SKAW.

3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data.

Sebagai penelitian hukum normatif-empiris, penelitian ini menitik-beratkan pada studi kepustakaan dan studi lapangan. Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, digunakan data sekunder dan didukung oleh data primer sebagai data penunjang. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dari arsip-arsip, bahan pustaka,

40https://idtesis.com/metode-penelitian-hukum-empiris-dan-normatif/, diakses pada tanggal 02 November 2017

data resmi pada kantor notaris, Undang-Undang, makalah yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, yang terdiri dari :

1. Data sekunder;

a. Bahan hukum primer,41 adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu :Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Jabatan Notaris, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PMA No. 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , Surat Edaran Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria tanggal 20 Desember 1969 Nomor : Dpt/12/63/69 tentang Surat Keterangan Waris dan Pembuktian Kewarganegaraan.

b. Bahan hukum sekunder,42 yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer, antara lain berupa tulisan-tulisan dan/atau pendapat pakar hukum tentang waris dan SKAW.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, surat kabar, internet serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.43 Disamping data sekunder, penelitian ini juga didukung oleh data primer.

Data primer digunakan untuk mendukung dalil-dalil hukum yang dirumuskan dari data sekunder.

41Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1988, hal. 55.

42Ibid.

43Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 14.

2. Data Primer, yaitu data yang diambil langsung oleh peneliti dengan wawancara yang dilakukan secara terarah (directive interview),44 yaitu kepada notaris-notaris di Medan dan kepada Hakim Pengadilan Agama di Kota Medan, serta perwakilan dari masyarakat WNI keturunan Tionghoa yang beragama Islam yang berkedudukan di Kota Medan.

Mengingat jumlah populasi dari Notaris di Kota Medan yang cukup banyak, yaitu sekitar 261 orang dan mengingat bahwa analisis data akan dilakukan secara kualitatif, maka penentuan jumlah jamaah yang dijadikan nara sumber wawancara dilakukan menggunakan metode purposive sampling dengan cara snow ball (bergulir). Pada tahap pertama akan diwawancarai seorang, selanjutnya seorang lainnya berdasarkan dari informasi pertama. Apabila pola jawaban-jawaban tersebut sudah menggunakan pola jawaban yang sama, maka wawancara akan dihentikan.

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung-jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara:

a. Studi Pustaka.

Studi dokumen digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian.45

b. Pedoman Wawancara.

44Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit., hal. 60.

45 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 21.

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan lisan guna mencapai tujuan tertentu.46 Wawancara dengan pengumpulan data, dimana penulis melakukan percakapan atau tatap muka yang terarah dengan menggunakan pedoman wawancara kepada 10 (sepuluh) orang notaris di Kota Medan, kepada Hakim Pengadilan Agama di Kota Medan, dan perwakilan masyarakat Tionghoa Muslim yang berkedudukan di Kota Medan, untuk memperoleh keterangan atau data-data yang diperlukan.

4. Analisis data

Analisis data merupakan kegiatan mengurai sesuatu sampai ke komponen-komponennya dan kemudian menelaah hubungan masing-masing komponen dengan keseluruhan konteks dari berbagai sudut pandang. Penelaah dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diharapkan.

Bahan hukum sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan bahan hukum primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata. Kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

46 Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2007, hal.95.

BAB II

PENGATURAN MENGENAI SURAT KETERANGAN AHLI WARIS DI INDONESIA

A. Pengertian dan Tujuan Surat Keterangan Ahli Waris

A. Kohar dalam bukunya “Notaris dan Persoalan Hukum” menyebutkan47 :

“Orang boleh meninggal, tetapi hak dan kewajibannya beralih karena hukum kepada ahli warisnya. Peralihan hak itu terjadi karena hukum, tetapi bukti sebagai ahli warisnya harus diurus, yaitu yang biasa disebut Keterangan Waris.

Jika orang hendak menjual barang pewaris, maka harus diteliti, apakah yang menjual itu betul-betul ahli waris semuanya, tidak ada yang ketinggalan.

Dalam hal mengenai warisan, para ahli waris, orang-orang nonpribumi keturuan Eropa, keturunan Cina, yang sekarang ini walaupun telah banyak yang ganti nama dan menggunakan nama nama asli Indonesia, mereka itu masih tunduk kepada Hukum Barat, yaitu hukum Perdata (BW), sedang bagi WNI keturunan Arab dan bangsa Timur Asing lainnya, masih menganut hukum warisan negara leluhurnya.”

Keterangan hak waris dapat diartikan sebagai suatu surat yang diterbitkan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang, atau dibuat sendiri oleh segenap ahli waris yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Kepala Desa Lurah atau Camat, yang dijadikan alat bukti yang kuat tentang adanya suatu peralihan hak atas suatu harta peninggalan dan pewaris kepada ahli waris 48.

Dalam ketiga sistem pewarisan yang dimiliki Indonesia, masing-masing

47 A.Kohar, S.H., Notaris dan Permasalahannya, Surabaya, P.T. Bina Indra Karya, 1985, hal.10.

48Ibid, hal.5

menjelaskan bahwa suatu proses pewarisan terjadi karena adanya kematian dan dengan sendirinya karena kematian harta waris pewaris beralih kepada ahli waris.

Dalam hukum waris BW, dijelaskan :

a. Pasal 830 KUH Perdata : Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.

b. Pasal 833 KUH Perdata : Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal ...

Dalam hukum waris Islam terdapat prinsip kewarisan hanya karena kematian dan prinsip ijbari :

a. Prinsip kewarisan hanya karena kematian, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia.

b. Prinsip Ijbari, adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.

Demikian pula pada hukum waris adat, yang prinsip utama dari sistem pewarisannya adalah harus ada yang meninggal dunia. Soerjono Soekamto mengatakan, bahwa bila seorang meninggal maka ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal harta.49

Soerjono Soekamto memberi penegasan terhadap pendapat Soepomo yang mengatakan bahwa proses peralihan harta bisa dimulai sejak pewaris masih hidup.

Beliau menjelaskan bahwa pengalihan harta dalam keluarga sendiri hanyalah bersifat sementara, itupun biasanya hanya terjadi pada keluarga dengan sistem

49Soerjono Soekamto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981, hlm. 262.

patrilineal atau parental untuk anak laki-laki yang sudah dewasa tetapi tetap bukan merupakan peristiwa pemberian harta warisan.50

Meskipun harta warisan berpindah dengan sendirinya dari pewaris kepada ahli waris ketika pewaris meninggal dunia, namun masih dibutuhkan suatu instrumen yang dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang dapat menunjukkan bahwa seseorang adalah benar orang yang berhak atas suatu harta warisan. Hal itu dikarenakan harta waris yang berupa tanah memerlukan proses pendaftaran hak apabila terjadi peralihan hak yang disebabkan oleh pewarisan. Begitu pula harta waris yang tersimpan di suatu bank juga memerlukan proses pencairan dana ataupun pindah buku dari rekening pewaris kepada ahli waris.

Untuk membuktikan seseorang memang benar berhak atas harta waris, yang membutuhkan proses peralihan pada instansi-instansi tertentu dibutuhkan adanya surat keterangan waris. Dibutuhkannya surat keterangan waris dalam suatu proses peralihan hak karena pewarisan merupakan suatu contoh dari teori yang telah dikemukaan oleh Hamaker, bahwa memang harta waris beralih dengan sendirinya dari pewaris kepada ahli waris disebabkan oleh kematian, namun masih diperlukan suatu tindakan hukum yang dapat membuktikan seseorang adalah benar ahli waris yang berhak.51

Keterangan hak waris dibuat dengan tujuan untuk membuktikan siapa-siapa yang merupakan ahli waris atas harta peninggalan yang telah terbuka menurut hukum dari beberapa porsi atau bagian masing-masing ahli waris terhadap harta peninggalan yang telah terbuka tersebut.

50Soerjono Soekamto, Ibid, hlm. 270.

51 R.M. Henky Wibawa Bambang Praman, Jurnal Hukum : Analisis Yuridis Surat Keterang Waris sebagai Alat Bukti, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2000.

Keterangan hak waris disebut juga surat keterangan hak mewaris atau surat keterangan ahli waris. Surat keterangan hak waris merupakan surat bukti waris, yaitu surat yang membuktikan bahwa yang disebutkan di atas adalah ahli waris dan pewaris tertentu. 52 Keterangan waris juga digunakan untuk balik nama atas barang harta peninggalan yang diterima, dan atas nama pewaris menjadi atas nama seluruh ahli waris. Tindakan kepemilikan yang dimaksud adalah:


1. Khusus untuk barang-barang harta peninggalan berupa tanah, maka dapat mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan setempat, yaitu :


a) Melakukan pendaftaran peralihan hak (balik nama) untuk tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat);


b) Melakukan permohonan hak baru (sertifikat) atas tanah yang belum terdaftar seperti misalnya tanah girik, tanah berkas hak barat, tanah Negara.

2. Menggadaikan atau dengan cara menjaminkan barang-barang harta peninggalan tersebut kepada pihak lain atau kreditor, apabila ahli waris hendak meminjam uang atau meminta kredit. 


3. Mengalihkan barang-barang harta peninggalan tersebut pada pihak lain, misalnya menjual, menghibahkan, melepaskan hak dan lain-lainya yang sifatnya berupa suatu peralihan hak.

4. Merubah status kepemilikan bersama atas barang harta peninggalan menjadi milik dari masing-masing ahli waris dengan cara melaukan membuat akta pembagian dan pemisahan harta peninggalan di hadapan Notaris. 


52 J. Satrio, Op.cit, hal. 227

Surat Keterangan Waris juga berfungsi sebagai alat bukti bagi ahli waris untuk dapat mengambil atau menarik uang dari pewaris yang ada pada suatu bank atau asuransi, sekalipun bagi setiap bank atau lembaga asuransi berbeda dalam menetapkan bentuk surat keterangan hak waris yang bagaimana yang dapat diterimanya.

Surat Keterangan Waris termasuk akta di bawah tangan dan bukan akta otentik namun tidak sembarangan pihak dapat membuatnya. Bagi golongan Timur Asing umumnya dalam praktik Surat Keterangan Waris dibuat oleh notaris berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh pihak yang berkepentingan sebagai dasar notaris membuat Surat Keterangan Waris atas nama pihak yang berkepentingan.

Tentang kedudukan Surat Keterangan Waris sebagai akta di bawah tangan dan hanya dapat dibuat oleh notaris untuk golongan tertentu, hal tersebut berasal dari kebiasaan zaman dahulu dimana masyarakat menganggap bahwa seorang notaris dianggap ahli dalam bidang harta warisan termasuk dalam hal pembuatan Surat Keterangan Waris yang menetapkan dan menyebutkan besarnya warisan ahli waris atas suatu warisan dari seorang pewaris tertentu.

Selain berbeda dalam hal bentuknya, akta otentik dan akta di bawah tangan berbeda dalam hal kekuatan pembuktian karena akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian :


1. Kekuatan pembuktian lahir akta otentik.

Suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan, nama akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya.


2. Kekuatan pembuktian formil akta otentik.

Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian tentang kebenaran dari pada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang telah pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan.


3. Kekuatan pembuktian materiil akta otentik

Akta Pejabat (acta ambtelijk) tidak lain hanya untuk membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun.

Surat Keterangan Ahli Waris yang diperoleh dari kelurahan harus dilengkapi dengan persyaratan administrasi yaitu surat keterangan kematian dari kelurahan, Surat Nikah orang tua ahli waris, Kartu Keluarga, Foto copy KTP semua ahli waris, untuk selanjutnya pihak kelurahan memeriksa berkas-berkas tersebut. Apabila persyaratan administrasi belum terpenuhi maka berkas dikembalikan untuk dilengkapi, apabila persyaratan administrasi sudah lengkap maka dilakukan pemprosesan pada seksi Pemerintahan dan diproses serta ditanda-tangani oleh Lurah dan Camat.

Menurut Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4, Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan bagi Warga Negara Indonesia Penduduk asli, surat keterangan ahli waris yand dibuat dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.

Adapun bentuk dan proses pembuatan surat keterangan ahli waris tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tahap Pertama. Para ahli waris membuat surat keterangan warisan dalam bentuk surat di bawah tangan. Surat keterangan warisan tersebut kemudian ditanda-tangani oleh orang tua yang hidup terlama dan seluruh ahli waris. 


2. Tahap Kedua.
Kemudian surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor Kelurahan/Kepala Desa setempat untuk memohon ditanda-tangani oleh Pejabat Lurah/Kepala Desa. Surat keterangan itu diberi nomor, tanggal dan cap, dengan kata- kata yang berbunyi ”Disaksikan dan Dibenarkan oleh kami, Lurah / Kepala Desa...” 


3. Tahap ketiga.
Selanjutnya surat keterangan ahli waris tersebut dibawa ke kantor kecamatan setempat untuk memohon tanda tangan Pejabat Camat Surat keterangan warisan tersebut kemudian diberi nomor, tanggal dan cap dengan kata-kata yang berbunyi “Dikuatkan oleh Kami Camat”. 


Menurut Subekti, alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan misalnya bukti-bukti yang bersifat tulisan, dan bukti-bukti yang bukan tulisan seperti, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain.53

Alat bukti yang bersifat tertulis dapat berupa surat dan dapat berupa akta.

Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menuangkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dapat dipergunakan dalam pembuktian.54

53Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1980), hal.21

54Hari Sasangka, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung, Mandar Maju,

Alat pembutikan tertulis yang berupa surat, merupakan salah satu alat bukti yang sah menurut hukum. Alat bukti surat ini, memegang peranan penting dalam semua kegiatan yang menyangkut bidang keperdataan, misalnya jual beli, utang piutang, tukar menukar, sewa menyewa dan sebagainya.

Alat pembuktian tertulis yang berupa surat, menurut A. Pitlo adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran55. Sudikno Mertokusumo, juga menjelaskan bahwa alat bukti tertulis yang berupa surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pemikiran seseorang dan dapat dipergunakan sebagai pembuktian56. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan, akan tetapi tidak mengandung buah pemikiran, tidaklah termasuk dalam pengertian alat bukti tertulis atau surat, misalnya gambar, foto atau peta.

Tujuan dari pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapat putusan hakim yang benar dan adil.57 Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran.58

2003), hal. 62

55Pitlo, Pembuktian Dan Daluwarsa, cetakan ke-1, (Jakarta, Itermasa, 1978) hal.12


56Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberty, 2002), hal.142


57Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, terjemahan Tristam Moeliono, (Jakarta, Komisi Hukum nasional, 2003), hal. 5


58M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU no. 7 tahun 1989, (Jakarta, Pustaka Kartini, 1990) hal. 496

Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam bentuk akta dan surat bukan akta. Menurut A. Pitlo, akta adalah suatu surat yang ditanda-tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai alat bukti dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.59

Surat keterangan waris merupakan alat bukti yang dipergunakan oleh pejabat untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris dan pewaris, dan surat keterangan waris tersebut dapat diketahui siapa yang berhak atas harta yang ditinggalkan. Jadi tidaklah mengherankan kalau Instansi pemerintah maupun swasta menghendaki adanya pegangan yang menjamin bahwa mereka menyerahkan dan membayar kepada orang atau orang-orang yang benar-benar berhak menerimanya. Untuk itu “tidaklah heran suatu instansi meminta surat keterangan dari pihak yang berwenang dalam menerbitkan surat keterangan tersebut (Surat Keterangan ahli waris).60

Surat keterangan ahli waris yang berlaku di Indonesia masih bersifat pluralistis artinya bahwa surat keterangan ahli waris yang diterbitkan bukan hanya diterbitkan oleh seorang Notaris tapi masih ada instansi lain yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menerbitkannya. Hal ini diakibatkan oleh belum adanya suatu Undang-Undang yang mengatur tentang surat keterangan ahli waris tersebut, sehingga mengakibatkan di Indonesia sampai sekarang ini belum terdapat suatu kesatuan hukum tentang hukum waris yang dapat diterapkan merata untuk seluruh Warga Negara Indonesia.

59Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, (Bandung, Alumni, 1992), hal.37

60Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris. Buku I, (Jakarta, Ichijar Baru Van Hoevc, 2000), hal. 289

Keaneka-ragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia

Keaneka-ragaman sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia

Dokumen terkait