• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN MENGENAI SURAT KETERANGAN

B. Peraturan-Peraturan yang Mengenai Pembuatan Surat

Penggolongan Penduduk

Berdasarkan Konstitusi di Indonesia bahwa yang menjadi Warga Negara Indonesia ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang undang sebagai warga negara.61 Sedangkan tentang siapa saja yang menjadi warga negara Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.62

61 Pasal 26 ayat (1) UUD 1945.

62Warga Negara Indonesia menurut Pasal 4 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah:

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum Undang Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia.

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.

g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.

h. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.

Kemudian yang dinamakan dengan penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertenpat tinggal di Indonesia.63 Sedangkan orang asing dapat disebut sebagai penduduk apabila yang bersangkutan telah memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) yang diperoleh dari imigrasi dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Izin tetap adalah izin tinggal yang diberikan kepada orang asing untuk tinggal menetap di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.64

Berdasarkan uraian tersebut di atas bahwa di Indonesia sesungguhnya saat ini tidak ada lagi yang namanya penggolongan penduduk, dikarenakan dalam Konstitusi yaitu Undang Undang Dasar 1945 yang ada hanya Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. Namun demikian, ketika membicarakan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia maka pemberlakuannya tidak didasarkan kepada apa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (2), yaitu hanya kepada Warga Negara Indonesia dan orang asing semata-mata akan tetapi masih juga didasarkan kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 163 IS, khususnya bila membicarakan tentang hukum waris, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 163 IS tersebut penduduk Indonesia pada zaman Hindi Belanda dibagi dalam 3 golongan, yaitu:

1. Golongan Eropa, ialah : a. Bangsa Belanda.

i. Anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

j. Anak yang baru lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaan ayah dan ibunya.

k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaan atau tidak diketahui keberadaannya.

l. Anak yang dilahirkan diluar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

63 Pasal 26 ayat (2) UUD 1945.

64 Pasal 1 angka 19 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006

b. Bukan bangsa Belanda, orang yang asalnya dari Eropa.

c. Bangsa Jepang (untuk kepentingan hubungan perdagangan)

d. Orang-orang yang berasal dari Negara lain yang hukum keluarganya sama dengan hukum keluarga Belanda (Amerika, Australia, Rusia, Afrika Selatan).

2. Golongan Timur Asing, yang meliputi : a. Golongan Cina (Tionghoa).

b. Golongan Timur Asing Bukan Cina (orang Arab, India, Pakistan, Mesir, dan lain-lain)

3. Golongan Bumi Putera (Indonesia), ialah:

a. Orang-orang Indonesia Asli serta keturunannya yang tidak memasuki golongan rakyat lain.

b. Orang yang mula-mula termasuk rakyat lain, masuk dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Indonesia Asli.65

Dilain pihak menurut Soediman Karto Hadiprodjo, mengenai Golongan Eropa seperti dinyatakan dalam Pasal 163 ayat (2) I.S., menyebutkan bahwa golongan Eropa itu terdiri dari:

65 Lihat CST Kancil dan Chistien ST Kasil, Sejarah Hukum di Indonesa, (Jakarta : PT.

Suara Harapan Bangsa, 2014), hal.197.

-Pembagian penduduk Indonesia menurut IS dibagi kedalam tiga golongan tersebut, sebenarnya tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini. Bahkan dengan instruksi presidium Kabinet Nomor 31/U/In/12/1996 telah diintruksikan kepada Menteri Kehakiman serta kantor catatan sipil seluruh Indonesia untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 dan 163 indische staatsregelling (IS) pada kantor catatan sipil di seluruh Indonesia, apalagi di UUD 1945 tidak lagi mengenal Penggolongan Penduduk, yang ada hanya Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing. Akan tetapi dalam lapangan hukum perdata masih menggunakan Pasal 163 IS, terutama sekali diperlukan pembagian golongan semacam itu berkaitan dengan penerapan ketentuan dalam KUHPerdata, namun bagi seluruh golongan tersebut berlaku hanya satu hukum pidana, yaitu KUH Pidana Indonesia yang berlaku sejak 1918 dengan tidak dipersoalkan lagi apakah masing-masing orang dalam golongan-golongan ini adalah warga Negara atau bukan.

“(1) Semua warga negara Nederland.

(2)Kesemuanya orang, tidak termasuk yang disebut (1) diatas, yang berasal dari Eropah.

(3)a. kesemuanya warga Negara Jepang.

b. kesemuanya orang berasal dari tempat lain yang tidak termasuk apa yang disebut dalam (1) dan (2) dan di tanah asalnya mempunyai hukum keluarga yang dalam azasnya bersamaan dengan hukum keluarga Belanda.

(4)Anak dari mereka yang disebut dalam (2) dan (3) yang dilahirkan di Indonesia secara syah atau menurut undang undang diakui, dan turunan mereka selanjutnya.”

Untuk golongan pribumi istilah yang digunakan oleh Soediman Karto Hadiprodjo bagi golongan Bumi Putra menurut Pasal 163 (3) IS, menyebutkan bahwa yang termasuk golongan pribumi ini ialah:

“a)Mereka yang termasuk penghuni pribumi yang tidak pindah ke lain

Meskipun dalam ayat pasal itu dinyatakan, bahwa golongan Pribumi yang beragama Kristen akan diberi kedudukan hukum tersendiri dalam lingkungan golongan pribumi, tetapi justru karena diadakan kekecualian ini, maka sebagai golongan penghuni, orang Indonesia Kristen termasuk golongan Pribumi; bahwa agama tidak dipakai sebagai dasar untuk mengadakan pembagian dalam golongan-golongan penghuni.”

R. Soepomo memberi penjelasan tentang golongan Bumi Putra, yaitu:

“Dimana yang termasuk golongan Bumiputera ialah rakyat pribumi dari Hindia Belanda. Pribumi tidak berarti dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia, sebab kalau demikian halnya, maka mereka yang disebut orang Tionghoa-Indo dan orang Eropa-Indo harus juga dimasukkan dalam golongan Bumiputera.”

Secara singkat R. Soepomo menegaskan bahwa mengenai golongan Timur Asing, yaitu terdiri dari mereka yang tidak termasuk golongan Eropa dan tidak juga termasuk golongan Bumiputera.

Sedangkan menurut Soediman Kartohadiprodjo, bahwa yang dimaksud dengan golongan Timur Asing tersebut sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Soepomo, sesuai dengan ketentuan Pasal 163 ayat (4) IS maka yang termasuk Golongan Timur Asing ini ialah mereka yang tidak tergolong Eropa atau Indonesia.66

Tentang hukum perdata yang diberlakukan bagi golongan Eropa menurut Soediman Karto Hadiprodjo disebutkan :67

Disamping itu terdapat suatu peraturan umum tentang perundang-undangan (Algemene Bapalingen van Wetgeving disingkat A.B) dan pula undang undang yang memuat peraturan tentang soal-soal yang tertentu.

Selanjutnya, A.B. masih menegakkan pula aturan-aturan yang berdasarkan kebiasaan, jadi aturan-aturan tidak tertulis (Pasal 15 A.B.).

Begitu pula hukum perdata barat itu, melihat bentuknya, terdiri dari hukum yang tertulis dan dikodifikasikan, yang tertulis tidak dikodifikasikan dan yang tidak tertulis.

66 Soediman Karto Hdiprodjo, Op.cit, hal. 152

67Ibid.

B. Yang tidak dikodifikasikan

Hukum tidak tertulis (kebiasaan).”

Mengenai hukum yang berlaku bagi golongan pribumi berdasarkan ketentuan peralihan yang diatur dalam Pasal 131 ayat (6) IS yang menyebutkan bahwa apa yang berlaku bagi golongan pribumi mengenai hukum perdata pada saat ini tetap berlaku sepanjang dan selama ini tidak diganti dengan Ordonansi seperti yang dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) IS.68

Jadi selama ordonansi itu belum atau tidak ada, maka yang berlaku sebagai hukum perdata bagi golongan pribumi ialah hukum yang berlaku pada saat itu, yaitu Hukum Adat (Pasal 75 RR), yang bentuknya tidak tertulis, sehingga apabila sekarang mengadakan tinjauan tentang hukum perdata yang berlaku bagi golongan Pribumi menurut bentuknya, berdasarkan Pasal 131 ayat (1) ayat (2) maka akan kita jumpai:69

a) Hukum tidak tertulis (Hukum Adat).

b) Hukum tertulis, yang meliputi:

1. Hukum Perdata Barat yang dinyatakan berlaku bagi golongan Pribumi.

68 Dalam ayat 2 (b) pasal 131., I.S., yang dalam hal ini kita pakai lagi sebagai pengkalan untuk menyelidikinya, ditentukan sebagai petunjuk kepada pembentuk ordonansi dalam menyelenggarakan perintah yang termaktub dalam ayat 1, bahwa dalam membentuk ordonansi memuat aturan perdata bagi golongan pribumi hukum adatnya harus dihormati (de onder hen geldende met hunne godsdiensten en gewoonten samenhengeende techtsregelen worden geeerbiedigd). Tetapi jikalau kepentingan umum, atau kepentingan masyarakat golongan pribumi sendiri menghendakinya, maka membentuk ordonansi dapat menyimpang dari hukum adat tadi.

Sebaliknya, mungkin pula pada golongan pribumi diperlukan hukum perdata barat.

Dalam hal ini, ada dua jalan yang dapat ditempuh:

a. Peraturan yang berlaku bagi golongan Eropah yang telah ada dimana perlu dengan perubahan-perubahan, dinyatakan berlaku bagi golongan Pribumi;

b. Mengadakan peraturan baru dengan maksud hendak diperlukan bagi golongan pribumi dan Eropah bersama-sama, satu sama lain jikalau kepentingan masyarakat golongan Pribumi sendiri mengkehendakinya.

69Ibid, hal. 125

2. Peraturan-peraturan berlaku bagi golongan Pribumi, yang menghormati hukum adat atau tidak.

3. Peraturan-Peraturan yang sengaja dibuat bagi golongan Pribumi dan golongan-golongan lainnya (Eropa dan/atau Timur Asing) bersama.

Mengenai Hukum Perdata yang berlaku bagi Golongan Timur Asing, sesuai dengan ketentuan Pasal 131 ayat (6) IS dihubungkan dengan Pasal 75 RR ayat (3) dan (4) maka pada dasarnya bagi golongan Timur Asing berlaku hukum Adat, yaitu Hukum Adat yang berlaku bagi golongan Timur Asing itu sendiri.70

Pada mulanya hukum perdata barat di Indonesia yang konkordan dengan hukum perdata barat di Negeri Belanda, hanya berlaku bagi golongan Eropa saja.

Bagi golongan Timur Asing dan Indonesia masing-masing berlaku hukum perdata Timur Asing dan hukum perdata adat. Kemudian diadakan ketentuan dalam peraturan perundangan Hindia Belanda, yaitu Pasal 75 ayat (3) dan (4) RR yang kemudian diubah menjadi Pasal 131 ayat (3) dan (4) IS yang membuka kemungkinan bagi golongan yang bukan Eropa untuk menikmati hukum perdata barat di Indonesia dimana hukum perdata barat di Indonesia dinyatakan berlaku juga bagi golongan lain dari golongan Eropa.71

Ada beberapa cara orang-orang yang bukan golongan Eropa dapat tunduk pada hukum Perdata Barat di Indonesia yaitu:72

a. Persamaan hak (geiijkstelling)

b. Pernyataan berlakunya hukum (toepasslijk verklaring)

70 Soediman Kartohadiprodji, Ibid, hal. 153

71 CST Kansil, Christine ST. Kansil, Op.cit, hal. 203-204

72Ibid.

c. Penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa (vrijwillige onderwerping ann bet europese privaatrecht).

Berkaitan dengan persamaan hak, sebagimana diatur dalam Stb. 1883, Nomor 192, dimana Persamaan hak mengakibatkan bahwa seorang bukan Eropa berubah statusnya menjadi orang Eropa, orang yang sebelumnya termasuk orang bukan Eropa dan tunduk pada hukumnya sendiri, lalu kedudukannya disamakan dengan orang Eropa dan tunduk kepada baik seluruh hukum perdata barat maupu hukum publik.

Jadi persamaan hak mempunyai akibat-akibat penting, baik di lapangan hukum publik, mengenai pajak-pajak, cara-cara mengadili dan lain-lain, maupun di lapangan hukum perdata barat di Indonesia. Orang-orang Indonesia asli yang dipersamakan haknya dengan orang Eropa misalnya, maka tunduklah ia kepada hukum perdata barat di Indonesia yang berlaku untuk orang-orang Eropa di Indonesia.

Persamaan hak diperlukan besluit gubernur jendral yang diumumkan dalam staatsblad, oleh karena itu dalam pembicaraan sehari-hari orang-orang yang diberikan persamaan hak ini terkenal dengan sebutan orang Eropa staatsblad.73

Berkaitan dengan pernyataan berlakunya hukum berdasarkan Pasal 11 AB, Pasal 75 ayat (2) RR, Pasal 131 ayat (2) IS bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu pernyataan tentang berlakunya hukum perdata barat bagi orang-orang

73Ibid.

bukan Eropa, oleh pihak penguasa, dalam hal ini pembuat undang-undang menunjuk kepada orang bukan Eropa, yaitu golongan Pribumi dan Timur Asing.74

Hukum yang tadinya berlaku kepada orang-orang Eropa kemudian diperluas berlakunya hingga orang-orang bukan Eropa. Beberapa peraturan yang menyatakan berlakunya hukum Eropa diatur dalam:75

1. Stb. 1924/556: KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia kecuali hukum kekeluargaan dan hukum waris abintestato, dinyatakan berlaku untuk golongan Timur Asing bukan Cina.

2. Stb. 1924/557: pernyataan berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang barat di Indonesia untuk golongan Timur Asing bukan Cina. Kecuali peraturan tentang catatan sipil, dan cara-cara perkawinan, ditambah dengan perauran-peraturan tentang kongsi dan adopsi.

3. Stb. 1912/49: KUH Dagang Barat di Indonesia untuk sebagian dinyatakan berlaku bagi golongan Indonesia.

4. Stb. 1912/600: peraturan mengenai hak cipta (auteursrecht).

5. Stb. 1898/158: peraturan campuran, berlaku untuk semua golongan.

Selanjutnya berkaitan dengan pemberlakuan hukum pada masa Hindia Belanda dikenal dengan Penundukan Sukarela Kepada Hukum Perdata Eropa berdasarkan ketentuan Pasal 75 Ayat (3) Regering Reglement. Menurut Pasal 75 ayat (3) Regerings Reglement yang kemudian diubah menjadi Indische Staatsregelling yang sering disebut IS yang diatur dalam Pasal 131 ayat (4), yang menyebutkan “bagi orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang

74 Soediman Kartohadiprojo, Op.cit, hal. 123

75Ibid, hal. 205

mereka belum diletakkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka pada waktu itu dibuatlah suatu peraturan tentang penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa yang dimuat dalam Stb. 1917/No. 12. Bahwa dalam staatblad tersebut dikenal dengan empat macam penundukan sukarela (vrijwillige onderwerping) kepada hukum perdata barat di Indonesia.

Mahadi menyebutkan bahwa tunduk sukarela dibagi dalam empat macam, yaitu :

1. Tunduk sukarela seluruhnya, artinya tunduk kepada seluruh hukum perdata Eropa.

2. Tunduk sukarela sebagian, artinya hanya tunduk pada hukum kekayaan dan hukum waris testamenter, dalam hal tunduk sukarela sebagian ini tidak boleh memilih karena sudah diatur oleh Undang-Undang.

3. Tunduk sukarela tertentu, artinya hanya tunduk pada hukum perdata Eropa pada perbuatan yang telah ditentukan dalam perjanjian.

4. Tunduk secara sukarela secara diam-diam. Hal ini berlaku terbatas pada perbuatan tertentu, misalnya cek, wesel, giro, dan sebagainya.

Menurut Soediman Karto Hadiprodjo,76 azas Politik Hukum yang memberikan kesempatan untuk tunduk dengan sukarela kepada hukum perdata barat dan yang dicantumkan pada awalnya dalam pasal 124 RO, dilanjutkan dalam Pasal 11 AB dan kemudian dalam Pasal 75 ayat (3) RR Lama dan Pasal

76 Sudiman Kartohdiprodjo, Op.cit, hal. 130

131 ayat (4) IS, dengan lahirnya Stb. 1917 nomor 12 ini mendapat penyelenggaraan yang mendalam dan sesungguhnya mendapat pengluasan dari apa yang dimaksudkan semula.

Ong Hok Ham menyatakan bahwa pembagian penduduk dalam golongan Eropa, Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) dan pribumi diatur dalam RR atau konstitusi 1854 hanya merupakan pengukuhan hukum dari keadaan yang sudah ada.77

Kedudukan golongan keturunan Cina dan Timur Asing merupakan persoalan penggolongan hukum yang tidak luwes. Sementara untuk sebagian besar kebutuhan hukum mereka dianggap sebagai “pribumi”, mereka diikut-sertakan dalam lalu lintas perdagangan yang sama, walaupun biasanya dalam kendaraan yang tidak rapi dan jalur pinggir sebagaimana halnya para pengusaha Belanda. Jadi, mereka diperlakukan sama dengan orang Indonesia dalam hukum pidana, tetapi sama dengan orang Belanda dalam hukum dagang.

Menurut Mahadi, orang Timur Asing umumnya dan orang Cina khususnya banyak melakukan transaksi dagang dengan golongan Eropa. Hukum apa yang menguasai hubungan mereka? Yang satu orang Eropa tunduk pada hukum perdata Eropa, yang satu lagi orang Cina, India, Pakistan, dan sebagainya tidak tunduk pada hukum perdata Eropa. Jadi, bagaimana? Pertanyaan inilah yang merisaukan para saudagar Eropa. Mereka menginginkan supaya transaksi dagang antara mereka dan orang-orang Timur Asing dikuasai oleh satu hukum yang sudah mereka kenal, yang sudah mereka ketahui. Itulah hukum perdata Eropa. Oleh

77Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., Sejarah Hukum, (Jakarta: Kencana), 2016, hlm. 194-195.

sebab itu, mereka pun berusaha agar hukum Eropa itu dinyatakan berlaku untuk golongan Timur Asing.78

Golongan Cina dinyatakan tunduk pada hukum harta kekayaan dan dagang Eropa sejak 1855. Pada 1919 golongan Cina pada umumnya dinyatakan tunduk pada BW, termasuk hukum keluarga, walaupun beberapa pasal tertentu diciptakan untuk hukum kekeluargaan dan organisasi usaha yang disebut kongsi.79

Konsekuensi dari adanya penggolongan penduduk tersebut :

a. Bagi Warga Negara Indonesia yang berasal dari golongan Eropa, berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang yang diselaraskan (konkordansi) dengan KUH Perdata dan KUH Dagang yang berlaku di Negeri Belanda (KUH Perdata dan KUH Dagang di Indonesia)

b. Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Eropa, berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Eropa

c. Bagi Warga Negara Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing, yaitu:

1) Golongan Cina, berdasarkan Stb. 1924 No. 557 berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia, dengan dikecualikan (pada masa lampau) peraturan tentang:

a) Pencatatan sipil (kini hanya satu catatan sipil untuk semua warga Negara Indonesia)

b) Cara-cara perkawinan (kini berlaku UU no. 1 tahun 1974 untuk seluruh Warga Negara Indonesia) ditambah dengan peraturan tentang:

78Ibid.

79Ibid, hlm. 200.

(1) Pengangkatan anak (adopsi)

(2) Kongsi (kongsi disamakan dengan Firma dalam KUH Dagang) 2) Golongan bukan Cina, berdasarkan Stb. 1924 No. 556 berlaku KUH

Perdata dan KUH Dagang barat di Indonesia, dikecualikan:

a) Hukum kekeluargaan

b) Hukum waris tanpa wasiat atau hukum waris menurut undang undang atau hukum waris abintestato (ab intestato)80

d. Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing berlaku hukum perdata dan hukum dagang timur asing, yang berlaku di negaranya masing-masing.

e. Bagi Warga Negara Indonesia asli berlaku hukum perdata adat (hukum adat).

Hukum adat ini pada tiap-tiap daerah berlainan coraknya dan kadang-kadang pula saling bertentangan. Bila hukum adat itu bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan maka sebagai pegangan dipakai hukum perdata barat di Indonesia.

f. Bagi orang-orang yang berasal dari golongan Indonesia, berlaku hukum perdata dari Negara dimana ia termasuk (tunduk).81

Diversifikasi Peraturan yang Berlaku

Secara khusus tidak ada satupun undang-undang yang mengatur tentang keterangan hak waris dan siapa saja pejabat yang berwenang dalam menerbitkan

80 hal ini disebabkan sebagian besar golongan ini menganut agama Islam, yang tentu saja tidak dapat berlaku hukum kekeluargaan dalam hukum perdata yang berasas perkawinan yang monogami sedang hukum waris bagi golongan ini diatur dalam Hukum Islam menurut Al-Quran.

81 CST Kansil dan Cristinen Kansil, Op. cit. hlm. 199-201

surat keterangan waris. 82

Ketentuan tertulis yang mengatur tentang wewenang pembuatan surat keterangan hak waris yang dikenal dalam praktek sehari-hari diatur dalam intruksi para pejabat pendaftaran tanah di Indonesia dan mereka yang bertindak sedemikian yang diatur dalam Pasal 14 Staatsblad 1916 Nomor 517, yang mulai berlaku pada tanggal 1 November 1916, yang memberikan kewenangan untuk membuat surat keterangan hak waris itu kepada Balai Harta Peninggalan setempat. Oleh karena tidak adanya peraturan yang mengatur mengenai keterangan hak waris dan pejabat yang berwenang menerbitkanya, maka untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 8 Mei 1991 Nomor MA/Kumdil/171/V/K/19991 yang ditujukan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 25 Maret 1991 Nomor KMA/041/III/1991, telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolangan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum kemerdekaan, hendaknya keterangan hak waris untuk Warga Negara Indonesia juga diterbitkan berdasarkan penggolangan tersebut.

Adapun pejabat yang berwenang mengeluarkan surat keterangan waris bagi golongan penduduk Indonesia asli (Bumiputera), surat keterangan ahli waris dibuat oleh para ahli waris yang kemudian dibenarkan dan dikuatkan oleh Lurah

82 Tan Thong Kie, Serba serbi Praktek Notaris,(Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2007), hal. 290

dan Camat penduduk Indonesia asli, terutama yang tinggal di pedalaman daerah terpencil jauh dari kota, pada awalnya banyak mengalami masalah dalam bidang pembuktian yang berkenaan dengan kewarisan. Terutama bagi para ahli waris yang menerima barang warisan berupa tanah. Kesulitan pembuktian kewarisan tersebut, akhirnya dapat diatasi dan dipecahkan dengan terbitnya Surat Edaran yang ditanda-tangani oleh Badan Pembinaan Hukum Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, tertanggal 20 Desember 1969, Nomor Dpt/12/63/12/69, tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.

Dalam surat edaran tersebut diatur mengenai kewenangan pejabat Lurah/Kepala Desa dan Camat untuk menyaksikan, membenarkan dan menguatkan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris. Surat keterangan ahli waris tersebut demi hukum diakui sebagai alat bukti otentik oleh instansi pejabat kantor pertanahan (agraria) untuk mengurus barang warisan, berupa tanah dalam melakukan pendaftaran tanah (balik nama) atau permohonan hak baru (sertipikat).

Penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk setiap golongan penduduk tersebut83 seharusnya sudah tidak ada lagi, tetapi dalam kenyataannya masih diberlakukan, antara lain telah dijadikan dasar hukum dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku setelah Indonesia merdeka untuk pembuatan bukti

Penggolongan penduduk dan hukum yang berlaku untuk setiap golongan penduduk tersebut83 seharusnya sudah tidak ada lagi, tetapi dalam kenyataannya masih diberlakukan, antara lain telah dijadikan dasar hukum dalam pembentukan aturan hukum yang berlaku setelah Indonesia merdeka untuk pembuatan bukti

Dokumen terkait