• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada penelitian ini dilakukan pada satu lokasi penelitian yang sama yaitu lokasi pemanenan kayu dengan batas diameter 45 cm. Pada lokasi penelitian dibuat plot pengamatan permanen berukuran 100 X 106 m berdasarkan tiga kemiringan yang berbeda yaitu, landai (kemiringan 0-15%), sedang (kemiringan 15-25%) serta curam (kemiringan 25-45%). Pada masing-masing kemiringan tersebut dibuat tiga plot pengamatan permanen. Dalam plot pengamatan dibuat petak contoh dan sub-sub petak contoh dengan ukuran sebagai berikut tingkat pohon dengan ukuran petak 20 x 20 m (dan menjadi 17 x 20 m setelah dilakukan kegiatan penjaluran), tingkat tiang 10 x 10 m, tingkat pancang 5 x 5 m, dan tingkat semai 2 x 2 m.

1. Analisa Vegetasi

Analisa vegetasi dilakukan pada empat kondisi hutan, yaitu hutan primer untuk kegiatan pemanenan kayu, hutan yang baru dilakukan kegiatan pemanenan kayu, hutan sebelum dilakukan penebangan jalur, dan hutan setelah dilakukan penebangan jalur. Analisa vegetasi pada hutan primer dilakukan sebagai pembanding tentang keadaan komposisi jenis, struktur tegakan, sebaran diameter, dan dominansi jenis. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan pengukuran serta penghitungan jumlah dan jenis pohon, pemberian nomor, mengukur tinggi dan diameter pohon.

Sedangkan analisa vegetasi pada ketiga kondisi hutan yang lainnya ialah untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi akibat pemanenan kayu dan penjaluran terutama terhadap mengenai komposisi dan struktur tegakan tinggal dan komposisi jenis dari permudaan yang ada.

Metoda pengambilan data yang dilakukan untuk analisa vegetasi dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperlukan untuk analisa vegetasi

ini adalah nama jenis, jumlah, dan diameter untuk tingkat tiang dan pohon.

Sedangkan untuk tingkat pancang dan tingkat semai hanya diperlukan nama jenis dan jumlahnya saja.

Gambar 1. Plot Pengamatan Analisis Vegetasi

20 m

c d Lebar jalur bersih 3 m

a b

Jalur

kotor 17 m

Jalur kotor

Keterangan:

a = Sub petak pengamatan untuk tingkat semai (2 x 2 m) b = Sub petak pengamatan untuk tingkat pancang (5 x 5 m) c = Sub petak pengamatan untuk tingkat tiang (10 x 10 m)

d = Sub petak pengamatan untuk tingkat pohon (20 x 20 m), tapi ukurannya menjadi 17 x 20 m setelah penjaluran.

2. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon Analisa ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kerusakan tegakan (pohon non target) yang diakibatkan kegiatan penebangan satu pohon. Metode yang digunakan adalah mengamati dan mencatat pohon-pohon yang rusak disekitar pohon-pohon yang ditebang. Pohon yang ditebang ialah pohon dengan diameter 45 cm keatas. Pengamatan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.

Data yang diperlukan dalam analisa pengukuran kerusakan tegakan akibat penebangan satu pohon adalah:

a. Jumlah pohon yang rusak dirinci menurut kelas diameter (tergantung pada lokasi pengamatan).

b. Bentuk-bentuk kerusakan: patah, kulit batang terkelupas, tajuk rusak, perakaran/banir rusak, roboh dan condong.

c. Persentasi kerusakan, dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pohon yang rusak dibagi dengan pengurangan dari jumlah pohon sebelum dilakukan penebangan dengan jumlah pohon yang ditebang.

Tabel 5. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Penebangan Satu Pohon.

No Jenis Pohon

Diameter (cm)

Tipe Kerusakan

Tajuk Kulit Patah Pecah Batang Roboh/Condong Banir/Akar

1

2

3

3. Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Kegiatan Pemanenan Kayu dan Penjaluran

Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan tegakan hutan akibat pemanenan kayu dan penjaluran terutama yang diakibatkan oleh kegiatan penebangan, penyaradan serta pembuatan jalur bersih. Pengukuran kerusakan tegakan tinggal dilakukan setelah pemanenan kayu dan setelah penjaluran. Parameter yang dicatat dan diukur adalah jenis pohon yang rusak, diameter, tipe dan ukuran/tingkat kerusakan.

Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan pohon inti dan tingkat permudaan serta untuk melihat keberadaan pohon inti dan permudaan. Dalam melakukan pengukuran, kriteria kerusakan tegakan tinggal yang digunakan ialah berdasarkan sistem TPTI, dimana pohon inti digolongkan rusak apabila mengalami salah satu atau lebih keadaan sebagai berikut (Departemen Kehutanan, 1993) :

a. Tajuk rusak lebih dari 30% atau cabang pohon/dahan patah.

b. Luka batang mencapai bagian kayu yang berukuran lebih dari 1/4 keliling batang dengan panjang lebih dari 1,5 m.

c. Perakaran terpotong atau 1/3 banirnya rusak.

Menurut Elias (1993) dalam Sularso (1996), berdasarkan populasi pohon dalam petak, kerusakan tegakan tinggal dapat dikelompokkan sebagai berikut: tingkat kerusakan ringan (<25%), tingkat kerusakan sedang (25-50%) dan tingkat kerusakan berat (>50%).

Beberapa tingkat kerusakan yang terjadi pada indivudu pohon yaitu:

4. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang.

b. Pecah batang.

c. Roboh, tumbang atau miring sudut < 45o dengan permukaan tanah.

d. Rusak tajuk (>50% rusak tajuk), juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah.

e. Luka batang/rusak kulit (>1/2 keliling pohon atau 300-600 cm kulit mengalami kerusakan).

f. Rusak banir/akar (>1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong).

5. Tingkat kerusakan sedang

e. Rusak tajuk (30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan).

f. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling pohon rusak atau 150-300 cm kulit rusak).

g. Rusak banir/akar (1/3-1/2 banir/akar rusak atau terpotong).

h. Condong atau miring (pohon miring membentuk sudut >45o dengan tanah).

6. Tingkat kerusakan ringan

d. Rusak tajuk (<30% tajuk rusak)

e. Luka batang/rusak kulit (1/4-1/2 keliling dan panjang luka <1,5 m atau kerusakan sampai kambium dengan lebar lebih dari 5 cm, lebih kurang sepanjang garis sejajar sumbu longitudinal dari batang).

f. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong).

Menurut pedoman TPTI maka harus tersedia minimal 400 batang/hektar untuk tingkat semai, 200 batang/hektar untuk tingkat pancang dan 75 batang/hektar untuk tingkat tiang dan 25 pohon /hektar jenis komersial dan sehat. Dengan demikian maka dapat diasumsikan bahwa dalam setiap petak pengamatan minimal harus terdapat 1 pohon, 3 tiang, 8 pancang dan 16 semai.

Tabel 6. Tally Sheet Pengukuran Kerusakan Tegakan Akibat Pemanenan Kayu dan Penjaluran.

No Jenis Pohon

Diameter (cm)

Tipe Kerusakan

Tajuk Kulit Patah Pecah Batang Roboh/Condong Banir/Akar

1

2

3

4. Pengukuran Keterbukaan Lahan Bekas Tebangan

Keterbukaan lahan hutan dapat disebabkan terutama oleh kegiatan penebangan dan penyaradan. Kegiatan penebangan itu sendiri terbagi dua yaitu penebangan produksi dan penebangan jalur. Keterbukaan lahan akibat penebangan merupakan luas daerah yang terbuka akibat

penebangan pohon berikut robohnya vegetasi lain. Keterbukaan lahan akibat penebangan dapat diketahui dengan cara mengukur jumlah areal yang terbuka akibat penebangan pohon dalam luasan satu hektar berdasarkan penjumlahan luas tajuk pohon yang ditebang dan luas tajuk pohon yang tumbang akibat penebangan.

Keterbukaan lahan akibat penyaradan adalah luas tanah yang terbuka akibat jejak traktor atau bekas lintasan batang kayu yang disarad.

Keterbukaan lahan akibat penyaradan dapat ditentukan dengan mengukur panjang dan lebar jalan sarad dalam luasan satu hektar, kemudian dihitung luas jalan sarad tersebut.

Dengan demikian keterbukaan lahan bekas tebangan per hektar merupakan penjumlahan antara keterbukaan lahan akibat penebangan dan penyaradan dalam luasan satu hektar.

Tabel 7. Tally Sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penebangan.

No. Jenis pohon yang ditebang Diameter (cm) Tinggi (m) Luas keterbukaan areal 1

2 ...

Tabel 8. Tally sheet Pengukuran Keterbukaan Lahan Akibat Penyaradan.

No. Arah

(0) No. Titik pengamatan Panjang (m) Lebar (m) Keterangan 1

2 ...

5. Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan dua cara :

a. Untuk dianalisis sifat fisik tanah (bulk density, porositas, kadar air, air tersedia, permiabilitas), dilakukan dengan menggunakan ring/tabung tembaga yang mempunyai diameter 8 cm dan tinggi 4 cm. Setiap plot pengamatan (jalur bersih dan jalur kotor) diambil satu contoh tanah dari tiga lapisan tanah. Lapisan pertama pada kedalaman 0-20 cm, lapisan kedua pada kedalaman 20-40 cm dan lapisan ketiga pada kedalaman 40-60 cm.

Cara pengambilan tanah utuh adalah sebagai berikut:

1. Lapisan tanah diratakan dan dibersihkan dari serasah serta bahan organik lainnya, kemudian tabung diletakkan tegak lurus dengan permukaan tanah.

2. Tanah di sekitar tabung digali dengan sekop.

3. Tanah dikerat dengan pisau sampai hampir mendekati bentuk tabung.

4. Tabung ditekan sampai 3/4 bagiannya masuk ke dalam tanah.

5. Tabung lainnya diletakkan tepat diatas tabung pertama, kemudian ditekan kembali sampai bagian bawah dari tabung ini masuk ke dalam tanah kira-kira 1 cm.

6. Tabung kedua dipisahkan dengan hati-hati, kemudian tanah yang berlebihan pada bagian atas dan bawaah tabung dibersihkan.

7. Tabung ditutup dengan tutup plastik.

Pengambilan contoh tanah utuh yang paling baik adalah sewaktu tanah dalam keadaan kandungan air disekitar kapasitas lapang. Kalau tanah terlalu kering dianjurkan untuk menyiramnya dengan air yang cukup sehari sebelum pengambilan contoh.

Apabila tanahnya keras maka memasukkan tabung ke dalam tanah dapat dipukul perlahan-lahan dan diatas tabung harus memakai bantalan kayu. Masuknya tabung ke dalam tanah harus tetap tegak lurus dan jangan goncang.

b. Untuk menganalisa sifat kimia tanah (keasaman tanah, kandungan bahan organik dan nitrogen, serta unsur-unsur hara makro dan mikro) diambil tanah biasa sebanyak 250 gram dari setiap petak pengamatan.

Menurut Lembaga Penelitian Tanah (1979) cara pengambilan contoh tanah biasa (agregat tanah) dari suatu profil tanah adalah sebagai berikut :

1. Tanah dibersihkan dan diratakan.

2. Setiap lapisan tanah diambil 250 gram agregat tanah. Contoh tanah yang diambil dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label.

Dokumen terkait