• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penilaian Kerugian Ekonomi Hilangnya Fungsi Pengatur Tata Air (Penyediaan air dan Pengendali Banjir)

F. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Hayati dan Habitat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

5.1.5. Metode Penilaian Kerugian Ekonomi Hilangnya Fungsi Pengatur Tata Air (Penyediaan air dan Pengendali Banjir)

Hutan dan vegetasi penutup lahan lainnya mempunyai fungsi ekologis dalam pengaturan tata air, khususnya dalam membantu penyediaan air dan pencegah banjir. Efektifitas dan besar dari fungsi ini akan sangat ditentukan oleh jenis vegetasi yang ada dipermukaan lahan. Hutan mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menahan dan membantu penyerapan air ke dalam tanah, sehingga fluktuasi ketersediaan air antara musim hujan dan kemarau tidak terjadi. Keberadaan vegetasi hutan dengan perakaran yang lebih dalam, serasah yang lebih banyak dan beragam, dibandingkan dengan perkebunan membuat air hujan tidak langsung memasuki sungai, tetapi mempunyai kesempatan menyerap dan mengisi air tanah.

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan vegetasi menjadi berubah, dari hutan dan perkebunan menjadi lahan terbuka. Kondisi ini menyebabkan air hujan akan langsung memasuki sungai dan menyebabkan naiknya permukaan air pada

musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau air menjadi berkurang karena pada saat hujan proses pengisian air tanah menjadi tidak berjalan dengan optimal. Ini menyebabkan pada musim hujan bisa terjadi banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kelangkaan air, bagi kebutuhan rumah tangga maupun usahatani.

Nilai manfaat hutan sebagai pengatur tata air, khususnya dalam pengendalian banjir dihitung berdasarkan jumlah air yang dilepas pada musim penghujan (aliran permukaan) yang berpotensi sebagai banjir dikali dengan kesediaan responden untuk membayar sejumlah biaya (WTP) terhadap fungsi hutan sebagai pengendali banjir. Sementara fungsi hutan sebagai penyedia air didasarkan pada pendekatan output aliran permukaan yang semakin meningkat akibat kebakaran hutan dan lahan sehingga air yang tersedia didalam tanah berkurang atau hilang yang seharusnya terinfiltrasi didalam tanah apabila tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kedua pendekatan tersebut digunakan akibat tidak tersedia data kerugian banjir atau kekeringan akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997. Penilaian manfaat fungsi hutan sebagai pengendali banjir dan penyedia air dianalisis di dua lokasi yaitu: TNBB (230 ha) dan TWA-Baning (59,5 ha) yang memiliki fungsi pengatur tata air.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa dengan menggunakan data kapasitas air permukaan yang berpotensi sebagai pengendali banjir pada musim

hujan akibat hilangnya penutupan lahan yaitu untuk TNBB (7.466 m3/ha/thn) dan

TWA Baning (6.470 m3/ha/thn). Pendugaan jumlah air permukaan yang

berpotensi sebagai banjir di musim hujan dengan menggunakan metode rasional (Q = C x I x A). Perbedaan kemampuan penyerapan dan pelepasan air yang lebih tinggi di areal TNBB disebabkan karena memiliki vegetasi yang lebih rapat dan kemiringan lahan lebih besar dibanding dengan areal di TWA Baning, sehingga adanya perubahan bentang alam akibat kebakaran menyebabkan nilai koefisien aliran lebih besar perubahannya di areal TNBB.

Harga air sebagai pengendali banjir diturunkan dari WTP responden sekitar TNBB untuk membayar agar tidak terjadi banjir yaitu rata-rata Rp.

126.920/ha (tahun 1997) dan Rp. 223.976/ha (2003) atau setara Rp. 17,-/m3 dan

Rp. 30,-/m3 (masing-masing dibagi 7.466 m3/ha/thn). Sementara nilai fungsi

pengendali banjir dari TWA Baning yaitu Rp. 3,5,-/m3 (1997) dan Rp. 6,-/m3

(2003), diperoleh dari rata-rata WTP responden pertahun dari desa sekitar yaitu

Rp. 22.644/ha dan Rp. 38.819/ha (dibagi dengan 6.470 m3/ha/thn).

Hasil penelitian menunjukkan bawah kerugian perhektar hilangnya fungsi pengendali banjir akibat kebakaran di areal kawasan konservasi dan pelestarian alam (TNBB dan TWA Baning) yaitu rata-rata sebesar Rp. 74.782/ha (tahun 1997) dan meningkat sebesar 76% menjadi Rp. 131.397/ha/thn (tahun 2003) yang disebabkan oleh adanya kesediaan membayar masyarakat sebesar 42% rata-rata 15% pertahun. Nilai kerugian fungsi TNBB dan TWA sebagai pengendali banjir lebih tinggi dibanding fungsi hutan sebagai pengendali tata air sebesar Rp. 30.000/ha menurut hasil perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dalam UNDP dan Kementerian Lingkungan Hidup (1998). Sementara menurut Kramer et al. dalam Pearce dan Moran (1994) menilai fungsi pengendali banjir di Taman Nasional Mantadia Madagaskar sebesar US$ 23/ha atau sekitar Rp. 131 ribu/ha dengan kurs tahun 1997 (Rp. 5.700/US$). Adanya perbedaan ini menunjukkan fungsi pengendali banjir dari kawasan yang terbakar berbeda tergantung pada kerapatan tanaman, kelerengan dan curah hujan. Hal ini sejalan dengan pendapat Asdak (2002) dan Morgan (1986) yang menyatakan bahwa pengendali banjir pada suatu kawasan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik lahan, kondisi penutupan tanah dan cuaca/iklim.

Tabel 23. Kerugian Ekonomi Kebakaran Lahan Terhadap Hilangnya Fungsi Pengatur Tata Air (Penyedia Air dan Pengendali Banjir) di TNBB dan TWA Baning

Fungsi Ekologis Yang Hilang

karena Kebakaran Kerugian Ekonomi

Lokasi Kebakaran

Kapasitas Serap & Lepas Air

(m3/ha/thn) (3) Penyedia Air

(2) (Rp/thn) Pencegah Banjir (Rp/thn) (4) Total per Ha TWA Baning 6470 115.485.038 1.347.325 116.832.363 1.963.569 (59,5 ha) (240.593.828) (2.309.701) (242.903.529) (4.082.412) TNBB 7466 515.145.375 29.191.571 544.336.946 2.366.682 (230 ha) (1.073.219.531) (51.514.538) (1.124.734.069) (4.890.148) Keterangan:

(1) Angka dalam kurung (….) adalah nilai kerugian atas dasar harga tahun 2003

(2) QTNBB = C (0,075 & 0,45) x i (1990 mm/thn) x A (230 ha) dengan harga air = Rp. Rp. 300/m3 – Rp. 625/m3 (RT, Industri, Sosial) QTWA = C (0,1 & 0,45) x i (1848 mm/thn) x A (59,5 ha) dengan harga air = Rp. Rp. 300/m3 – Rp. 625/m3 (RT, Industri, Sosial) (3) Kapasitas penyerapan air & pelepasan air = debit air tahunan (Q), baik musim hujan dan musim kemarau

(4) WTP masyarakat tahun 1997 untuk pengendali banjir untuk (TNBB = Rp 17/m3 dan TWA = Rp. 3,5/m3) dan kerugian perhektar untuk TNBB (Rp. 126.920/ha) dan TWA Baning (Rp. 22.644/ha).

(5) WTP masyarakat tahun 2003 untuk pengendali banjir (TNBB = Rp. 30/m3 dan TWA = Rp. 6/m3) dan kerugian perhektar untuk TNBB (Rp. 223.976/ha) dan TWA Baning (Rp. 38.819/ha).

Berdasarkan nilai air permukaan yang berpotensi sebagai banjir maka total nilai kerugian akibat hilangnya fungsi pengendali banjir di TNBB yaitu Rp. 29.191.572 (1997) dan nilai kerugian tahun 2003 meningkat rata-rata 76,74% menjadi Rp. 51.514.538. Sementara untuk TWA Baning total kerugian hilangnya fungsi pengendali banjir yaitu sebesar Rp. 1.347.325 dan meningkat 71,43% pada

tahun 2003 menjadi Rp. 2.309.701 (Tabel 23). Perbedaan nilai pada dua titik

tahun tersebut lebih disebabkan karena nilai WTP masyarakat pada tahun 2003 lebih besar dibanding tahun 1997, yaitu meningkat rata-rata sebesar 42% dari WTP tahun 1997 akibat meningkatnya indeks pendapatan masyarakat rata-rata 10% sampai 15% pertahun. Sehingga dalam penilaian kerugian ekonomi perbedaan titik tahun analisis akan menghasilkan nilai kerugian yang berbeda.

Perbedaan kesediaan membayar dapat dipengaruhi aspek sosial ekonomi penduduk. Hasil analisis regresi dalam menduga keterkaitan antara kesediaan membayar agar tidak terjadi banjir dengan karakteristik tingkat pendidikan, pendapatan dan jenis pekerjaan dari setiap responden di sekitar TNBB dan TWA Baning (tahun 1997) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dan positif (uji t = 0,05 dan Uji F = P 0,0 ). Hasil uji F menunjukkan model valid artinya paling sedikit satu peubah bebas berpengaruh terhadap peubah tidak bebas.

Pendugaan pengaruh variabel pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan masyarakat terhadap kesediaan membayar fungsi pengendali banjir di TNBB dengan menggunakan uji t, ternyata variabel yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% adalah tingkat pendidikan dan pendapatan, dengan nilai koefisien regresi untuk tingkat pendidikan (0,80) dan tingkat pendapatan (1,43). Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan maka WTP masyarakat akan meningkat. Sementara variabel jenis pekerjaan dengan nilai koefisien regresi (0,35) ternyata pengaruhnya tidak signifikan. Nilai R-square 72% berarti bahwa secara bersama-sama variabel jenis pekerjaan, pendidikan dan pendapatan masyarakat dapat menjelaskan perilaku kesediaan masyarakat membayar agar tidak terjadi banjir sebesar 72%, sedang sisanya 28% dipengaruhi

oleh faktor lain (Lampiran 1).

Sementara untuk TWA Baning nilai WTP masyarakat agar tidak terjadi banjir dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pendapatan pada taraf kepercayaan

95%, dengan nilai koefisien regresi masing-masing sebesar 0,71dan 0,69. Artinya bahwa meningkatnya tingkat pendidikan dan pendapatan akan meningkatkan WTP banjir masing-masing sebesar 0,71 satuan dan 0,69 satuan. Sedang jenis pekerjaan pengaruhnya tidak signifikan. Hasil analisis menunjukkan pula nilai R-square 81%, artinya jenis pekerjaan, pendidikan dan pendapatan secara bersama-sama dapat menerangkan perilaku WTP masyarakat agar tidak terjadi banjir sebesar 81% sedang sisanya 19% dipengaruhi faktor lain.

Kesediaan membayar masyarakat terhadap fungsi pengendali banjir persatuan luas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di sekitar lokasi kebakaran memahami fungsi hutan sebagai pengendali banjir (92% dari responden) sedang sisanya menjawab tidak tahu (8%). Adanya pemahaman dan kesediaan memberikan penilaian (hipotetis) menunjukkan bahwa masyarakat memahami fungsi-fungsi yang terdapat dalam kawasan konservasi. Namun, persepsi yang positif dari masyarakat cenderung asimetris apabila di lihat dari kebiasaan membuka lahan dengan menggunakan api yang dapat mengakibatkan kebakaran kebakaran hutan yang lebih luas. Asimetrisasi ini diduga terjadi karena kebutuhan masyarakat yang meningkat sementara akses untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan semakin terbatas.

Valuasi ekonomi fungsi hutan sebagai penyedia air dengan pendekatan aliran permukaan, diasumsikan sebagai air yang hilang akibat perubahan penutupan lahan yang disebabkan oleh kebakaran hutan di areal TNBB dan TWA Baning. Air yang hilang tersebut seharusnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, industri dan perdagangan, pertanian sawah dan aktivitas sosial lainnya. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah air yang hilang pertahun

di areal TNBB sebanyak 7.466 m3/ha/thn dan di TWA Baning sebanyak 6.470

m3/ha/thn. Harga air dari fungsi hutan sebagai penyedia air menggunakan rata-rata

harga air permeterkubik dari PDAM Sintang tahun 1997 (sebesar Rp. 300/m3) dan

tahun 2003 (Rp. 625/m3).

Atas dasar harga air rata-rata tahun 1997 dan potensi hutan sebagai penyedia air diketahui nilai kerugian akibat hilangnya fungsi penyedia air dari kawasan pelestarian alam yaitu rata-rata Rp. 2.090.344/ha, meliputi kerugian pada areal TNBB yaitu rata-rata Rp. 2,23 juta/ha dan TWA Baning sebesar Rp.

1,94 juta/ha. Dari hasil penelitian nilai kerugian fungsi hutan sebagai penyedia air ternyata lebih tinggi dibanding hasil perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) dalam UNDP dan Kementerian LH (1998) yaitu sebesar Rp. 40.000/ha dengan

pendekatan transfer benefit. Sementara atas dasar harga tahun 2003, nilai

kerugian mengalami kenaikan rata-rata 108% (Rp. 4.354.883/ha) terdiri atas kerugian di TNBB sebesar Rp. 4,66 juta/ha dan kerugian di TWA Baning Rp.

4,04 juta/ha (Tabel 23). Perbedaan nilai fungsi penyedia air tersebut memberikan

gambaran bahwa setiap kawasan memiliki kapasitas penyerapan air tanah yang berbeda tergantung kerapatan tanaman, kemiringan dan struktur tanah untuk meningkatkan infiltrasi ke dalam tanah dan curah hujan yang terjadi setiap tahunnya. Penilaian yang dilakukan dalam penelitian ini diduga over value karena belum memperhitungkan laju evapotranspiransi, sehingga dalam penelitian selanjutnya perlu perhitungan neraca air dari setiap kawasan yang terbakar.

Memperhatikan hasil analisis valuasi ekonomi dari jasa lingkungan fungsi pengatur tata air menunjukkan bahwa kebakaran hutan menyebabkan kehilangan jasa fungsi pengatur tata air sangat besar terutama pada kawasan TNBB. Nilai ekonomi perhektar TNBB untuk menghasilkan jasa lingkungan pengatur tata air (penyedia air dan pengendali banjir) yaitu 2.366.682/ha atau sebesar Rp. 544 juta/thn, sedang TWA Baning kerugian hilangnya fungsi tata air yaitu Rp. 1.963.569/ha atau sebesar Rp. 116.832.363/tahun (harga tahun 1997). Nilai kerugian ekonomi akibat kerusakan fungsi tata air meningkat rata-rata sebesar 106% pada tahun 2003, yaitu untuk TNBB (Rp. 4,89 juta/ha) dan TWA baning (Rp. 4,08 juta/ha) dengan total kerugian masing-masing sebesar Rp. 1,12 milyar dan Rp. 242 juta.

Tingginya fungsi penyedia air bagi di TNBB terkait dengan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya fungsi sebagai penyedia air bagi masyarakat sekitar kawasan. Sehingga untuk menghindari kerugian yang lebih besar terhadap masyarakat dan adanya persepsi yang tinggi terhadap keberadaan TNBB maupun TWA Baning dalam hubungannya dengan fungsi pengendali tata air, maka perlu dilakukan perlindungan khusus terhadap kawasan tersebut dari kebakaran melalui kegiatan penyuluhan dan peningkatan pengawasan terhadap kawasan.