• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Penilaian Kerugian Keanekaragaman Hayati dan Habitat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

5.1.3. Metode Penilaian Sumberdaya Hutan Non Kayu

Kebakaran hutan dan lahan berdampak terhadap kehilangan flora fauna baik dalam bentuk kematian maupun menurunnya potensi. Bentuk kerugian akibat kebakaran antara lain yaitu hilangnya potensi atau kehilangan pendapatan dari manfaat yang biasa diperoleh masyarakat dengan mengumpulkan flora fauna. Jumlah masyarakat desa sekitar yang biasa memanfaatkan flora fauna rata-rata sekitar 14 orang/desa, dengan kemampuan pengumpulan flora fauna masyarakat yang sekitar kawasan TNBB dan TWA lebih besar dibanding masyarakat yang tinggal sekitar areal HTI.

Hasil penelitian menunjukkan potensi rata-rata jenis flora (tanaman obat, buah durian, rotan, bambu, biji tengkawan dan getah pinus) yaitu 5 – 221 satuan/ha dengan potensi tertinggi di areal TNBB dan terendah diareal Finantara Intiga. Sementara potensi fauna antara lain: babi hutan, rusa, kijang, dan burung tekukur, nuri tanau, prenjak perut kuning dan beberapa jenis burung lain yaitu potensi rata-rata 1 sampai 18 ekor/ha, dengan potensi tertinggi di areal TNBB dan TWA Baning dan terendah diareal HTI.

Kehilangan manfaat flora fauna atas dasar kemampuan pengumpulan masyarakat pertahun menunjukkan bahwa kerugian jenis flora antara 1 – 41 satuan/ha/tahun dan untuk jenis fauna antara 0,1 – 5 ekor/ha/tahun, dengan kehilangan manfaat flora fauna terbesar yaitu pada kawasan TNBB dan TWA Baning dan terendah di areal HTI (Inhutani III dan Finantara Intiga), nilai kerugian pengumpulan flora fauna akan semakin besar apabila jumlah pengumpul dan kemampuan pengumpulan meningkat. Tingginya potensi flora fauna di TNBB dan TWA Baning, karena berdasarkan fungsinya termasuk sebagai kawasan

pelestarian dan pengawetan flora fauna, sedang diareal Inhutani potensinya relatif terbatas karena sesuai fungsinya hanya untuk tujuan produksi, terutama produksi kayu dan bukan untuk tujuan kawasan pelestarian flora fauna.

Penilaian kerugian sumberdaya hutan non kayu (flora fauna) pada Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Taman Wisata Alam Baning, HTI Inhutani III, dan HTI Finantara Intiga akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997 di Kabupaten Sintang, menggunakan tiga metode pendekatan penilaian yaitu: (1) kehilangan pendapatan atau produktivitas pengumpul flora-fauna dan (2)

pendekatan potensi harga flora fauna di pasar kecamatan, dan (3) pendekatan

harga pasar bayangan (regional Kalimantan Barat) terhadap potensi flora-fauna dengan menggunakan harga tahun 1997 dan harga tahun 2003.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa total kerugian flora fauna akibat kebakaran areal seluas 12.756 ha yaitu antara Rp. 804 juta sampai Rp. 2,01 milyar (harga tahun 1997) dan mengalami peningkatan kerugian (rata-rata 84%) antara

Rp. 1,56 milyar sampai dengan Rp. 3,99 milyar pada tahun 2003 (Tabel 21) dan

nilai kerugian ekonomi flora fauna dengan menggunakan pendekatan produktivitas pengumpul lebih tinggi dibanding pendekatan harga bayangan dan pendekatan harga pasar, yaitu nilai kerugian rata-rata dengan menggunakan pendekatan produktivitas pengumpul (Rp. 157.858/ha dan Rp. 313.206/ha), sementara pendekatan harga bayangan (shadow price) yaitu Rp. 91.510/ha dan Rp. 145.829/ha, dan pendekatan harga pasar kecamatan yaitu sebesar Rp. 63.084/ha dan Rp. 122.612/ha.

Hasil perhitungan dengan metode penilaian produktivitas pengumpul dan pendekatan harga bayangan ternyata lebih tinggi dibanding hasil perhitungan UNDP dan Kementrian Lingkungan Hidup (1998) sebesar Rp. 87.527/ha yang menggunakan pendekatan transfer benefit. Perbedaan ini menunjukkan bahwa potensi flora fauna di lokasi penelitian relatif lebih tinggi dibanding dengan dasar pendekatan yang digunakan oleh UNDP dan KLH, dan hal ini berarti bahwa pendekatan transfer benefit hanya tepat digunakan jika harga yang digunakan dan potensi flora fauna pada areal yang terbakar sama dengan lokasi yang diteliti.

Table 21. Perbandingan Metode Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan pada Kehilangan Flora Fauna di Kabupaten Sintang, Tahun 1997 dan 2003

Harga Pasar Produktivitas Pengumpul FF Harga Bayangan (1)

No Lokasi Luas

(Ha)

Perhektar Total Perhektar Total Perhektar Total

1 TNBB 230.00 1.710.400 393.392.000 1.245.000 286.350.000 2.391.825 550.119.750 (3.055.050) (702.661.500) (2.350.000) (540.500.000) (3.678.900) (846.147.000) 2 TWA-Baning 59.50 365.500 21.747.250 483.750 28.783.125 471.275 28.040.863 (759.440) (45.186.680.00) (958.750) (57.045.625) (914.750) (54.427.625) 3 Finantara 15.00 39.400 591.000 91.600 1.374.000 56.000 840.000 Intiga (85.350) (1.280.250,00) (188.500) (2.827.500) (101.100) (1.516.500) 4 Inhutani III 12.452,12 31.240 389.004.229 136.300 1.697.223.956 47.250 588.362.670 (65.450) (814.991.254) (272.650) (3.395.070.518) (76.950) (958.190.634) Total Kerugian (1997) 12.756,62 63.084 804.734.479 157.858 2.013.731.081 91.510 1.167.363.283 Total Kerugian (2003) 12.756,62 (122.612) (1.564.119.684) (313.206) (3.995.443.643) (145.829) (1.860.281.759)

Keterangan: ( … ) angka dalam kurung adalah nilai kerugian flora fauna atas dasar harga tahun 2003 (1) metode yang digunakan dalam penilaian selanjutnya

Analisis terhadap kerugian flora fauna akibat kebakaran pada setiap lokasi penelitian menurut fungsi kawasan menunjukkan bahwa kerugian di areal kawasan yang termasuk hutan pelestarian alam (TNBB dan TWA) relatif lebih tinggi dibanding kerugian di kawasan hutan produksi (HTI), karena potensi flora fauna persatuan luas di areal kawasan TNBB dan TWA Baning lebih tinggi terkait dengan fungsinya sebagai kawasan koservasi dan pelestarian alam, yang menurut menurut UU No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara tegas dinyatakan bahwa kawasan konservasi dan pelestarian alam salah satu fungsinya adalah sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati serta flora fauna.

Berdasarkan Tabel 21 menunjukkan bahwa nilai kerugian di kawasan

HTI (khususnya Inhutani III) adalah yang terbesar yaitu sekitar 61% dari seluruh total kerugian dan secara rata-rata lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Tingginya nilai kerugian total ini dipengaruhi oleh faktor luas areal yang terbakar di Inhutani III mencapai 97,61%. Berdasarkan persentasenya diketahui bahwa persentase kerugian ekonomi lebih rendah dibanding persentase luas areal yang terbakar, yang berarti bahwa potensi flora fauna perhektar di kawasan HTI lebih rendah di banding kawasan hutan konservasi dan pelestarian alam. Hal ini dapat dilihat dari nilai kerugian flora fauna perhektar secara rata-rata menunjukkan bahwa kerugian terbesar yaitu pada areal TNBB dan TWA Baning dan terendah diareal HTI.

Berdasarkan nilai kerugian ekonomi di setiap kawasan yang terbakar dengan memperhatikan potensi perhektar dan kelayakan pemanfaatan flora fauna oleh masyarakat menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan pemanfaatan flora fauna oleh masyarakat sudah melebihi dari potensi persatuan luas. Sehingga nilai kerugian ekonomi dengan pendekatan produktivitas pengumpul diduga over value. Pemanfaatan flora fauna sangat dipengaruhi oleh jumlah pengumpul sebanyak 2-5 orang/desa dan kemampuan pengumpulan perorang pertahun. Adanya pemanfaatan flora fauna oleh masyarakat sekitar menunjukkan ketergantungan yang besar terhadap sumberdaya hutan dan lahan, dimana flora fauna yang dimanfaatkan digunakan untuk konsumsi dan komersial dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan ini juga dinyatakan oleh MacKinnon et al. (1993) bahwa umumnya masyarakat yang tinggal sekitar hutan termasuk di kawasan konservasi memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Kemudahan akses dalam memanfaatkan kawasan hutan dan lahan oleh masyarakat untuk mengambil flora fauna dan tidak tidak harus mengeluarkan biaya (kecuali tenaga kerja) menyebabkan harga pasar yang terbentuk di tingkat kecamatan lebih rendah yaitu antara Rp. 1500/satuan sampai Rp. 350.000/satuan apabila dibandingkan dengan harga bayangan beberapa jenis flora fauna di pasar ekspor dan perdagangan antara pulau regional Kalimantan yaitu sebesar Rp. 2.000 sampai Rp. 450.000/satuan (perbedaannya sekitar 23,54% sampai 42%). Sehingga penilaian kerugian dengan menggunakan harga pasar setempat diduga under value karena harga yang terbentuk tidak setara dengan biaya per jenis flora fauna, dan hal ini diperkuat dengan struktur pasar flora fauna yang bersifat oligopsoni bahkan cenderung monopsoni, yaitu jumlah penawaran (pengumpul) lebih besar dibanding permintaan terhadap flora fauna yang masih sangat rendah.

Mengamati adanya kecenderungan eksploitasi berlebih yang berlebih dalam memanfaatkan hasil hutan pada seluruh kawasan yang terbakar dan harga pasar lokal untuk jenis flora fauna under value, sehingga belum menggambarkan harga yang sebenarnya maupun struktur pasar yang oligopsoni bahkan mengarah ke monopsoni pada skala tertentu, maka dalam memilih metode penilaian untuk

menghitung dampak kerusakan lingkungan (flora fauna) akibat kebakaran hutan

dan lahan sebaiknya menggunakan metode harga bayangan (shadow price),

yaitu dengan kerugian rata-rata tahun 1997 sebesar Rp. 91.560/ha (Rp. 1,16 milyar) dan kerugian tahun 2003 yaitu Rp. 145.829/ha (Rp. 1,86 milyar), kemudiaan pendekatan harga pasar dan pendekatan produktivitas pengumpul.

Pemilihan metode penilaian ekonomi dengan pendekatan harga bayangan (shadow price) untuk menghindari kesalahan dalam perhitungan agar dapat menggambarkan nilai kerugian flora fauna, sebab metode ini sudah memperhitungkan biaya untuk memperoleh flora fauna, walaupun belum semua fungsinya ternilai. Dasar pemilihan metode pendekatan harga bayangan dalam menilai kerugian flora fauna akibat kebakaran hutan dan lahan diperkuat oleh pernyataan Gittinger (1986) bahwa barang dan jasa lingkungan yang belum mempunyai nilai pasar atau harga yang terdistorsi sehingga tidak ada harganya atau harganya rendah dari yang seharusnya maka dapat digunakan pendekatan harga bayangan. Namun, pendekatan harga bayangan ini pun belum mengambarkan nilai yang sebenarnya yaitu nilai intrinsik dari flora fauna yang berkaitan dengan fungsi dan perannya dalam suatu ekosistem maupun habitat, serta nilai kelangkaan dari flora fauna yang harus dilindungi karena bermanfaat bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia.