Net-Zero Emission di Sektor Pertambangan
2. METODOLOGI PENELITIAN
dilakukan secara bertahap, penerapan teknologi
bersih seperti Carbon Captured Storage (CCS)/
Carbon Capture Utilization Storage (CCUS)/
Carbon Capture Utilization (CCU), dan energi terbarukan hingga bioenergy (Siaran Pers MenLHK, 2021). Peningkatan penduduk secara global berkorelasi positif dengan kebutuhan energi yang saat ini masih sangat bergantung pada energi fosil.
Oleh karena itu, penggunaan energi alternatif perlu menjadi bahan pertimbangan.
Aktivitas manusia di sektor industri merupakan salah satu bentuk kegiatan yang membutuhkan energi yang besar untuk mendukung operasional kegiatan industri. Pertambangan adalah salah satu kegiatan dari sektor industri yang memiliki kebutuhan energi tinggi. Kebutuhan energi tersebut dibagi menjadi beberapa aktivitas, seperti penambangan (gali-muat-angkut) dan pengolahan-pemurnian pada komoditas mineral dan pemanfaatan-pengembangan pada komoditas batubara, misalnya PT. Aneka Tambang memerlukan sekitar 75.000 MW untuk memasok listrik di smelter feronikel, Halmaher Timur (kontan.co.id/2020). Selain itu, tambang tembaga yang berlokasi di Timika, Papua dengan target produksi sekitar 800.000 ton/tahun memerlukan 36.000.000 liter Bahan Bakar Minyak (BBM) berupa solar setiap bulan (Kompas.com, 2014) (Investor.id, 2013). Ironisnya, kegiatan pertambangan juga merupakan kegiatan utama dalam menghasilkan sumber energi, seperti batubara sehingga terdapat korelasi antara kebutuhan energi dengan target produksi tambang. Salah satu alternatif energi untuk peralatan produksi adalah penggunaan biodiesel B20 yang dicanangkan guna menjaga keberlanjutan energi fosil (Waluyo dkk, 2020). Selain biodiesel, peralatan pertambangan juga dapat memanfaatkan bahan bakar alternatif lain seperti hidrogen.
Hidrogen sebagai bahan bakar dapat berasal dari air, hidrokarbon, dan limbah. Berdasarkan jumlah dan alternatif sumbernya yang melimpah, bahan bakar hidrogen dapat menjadi bahan bakar yang prospek di masa depan (Siregar, 2010). Bahan bakar jenis ini menjadi salah satu jenis energi baru dan dapat terbentuk dari limbah atau bahan yang tidak terbarukan. Bahan bakar dan energi terbarukan hanya tercipta melalui proses produksi dan penggunaannya menggunakan komponen yang terbarukan. Misalnya, 95% bahan bakar hidrogen saat ini, dihasilkan melalui proses steam reforming dari gas alam. Begitu pula mobil listrik yang masih menggunakan batubara sebagai penghasil listrik untuk menyuplai energi.
Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya konsep terbarukan yang kurang sesuai sehingga hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan energi
terbarukan adalah melalui penggunaan energi dan produksi bahan bakar melalui proses yang bersih serta menggunakan komponen yang terbarukan.
Berdasarkan proses terbentuknya hidrogen, hidrogen didapatkan melalui dua cara, yaitu biologi dan kimiawi. Proses biologi yang dimaksud adalah bioteknologi melalui proses teknik pendayagunaan organisme untuk memodifikasi dan/ atau memproduksi produk yang diinginkan, seperti energi, farmasi, dan pangan (Siregar, 2010). Limbah yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan hidrogen melalui proses biologi adalah tandan kosong sawit dan limbah biomassa kekayuan. Proses kimiawi dilakukan dengan elektrolisis yaitu proses penguraian elektrolit pada suatu sel dengan bantuan arus listrik, misalnya dekomposisi metana dengan nikel, penggunaan limbah kaleng aluminium dan bungkus makanan aluminium foil menjadi aluminium alkali dan fuel cell alumunium alkali, serta elektrolisis air dilakukan dengan reaksi fotokatalis oksinitrida (proses percepatan reaksi dengan bantuan cahaya atau sinar pada katalis TiO2) (Pratiwi, 2014) (Purwanto, 2005) (Kulakov dan Ross, 2007) (Maeda dkk, 2006). Sifat bahan bakar hidrogen yang ramah lingkungan dan tidak menimbulkan emisi, serta pembakaran bahan bakar hidrogen yang memiliki energi pembakaran per kilogram lebih tinggi dari bahan bakar lainnya, hal ini menjadikan bahan bakar hidrogen sebagai bahan bakar yang berpotensi menggantikan secara penuh solar sebagai kebutuhan bahan bakar alat berat di sector pertambangan.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pandangan terkait penerapan bahan bakar hidrogen berdasarkan perkembangan industri alat berat menuju transisi energi dan pandangan mengenai bahan baku pembentukan hidrogen, yaitu air tambang. Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis penerapan bahan bakar hidrogen dan rencana implementasi berdasarkan aspek teknis, ekonomi, dan lingkungan. Rencana implementasi juga dilengkapi dengan rekomendasi dalam rangka percepatan pencapaian net-zero emission di sektor pertambangan.
2. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode korelasi dan komparasi data yang bersumber dari studi literatur pada penelitian terdahulu terkait penggunaan dan penerapan bahan bakar hidrogen pada kendaraan.
Analisis korelasi dan komparatif kualitatif dilakukan dari segi teknis, lingkungan, dan ekonomi terkait konversi energi dengan bahan bakar hidrogen. Aspek teknis membahas mengenai sistem yang berpotensi
3 diterapkan untuk mengkonversi energi dan
melakukan pertimbangan berdasarkan efisiensi elektrolisis dan mesin diesel pada suatu alat berat.
Aspek lingkungan disusun untuk memberikan pandangan mengenai kebutuhan, ketersediaan energi, dan emisi pada perbedaan penggunaan bahan bakar, sedangkan aspek ekonomi memberikan pandangan mengenai biaya operasional pada perbedaan penggunaan bahan bakar. Selanjutnya, analisis dan perhitungan dari korelasi dan komparasi disusun untuk memberikan rekomendasi terkait percepatan penerapan net-zero emission di sektor pertambangan berdasarkan perencanaan transisi energi di Indonesia.
Adapun, rekomendasi yang diberikan mengarah pada implementasi di sektor pertambangan dan Energi Baru Terbarukan dan Konversi Energi (EBTKE) untuk memercepat perwujudan net-zero emission.
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Pemanfaatan Bahan Bakar Hidrogen
Beberapa perusahaan alat berat mulai menyusun strategi dalam mengatasi permasalahan iklim di dunia. Salah satu langkah yang dilakukan adalah menyediakan produk yang memiliki transisi energi dan produk berbahan bakar ramah lingkungan. Selain itu, upgrading produk juga dilakukan melalui peningkatan efisiensi dan penurunan emisi. Bahan bakar yang diarahkan adalah bahan bakar hidrogen.
Menurut dewan hidrogen global, bahan bakar ini dapat memenuhi 18% permintaan energi global pada 2050 mendatang dengan target lainnya yang berupa pendapatan dari pasar sebesar US$ 5 Triliun pertahun dan diperkirakan akan membuka 30 juta lapangan pekerjaan, serta pengurangan emisi CO2 sebesar 6 giga ton (Hydrogen Council, 2017). Perusahaan-perusahaan yang telah mempersiapkan produksi alat berat secara massal dengan bahan bakar hidrogen, antara lain Caterpillar Inc., Hyundai Construction Equipment (HCE), Anglo American plc, dan
Komatsu Ltd (Hyundai Ltd, 2021) (Hydrogen Council, 2021).
Caterpillar Inc. bekerja sama dengan Broken Hill Propietary (BHP) Group untuk pengembangan truk pertambangan berbahan bakar hidrogen di tahun 2030. Komatsu juga berupaya untuk memperkenalkan truk dengan diesel berbahan bakar hidrogen di tahun 2030, selain itu Anglo American juga sedang mengembangkan truk angkut tambang berbahan bakar hidrogen terbesar di dunia. HCE yang berkerja sama dengan Hyundai Motors mulai mengembangkan forklift dan excavator bertenaga hidrogen untuk didistribusikan secara massal di tahun 2023 (Hyundai-ce.com, 2021).
3.1.1. Elektrolisis Air
Elektrolisis air adalah peristiwa penguraian air (H2O) menjadi gas hidrogen (H2) dan oksigen (O2) dengan menggunakan arus listrik yang melalui air tersebut (Gambar 2). Pada katoda, dua molekul air bereaksi dengan menangkap dua elektron, tereduksi menjadi gas H2 dan ion hidroksida (OH-). Sementara itu pada anoda, dua molekul air lain terurai menjadi gas oksigen (O2), melepaskan 4 ion H+ serta mengalirkan elektron ke katoda. Ion H+ dan OH- mengalami netralisasi sehingga terbentuk kembali beberapa molekul air. Reaksi keseluruhan yang setara dari elektrolisis air dapat dituliskan sebagai berikut:
2H2O(l) 2H2(g) + O2(g)
Gas H2 dan O2 yang dihasilkan dari reaksi ini membentuk gelembung pada elektroda dan dapat dikumpulkan. Prinsip ini kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan H2 dan hidrogen peroksida (H2O2) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan hidrogen (Otto dan Tulus, 2013).
Elektroda merupakan salah satu komponen yang sangat penting pada proses elektrolisis air. Elektroda berfungsi sebagai penghantar arus listrik dari sumber tegangan ke air yang dielektrolisis. Pada elektrolisis yang menggunakan arus DC, elektroda terbagi menjadi dua kutub yaitu positif sebagai anoda dan negatif sebagai katoda. Pada proses elektrolisis air, katalis yang digunakan adalah larutan elektrolit.
Larutan tersebut berfungsi sebagai konduktor listrik karena mengandung ion-ion yang dapat bergerak bebas. Arus listrik dibawa oleh pergerakan ion.
Dengan melarutkan elektrolit di dalam air dapat meningkatkan konduktivitas listrik karena dengan penambahan elektrolit dapat menurunkan energi yang dibutuhkan sehingga laju reaksi pemecahan molekul air menjadi lebih cepat (Dewi, 2011).
Penguraian air melalui proses elektrolisis berlangsung lambat sehingga membutuhkan katalis untuk mempercepat reaksi dan dapat menambah jumlah gas hidrogen yang diproduksi. Elektrolisis
4 terjadi ketika aliran arus listrik melalui senyawa ionik
dan mengalami reaksi kimia.
Gambar 2. Proses Elektrolisis pada Fuel Cell 3.1.2. Potensi Pemanfaatan Air Tambang sebagai Bahan Bakar Hidrogen
Air tambang adalah air yang berada di lokasi dan/atau berasal dari proses kegiatan pertambangan, baik penambangan maupun pengolahan, termasuk air larian atau limpasan di area pertambangan (Keputusan Menteri ESDM 1827/2018, Lampiran II). Terdapat dua jenis air di alam, yaitu air tanah dan air permukaan yang keberadaannya berpotensi di wilayah pertambangan. Air permukaan dan air tanah bersumber dari komponen yang sama, yaitu hujan.
Air akan mengalir ke arah yang lebih rendah, baik di permukaan maupun terserap sebagian ke dalam tanah membentuk air tanah (Danaryanto dkk, 2005). Sistem tambang terbuka yang membentuk suatu bukaan tambang berpotensi menjadi lokasi akumulasi air permukaan, sedangkan kemajuan pertambangan yang dilakukan secara vertikal berpotensi memotong aliran air tanah. Air permukaan dan air tanah yang berada di wilayah pertambangan perlu dikelola agar tidak mengganggu kegiatan penambangan.
Air permukaan yang masuk ke bukaan tambang melalui air limpasan harus dialirkan melalui saluran terbuka, baik di luar bukaan tambang mapun di dalam tambang. Saluran terbuka di luar bukaan dapat dialirkan ke kolam pengendapan, sedangkan saluran yang berada di dalam bukaan dialirkan menuju ke cerukan yang berada di pit bottom. Air yang berada di pit bottom, selanjutnya dipompa menuju ke kolam pengendapan. Pada air tanah, pengambilan air tanah yang terpotong menjadi mata air (drain) dapat dilakukan dengan menerapkan vertical atau horizontal drill hole yang selanjutnya air dialirkan menuju ke kolam pengendapan.
Air tambang tersebut akan diendapkan sehingga air yang dikeluarkan dari wilayah pertambangan dapat aman bagi lingkungan. Baku mutu air yang disyaratkan untuk air buangan tambang adalah kelas
II (PP 22/2021). Peruntukan air tersebut digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, budidaya air tawar, peternakan air, dan pengairan pertanian yang dibedakan berdasarkan jenis air permukaannya (Lampiran VI) (PP 22/2021). Air dengan baku mutu tersebut berpotensi menjadi bahan baku pada fasilitas elektrolisis air dalam menghasilkan bahan bakar hidrogen untuk alat berat.
3.1.3. Rencana Implementasi Bahan Bakar Hidrogen sebagai Bahan Bakar Alat Berat di Sektor Pertambangan
Implementasi bahan bakar hidrogen di sector pertambangan dapat dilaksanakan melalui skema berikut ini:
1. Air tambang yang berasal dari saluran terbuka dan cerukan dialirkan ke kolam pengendapan.
Pada kolam pengendapan tersebut, terjadi sedimentasi material yang terbawa oleh air.
Kolam pengendapan dapat diperhitungkan untuk menentukan kualitas air yang dihasilkan berdasarkan jumlah partikel material yang terbawa dan waktu pengerukan.
2. Air hasil sedimentasi sebagian dialirkan ke aliran permukaan terdekat dan sebagian lagi dibawa ke fasilitas pengolahan air sebagai bahan baku elektrolisis air untuk menghasilkan hidrogen.
3. Elektrolisis air dilakukan untuk menghasilkan gas H2 dan O2. Selanjutnya, H2 didistribusikan ke stasiun pengisian hidrogen, sedangan O2
akan dilepas ke atmosfer.
4. Stasiun pengisian hidrogen menyediakan H2
yang akan diisi pada tangki hidrogen yang berada di sisi kiri truk.
5. Pada saat alat berat beroperasi, hidrogen akan dikeluarkan sedikit demi sedikit kedalam fuel cell dan bereaksi dengan O2 yang didapatkan melalui blower yang dipasang pada dibagian depan truk. H2 yang bertemu dengan O2 akan menghasilkan air dan disimpan ke tangki air yang berada di sisi kanan truk.
6. Setelah shift kerja berakhir, air yang tersimpan di tangka akan disimpan di fasilitas pengolahan dan elektrolisis air sebagai bahan baku hidrogen.
Siklus air pada produksi dan penggunaan hidrogen untuk alat berat dilakukan secara berulang sehingga renewable komponen dapat terbentuk di sektor pertambangan (Gambar 4).
5 Gambar 3. Rencana Implementasi dan Siklus Air pada Produksi dan Penggunaan Bahan Bakar Hidrogen 3.2. Analisis Rencana Implementasi
Analisis yang dilakukan pada rencana implementasi dilakukan pada tiga pertimbangan yaitu pertimbangan lingkungan, teknis, dan ekonomi sehingga dapat memberikan pandangan yang utuh pada penerapan bahan bakar hidrogen di alat berat pertambangan.
3.2.1. Pertimbangan Aspek Lingkungan
Bahan Bakar hidrogen termasuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Bahan bakar hidrogen tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca ataupun debu halus, melainkan menghasilkan uap air dan panas.
Berdasarkan nilai energi hydrogen yang lebih tinggi dan massa yang lebih ringan sebanyak 14 kali dari udara, menyebabkan hidrogen menghasilkan energi yang nilainya dua sampai tiga kali lebih tinggi dari bahan bakar yang digunakan saat ini. Penggunaan BBM saat ini sering disebut sebagai Euro2 atau bahan bakar yang masih menjadi mayoritas di dunia, seperti solar dengan kadar sulfur di bawah 500 ppm.
Bahan bakar solar menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan yaitu penurunan kualitas udara.
Gas yang dihasilkan kendaraan berbahan solar menghasilkan emisi gas buang yang berdampak pada meningkatnya efek rumah kaca, seperti Metana (CH2), Karbon Monosikda (CO), Karbon Dioksida (CO2), dan senyawa Nitrogen Oksida (NOx) (Gambar 4). CO dan NOx yang berlebihan akan berdampak pada menurunnya kemampuan paru-paru dalam menyerap oksigen dan gangguan sistem pernafasan. Sektor energi menghasilkan emisi CO2
yang cukup tinggi, yaitu sebesar 734 gr CO2/kWh (IESR, 2019). CO2 dan CH4 yang berlebihan akan menghalangi pemancaran panas dari bumi ke atmosfer sehingga panas dipantulkan kembali ke bumi. Kontribusi penyumbang gas rumah kaca pada beberapa alternatif energi (Gambar 4) menunjukkan
bahwa bahan bakar Euro2 memiliki kontribusi tertinggi, diikuti dengan Ultra Low Emission Vehicle (ULEV), methanol, bahan bakar hidrogen dari gas alam, dan yang tidak beremisi dalah hidrogen dari air. Kebutuhan solar indsutri dan perkapalan untuk tahun 2021 diprediksi sebesar 12,74 juta kiloliter dengan persentase terbesar digunakan oleh industry pertambangan dan perkebunan dengan jumlah 29% (Pertamina, 2021).
Dengan proyeksi kebutuhan yang meningkat dari tahun 2020 sebesar 0,91 juta kiloliter, maka potensi emisi dan pencemaran udara yang dihasilkan semakin besar sehingga peneerapan gas hidrogen melalui hidrogen hijau tentunya mempercepat pencapaian net-zero emission di sektor pertambangan tentunya dapat dicapai dengan penerapan penggunaan hidrogen pada ala berat.
3.2.2. Pertimbangan Aspek Teknis
Alat berat berbahan bakar hidrogen menggunakan prinsip teknologi fuell cell untuk menghasilkan listrik. Listrik tersebut dipakai untuk mengaktifkan motor alat berat.
Gambar 4. Perbandingan Emisi Kendaraan Berdasarkan Produksi Bahan Bakar (Konservasi Alam dan Keselamatan Nuklir, Jerman, 2.6.1999)
0 20 40 60 80 100
Percent (%)
CO2 CO NOX SO2 CH4
Gambar 5. Susunan Komponen Fuel-Cell Mobil Listrik Tampak Bawah (Omazaki.co.id, 2021) Adapun, komponen alat berat berbahan bakar hidrogen pada umumnya terdiri dari (Gambar 5):
1. Motor traksi
Motor listrik yang dimaksud adalah dinamo listrik yang berfungsi menggerakkan transmisi dan roda. Motor ini menggantikan fungsi Internal Combustion Engine (ICE).
2. Fuel-cell stack
Fuel cell adalah alat yang mampu menghasilkan listrik arus searah. Alat ini terdiri dari dua buah elektroda, yaitu anoda dan katoda yang dipisahkan oleh sebuah membrane polymer yang berfungsi sebagai elektrolit. Membran ini sangat tipis dengan ketebalan hanya beberapa mikrometer. Hidrogen dialirkan ke dalam fuel cell pada bagian anoda, sedangkan oksigen dialirkan ke bagian katoda, dengan adanya membran, maka gas hidrogen tidak akan bercampur dengan oksigen. Membran dilapisi oleh platina tipis yang berfungsi sebagai katalisator yang mampu memecah atom hidrogen menjadi elektron dan proton. Proton mengalir melalui membran, sedang elektron tidak dapat menembus membran, sehingga elektron akan menumpuk pada anoda, sedang pada katoda terjadi penumpukan ion bermuatan positif. Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah penghantar listrik, maka akan terjadi pengaliran elektron dari anoda ke katoda, sehingga terdapat arus listrik. Elektron yang mengalir ke katoda akan bereaksi dengan proton dan oksigen pada sisi katoda dan membentuk air.
Untuk mengalirkan hidrogen, oksigen atau udara ke dalam fuel cell, maka lapisan luar dari cell ini dibuat dari lembaran bipolar yang diberi kanal-kanal untuk lewatnya gas maupun air pendingin agar temperatur fuel cell dapat selalu terkendali. Satu unit fuel cell tidak terlalu besar, tebalnya ada yang hanya 2 mm, untuk menghasilkan energi yang cukup, maka beberapa fuel cell harus ditumpuk menjadi satu disebut fuel cell stack.
3. Hydrogen storage tank
Tangki penyimpanan hidrogen yang masuk ke fuel cell diatur tekanannya menjadi 69 kPa (10 psi).
Selain itu, kelembaban hidrogen sebelum masuk fuel cell harus dikendalikan, karena air yang masuk ke
dalam cell dapat merusak cell. Hidrogen sendiri harus memiliki kadar kelembaban tertentu pada saat masuk kedalam cell. Hal ini dilakukan di dalam humidification chamber yaitu dengan menyemprotkan kabut air pada aliran hidrogen.
4. Baterai
Baterai berfungsi untuk menyimpan dan mengalirkan arus listrik yang dihasilkan oleh fuel cell dan listrik yang dihasilkan dari sistem regeneratif motor listrik. Selain itu, ketika H2 dalam tangki habis, maka baterai akan mengalirkan listrik untuk menggerakkan motor. Sistem regeneratif ini dapat menghasilkan dan menyimpan listrik sebesar 8% dari kapasitas baterai.
5. Converter dan controller
Arus listrik DC yang didapatkan dari baterai traksi bersifat tegangan tinggi sehingga diperlukan DC converter untuk mengubahnya menjadi arus listrik bertegangan rendah. Tujuannya agar listrik tersebut bisa dimanfaatkan oleh komponen Dump Truck (DT) lainnya yang membutuhkan listrik bertegangan rendah. DC converter juga berfungsi sebagai alat untuk mengisi daya listrik pada baterai, sedangkan controller berfungsi sebagai pengatur daya listrik yang tersalurkan dari baterai menuju inverter dan menggerakkan motor. Sinyal yang dikirimkan oleh controller ini berasal dari pedal yang diinjak oleh pengemudi. Pedal juga mengatur berapa banyak tekanan maupun frekuensi pada mesin sehingga mempengaruhi laju DT.
Penelitian ini menggunakan spesifikasi DT Komatsu HD605 berbahan bakar solar dan DT Komatsu HB 605-7 bertenaga listrik sebagai pembanding. Operasional DT Komatsu HD605 membutuhkan solar rata-rata sebanyak 38 liter/jam.
Waktu operasi alat berat selama 8 jam membutuhkan solar sebanyak 304 liter (Tabel 1) (Komatsu, 1999). Pada DT Komatsu HB 605-7 menggunakan baterai yang mampu menampung daya sebesar 600 kWh yang rata-rata dapat digunakan untuk beroperasi selama 18 jam atau dibutuhkan daya sebesar 33,3 kWh /jam. Selain itu, HB 605-7 memiliki kemampuan regenerative braking system yang mampu mengubah energi kinetik saat pengereman menjadi energi listrik yang mampu mengisi daya baterai hingga 8% (Tabel 1) (Komatsu, 2018).
Penelitian ini mengasumsikan penggunaan hidrogen sebagai bahan bakar DT yang diubah menjadi tenaga listrik dengan asumsi kebutuhan daya listrik yang sama seperti DT Komatsu 605-7 yaitu sebesar 33,3 kWh/jam. 1 kg hidrogen dapat menghasilkan daya listrik sebesar 33,3-39,4 kWh sehingga operasional DT selama 1 jam diperlukan 6
hidrogen sebanyak 1-1,18 kg hidrogen yang berasal dari 6,48 kg air dalam kondisi setimbang (Stolzenburg, 2013) (Rimbawati, dkk, 2021).
Tabel 1. Perbandingan Teknis DT Komatsu HD605 dengan DT Komatsu HB 605-7
Parameter DT HD605 DT HB605-7
Bahan bakar Solar Listrik
Kapasitas munjung 40 m3
Full tank / batery 780 liter 600 kW
Horse power 533 kW 533 kW
Kebutuhan bahan
bakar 38 liter/jam 33,3
kWh/jam Durasi operasional 20,5 jam 18 jam Regenerative
braking system - 8%
Sumber: (Komatsu, 2018); (Komatsu, 1999) 3.2.3. Pertimbangan Aspek Ekonomi
Berdasarkan pertimbangan aspek teknis, DT HB 605 membutuhkan solar untuk beroperasi selama 8 jam/hari sebesar 304 liter. Apabila diasumsikan dalam satu bulan terdapat 24 hari kerja, maka dibutuhkan solar sebesar 7.296 liter/bulan. Pada DT HB 605-7 kebutuhan daya listrik untuk beroperasi selama 8 jam/hari diketahui sebesar 266,4 kWh sehingga hidrogen yang dibutuhkan setidaknya sebanyak 6,76 - 8 kg hidrogen per hari, diasumsikan dalam satu bulan terdapat 24 hari kerja, maka dibutuhkan setidaknya 162,27 kg hidrogen per bulan (Tabel 2). Biaya kebutuhan bahan bakar, DT HD605 membutuhkan solar sebanyak 304 liter/hari dan diasumsikan harga solar industri Rp. 9.600/liter, maka besar biaya yang dibutuhkan untuk beroperasi per hari sebesar Rp2.918.400,-/hari atau dalam satu bulan sebesar Rp70.041.600,-/bulan. Pada DT berbahan bakar hidrogen membutuhkan hidrogen sebanyak 6,76 kg/hari, apabila 1 kg gas hidrogen membutuhkan biaya produksi sebesar $ 5.50/kg atau dalam rupiah sebesar Rp77.000,-/kg, maka biaya yang dibutuhkan untuk beroperasi per hari sebesar Rp616.000,-/hari sehingga biaya operasional selama satu bulan membutuhkan biaya sebesar Rp14.784.000,-/bulan. Berdasarkan perhitungan di atas, penggunaan hidrogen fuel cell pada DT dapat menghemat biaya produksi sebesar 78,89%.
Tabel 2. Tabel Kebutuhan dan Biaya Bahan Bakar Parameter DT HD605 DT HB 605-7
Bahan bakar Solar Listrik
Konversi H2 /bln 70.041.600 14.784.000
3.2.4. Rekomendasi untuk Pelaksanaan
Implementasi dalam Rangka Percepatan Penerapan net-zero emission
Strategi transisi energi rendah karbon di Indonesia dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase dekarbonasi, fase desentralisasi, dan fase digitalisasi. Saat ini, Indonesia berada di fase dekarbonisasi (KESDM, 2021). Pada fase ini, terdapat langkah-langkah yang dapat diterapkan secara bertahap, yaitu:
1. Penggunaan energi fosil dan penerapan teknologi bersih, yaitu CCU, CCUS, dan net-carbon sink.
2. Percepatan pengembangan EBT dan kendaraan listrik tenaga hidrogen
3. Smart grid dan energy, serta konsevasi energi.
Jenis penggunaan energi-energi tersebut dapat dilakukan secara bertahap untuk mencapai akhir fase dekarbonasi. Roadmap menuju net zero emission sampai 2060 di Indonesia (Gambar 6), menunjukkan bahwa penerapan hidrogen sebagai energi akan dimulai di tahun 2031 sebagai salah satu supply energi listrik. Pada tahun 2051,
Jenis penggunaan energi-energi tersebut dapat dilakukan secara bertahap untuk mencapai akhir fase dekarbonasi. Roadmap menuju net zero emission sampai 2060 di Indonesia (Gambar 6), menunjukkan bahwa penerapan hidrogen sebagai energi akan dimulai di tahun 2031 sebagai salah satu supply energi listrik. Pada tahun 2051,