• Tidak ada hasil yang ditemukan

PAPER COMPETITION Indonesian Student Mining Competition XIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PAPER COMPETITION Indonesian Student Mining Competition XIII"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

1

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Akselerasi Industri Pertambangan dalam Meningkatkan Nilai Tambah Mineral dan Batubara, serta Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional yang Berwawasan Lingkungan

Pengolahan dan Pemurnian Bahan Galian

Pemodelan CFD mengenai Pengaruh Variasi Laju Aliran Massa Udara terhadap Profil Temperatur Rotary Kiln pada Proses Roasting Bijih Nikel

Muhammad Fatih Ar Rizqy[1], Rizqi Dharma Hendrawan[2], Achmad Zanuar Reza[3]

[1,2,3] Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Rotary kiln memegang peranan penting dalam serangkaian proses pengolahan bijih nikel dengan metode Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF). Perpindahan panas merupakan aspek terpenting yang menentukan unjuk kerja dari rotary kiln dalam proses roasting dan pre-reduction bijih nikel yang akan dikonversi menjadi ferronikel, nikel-matte maupun nickel-pig iron (NPI). Perpindahan panas ini mencakup profil temperatur di sepanjang rotary kiln maupun temperatur nyala api yang dihasilkan dari pembakaran pada burner. Proses yang terjadi di dalam rotary kiln, meliputi penghilangan air permukaan, penghilangan air kristal, reduksi sebagian NiO menjadi Ni, reduksi Fe2O3 menjadi FeO dan reduksi sebagian FeO menjadi Fe, serta produksi kalsin. Penelitian ini akan membahas mengenai simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD) untuk mengetahui pengaruh variasi laju aliran massa udara terhadap profil temperatur rotary kiln. CFD merupakan metode pemodelan digital yang memiliki berbagai fungsi, salah satunya untuk mengetahui suatu aliran secara akurat dengan cara menyelesaikan persamaan fenomena transpor. Dengan adanya CFD, pengamatan terhadap profil temperatur pada rotary kiln dapat dilakukan dengan mudah dibandingkan pengamatan langsung di lapangan yang membutuhkan banyak waktu dan biaya, serta proses yang lebih rumit karena harus mempertimbangkan berbagai parameter lain yang sulit dikontrol, tapi turut memengaruhi proses dalam rotary kiln. Simulasi CFD dilakukan melalui perangkat lunak Ansys SpaceClaim untuk membuat geometri rotary kiln yang diasumsikan berlaku axi-symmetric, serta Ansys Fluent yang menerapkan Finite Volume Method untuk memperoleh data berupa kontur suhu, kecepatan, dan fraksi massa dalam berbagai variasi λ, yaitu nilai yang menyatakan rasio O2 berlebih. Variasi λ dilakukan pada 2,5; 5;

7,5; 10; 12,5 dengan suhu input udara dan bahan bakar berupa CH4 pada 293 K. Pengumpulan data melalui studi literatur juga dilakukan untuk mengumpulkan data pendukung, seperti dimensi alat dan model turbulen K-ε.

Melalui simulasi ini dapat diperoleh profil temperatur yang sesuai berdasarkan data literatur agar reaksi yang terjadi selama proses roasting bijih nikel dapat berlangsung dengan optimum. Hasil simulasi menunjukkan bahwa profil temperatur yang paling sesuai diperoleh pada variasi laju aliran massa udara sekunder 6,71 kg/s dengan λ

= 10. Profil temperatur yang sesuai tidak hanya berpengaruh pada proses roasting yang lebih optimum, tetapi juga dapat memperpanjang umur pakai dari lapisan refraktori yang berdampak pada penurunan biaya operasi.

Kata Kunci: CFD, laju aliran massa, nikel, profil temperatur, rotary kin

1.PENDAHULUAN

Mastorakos, et. al. menjelaskan simulasi CFD pada cement/rotary kiln dapat digunakan untuk mempelajari perpindahan panas, reaksi kimia pada klinker, maupun pemodelan nyala api[13]. Kendati demikian, pemodelan dan simulasi CFD mengenai perpindahan panas pada rotary kiln yang ada saat ini belum sepenuhnya dapat menjelaskan mengenai perpindahan panas untuk proses lain, misalnya proses roasting dan pre-reduction pada pengolahan nikel laterit. Dalam penelitian ini, penulis melakukan simulasi CFD 2D untuk mengetahui pengaruh variasi laju aliran massa udara terhadap profil temperatur di dalam rotary kiln dengan bahan bakar berupa CH4. Dari

beberapa pilihan variasi yang ada kemudian dapat ditentukan berapa laju aliran udara yang dibutuhkan untuk menghasilkan profil temperatur yang sesuai dengan data literatur yang telah ada sebelumnya. Profil temperatur yang sesuai diperlukan agar reaksi yang terjadi selama proses roasting bijih nikel dapat terjadi dengan optimum.

Selain itu, profil temperatur yang sesuai juga dapat memperpanjang umur pakai dari lapisan refraktori pada rotary kiln yang berdampak pada penurunan biaya operasi.

2. TEORI DASAR

Rotary kiln banyak digunakan dalam berbagai proses pengolahan mineral, mulai dari produksi semen, produksi spodumene (litium), reduksi bijih

(2)

2

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

besi, ferrovanadium, nikel karbonat sampai nikel laterit[16]. Dalam proses pengolahan nikel laterit, rotary kiln digunakan dalam proses Rotary Kiln- Electric Furnace (RKEF) bersama dengan rotary dryer dan electric furnace untuk mengolah nikel laterit menjadi ferronikel, nikel-matte maupun nickel-pig iron (NPI). RK-EF merupakan proses utama yang digunakan dalam industri pengolahan nikel laterit saat ini[10]. Dengan adaptabilitas yang baik, RK-EF dapat digunakan untuk mengolah berbagai variasi bijih nikel laterit[10]. RK-EF juga menawarkan keuntungan, seperti kemampuan produksi skala besar, kematangan proses yang sudah terjamin, serta kualitas produk akhir yang baik[10].

Pada RK-EF, rotary kiln memegang peranan penting dalam proses roasting dan pre-reduction bijih nikel[10]. Proses ini mencakup penghilangan air permukaan pada suhu sekitar 300 oC, penghilangan air kristal pada suhu sekitar 600 – 700 oC (dekomposisi garnierite dan goethite), reduksi sebagian NiO (20 – 25%) menjadi Ni, Fe2O3 menjadi Fe dan FeO (±5%) menjadi Fe, serta produksi kalsin pada suhu sekitar 750 – 900

oC[6]. Proses roasting dan pre-reduction pada rotary kiln akan menghasilkan produk yang disebut kalsin.

Reaksi dekomposisi garnierite dan goethite [15]: Ni3Mg3Si4O10(OH)8 (s) + panas → 3 NiO(s) + 3 MgO + 4SiO2 (s) + 4 H2O (g) (1) 2 FeO(OH) (s) + panas → Fe2O3 (s) + H2O (g) (2) Reaksi reduksi sebagian [15]:

NiO (s) + C (s)→Ni (s) + CO (g) (3) NiO (s) + CO (g)→Ni (s) + CO2 (s) (4) C (s) + CO2 (g)→2 CO (g) (5) Fe2O3 (s) + CO (g)→2 FeO (s) + CO2 (g) (6) Dalam berbagai proses di industri, rotary kiln diperlukan untuk beroperasi pada kondisi temperatur yang sangat panas mencapai lebih dari 800 oC. Dalam merancang desain suatu rotary kiln, terdapat empat aspek utama yang harus diperhatikan, meliputi perpindahan panas, aliran material melalui rotary kiln, perpindahan massa gas-padat, serta reaksi yang terjadi di dalam rotary kiln[4]. Perpindahan panas merupakan aspek terpenting karena dalam banyak kasus unjuk kerja rotary kiln ditentukan oleh perpindahan panas selama proses berlangsung di dalam rotary kiln[7].

Perpindahan panas pada rotary kiln merupakan suatu proses yang sangat kompleks[5]. Dalam hal ini, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mempelajari perpindahan panas, termasuk dengan pembuatan persamaan matematis untuk mempermudah pemahaman mengenai perpindahan panas pada rotary kiln. Perpindahan panas dalam hal ini dapat mencakup mengenai profil temperatur di sepanjang rotary kiln maupun temperatur nyala api yang dihasilkan dari pembakaran pada burner. Ghoshdastidar and Anandan Unni menjelaskan pemodelan perpindahan panas saat kondisi tunak untuk proses pengeringan dan pre-heating dengan rotary kiln pada produksi semen[8]. Sementara Locher menjelaskan tentang pemodelan matematika untuk proses pembakaran klinker pada produksi semen[11,12]. Kendati demikian, hanya sedikit persamaan matematis yang bisa menjelaskan mengenai keterkaitan perpindahan panas dengan proses lain dalam rotary kiln, seperti pembakaran bahan bakar maupun reaksi-reaksi kimia yang terjadi selama proses berlangsung. Di lain sisi, penelitian di lapangan dengan cara mengamati dan menghitung perpindahan panas pada rotary kiln secara langsung bukanlah metode yang tepat karena akan banyak membutuhkan waktu, serta biaya. Penelitian secara langsung di lapangan juga merupakan metode yang rumit karena harus mempertimbangkan berbagai parameter yang turut memengaruhi proses pada rotary kiln[5].

Salah satu metode penelitian yang terus dikembangkan saat ini adalah pemodelan computational fluid dynamic (CFD). CFD merupakan metode pemodelan digital untuk membuat pemodelan suatu aliran secara akurat dengan cara menyelesaikan persamaan transpor[7]. CFD memaksimalkan penggunaan komputer sebagai alat analisis dan desain untuk menyimulasikan fenomena aliran fluida, transfer massa dan panas, reaksi kimia, reaksi fluida dan padatan, serta fenomena terkait lainnya[9]. Dalam hal ini, CFD dapat digunakan untuk merancang desain terbaik dari suatu rotary kiln agar proses yang berlangsung di dalam rotary kiln dapat berjalan dengan optimum.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Metode Penelitian

Pada penelitian ini digunakan metode analisis berbasis simulasi Computational Fluid Dynamics (CFD) memanfaatkan perangkat lunak Ansys SpaceClaim dan Ansys Software untuk memprediksi distribusi suhu yang terjadi dalam rotary kiln dalam pengolahan nikel. Ansys

(3)

3

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

digunakan untuk menentukan bagaimana suatu produk berfungsi dengan spesifikasi yang berbeda, tanpa melakukan pengujian nyata[3]. Berikut tahapan metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini:

1. Identifikasi Masalah

Metode yang digunakan adalah studi literatur dengan melakukan pengkajian terhadap buku, literatur, catatan, dan laporan untuk menentukan masalah yang terjadi dalam proses metalurgi, khususnya dalam proses pengolahan nikel menggunakan rotary kiln yang akan dimodelkan untuk mengidentifikasi proses yang terjadi.

2. Pembuatan Geometri Rotary Kiln

Geometri dibuat memanfaatkan perangkat lunak Ansys SpaceClaim yang termasuk ke dalam tools Ansys Software. Ansys SpaceClaim membantu dalam membuat geometri dan mendapatkan simulasi lebih cepat yang terintegrasi dengan tools Ansys lainnya, termasuk Ansys Fluent[2]. Dalam penelitian ini, Ansys SpaceClaim digunakan untuk memodelkan geometri rotary kiln 3D dengan diameter 4 m dan panjang 40 m yang disederhanakan menjadi 2D dengan dimensi 2 x 40 m dengan asumsi berlaku axi- symmetric. Lampiran 1 merupakan bentuk geometri yang digunakan dalam penelitian ini. Gambar atas pada lampiran 1 merupakan keseluruhan bentuk, sementara gambar bawah merupakan perbesaran di daerah inlet.

Tabel 1. Keterangan ukuran dimensi 2D rotary kiln

3. Proses Meshing

Meshing adalah proses membagi geometri yang telah dibuat menggunakan Ansys SpaceClaim yang mengubah 2D/3D model menjadi elemen yang lebih kecil dan lebih halus dalam bentuk hexahedron untuk mendapatkan hasil konvergensi dan perhitungan yang lebih baik. Meshing dilakukan dengan memanfaatkan Ansys Fluent yang memiliki konsep Finite Volume Method (FVM) dalam menyelesaikan persamaan diferensial parsial (Navier-

Stokes) [1,14]. Ansys Fluent sendiri merupakan perangkat lunak yang digunakan untuk mensimulasikan model komputer dari struktur, elektronik, atau komponen mesin untuk menganalisis kekuatan, ketangguhan, elastisitas, distribusi suhu, elektromagnetisme, aliran fluida, dan analisis lainnya[1]. Lampiran 2 merupakan informasi terkait hasil meshing dari geometri 2D rotary kiln.

4. Set-Up Pemodelan

Terdapat beberapa variabel yang harus diatur pada Ansys Fluent sebelum dilakukan perhitungan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan target. Variabel-variabel tersebut terdiri dari model turbulen, fuel, oxidizer, λ (rasio O2 berlebih), dan beberapa variabel yang terdapat pada lampiran 3.

5. Perhitungan Solusi dan Analisis

Perhitungan dilakukan dengan iterasi dengan jumlah tertentu dalam rentang 1000-2000x untuk mendapatkan hasil yang konvergen.

Hasil pemodelan yang akan didapatkan berupa kontur kecepatan, temperatur, dan fraksi massa komponen di dalam rotary kiln.

Terdapat juga data berupa angka yang dapat diolah lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara temperatur, fraksi massa oksigen, fraksi massa karbon dioksida, dan fraksi massa komponen lainnya.

6. Asumsi-asumsi simulasi

Asumsi berikut diterapkan pada kasus penelitian ini, antara lain[7] :

• Kecepatan udara dan bahan bakar akan berfluktuasi terhadap waktu, tetapi diasumsikan tidak berpengaruh signifikan terhadap kontur nyala api atau dalam kondisi tunak.

• Dalam kasus ini, kecepatan rotasi dan bed percent fill memiliki efek yang tidak signifikan pada bentuk dan turbulensi nyala api. Umumnya, kecepatan rotasi rotary kiln adalah sekitar 1 rpm, kecepatan aksial lebih tinggi dari kecepatan tangensial. Jadi, kecepatan putaran tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku nyala api.

• Dinding diasumsikan dalam kondisi adiabatic yang artinya tidak ada kehilangan panas melalui dinding dalam kasus simulasi ini.

Keterangan Panjang (Mm)

H4 40000

V3 2000

V5 25

V6 32.5

(4)

4

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

3.1. Hasil Penelitian

Dari simulasi yang telah dilakukan, hasil dari simulasi tersebut ditampilkan pada bab ini.

Berdasarkan teori pembakaran, perbandingan massa antara CH4 dengan O2 untuk pembakaran sempurna adalah 1:4 atau dengan kata lain apabila terdapat 1 kg CH4 maka diperlukan 4 kg O2 atau tepatnya 17,16 kg udara untuk membakar CH4

secara sempurna. Untuk menganalisis profil temperatur di rotary kiln akibat dari proses pembakaran, penulis membuat bidang pada permukaan geometri 2D. Bidang tersebut dapat dianalogikan sebagai perumakaan yang terlihat apabila rotary kiln dibelah menjadi 2 bagian sama besar. Gambar 1 dibawah ini merupakan pengaruh dari variasi laju aliran massa udara/jumlah oksigen berlebih terhadap profil temperatur pada bidang tersebut. Jumlah oksigen berlebih sebanding dengan aliran massa udara karena didalam udara terdapat 23,3% oksigen.

Gambar 1. Pengaruh variasi laju aliran massa udara/jumlah oksigen berlebih terhadap profil temperatur (Data primer dari Ansys, 2021)

Dapat dilihat pada gambar 1 bahwa semakin besar nilai λ atau semakin banyak oksigen berlebih, maka temperatur pada ujung rotary kiln akan semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena udara memiliki kecepatan yang tinggi sehingga udara sisa serta gas buang yang dihasilkan tidak sempat terpanaskan dengan sempurna. Selain makin tingginya nilai kecepatan udara, jumlah udara masuk yang semakin besar juga mengakibatkan penurunan temperatur di ujung rotary kiln karena panas yang dihasilkan tidak cukup untuk memanaskan udara sisa serta gas buang yang dihasilkan dari pembakaran.

Untuk mengetahui berapa kecepatan udara di dalam rotary kiln, maka penulis membuat garis 8 dengan koordinat awal x,y (0,1.9) m dan koordinat akhir x,y (40, 1.9) m serta garis 9 dengan koordinat awal x,y (0,0.2) m dan koordinat akhir x,y (40, 0.2) m. Garis 8 terletak di dekat dinding rotary kiln sementara garis 9 terletak dekat dengan centerline dari rotary kiln. Kurva pada lampiran 4 membuktikan bahwa semakin besar nilai λ atau dengan kata lain laju aliran massa (mass flow rate) udara tinggi, maka semakin tinggi pula kecepatan udara tersebut. Hal tersebut sesuai dengan rumus debit. Apabila debit meningkat. tetapi luas penampang tetap, maka kecepatan zat tersebut akan meningkat.

λ=2,5

λ=5

λ=7,5

λ=12,5 λ=10

(5)

5

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Untuk mengetahui lebih pasti nilai temperatur di sepanjang rotary kiln pada semua variasi oksigen berlebih, kurva pada gambar 2 dan 3 berisi informasi perbandingan pengaruh nilai oksigen berlebih (λ) terhadap profil temperatur di sepanjang rotary kiln.

Dari kelima variasi tersebut, nilai λ = 10 merupakan profil temperatur yang paling sesuai dengan literatur dalam proses roasting bijih nikel di dalam rotary kiln. Meskipun profil temperatur di dekat centerline (garis 9) dengan nilai λ=12,5 memiliki nilai yang mirip dengan profil temperatur dengan nilai λ=10, tetapi temperatur di dekat dinding (garis 8) pada nilai λ=12,5 lebih rendah dari temperatur dengan nilai λ=10. Jumlah kebutuhan udara yang lebih sedikit lebih dipilih karena akan lebih menguntungkan dari segi ekonomi.

Gambar 2. Profil temperatur di sepanjang rotary kiln pada garis 8 (Data primer dari Ansys, 2021)

Gambar 3. Profil temperatur di sepanjang rotary kiln pada garis 9 (Data primer dari Ansys, 2021)

Dalam proses pembakaran CH4 menggunakan udara, beberapa produk yang mungkin dihasilkan antara lain CO, CO2, H2, dan H2O. Selain itu juga terdapat beberapa sisa udara karena jumlah udara yang digunakan melebihi nilai stoikiometri. Kurva pada gambar 4,5, dan 6 merupakan data fraksi massa komponen yang ada di dalam rotary kiln saat proses

pembakaran berlangsung. Kurva tersebut merupakan data saat nilai λ = 10 karena menurut penulis profil temperatur pada nilai λ tersebut sesuai dengan literatur. Data fraksi massa komponen tersebut merupakan data pada garis 8 dan garis 9.

Berdasarkan gambar 4 sampai 6, fraksi massa dari produk reaksi yang besar berada di dekat centerline (garis 9) dari rotary kiln. Hanya terdapat sedikit CO2 dan H2O di dekat dinding rotary kiln (garis 8). Fraksi massa oksigen dan nitrogen di dekat dinding rotary kiln cenderung tetap, hanya terdapat sedikit penurunan fraksi dari oksigen dan nitrogen karena terbentuknya CO2 dan H2O. Fraksi massa dari H2 dan CO di dekat dinding cenderung mendekati 0 karena proses pembakaran berlangsung pada kondisi oksigen berlebih.

Fraksi massa dari CO, CO2, H2, dan H2O yang relatif lebih besar berada di dekat centerline atau berada di nyala api saat reaksi berlangsung.

Terdapat produk seperti CO dan H2 karena CH4 akan bereaksi dengan udara primer yang jumlahnya kurang dari stoikiometri. Setelah itu CO dan H2

beraksi dengan udara sekunder sehingga fraksi massa dari kedua gas tersebut di dekat dinding mendekati 0. Fraksi massa oksigen di dekat centerline pada jarak sekitar 3-6 m dari inlet mendekati 0 karena oksigen bereaksi dengan CH4. Setelah jarak lebih dari 6 m dari inlet, fraksi massa oksigen cenderung naik kembali karena sudah tidak ada lagi CH4 pada jarak tersebut. Sementara itu, fraksi massa nitrogen ikut turun karena terbentuknya produk reaksi. Nitrogen merupakan gas inert sehingga tidak mungkin bereaksi dengan CH4. Pada saat proses roasting bijih nikel, terjadi beberapa reaksi salah satu contohnya reduksi sebagian dari nikel oksida menjadi nikel akibat bereaksi dengan gas CO yang bersifat reduktif.

Dapat dilihat dari kurva pada gambar 6 bahwa fraksi massa CO paling tinggi berada pada jarak kurang dari 5 m dari inlet dimana pada jarak tersebut temperatur juga tinggi sehingga memungkinkan terjadinya reaksi reduksi sebagian dari nikel oksida.

Maka dari itu kebutuhan batubara untuk mereduksi nikel oksida di dalam rotary kiln tidak terlalu tinggi.

200400 600 1000800 12001400 1600 18002000 2200

0 10 20 30 40 50

Temperatur (K)

X (m)

Profil temperatur di sepanjang rotary kiln - Garis 9 Lamda = 10 Lamda = 2.5 Lamda = 5 Lamda = 7.5 Lamda

=12.5 200300

400500 600700 800900 10001100 12001300 1400

0 10 20 30 40 50

Temperatur (K)

X (m)

Profil temperatur di sepanjang rotary kiln - Garis 8

Lamda = 10Lamda = 2.5Lamda = 5Lamda = 7.5Lamda

=12.5

(6)

6

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Gambar 4. Fraksi massa O2 dan N2 di sepanjang rotary kiln pada garis 8 (Data primer dari Ansys,

2021)

Gambar 5. Fraksi massa produk reaksi di sepanjang rotary kiln pada garis 8 (Data primer dari Ansys,

2021)

Gambar 6. Fraksi massa gas di sepanjang rotary kiln pada garis 9 (Data primer dari Ansys, 2021)

4. KESIMPULAN

Hasil menunjukkan bahwa profil temperatur pada variasi laju aliran massa udara sekunder 6.71 kg/s (nilai λ=10) sesuai dengan literatur dalam proses roasting bijih nikel di dalam rotary kiln.

Jumlah kebutuhan udara yang lebih sedikit lebih dipilih karena akan lebih menguntungkan dari segi ekonomi. Selain itu produk reaksi yang dihasilkan juga dapat menunjang proses roasting bijih nikel di dalam rotary kiln.

DAFTAR PUSTAKA

[1] ANSYS (2017): Fluent Theory Guide. Orlando, United States of America.

[2] ANSYS (n.d): Ansys SpaceClaim 3D Modeling Software, data diperoleh melalui situs internet:

https://www.ansys.com/products/3d- design/ansys-spaceclaim. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2021.

[3] ANSYS Inc (2010): International Directory of Company Histories. St. James Press, 115, 23 - 25.

[4] Barr, P.V. (1986): Heat transfer processes in rotary kilns. Disertasi Program Doktor, The University of Britisch Columbia.

[5] Bhad, T.P., Sarkar, S., Kaushik., and

Herwadkar, S.V. (2009): CFD Modeling of a Cement Kiln with Multi Channel Burner for Optimization of Flame Profile.

Seventh International Conference on CFD in the Minerals and Process Industries, Australia.

[6] Crundwell, F.K, Moats, M., Ramachandran, V., Robinson, T. and Davenport, W.G. (2011):

Extractive Metallurgy of Nickel, Cobalt and Platinum Group Metals. Elsevier.

[7] Elattar, H.F.M. (2011): Flame Simulation in Rotary Kilns Using Computational Fluid Dynamics. Disertasi Program Doktor, Otto von Guericke University, Germany.

[8] Ghoshdastidar, P.S., Anandan Unni, V.K.

(1999): Heat transfer in the nonreacting zone of a cement rotary kiln. ASME J. Eng.

Ind., 118 (1), 169 - 171.

[9] Kidane, H. (2021): Numerical Modelling and Study of Combustion Behaviour of Rotary Cement Kiln Using Computational Fluid Dynamics. Department of Mechanical Engineering, Hawassa University Institute of Technology.

[10] Liu, P., Li, B., Cheung, S. C. P. and Wu, W. (2016): Material and energy flows in rotary kiln-electric furnace smelting of 0

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

0 10 20 30 40 50

Fraksi Massa

X (m)

Fraksi massa gas di sepanjang rotary kiln - Garis 9

O2 N2 CO CO2 H2 H2O 0

0.005 0.01 0.015 0.02

0 10 20 30 40 50

Fraksi Massa

X (m)

Fraksi massa gas di sepanjang rotary kiln - Garis 8

CO CO2 H2 H2O 0

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

0 20 40

Fraksi Massa

X (m)

Fraksi massa gas di sepanjang rotary kiln - Garis 8

O2 N2

(7)

7

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

ferronickel alloy with energy saving.

Applied Thermal Engineering, 109, 542 - 559.

[11] Locher, G. (2002): Mathematical models for the cement clinker burning process. Part 1: Reactions and unit operations. ZKG Int, 55 (1), 29 - 38.

[12] Locher, G. (2002): Mathematical models for the cement clinker burning process. Part 2: Rotary kiln. ZKG Int, 55 (3), 68 - 80.

[13] Mastorakos, E., Massias, A. and Tsakiroglou, C.D. (1999): CFD predictions for cement kilns including flame modelling, heat transfer and clinker chemistry. Appl. Math. Modelling, 23, 55 - 76.

[14] Randall, L. (2002): Finite Volume Methods for Hyperbolic Problems. ISBN:

9780511791253.

[15] Tyroler, G.P. and Landolt, C.A. (1998):

Extractive Metallurgy of Nickel and Cobalt. New York: The Metallurgical Society.

[16] Wang, S., Lu, J., Li, W., Li, J. and Hu, Z.

(2006): Modeling of Pulverized Coal Combustion in Cement Rotary Kiln.

Energy & Fuels, 20, 2350 - 2356

(8)

8 LAMPIRAN

Lampiran 1. Bentuk geometri 2D Rotary Kiln

Lampiran 2. Hasil Meshing dan Zona-Zona pada 2D Rotary Kiln

(9)

9

Nomor Keterangan Ukuran (mm)

1 Inlet secondary air 1942,5

2 Inlet primary air 32,5

3 Inlet fuel 25

4 Axis 40000

5 Outlet 40000

6 Wall 2000

Lampiran 3. Set-up Pemodelan dan Variasi Boundary Condition

Type Pressure-Based

Time Steady

2D Space Axi-symmetric

Energy On

Model Turbulen Realizable k-ε Near-Wall Treatment Standard Wall Functions Combustion Non-premixed

combustion Fuel CH4 (mass fraction

=1)

Oxidizer Udara (Mass

fraction N2:O2 = 0.767:0.233) Solution Method Simple

Variasi Zona Komponen λ Mass Flow

Rate (kg/s)

Temperatur (K) 1

Inlet fuel CH4

2.5

0.0393

293

Inlet primary air Udara 0.0393

Inlet secondary air Udara 1.65

2

Inlet fuel CH4

5

0.0393

293

Inlet primary air Udara 0.0393

Inlet secondary air Udara 3.33

3

Inlet fuel CH4

7.5

0.0393

293

Inlet primary air Udara 0.0393

Inlet secondary air Udara 5.02

4

Inlet fuel CH4

10

0.0393

293

Inlet primary air Udara 0.0393

Inlet secondary air Udara 6.71

5

Inlet fuel CH4

12.5

0.0393

293

Inlet primary air Udara 0.0393

Inlet secondary air Udara 8.39

2 3

4

5 6

1

(10)

1

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Akselerasi Industri Pertambangan dalam Meningkatkan Nilai Tambah Mineral dan Batubara serta Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional yang Berwawasan Lingkungan

Pengolahan dan Pemurnian Bahan Galian

Pendekatan Digital Image Processing pada Otomatisasi Analisis Kadar pada Endapan Timah Aluvial

Mohammad Army[1], Muhammad Alif Ikhsan[2], Muhammad Durra Hibatul Wafi[3]

[1] Institut Teknologi Bandung/Teknik Pertambangan

[2] Institut Teknologi Bandung/Teknik Pertambangan

[3] Institut Teknologi Bandung/Teknik Pertambangan

ABSTRAK

Setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi, wajib melaksanakan peningkatan nilai tambah terhadap produknya, salah satunya melalui proses pengolahan bijih mineral. Kadar dari bijih yang akan diolah merupakan salah satu parameter penting dalam proses pengolahan. Maka dari itu, sangatlah penting untuk melakukan grade sampling selama atau sebelum proses pengolahan. Salah satu metode estimasi kadar bijih yang masih digunakan hingga saat ini berupa metode grain counting. Metode ini banyak digunakan karena selain mudah, juga dirasa masih cukup representatif dalam menaksir kadar bijih untuk mineral tertentu. Tetapi dalam implementasinya, metode ini dirasa masih kurang efektif dan efisien mengingat perhitungan dari butir-butir dilakukan satu persatu secara manual. Maka dari itu perlu adanya suatu teknologi yang dapat mengimplementasikan metode ini dengan lebih efektif dan efisien. Teknologi Digital Image Processing dapat diaplikasikan pada permasalahan tersebut melalui suatu metode penginderaan visual yang lebih cepat, akurat, efektif, dan efisien. Pada penelitian kali ini, akan disusun suatu metode penginderaan visual yang dapat menaksir kadar bijih dengan metode grain counting secara otomatis. Metode penginderaan yang telah disusun kemudian akan diaplikasikan ke dalam suatu algoritma pemrograman. Algoritma pemrograman yang telah dibuat kemudian akan diuji menggunakan 100 gambar butir-butir bijih pada endapan timah aluvial untuk melihat akurasinya dalam menaksir kadar bijih. Endapan timah aluvial dipilih karena penaksiran kadar dari endapan tersebut, terkadang masih dilakukan menggunakan metode grain counting. Selain itu, endapan timah aluvial juga menjadi salah satu pembawa logam tanah jarang atau Rare Earth Element (REE) (dalam hal ini Monazite, Zircon, dan Xenotime), menyebabkan endapan timah aluvial sedang menjadi primadona karena merupakan bahan baku teknologi masa depan yang bernilai ekonomi tinggi. Maka dari itu, diharapkan algoritma pemrograman yang dibuat dapat memberikan performa yang memuaskan, sehingga dapat segera diterapkan sebagai metode analisis kadar bijih pada endapan timah aluvial untuk mendukung kegiatan peningkatan nilai tambah sesuai amanat dari UU No.3 Tahun 2020.

Kata Kunci: digital image processing, grain counting, rare earth element, nilai tambah

1.PENDAHULUAN

Tahun 2020 menjadi sejarah baru bagi industri pertambangan di Indonesia, melalui pengesahan Undang - undang (UU) nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan dari UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Terdapat beberapa poin penting yang mengalami perubahan pada undang-undang ini, salah satunya adalah mengenai peningkatan nilai tambah atau hilirisasi dari komoditas mineral dan batubara. Hal ini tercantum pada Pasal 102 yang berisi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi wajib meningkatkan nilai tambah Mineral dalam kegiatan Usaha Pertambangan melalui, Pengolahan dan Pemurnian untuk komoditas tambang Mineral logam; Pengolahan

untuk komoditas tambang Mineral bukan logam;

dan/atau Pengolahan untuk komoditas tambang batuan.

Serta tercantum pula pada Pasal 103 ayat 1 yang berbunyi “Pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan Operasi Produksi Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 wajib melakukan Pengolahan dan/atau Pemurnian Mineral hasil Penambangan di dalam negeri”. Dari pasal-pasal tersebut sudah sangat menjelaskan pentingnya peningkatan nilai tambah atau hilirisasi dari pertambangan, yaitu melalui proses pengolahan dan pemurnian.

Tujuan dari proses pengolahan dan pemurnian adalah adanya peningkatan kadar dari mineral yang diinginkan atau bernilai ekonomis tinggi, serta pengurangan gangue mineral. Oleh karena itu, harus dilakukan perhitungan kadar dengan tepat dan cepat

(11)

2

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

dari tiap proses pengolahan dan pemurnian. Salah satu metode perhitungan kadar yang digunakan pada industri adalah dengan metode grain counting yang merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui kadar dari suatu sampel (konsentrat, sayatan poles, maupun sayatan tipis), dengan menghitung perbandingan antara volume mineral tertentu terhadap seluruh mineral. Biasanya perhitungan dilakukan secara manual dengan menghitung jumlah butir dari mineral yang disebar pada kotak berbentuk persegi yang memiliki luas yang sama (jumlah kotak tiga untuk mineral berbutir halus, hingga lima untuk mineral berbutir kasar) dan tersusun secara diagonal. Perlu diketahui pula kondisi mineral pada butir yang dihitung, apakah mineral tersebut berada pada kondisi bebas atau terikat dengan mineral lainnya.

Namun, terdapat beberapa kekurangan dari penggunaan metode ini, yaitu pengerjaannya yang dilakukan secara manual membutuhkan waktu yang lama, serta kesalahan pengamat dalam menginterpretasikan persen liberasi dari butir-butir mineral berakibat pada ketidakakuratan kadar yang dihitung. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses perhitungan grain counting dan menghindari kesalahan dalam pengamatan dibutuhkan suatu instrumen yang digunakan untuk menggantikan peran manusia dalam mengerjakan metode ini. Salah satu bentuk perubahan yang dapat dibuat adalah dengan cara pendekatan digital image processing yang akan dibahas pada paper ini.

Pada paper ini, akan dibahas mengenai pembuatan suatu algoritma pemrograman yang dapat melakukan perhitungan jumlah butir dan juga

kadar dengan input-an berupa foto dari butir-butir mineral. Digunakan metode digital image processing dalam membangun algoritma pemrograman yang nantinya akan digunakan.

Metode ini dipilih karena telah terbukti dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan serupa terkait deteksi objek pada gambar digital.

Pada penelitian kali ini algoritma pemrograman yang telah dibuat kemudian diuji menggunakan data berupa foto dari butir-butir mineral pada timah aluvial. Digunakan 20 gambar butir-butir mineral yang telah dihitung jumlah butir dan kadarnya secara manual. kemudian nilai yang diperoleh menggunakan algoritma pemrograman akan dibandingkan dengan nilai perhitungan secara manual menggunakan berbagai parameter error.

Semakin kecil nilai error, maka semakin akurat algoritma pemrograman yang dibuat. Besar harapan bagi penulis melalui penelitian ini, dapat terciptanya sebuah sistem yang dapat mempercepat serta meningkatkan akurasi dari proses grain counting.

2. TEORI DASAR 2.1. Alur Penelitian

Alur analisis yang sistematis sangatlah penting pada penelitian ini, karena merupakan acuan yang akan digunakan dalam pengerjaan algoritma pemrograman. Adapun alur analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Gambar 2.1.1. Alur Penelitian 2.2. Timah Aluvial

Endapan aluvial merupakan endapan yang relatif berumur muda (Kuarter) yang berada di atas batuan dasar yang jauh lebih tua (Tersier atau Pra-Tersier).

Keterdapatan timah di dalam endapan aluvial inilah yang menjadikan paradigma eksplorasi timah

berkembang dimulai teori mother rock hunting dan teori valley hunting. Dalam dunia pertimahan di Indonesia, pada endapan timah aluvial ada yang dikenal dengan istilah kaksa dan mincan. Kaksa merupakan lapisan endapan timah aluvial yang kaya dengan mineral kasiterit (SnO2) yang terletak di atas batuan dasar (bedrock), sedangkan mincan

(12)

3

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

merupakan lapisan endapan timah aluvial yang terbentuk secara berulang setelah terbentuknya lapisan kaksa (Osberger, 1965). Penampang klasifikasi endapan aluvial dapat dilihat pada Gambar 2.2.1. Model lapisan kaksa dan mincan dapat dilihat pada Gambar 2.2.2.

Gambar 2.2.1. Penampang klasifikasi endapan aluvial

Gambar 2.2.2. Model lapisan kaksa dan mincan Teori tersebut berkembang karena untuk mendapatkan endapan aluvial yang kaya akan potensi mineral timah maka harus ada sumber yang menghasilkan mineral tersebut selanjutnya harus ada proses pelapukan, erosi dan transportasi serta yang terpenting adalah adanya tempat terjadinya akumulasi. Dengan demikian tidak semua endapan aluvial kaya akan kandungan timah, dengan kata lain tidak semua lembah menjadi perangkap timah yang ekonomis. Dengan kata lain bahwa kita akan mendapatkan timah aluvial jika terpenuhi tiga kriteria yaitu adanya batuan sumber pembawa timah, media transportasi, dan tempat akumulasi.

2.3. Data

Data yang digunakan dalam pembuatan paper ini berupa gambar butir-butir mineral dari konsentrat endapan timah aluvial yang mengandung beberapa jenis mineral berbeda dengan ukuran yang bervariasi. Data ini terdiri dari 20 foto berbeda yang telah ditaksir nilai kadar masing masing mineralnya nya menggunakan metode grain counting secara manual. Data ini akan digunakan untuk mengevaluasi algoritma pemrograman yang dibuat nantinya. Contoh dari data yang digunakan dapat dilihat gambar 2.3.1 dibawah ini.

Gambar 2.3.1. Contoh data yang digunakan 2.4. Grain counting

Grain counting adalah salah satu cara yang paling sederhana untuk menentukan kadar dalam mineral dengan menggunakan bantuan alat seperti milimeter blok berukuran tertentu dengan adanya pemisahan mineral yang memiliki sifat visual dan fisik yang berbeda. Proses identifikasi butiran biasanya dilakukan dengan menggunakan mikroskop binokuler (Wills, 2006). Analisis grain counting dilakukan dengan cara menghitung jumlah butir tiap jenis mineral yang ditebarkan pada area- area berbentuk bujur sangkar memiliki luas area yang sama (tiga atau lima kotak) dan tersusun secara diagonal. Metode yang umum digunakan adalah metode lima kotak untuk butiran yang relatif kasar dan metode tiga kotak untuk butiran yang relatif halus (Wills, 2006).

2.5. Gambar Digital

Gambar digital merupakan matriks dari banyak elemen kecil atau titik yang disebut sebagai pixels.

Setiap pixels pada Gambar digital diwakili oleh suatu nilai numerik. Secara umum nilai pixels berkaitan dengan kecerahan atau warna dari suatu titik yang ada pada gambar. Contoh gambar digital beserta nilai yang mewakili warna nya dapat dilihat pada Gambar 2.5.1 dibawah ini.

Gambar 2.5.1. Matrix pada gambar digital.

2.6. Digital Image Processing

Pengolahan citra digital (Digital Image Processing) adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang teknik-teknik mengolah citra.

Citra yang dimaksud disini adalah gambar diam (foto) maupun gambar bergerak (yang berasal dari webcam). Sedangkan digital disini mempunyai

(13)

4

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

maksud bahwa pengolahan citra atau gambar dilakukan secara digital menggunakan computer (Ariono, 2013). Teknik-teknik pengolahan citra mentransformasikan citra ke citra yang lain. Jadi masukannya adalah citra dan keluarannya juga citra, namun citra keluaran atau hasil mempunyai kualitas lebih baik dari pada citra masukan. Pengolahan citra bertujuan untuk :

1. Memperbaiki kualitas gambar, dilihat dari aspek radiometric dan aspek geometric.

Aspek radiometric terdiri dari peningkatan kontras, restorasi citra, dan transformasi warna sedangkan aspek geometric terdiri dari rotasi, skala, translasi, dan transformasi geometri.

2. Melakukan proses penarikan informasi atau deskripsi objek atau pengenalan objek yang terkandung pada citra.

3. Melakukan pemilihan citra ciri (feature images) yang optimal untuk tujuan analisis.

4. Melakukan kompresi atau reduksi data untuk tujuan penyimpanan data, transmisi data, dan waktu proses data serta melakukan kompresi atau reduksi data untuk tujuan penyimpanan data, transmisi data, dan waktu proses data.

2.7. Algoritma Watershed

Salah satu metode yang digunakan dalam segmentasi citra yang membagi citra menjadi area- area yang berbeda dengan menggambarkan citra sebagai relief topografi disebut juga dengan algoritma watershed. Metode yang diperkenalkan oleh Beucher dan Meyer di tahun 1993 ini mulai dipelajari dengan tujuan untuk mengatasi masalah segmentasi citra. Penggunaan metode ini juga bertujuan dalam meningkatkan detail dari citra.

Namun, terdapat beberapa kekurangan dari metode algoritma watershed ini, salah satunya adalah munculnya efek over segmentation, yaitu kondisi ketika area-area yang diidentifikasi terlalu banyak, sehingga menyebabkan bagian-bagian objek yang seharusnya menyatu menjadi terpisah. Algoritma watershed diilustrasikan oleh gambar di bawah ini:

Gambar 2.7.1. Ilustrasi algoritma watershed

Dalam implementasinya, pertama - tama perlu ditentukan terlebih dahulu zona pengaruh Euclidean menggunakan persamaan berikut :

𝑓𝐼𝑍(𝐱) = argmin𝑖⁡{𝑑𝑖(𝐱)}𝑖=1𝑘

= {𝑖 ∣ dist⁡(𝐱, 𝐾𝑖)

≤ dist⁡(𝐱, 𝐾𝑗), ∀𝑗}

Kemudian digunakan The four theorem dan fungsi jarak topografi dengan formulasi sebagai berikut :

𝐶𝑖 = ∪𝑓 𝐾𝑗

𝑟(𝐾𝑗)=𝑖 , 𝑖 = 1,2,3,4.

𝐿𝑖(x) = 𝑖𝑛𝑓

𝑦∈𝐶1 𝐿(x, y)𝑖 = 1,2,3,4 𝐸(Ω1, … , Ω𝑘) = ∑  

𝑘

𝑖=1

∫  

Ω𝑖

{𝛼𝑖+ 𝐿𝑖(x)}𝑑x

2.8. Metode Hue, Saturation, and Value (HSV) Rentang warna HSV (Hue, Saturation, Value) biasanya lebih sering digunakan dalam penginderaan menggunakan komputer karena kinerjanya yang lebih unggul dibandingkan dengan rentang warna RGB dalam berbagai tingkat pencahayaan. Keunggulan dari metode ini adalah objek dari citra yang memiliki warna tertentu dapat dideteksi dan pengaruh dari intensitas cahaya luar dapat dikurangi. Thresholding dan masking sering kali dilakukan dalam rentang warna HSV, sehingga sangat penting untuk mengetahui nilai HSV dari warna yang ingin difilter.

Rentang warna RGB dapat dikonversi menjadi HSV tanpa menghilangkan informasi. Berikut ini adalah persamaan yang dapat digunakan dalam konversi RGB menjadi HSV menggunakan persamaan berikut :

𝑉 = 𝑀𝑎𝑥(𝑅, 𝐺, 𝐵)

𝑆⁡ = {

𝑉 − 𝑀𝑖𝑛(𝑅, 𝐺, 𝐵) 0, 𝑉⁡ = ⁡0𝑉

⁡, 𝑉 ≠ ⁡0

Jika S = 0, maka H = 0 dan Jika R = V, maka:

𝐻⁡ = ⁡ {

60(𝐺 − 𝐵)

𝑉⁡ − ⁡𝑀𝑖𝑛(𝑅, 𝐺, 𝐵), 𝐺 ≥ 𝐵 360 + 60(𝐺 − 𝐵)

𝑉 − 𝑀𝑖𝑛(𝑅, 𝐺, 𝐵), 𝐺 < 𝐵 Jika G = V, maka

𝐻⁡ = 120 + 60(𝐵 − 𝑅) 𝑉 − 𝑀𝑖𝑛(𝑅, 𝐺, 𝐵) Jika B = V, maka

(14)

5

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

𝐻⁡ = ⁡240 + 60 × (𝑅 − 𝐵) 𝑉 − 𝑀𝑖𝑛(𝑅, 𝐺, 𝐵) 2.9. Cara Kerja algoritma pemrograman

Algoritma pemrograman yang dibuat bertujuan untuk mengkalkulasi kadar dari masing-masing mineral yang ada pada suatu gambar butir - butir mineral. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan beberapa tahapan pemrosesan yang berurutan. Berikut ini merupakan gambaran umum dari tahapan-tahapan cara kerja algoritma pemrograman.

1. Algoritma pemrograman akan diberikan suatu inputan berupa butir butir mineral seperti terlihat pada Gambar 9 di bawah ini.

Gambar 2.9.1. Contoh gambar butir butir mineral

2. Gambar butir butir mineral kemudian diubah kedalam format grayscale atau gambar hitam putih seperti pada gambar di bawah

Gambar 2.9.2. Contoh gambar butir butir mineral dalam hitam putih 3. Kemudian dilakukan pemetaan permukaan

menggunakan algoritma watershed sehingga diperoleh gambar sebagai berikut.

Gambar 2.9.3. Contoh gambar butir butir mineral hasil algoritma watershed 4. Berdasarkan gambar hasil keluaran

algoritma watershed, akan dibuat garis batas untuk masing-masing butir mineral seperti yang ada pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.9.4. Contoh gambar garis batas 5. Kemudian masing-masing butir mineral

akan dipisahkan seperti yang ada pada gambar.

Gambar 2.9.5. Butir mineral yang telah dipisahkan

6. Masing - masing butir mineral akan dianalisis menggunakan metode HSV untuk mengidentifikasi jenis mineralnya berdasarkan warna.

7. Setelah semua butir teridentifikasi akan dihitung kadar dari masing-masing mineral yang ada pada gambar yang diinputkan.

Tahapan diatas kemudian diimplementasikan dalam bahasa pemrograman sehingga didapatkan sebuah algoritma pemrograman yang siap digunakan. Adapun diagram alir dari cara kerja algoritma pemrograman dapat dilihat pada gambar berikut ini.

(15)

6

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Gambar 2.9.6. Diagram Alir cara kerja algoritma pemrograman

2.10. Parameter Error

Mean Absolute Error (MAE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) adalah salah satu besaran yang dapat mengukur tingkat keakuratan suatu model prediksi. Nilai MAE merepresentasikan rata – rata kesalahan absolut atau Absolute Error (AE) antara hasil prediksi dengan nilai sebenarnya. Sedangkan nilai MAPE merepresentasikan rata – rata persentase kesalahan absolut atau Absolute Percentage Error (APE) antara hasil prediksi dengan nilai sebenarnya. Pada penelitian ini akan ditentukan nilai MAE, AE, MAPE, dan APE dari perhitungan kadar dan jumlah butir yang dilakukan oleh algoritma pemrograman.

Nilai sebenarnya dari kadar dan jumlah butir diperoleh dari perhitungan secara manual, sedangkan nilai kadar dan jumlah butir yang diperoleh dari algoritma pemrograman sebagai hasil prediksi. Nilai MAE sendiri dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.

MAE =1

𝑛𝑛𝑖=1 |𝑦𝑖− 𝑥𝑖|

nilai AE dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.

AE⁡ = ⁡ |𝑦𝑖− 𝑥𝑖|

nilai MAPE dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.

MAPE =100%

𝑛 ∑  

𝑛

𝑖=1

|𝑦𝑖− 𝑥𝑖 𝑥𝑖

|

dan nilai APE dapat dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.

APE = 100% × ⁡ |𝑦𝑖− 𝑥𝑖 𝑥𝑖 |

Dengan 𝑦𝑖 adalah nilai prediksi, 𝑥𝑖 adalah nilai sebenarnya, dan n adalah banyaknya pasangan 𝑦𝑖 dan⁡𝑥𝑖.

2.11. Pengujian algoritma pemrograman

Pada tahap ini, algoritma pemrograman yang telah dibuat akan diuji untuk mengukur akurasinya dalam mengkalkulasi jumlah butir dan kadar mineral. Pengujian dilakukan dengan menggunakan data berupa 20 gambar butir butir mineral yang terdiri dari beberapa mineral berbeda yang telah

dikalkulasi nilai kadar nya secara manual.

Kemudian dihitung nilai Mean Absolute Error (MAE), Absolute Error (AE), Mean Absolute Percentage Error (MAPE), dan Absolute Percentage Error (APE) menggunakan persamaan sebelumnya untuk melihat seberapa besar perbedaan antara hasil perhitungan menggunakan algoritma pemrograman dengan hasil perhitungan secara manual. Semakin kecil nilai MAE, AE, MAPE ,dan APE semakin akurat algoritma pemrograman dalam mengkalkulasi jumlah butir dan kadar. Diagram alir dari tahap pengujian algoritma pemrograman dapat dilihat pada Gambar 2.11.1 di bawah ini.

Gambar 2.11.1. Diagram alir pengujian algoritma pemrograman.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Algoritma pemrograman yang telah dibuat akan diuji untuk melihat performanya dalam mengkalkulasi jumlah butir dan kadar dari segi kekuatannya. Pengujian dilakukan dengan menggunakan data berupa gambar dari 20 butir butir mineral yang telah di hitung jumlah butir dan kadar dari masing masing mineral. Foto yang digunakan diasumsikan hanya mengandung 3 jenis mineral yaitu Kuarsa, Siderit, dan Kasiterit. Dari data tersebut, akan dikalkulasi kadar dan jumlah butirnya menggunakan algoritma pemrograman yang telah dibuat yang kemudian dicatat dan dianalisis.

Jumlah butir dan kadar dari masing-masing mineral yang diperoleh secara otomatis menggunakan algoritma pemrograman, kemudian diplot bersama dengan nilai yang diperoleh secara manual, seperti yang terlihat pada gambar 12. Garis lurus putus-putus menggambarkan garis prediksi sempurna (perfect-prediction). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa titik-titik berada di sekitar garis putus-putus. Hal ini mengindikasikan bahwa algoritma pemrograman yang dibuat dapat mengkalkulasi jumlah butir dan kadarnya dengan baik.

(16)

7

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Gambar 3.1. Jumlah butir dan kadar dari masing-masing mineral yang diperoleh secara manual (horizontal) dan otomatis (vertikal)

Diperoleh juga beberapa komponen statistika deskriptif hasil perhitungan. Jumlah butir dan kadar dari masing masing mineral secara manual dan otomatis, yang dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Diketahui bahwa jumlah masing- masing butir mineral pada data memiliki rentang

yang bervariasi dilihat dari nilai standar deviasi yang cukup tinggi, dan juga perbedaan nilai minimum dan maksimum yang terpaut relatif jauh. Sehingga data yang digunakan dirasa cukup representatif dalam mengevaluasi algoritma pemrograman yang dibuat.

Tabel 3.1. Statistika deskriptif jumlah butir dan kadar dari masing-masing mineral

Metode Komponen Jumlah Butir Kadar

Kuarsa Siderit Kasiterit Total Kuarsa Siderit Kasiterit

Manual

Rata-Rata 22.45 92.15 4.75 119.35 0.206 0.756 0.038 Standar deviasi 14.60 76.55 4.38 93.94 0.059 0.059 0.016

Nilai Terbesar 6 28 1 40 0.072 0.657 0.014

Nilai Terkecil 59 296 16 371 0.288 0.904 0.069

Otomatis

Rata-Rata 23.70 90.30 4.85 118.85 0.221 0.737 0.042 Standar deviasi 15.03 79.37 3.90 94.31 0.077 0.078 0.019

Nilai Terbesar 5 22 1 34 0.052 0.631 0.015

Nilai Terkecil 61 359 16 420 0.354 0.927 0.081

Kemudian, dihitung nilai Mean Absolute Error (MAE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE) untuk melihat akurasi dari hasil perhitungan secara otomatis. Semakin kecil nilai MAE maka semakin akurat algoritma pemrograman

yang dibuat. Diperoleh nilai MAE dan MAPE dari perhitungan. Jumlah butir dan kadar dari masing masing mineral secara otomatis dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

(17)

8

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Tabel 3.2. Jumlah butir hasil grain counting

Error Jumlah Butir Kadar

Kuarsa Siderit Kasiterit Total Kuarsa Siderit Kasiterit MAE 3.6500 13.6500 0.7000 12.0000 0.0334 0.0366 0.0085 MAPE 15.38% 13.19% 18.51% 9.67% 17.50% 4.85% 23.26%

Dapat dilihat pada tabel diperoleh nilai MAE yang relatif kecil baik pada perhitungan jumlah butir ataupun perhitungan kadar untuk tiap tiap jenis mineral. Tetapi pada perhitungan MAPE diperoleh nilai yang cukup tinggi, khususnya pada perhitungan kadar Kasiterit dimana diperoleh MAPE sebesar 23.26%. hal ini disebabkan oleh jumlah mineral Kasiterit pada gambar sampel yang sangat sedikit,

sehingga kesalahan dalam mendeteksi satu butir saja, dapat berpengaruh besar dalam persentase error-nya.

Dihitung pula nilai Absolute Error (AE) dan Absolute Percentage Error (APE) untuk Jumlah butir dan kadar dari masing-masing mineral secara otomatis menggunakan persamaan sebelumnya yang hasilnya dapat dilihat pada gambar 3.2.

(18)

9

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Gambar 3.2. Nilai Absolute Error (AE) dan Absolute Percentage Error (APE) perhitungan otomatis Dapat dilihat pada grafik di atas bahwa nilai

galat cukup bervariasi, baik pada perhitungan kadar ataupun perhitungan jumlah butir untuk masing- masing mineral. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kualitas gambar yang berbeda-beda. Pada gambar dengan kualitas yang kurang baik, segmentasi butir seringkali mengalami kesalahan. Kesalahan yang dimaksud dapat berupa kesalahan pada segmentasi

batas butir, karena terkadang suatu butir dihitung lebih dari satu kali. Selain butir yang tidak terdeteksi, kemungkinan juga terjadi pada mineral dengan warna yang mirip dengan warna latar belakang, hal ini disebabkan sulitnya menentukan batas butir pada gambar dengan kualitas yang kurang baik.

4. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:

4.1 Algoritma pemrograman yang dibuat dapat melakukan perhitungan jumlah butir dan kadar dari mineral dengan cukup akurat berdasarkan parameter-parameter error yang dipilih.

4.2 Warna mineral yang mirip dengan latar belakang dan juga kualitas gambar yang kurang baik, dapat menyebabkan error pada perhitungan.

Dari beberapa kesimpulan di atas, diharapkan algoritma pemrograman yang dibuat dapat terus dikembangkan dan diperbaiki sehingga dapat diterapkan dalam industri pertambangan kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Castleman, K. R. (2004). Digital Image Processing.

Vol. 1. Ed.2. Prentice Hall: New Jersey.

Louis Kirkaldie, Ed., American Society for Testing and Materials: Philadelphia, 91-101.

Gonzalez, R. dan Woods, R. (1992). Digital Image Processing. Addison Wesley, 414 - 428.

Gunawan, dkk. (2011). Perangkat Lunak Segmentasi Citra dengan Metode Watershed. JSIFO STMIK Mikroskil:

Medan, 79 - 83.

Hodneland, E., Tai, X.-C., Weickert, J., &

Bukoreshliev, N. (2007). Level Set Methods for Watershed Image Segmentation.

Osberger, R. (1965). On The Geology of The Indonesian Part of The Great Southeast Asian Tin Gridle Billiton Tin Mining Company. American Journal of Obstetrics and Gynecology, (4) : 403-418.

Smirnov, Vladimir Ivanovich. (1976). Geology of Mineral Deposits. MIR Publishers, (3) : 78- 98

Wills, BA and Napier-Munn Team. (2006). Mineral Processing Technology An Introduction To Practical Aspect of Ore Treatment and Mineral Recovery. John Wiley and Sons Inc, (2): 93-103.

(19)

1

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

Akselerasi Industri Pertambangan dalam Meningkatkan Nilai Tambah Mineral dan Batubara serta Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional yang Berwawasan Lingkungan

Geoteknik dan Hidrogeologi Tambang

Microbiologically Induced Calcite Precipitation Sebagai Alternatif Perkuatan Lereng Timbunan

Bomer Lumbantoruan [1]

[1] Institut Teknologi Bandung

ABSTRAK

Keselamatan kerja merupakan suatu hal yang sangat krusial dalam melakukan pekerjaan apapun. Dalam operasi penambangan, salah satu aspek yang berkaitan dengan keselamatan kerja adalah kestabilan lereng, baik lereng alami maupun lereng timbunan. Kestabilan lereng merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kegiatan penambangan yang aman dan produktif serta berwawasan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan metode alternatif dalam perkuatan lereng timbunan pada proses penambangan menggunakan metode Microbiologically Induced Calcite Precipitation (MICP). Dalam hal kestabilan lereng, ada dua komponen yang berpengaruh yaitu gaya atau momen penggerak (stress) serta gaya atau momen penahan (strength). Untuk menjaga kestabilan lereng, tindakan yang umum dilakukan adalah memperbesar gaya atau momen penahan (strength). Contoh perkuatan lereng yang biasa dilakukan adalah menggunakan bronjong, retaining wall, soil nailing, shotcrete dan lain lain. Metode-metode perkuatan ini tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Microbiologically Induced Calcite Precipitation merupakan suatu metode yang memanfaatkan bakteri alami untuk memperkuat ikatan antar partikel tanah melalui presipitasi CaCO3. Kalsit (CaCO3) ini diperoleh melalui proses hidrolisis urea. MICP merupakan proses yang tidak beracun dan ramah lingkungan sehingga memiliki keunggulan dibandingkan metode konvensional lain. Microbiologically Induced Calcite Precipitation dapat meningkatkan nilai kekuatan tanah. Salah satu parameter yang umum digunakan adalah UCS (Uniaxial Compressive Strength). Hal ini terjadi karena kristal CaCO3 yang dihasilkan oleh MICP membentuk jembatan antara partikel, sehingga meningkatkan kekuatan dan kekakuan tanah. Selain UCS, kekakuan (stiffness) tanah dapat meningkat dan permeabilitasnya dapat berkurang secara signifikan. Metode MICP ini sudah banyak diterapkan untuk proses perkuatan tanah pada konstruksi sipil. Proses ini banyak memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan, dan daya guna atau efek dari proses MICP ini bertahan cukup lama. Berdasarkan keunggulan- keunggulan tersebut, proses ini tentu dapat menjadi suatu alternatif yang sangat menjanjikan untuk metode perkuatan lereng timbunan pada lokasi penambangan.

Kata Kunci: kestabilan, tanah, perkuatan, MICP.

1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Aktivitas penambangan akan selalu berkaitan dengan kegiatan penggalian dan penimbunan.

Kegiatan penggalian dan penimbunan ini, pada akhirnya, bertujuan untuk membentuk suatu geometri lereng yang akan mendukung keberjalanan proses penambangan sumberdaya mineral dan batubara. Oleh karena itu, kestabilan lereng merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kegiatan penambangan yang aman, produktif serta berwawasan lingkungan.

Dalam aktivitas penambangan, permasalahan kestabilan lereng umumnya ditemukan pada kegiatan tambang terbuka dan lereng timbunan (overburden disposal). Kestabilan lereng ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya : karakteristik fisik dan mekanik material pembentuk lereng, faktor geometri lereng, kondisi

air, bidang lemah, getaran, dan tegangan. Jika terjadi ketidakstabilan pada lereng dan menyebabkan kerusakan bahkan korban jiwa, kegiatan produksi akan terhenti.

Untuk menyatakan tingkat kestabilan lereng digunakan Faktor Keamanan. Faktor Keamanan ini merupakan perbandingan antara gaya atau momen penahan agar lereng tetap stabil terhadap momen atau gaya penggerak yang akan membuat lereng bergerak/longsor. Salah satu usaha dalam menjaga stabilitas lereng adalah dengan melakukan perkuatan. Dengan adanya perkuatan ini, gaya penahan pada lereng akan semakin besar sehingga dapat meningkatkan nilai FK. Tindakan perkuatan pada lereng timbunan dapat dilakukan dengan menggunakan bronjong, tembok penahan, tiang pancang, atau tanah bertulang (soil nailing).

Microbiologically Induced Calcite Precipitation (MICP) merupakan suatu metode yang memanfaatkan bakteri alami untuk memperkuat ikatan antar partikel tanah melalui presipitasi

(20)

2

PAPER COMPETITION

Indonesian Student Mining Competition XIII

CaCO3. Kalsit (CaCO3) ini diperoleh melalui proses hidrolisis urea. Metode ini dapat digunakan untuk meningkatkan kestabilan lereng karena dapat meningkatkan parameter fisik dan mekanik material. Metode MICP ini sudah banyak diterapkan untuk proses perkuatan tanah pada konstruksi sipil.

Proses ini banyak memiliki keunggulan yaitu ramah lingkungan, serta daya guna dari proses MICP ini bertahan cukup lama. Oleh karena itu, proses ini tentu dapat menjadi suatu alternatif yang sangat menjanjikan untuk perkuatan lereng timbunan pada lokasi penambangan.

1.2 Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah lereng timbunan dikategorikan sebagai lereng tanah dan data yang diperoleh dari studi literatur merupakan hasil uji skala laboratorium.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Menentukan pengaruh proses MICP terhadap kekuatan sifat fisik dan mekanik material tanah.

b. Menentukan kemungkinan penerapan metode MICP pada lereng timbunan penambangan.

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Memberikan alternatif metode perkuatan lereng timbunan.

b. Sebagai referensi dan bahan bagi penulis lain.

2. Teori Dasar

2.1. Kestabilan Lereng

Lereng merupakan bagian dari permukaan bumi yang membentuk sudut dengan kemiringan tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami maupun dengan buatan manusia.

Lereng yang terbentuk secara alami misalnya:

lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain: galian dan timbunan, tanggul dan kanal sungai serta dinding tambang terbuka (Arief, 2007). Berdasarkan material penyusunnya, lereng dibedakan menjadi 2, yaitu lereng batuan dan lereng tanah, meskipun pada kenyataannya lereng tambang merupakan gabungan dari material tanah dan batuan. Pendekatan penyelesaian kestabilan lereng tanah tentu akan berbeda dengan lereng batuan.

Kestabilan lereng dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya : faktor geometri lereng, sifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng, kondisi air (hidrologi dan hidrogeologi), struktur bidang lemah, faktor pembebanan, dan getaran. Oleh karena itu, faktor-faktor ini harus sangat diperhatikan dalam menjaga kestabilan lereng.

Untuk menyatakan tingkat kestabilan lereng digunakan Faktor Keamanan. Faktor Keamanan ini

merupakan perbandingan antara gaya atau momen penahan agar lereng tetap stabil terhadap momen atau gaya penggerak yang akan membuat lereng bergerak/longsor.

Gambar 1 Diagram gaya pada bidang miring 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑒𝑎𝑚𝑎𝑛𝑎𝑛 = 𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛

𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑎𝑘 Jika FK < 1 benda akan bergerak

FK = 1 benda dalam keadaan seimbang FK > 1 benda akan diam

Faktor keamanan terhadap longsoran adalah perbandingan kekuatan geser maksimum yang dimiliki tanah di bidang longsor dengan tahanan geser yang diperlukan untuk keseimbangan (Octavian, 2014). Coulomb (1776) mendefinisikan:

𝝉 = 𝑐 + 𝜎 tan Ø Dimana,

𝝉 = kuat geser tanah (kN/m2) c = kohesi (kN/m2)

Ø = sudut gesek dalam (derajat) 𝜎 = tegangan normal (kN/m2)

Sifat fisik dan mekanik batuan atau tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kestabilan dari lereng karena akan mempengaruhi nilai kekuatan geser dimana pergerakan yang dialami pada lereng merupakan peristiwa keruntuhan geser.

2.2 Metode Stabilisasi Lereng

Hoek dan Bray (1981) mengategorikan metode stabilisasi menjadi 3, yaitu:

a. Metode stabilisasi dengan mengurangi gaya penggerak

b. Metode stabilisasi dengan memperbesar gaya penahan

c. Metode perlindungan lereng

Metode stabilisasi dengan mengurangi gaya penggerak dapat dilakukan dengan mengubah geometri lereng dan melakukan drainase air permukaan (surface drainage). Dengan adanya pengurangan gaya penggerak ini, diharapkan nilai FK dapat meningkat.

Metode stabilisasi dengan memperbesar gaya penahan dapat dilakukan dengan membangun bronjong, tembok penahan, tiang pancang, serta tanah bertulang (soil nailing).

Gambar

Gambar 1. Pengaruh variasi laju aliran massa  udara/jumlah oksigen berlebih terhadap profil  temperatur (Data primer dari Ansys, 2021)
Gambar 5. Fraksi massa produk reaksi di sepanjang  rotary kiln pada garis 8 (Data primer dari Ansys,
Gambar 2.1.1. Alur Penelitian  2.2. Timah Aluvial
Gambar 2.2.2. Model lapisan kaksa dan mincan  Teori  tersebut  berkembang  karena  untuk  mendapatkan  endapan  aluvial  yang  kaya  akan  potensi mineral timah maka harus ada sumber yang  menghasilkan  mineral  tersebut  selanjutnya  harus  ada  proses  p
+7

Referensi

Dokumen terkait