• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan ini akan berhubungan dengan keterhubungan keberadaan diri dan pengalaman kita serta merupakan kumpulan tahapan tranformasi ke pribadi yang lebih positif (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009).

1. Pengertian Mindfulness

Pendekatan mindfulness adalah pendekatan yang berhubungan dengan regulasi diri terhadap perhatian dan perubahan orientasi ke arah pengalaman yang ditandai dengan keingintahuan, keterbukaan dan penerimaan (Bishop et al., 2004). Menurut Siegel, Germer, & Olendzki (2009) Mindfulness adalah kapasitas untuk menjadi penuh dalam kesadaran dan perhatian. Kapasitas ini mendukung kesadaran akan kejadian demi kejadian secara khusus ditengah emosi yang tidak

stabil (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009). Selain itu, Mindfulness merupakan perhatian pada tempat yang ada kini dan kekinian, daripada memusingkan masa lalu atau mencemaskan dan berfantasi tentang masa yang akan datang (Csikszentmihalyi dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Menurut Marlatt & Kristeller (dalam Baer, 2003), kata mindfulness dapat dideskripsikan sebagai “memberikan perhatian kepada pengalaman saat ini dari waktu ke waktu”. Orang yang dikatakan mindfulness adalah orang yang memiliki kecenderungan yang tinggi akan kesadaran terhadap pengalaman internal dan eksternalnya dengan menerimanya serta tanpa melakukan penilaian terhadap pengalaman tersebut (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi mindfulness adalah sebuah bentuk regulasi diri yang mengarahkan individu ke arah perbaikan dengan dasar kesadaran dari individu terhadap pengalaman yang terjadi dengan memberikan perhatian kepada pengalaman tersebut. Kunci dari pendekatan ini menurut peneliti adalah dengan landasan kesadaran dan perhatian terhadap pengalaman tersebut, orang tersebut diminta untuk menerima keadaan tersebut dapat bermaksud untuk ingin merubah hal tersebut. 2. Aspek dari Mindfulness

Mindfulness dianggap kumpulan dari kemampuan (Linehan, 1993a, 1993b; Segal et al., 2002). Kemampuan tersebut terkait akan

aspek dari mindfulness yang telah lebih dikembangkan dari segala

literature (Baer, Smith, & Allen, 2004). Aspek yang dimaksud kemampuan tersebut, antara lain:

a) Mengamati

Dalam mindfulness, mengamati, menandai dan terlibat dalam fenomena internal dan ekternal (Dimidjian & Linchan, 2003b; Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002). Fenomena internal seperti sensasi tubuh, kognisi dan emosi (Dimidjian & Linchan, 2003b; Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002). Di sisi lain, fenomena eksternal seperti bunyi dan bau (Dimidjian & Linchan, 2003b; Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002).

b) Menggambarkan

Menggambarkan dalam mindfulness berarti manusia dapat berusaha menggambarkan, melabel, dan menandai fenomena yang mereka alami dan amati dengan kata-kata (Goldstein, 2002; Linehan, 1993b; Segal et al., 2002). Labeling dapat dilakukan tanpa menilai dan tanpa adanya analisis konseptual (Baer, Smith, & Allen, 2004).

c) Melakukan dengan kesadaran

Melakukan dengan kesadaran berarti berusaha penuh dalam melakukan sesuatu tanpa membagi perhatian atau berfokus pada satu hal pada satu waktu (Hanh, 1976).

d) Menerima tanpa menilai

Aspek ini berkaitan dengan kemampuan menerima, mengijinkan dan tidak menilai atau mengevaluasi pengalaman saat ini (Baer, Smith, & Allen, 2004). Untuk dapat menerima tanpa menilai, manusia harus mampu menahan diri untuk tidak menggunakan label evaluasi berupa benar atau salah, baik atau jelek, bernilai atau tidak bernilai (Marlatt & Kristeller, 1999) dan mengijinkan realitas terjadi tanpa usaha untuk menghindari, lari atau mengubahnya (Dimidjian & Linchan, 2003a, 2003b; Linehan, 1993b; Segal et al., 2002).

Dari penjabaran di atas, peneliti menyimpulkan aspek dalam

mindfulness dibagi menjadi 4 aspek, yaitu mengamati,

menggambarkan, melakukan dengan kesadaran, dan menerima tanpa menilai. Aspek mengamati menekankan adanya keterlibatan individu terhadap pengalaman. Aspek menggambarkan menekankan pada menandai pengalaman dengan kata-kata. Aspek melakukan dengan kesadaran menekankan pada individu yang tidak membagi perhatian saat terlibat pada suatu pengalaman dengan pengalaman lainnya. Selain itu, aspek menerima tanpa menilai menekankan pada menahan diri untuk tidak memberikan label evaluatif terhadap pengalaman.

3. Faktor yang Memprediksi Mindfulness

Mindfulness muncul karena adanya kelekatan yang aman yang menghasilkan rasa aman, rasa aman ini baik secara empiris dan

teoritikal dapat menumbuhkan kemampuan mindfulness bagi setiap individu (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Orang yang memiliki pengalaman diperhatikan, direspon & mempunyai pengasuh yang sensitif akan mengembangkan kemampuan mindfulness anak (Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005). Hal ini dikarenakan pengasuh dapat menjadi reflektif bagi anak sehingga anak dapat merasakan sensasi pada indra mereka sejak dini (Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005).

Kelekatan memfasilitasi terbentuknya mindfulness. Hal ini juga terlihat dari penelitian sebelumnya bahwa ketika seseorang memiliki

anxious attachment style maka ini membentuk kemampuan

mindfulness yang rendah (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009). Akan tetapi, avoidant attachment style tidak dapat menjadi prediktor seseorang memiliki kemampuan mindfulness tinggi atau rendah (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009).

Berdasarkan penjabaran di atas, faktor yang dapat memprediksi mindfulness adalah kelekatan terhadap significant others. Hal ini dikarenakan dasar secara empiris dan teoritikal bahwa mindfulness membutuhkan fondasi rasa aman terhadap dunia yang dibentuk dari kelekatan terhadap significant others.

4. Dampak Positif dari Mindfulness

Pendekatan mindfulness sendiri yang mengolah perhatian, kesadaran dan penerimaan memberikan banyak dampak positif bagi individu. Dampak positif tersebut antara lain:

a) Dapat menurunkan level yang rendah pada distress, yang termasuk pada rendahnya kecemasan, depresi, kemarahan dan kekhawatiran (Baer, 2003; Brown, Ryan, & Creswell, 2007; Grossmann, Niemann, Schmidt, & Walach, 2004).

b) Dapat meningkatkan kesejahteraan psikologi individu (Carmody & Baer, 2008).

c) Dapat menurunkan ruminasi dalam diri individu (Didonna, 2009).

d) Dapat menurunkan agresi dan atribusi terhadap permusuhan (Heppner, Kernis, Lakey, Campbell, Goldman, Davis, & Cascio, 2008).

e) Mindfulness dianggap dapat mengolah jalan pikiran kita menjadi lebih baik karena ia dapat mengatur pikiran kita (Bhikkhu, 2007). Hal ini dapat membantu proses pengolahan kualitas mental kita seperti kesiapan, konsentrasi, kasih sayang dang usaha kita (Diddona, 2009). Mindfulness dapat membuat kita lebih gembira, menginspirasi, bersyukur, penuh pengharapan, berisi, dan lebih puas akan kehidupan (Baer,

Smith, Hopkins, Krietemeyer, & Toney, 2006; Brown & Ryan, 2003; Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008; Feldman, Hayes, Kumar, Greeson, & Laurenceau, 2007; Walach, Buchheld, Buttenmuller, Kleinknecht, & Schmidt, 2006).

Berdasarkan data di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

mindfulness memberikan dampak yang positif bagi diri individu. Dampak positif tersebut antara lain : menurunkan kecemasan, depresi, kemarahan, kekhawatiran, ruminasi agresi dan permusuhan. Selain itu,

mindfulness juga dapat meningkatkan kegembiraan pada diri individu, meningkatkan rasa syukur, pengharapan, dan masih banyak lagi dampak positif dari mindfulness.

5. Dampak Mindfulness pada Remaja

Penelitian sebelumnya berkaitan dengan mindfulness pada remaja masih relatif sedikit (West, 2008). Bila ditinjau berdasarkan penelitian sebelumnya berkaitan dengan mindfulness pada remaja, ditemukan bahwa mindfulness dapat menurunkan emosi yang reaktif dan evaluasi sosial pada remaja yang mengalami depresi (Britton, Shahar, Szepsenwol, & Jacobs, 2012). Selain itu, dapat menurunkan tingkat agresifitas pada remaja (Singh et al., 2007).

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan pada remaja yang mindfulness dapat menurunkan tingkat emosi yang reaktif dan evaluasi sosial yang mengalami depresi.

6. Pengukuran Terhadap Mindfulness

Berikut beberapa pengukuran terhadap mindfulness yang telah digunakan:

a) Freiburg Mindfullness Inventory (FMI) didesain hanya untuk individu yang secara khusus pada orang-orang yang sebelumnya telah mempraktek meditasi mindfulness dan secara khusus item-item yang tersusun dalam skala ini tidak akan jelas bagi orang yang tidak memiliki pengalaman meditasi

(Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005). b) The Mindful Attention Awareness Scale (MAAS; Brown &

Ryan, 2003) didesain untuk mengukur mindfulness yang ditetapkan melalui pengalaman sekarang ini yang menjadi pusat perhatian dan kesadaran (Brown & Ryan, 2003). Skala ini dibangun secara unidimensional dan item-itemnya tidak memasukkan komponen penerimaan karena dianggap tidak memiliki kegunaan (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005).

c) Philadelphia Mindfullness Scale adalah sebuah skala yang dianggap merupakan perbaikan dari skala MAAS dan FMI

(Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005). Skala ini memasukkan kedua komponen yang merupakan

konstruk dari mindfulness yaitu kesadaran dan penerimaan

(Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005). d) Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS) didesain

untuk mengukur mindfulness di dalam kehidupan sehari-hari dengan 4 dimensi yaitu observasi kepada diri, menggambarkan dan memberikan label terhadap fenomena tanpa menilai fenomena tersebut, serta berperilaku tanpa membagi perhatian lalu menerima kejadian atau pengalaman tersebut (Hoffling, Strohle, Michalak, & Heidenreich, 2011). KIMS sendiri terdiri dari 39 items pernyataan dan dirating dengan 5 point likert scale (Hoffling, Strohle, Michalak, & Heidenreich, 2011). KIMS memiliki internal konsistensi yang baik yaitu berkisar pada 0,83 hingga 0,91 untuk masing-masing subskala (Baer, Smith, & Allen, 2004).

Dari beberapa alat ukur mengenai kemampuan mindfulness, peneliti menggunakan Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS). Hal ini dikarenakan KIMS memiliki internal konsistensi yang baik yaitu berkisar pada 0,83 hingga 0,91 untuk masing-masing subskala (Baer, Smith, & Allen, 2004). Selain itu, Peneliti memilih skala ini untuk mengukur mindfulness karena skala KIMS mampu mengungkap kemampuan berpikir mindful seseorang dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus melakukan latihan dan skala ini memiliki subskala yang sangat spesifik menggambarkan kemampuan mindfulness seseorang. Sedangkan

skala lainnya, yang dapat menggambarkan kemampuan mindfulness seseorang tanpa latihan seperti The Mindful Attention Awareness Scale

(MAAS) dan Philadelphia Mindfullness Scale (PMS) kurang menyeluruh dalam menggambarkan kemampuan mindfulness. MAAS sendiri diketahui tidak memasukkan aspek penerimaan pada komponen-komponen aitemnya, padahal aspek penerimaan merupakan aspek kunci dalam menggambarkan mindfulness. Di sisi lain, peneliti sudah pernah menggunakan skala PMS dalam penelitian payung bersama mahasiswa dan dosen. Ketika menggunakan skala PMS, hasil dari mindfulness pada subyek tidak begitu bervariasi, sehingga disimpulkan PMS pada populasi remaja saat itu kurang baik.

Dokumen terkait