• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran mindfulness dalam memediasi hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Peran mindfulness dalam memediasi hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja - USD Repository"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MINDFULNESS DALAM MEMEDIASI HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN REJECTION SENSITIVITY

PADA REMAJA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Felicia Anindita Sunanto Putri 109114006

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Karena tidak ada kehidupan Yang selalu “kaya” dan “bahagia”

Maka layak direnungkan untuk Belajar indah di setiap langkah

Gede Prama

“It doesn’t matter how slowly you go as long as you don’t stop”

- Hidup adalah keseimbangan

Seberapa besar kesedihan yang kamu harus alami Maka sebesar itupulalah kebahagiaan yang juga

akan kamu alami MAKA YAKINLAH

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji Syukur akan Tempaan dan Karunia “Yesusku”

tanpaNya semua tidak akan indah pada “WAKTU-nya”

Terima kasih Papi, Mami, Eme, Aji, Retta “KELUARGA KECILKU”

Untuk dukungan dan semangatnya

Yang selalu mengatakan tanpa kesempurnaan sekalipun, “kamu tetap bagian dari kami”

Terimakasih untuk Rumah Harapanku Baskoro SR Suhadiyono

Thanks honey to teach me how to be grateful person and how can love to be unconditionally love

“SELAMAT DATANG MASA DEPANKU”

Terimakasih untuk dosen pembimbing tercinta “C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan ElisabethHaksi Mayawati, S.Psi

Terima kasih atas segala perhatian selayaknya orang tua yang menyayangi anaknya Dan proses yang menyulitkan namun penuh pembelajaran

Terimakasih untuk teman-teman riset

Fiona, Rinta, Dara, Marlina, Nathan, Mbak Martha Makna sahabat yang kalian berikan adalah jatuh bersama dan bangkit bersama

Terimakasih untuk seluruh sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2010 Cha-cha, Metha, Desy, Maya, Riska, Ninda, Tutut, Agnes 2011, Astrid, Nana

(6)
(7)

vii

PERAN MINDFULNESS DALAM MEMEDIASI HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN REJECTION SENSITIVITY PADA

REMAJA

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma

Felicia Anindita Sunanto Putri

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja 2) mengetahui hubungan antara mindfulness dengan rejection sensitivity pada remaja 3) mengetahui hubungan antara kelekatan terhadap ibu dengan mindfulness pada remaja 4) mengetahui hubungan kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity yang dimediasi oleh mindfulness pada remaja. Penelitian ini melibatkan 323 orang subyek remaja yang berasal dari beberapa SMP, SMA, dan SMK di Yogyakarta. Hipotesis penelitian ini adalah 1) kelekatan terhadap ibu dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity pada remaja 2) mindfulness dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity pada remaja 3) kelekatan terhadap ibu dapat memprediksi mindfulness pada remaja 4) mindfulness dapat memediasi hubungan kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja. Alat pengukuran dalam penelitian ini menggunakan skala Children Rejection Sensitivity Questionnaire (CRSQ) untuk variabel rejection sensitivity, Inventory of Parent and Peer Attachment-Mother Version untuk variabel kelekatan terhadap ibu, dan Kentucky Inventory of Mindfulness Skills untuk variabel mindfulness. Hasil penelitian ini 1) kelekatan terhadap ibu dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity pada remaja(β= -.184,ρ=.001;ρ< 0,01) 2) mindfulness dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity pada remaja(β= -.180,ρ=.002; ρ<0,01) 3) kelekatan terhadap ibu dapat memprediksi mindfulness pada remaja(β= .334, ρ=.000; ρ<0,01) 4) mindfulness dapat memediasi hubungan kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity(β = -.139, ρ=.020; ρ<0,05).

(8)

viii

THE ROLE OF MINDFULNESS MEDIATES ATTACHMENT TO MOTHER AND REJECTION SENSITVITY IN ADOLESCENTS

Study in Psychology Departement of Sanata Dharma University

Felicia Anindita Sunanto Putri

ABSTRACT

This research is intended specifically to find out 1) the relation between attachment to mother and rejection sensitivity in adolescents 2) the relation between mindfulness and rejection sensitivity in adolescents 3) the relation between attachment to mother and mindfulness in adolescents 4) mindfulness as mediate the relation between attachment to mother and rejection sensitivity in adolescents. This research involved 323 adolescents who were students from various junior high school, senior high school, and vocational school in Yogyakarta. The hypotheses of this research were 1) attachment to mother could predict level of rejection sensitivity in adolescents 2) mindfulness could predict level of rejection sensivitiy in adolescents 3) attachment to mother could predict level of mindfulness in adolescents 4) mindfulness could mediate the relation between attachment to mother and rejection sensitivity in adolescents. Children Rejection Sensitivity Questionnaire, Inventory of Parent and Peer Attachment-Mother Version, Kentucky Inventory of Mindfulness Skills were employed to measure rejection sensitvity, attachment to mother and mindfulness respectively. As the results, this research indicated that 1) attachment to mother could predict level of rejection sensitivity in adolescents(β= -.184,ρ=.001; ρ< 0,01) 2) mindfulness could predict level of rejection sensitivity in adolescents(β= -.180,ρ=.002; ρ<0,01) 3) attachment to mother could predict level of mindfulness in adolescents(β= .334, ρ=.000; ρ<0,01) 4) mindfulness could mediated the relation between attachment to mother and rejection sensitivity in adolescents (β = -.139, ρ=.020; ρ<0,05).

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan rasa puji dan syukur untuk Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, tanpa penyertaan, karunia dan berkat-Nya. Saya tidak akan bisa setangguh ini dan mampu menyelesaikan skripsi saya. Terimakasih Tuhan Yesus yang ketika saya meminta kebijaksanaan maka diberikanNya masalah yang harus saya pecahkan untuk bisa menjadi bijaksana.

Terima kasih yang sebesar-besarnya, saya ucapkan kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Seluruh Dosen dan Staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas segala pengetahuan, energi dan relasi yang begitu indah untuk saya kenang dan menjadi dasar yang membentuk pribadi saya sekarang. Terima kasih telah menjadi orang tua dan rumah kedua bagi saya. Terkhususnya bagi Dosen Pembimbing Akademik saya. Terima kasih banyak mbak Etta atas kepedulian untuk membentuk saya.

Terima kasih saya ucapkan kepada mami dan papi tercinta. Terima kasih telah menjadi orang tua yang telah mendidik saya, mendukung saya secara moril dan materiil, selalu mengingatkan saya untuk bahwa untuk hasil yang besar memang dibutuhkan pengorbanan yang besar pula. Terima kasih telah menjadi orang tua yang “hebat” untuk Ditha dan selalu menerima keterbatasan Ditha.

(11)

xi

saya. Terima kasih telah menjadi saudara-saudara yang memahami keterbatasan saya dan mendengarkan keluhan saya.

Terima kasih saya ucapkan untuk Dosen Pembimbing saya, Pak Siswa dan Mbak Haksi, terima kasih atas pengalaman yang begitu besar. Terima kasih telah mendidik saya tidak hanya terbatas pada skripsi, melainkan juga karakter saya. Terima kasih atas energi dan materi yang luar biasa.

Terima kasih saya ucapkan untuk Dosen Pembimbing Akademik saya, Mbak Etta. Terima kasih atas bantuannya selama ini, membimbing dan memperhatikan saya dari semester ke semester. Terima kasih atas saran yang membangun dan bantuannya selama ini.

Terima kasih saya ucapkan untuk rumah harapan saya, Baskoro SR Suhadiyono. Terima kasih mas bas untuk perjuangan membangun mimpi kita bersama. Terima kasih untuk hari-hari yang begitu luar biasa untuk bisa kita syukuri, Terima kasih sudah memberikan saya cinta yang begitu besar sehingga menjadi energi disaat saya sudah lelah, My Unconditionally Love.

Terima kasih untuk teman-teman riset, Fiona, Dara, Rinta, Nathan dan Marlina. Terima kasih untuk perjuangan dan semangat kita. Terima kasih telah mengingatkan saya untuk bangkit ketika jatuh. Berjalan, berlari hingga mengejar mimpi kita bersama.

(12)
(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

(14)

xiv

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoritis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 10

BAB II ... 11

A. Rejection Sensitivity ... 11

1. Pengertian Rejection Sensitivity ... 11

2. Faktor yang Membentuk Rejection Sensitivity ... 13

3. Mekanisme Terjadinya Rejection Sensitivity ... 15

4. Dampak Negatif Rejection Sensitivity yang Tinggi Bagi Remaja ... 18

5. Prediktor yang Dapat Menurunkan Kecenderungan Rejection Sensitivity Berdasarkan Penelitian Sebelumnya ... 20

6. Pengukuran Terhadap Rejection Sensitivity ... 21

B. Kelekatan Terhadap Significant Others (Ibu) ... 23

1. Pengertian Kelekatan ... 23

2. Aspek dan Kelekatan ... 25

3. Dampak dari Setiap Aspek Kelekatan Terhadap Ibu... 26

4. Jenis dari Kelekatan ... 27

5. Pengukuran Kelekatan Terhadap Significant Others... 28

C. Mindfulness ... 30

(15)

xv

2. Aspek dari Mindfulness ... 31

3. Faktor yang Memprediksi Mindfulness ... 33

4. Dampak Positif dari Mindfulness ... 35

5. Dampak Mindfulnes pada Remaja ... 36

6. Pengukuran Terhadap Mindfulness ... 37

D. Remaja ... 39

1. Pengertian Remaja ... 39

2. Perkembangan Kognitif Remaja ... 41

3. Ketidakmatangan Cara Berpikir Remaja ... 42

E. Kaitan Antara Rejection Sensitivity dengan Mindfulness pada Remaja, Kaitan Antara Kelekatan Terhadap Ibu, Mindfulness dengan Rejection Sensitivity pada Remaja ... 44

F. Hipotesis ... 49

BAB III ... 50

A. Jenis Penelitian ... 50

B. Identitas Variabel Penelitian ... 50

C. Definisi Operasional ... 50

1. Rejection Sensitivity ... 50

2. KelekatanTerhadapIbu... 51

(16)

xvi

D. Subjek Penelitian ... 52

E. Prosedur Penelitian ... 53

F. Metode Pengumpulan Data ... 54

1. Metode ... 54

2. Alat Pengumpulan Data ... 54

G. Validitas dan Reliabilitas AlatUkur ... 58

1. Validitas Skala Mindfulness, Kelekatan Terhadap Ibu, dan Rejection Sensitivity ... 58

2. Reliabilitas Skala Mindfulness, Rejection Sensitivity,dan Kelekatan Terhadap Ibu ... 65

H. Uji Analisis Data ... 68

1. Uji Prasyarat Analisis ... 68

2. Metode Analisis Data ... 70

BAB IV ... 74

A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 74

B. Pelaksanaan Penelitian... 75

C. Hasil Penelitian ... 76

1. Uji Normalitas ... 76

2. Uji Linearitas ... 77

(17)

xvii

4. Uji Heteroskendasitas ... 79

5. Uji Hipotesis ... 80

D. Pembahasan ... 85

E. Keterbatasan Penelitian ... 90

BAB V ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran Penelitian ... 93

1. Saran Bagi Penelitian Selanjutnya ... 93

2. Saran Bagi Orang Tua dan Pendidik di Lingkungan Remaja ... 94

3. Saran Bagi Remaja ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

TABEL 1 SKOR JAWABAN SUBYEK PADA SKALA KENTUKY

INVENTORY OF MINDFULNESS SKILLS ... 55

TABEL 2 SKOR JAWABAN SUBYEK PADA SKALA INVENTORY OF PARENT AND PEER ATTACHMENT (MOTHER VERSION) ... 58

TABEL 3 RELIABILITY STATISTICS ... 68

TABEL 4 DESKRIPSI JENIS KELAMIN SUBYEK PENELITIAN ... 74

TABEL 5 DESKRIPSI USIA SUBYEK PENELITIAN ... 74

TABEL 6 DESKRIPSI JENJANG PENDIDIKAN SUBYEK PENELITIAN... 75

TABEL 7 ONE SAMPLE KOLMOGROV SMIRNOV TEST ... 77

TABEL 8 ANOVA UJI LINEARITAS ... 78

TABEL 9 COEFFICIENTS UJI MULTIKOLONEIRITAS ... 78

TABEL 10 COEFFICIENTS REGRESI ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN REJECTION SENSITIVITY ... 80

TABEL 11 COEFFICIENTS REGRESI ANTARA MINDFULNESS DENGAN REJECTION SENSITIVITY ... 81

TABEL 12 COEFFICIENTS REGRESI ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU DENGAN MINDFULNESS ... 82

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

1. SKEMA 1 KAITAN ANTARA VARIABEL ... 49 2. GAMBAR 1 UJI OUTLIER DARI SEBARAN DATA ... 77

3. GAMBAR 2 SCATTERPLOT UJI HETEROSKENDASITAS ... 79

4. SKEMA 2 HUBUNGAN LANGSUNG ANTARA KELEKATAN

TERHADAP IBU DENGAN REJECTION SENSITIVITY PADA REMAJA .. 83

5. SKEMA 3 HUBUNGAN TIDAK LANGSUNG ANTARA KELEKATAN

TERHADAP IBU DENGAN REJECTION SENSITIVITY YANG

(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

1. INFORMED CONSENT ... 108

2. SKALA PENELITIAN ... 109

3. UJI RELIABILITAS ... 124

4. UJI PRASYARAT ANALISIS ... 125

5. UJI DEMOGRAFIS ... 128

(21)

1 BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan keseharian sangat mungkin muncul konflik dalam hubungan interpersonal seseorang. Hal ini dapat dipicu oleh situasi ambigu yang menyebabkan kemarahan dan berakhir dengan konflik. Remaja adalah salah satu di antaranya yang rentan mengalami konflik karena situasi ini. . Hal ini disebabkan remaja yang memiliki kecenderungan untuk tidak menggunakan sudut pandang orang lain (Elkind dalam Pappalia, 2008). Selain itu, hal ini juga disebabkan oleh emosi remaja yang masih reaktif (Elkind dalam Pappalia, 2008). Di sisi lain, hal yang akan mempengaruhi remaja dalam hubungan interpersonalnya adalah dampak dari ekspektasi akan pencapaian penerimaan dan penghindaran akan penolakan sosialnya (Downey & Feldman, 1996; Downey, Feldman, Khuri, & Friedman, 1994; Feldman & Downey, 1994).

(22)

salah satu remaja lainnnya yang merasa status anonim tersebut ditunjukkan untuknya. Bagi sebagian remaja status tersebut mungkin hanyalah sebuah bentuk ekspresi, namun bagi beberapa remaja lainnya bisa saja dianggap untuk menyerang karena tingkat sensitifitas mereka terhadap sebuah penolakan. Status anonim tersebut merupakan sesuatu yang sifatnya ambigu yang entah ditunjukkan kepada siapa atau mungkin hanya sebagai bentuk ekspresi, namun karena kesensitifitas remaja yang berkonflik di atas, ia merasa status tersebut adalah untuk dirinya. Kondisi ambigu yang dianggap sebagai penolakan bagi diri remaja tersebut inilah yang secara tidak sadar membuat remaja tersebut bereaksi.

Berdasarkan wawancara dan data lapangan, banyak remaja di antaranya yang mengalami konflik seperti kasus di atas dikarenakan merasa ditolak pada situasi yang sebenarnya ambigu. Misalnya beberapa dari mereka pernah berkelahi dengan temannya dikarenakan bercanda. Bercanda ini tentu tidak bermaksud untuk sungguh-sungguh saling mengejek tetapi mereka malah marah dan langsung menantang untuk berkelahi. Perilaku mengejek inilah yang mereka identifikasi sebagai penolakan bagi mereka sehingga memancing emosi remaja yang masih reaktif. Di sisi lain, situasi ambigu adalah kondisi apakah temannya itu serius mengatakan hal tesebut atau tidak. Selain itu, banyak di antaranya juga terpancing karena status dari teman mereka di jejaring sosial. Misalnya menurut penuturan salah satu remaja mengatakan bahwa ia kesal dengan temannya karena membuat status

(23)

ambigu karena tidak ditunjukkan untuk siapa-siapa namun malah membuat ia merasa tidak terima dan ia tanggapi secara emosional dengan membalas memberikan komentar negatif pada status tersebut. Hal ini karena ia memang sedang menempuh kuliahnya sambil bekerja.

Fenomena-fenomena ini dapat dijelaskan dengan sebuah konsep psikologi bernama Rejection sensitivity. Rejection sensitivity adalah kecenderungan individu untuk merasa cemas, peka dan kemudian bereaksi akan penolakan (Downey & Feldman, 1996; Downey, Lebolt, Rincon, & Freitas, 1998; Feldman & Downey, 1994). Hal ini dapat membuat beberapa individu mudah merasa terserang oleh pengalaman penolakan dibanding orang lain (Downey & Feldman, 1996). Konsep ini ditemukan oleh Downey dan Feldman (1996) (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010). Rejection sensitivity sendiri sangat mungkin membuat individu mengindentifikasikan interaksi interpersonalnya sebagai sebuah penolakan (Downey, Khouri, & Feldman, 1997). Selain itu, situasi ambigu juga dapat mengarahkan individu tersebut peka terhadap intensi penolakan dan merasa ditolak (Downey & Feldman, 1996).

(24)

tersebut tergolong memiliki rejection sensitivity yang tinggi (Downey & Feldman, 1996). Pengalaman penolakan yang telah berakar membuat orang dengan rejection sensitivity yang tinggi menjadi sangat waspada terhadap kemungkinan ia akan ditolak dibandingkan dengan orang yang memiliki rejection sensitivity yang rendah (Purdie & Downey, 2000).

Faktor yang paling stabil membentuk seseorang untuk memiliki rejection sensitivity yang tinggi adalah kelekatannya dengan significant

other-nya. Kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang dapat terbentuk dengan adanya kedekatan dan terkandung rasa aman baik fisik maupun psikologis (Santrock, 2007). Kelekatan sendiri umumnya terbentuk sejak bayi bersama significant others-nya (biasanya ibu) dan ini akan menjadi dasar untuk

berelasi dengan orang lain (Santrock, 2007). Menurut penelitian sebelumnya ditemukan bahwa mahasiswa dengan rejection sensitivity yang tinggi berkorelasi positif dengan gaya kelekatan anxious dan gaya kelekatan avoidant (Ozen, Sumer, & Demir, 2011). Selain itu, rejection sensitivity yang

(25)

Kecenderungan orang dengan rejection sensitivity yang tinggi dapat menjadi prediktor munculnya dampak negatif bagi dirinya, terkhususnya pada diri remaja. Dampak dari rejection sensitivity yang tinggi tersebut antara lain penghargaan diri yang rendah (Overall & Sibley, 2009), kekerasan, perilaku kacau dan membolos selama 1 tahun, perilaku menyakiti diri sendiri seperti bunuh diri (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010). Selain itu, penelitian sebelumnya pada remaja yang berkaitan dengan rejection sensitivity yang tinggi mengatakan bahwa remaja usia 10-23 tahun

memiliki emosi yang lebih reaktif sehingga sangat mudah berkonflik baik dengan sebayanya maupun pihak otoritasnya (Silvers, McRae, Gabrieli, Gross, Remy, & Ochsner, 2012). Penelitian lainnya mengatakan remaja dengan rejection sensitivity yang tinggi memiliki stressor yang tinggi dan mengalami gejala depresi (Chango, McElhaney, Allen, Schad, & Marston, 2012). Gejala depresi sendiri dapat dimediasi oleh relasi antara rejection sensitivity, konflik dengan ibu dan ayah pada remaja laki-laki (Puckett, 2009).

(26)

Downey, 2002; Ayduk, Gyurak, & Luerssen, 2007; Romero et al., 2010; Cardak, Saricam, & Onur, 2012).

Saat ini terdapat satu prediktor yang dapat memprediksi tingkat intensitas rejection sensitivity yaitu delayed gratification (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000). Delayed gratification adalah regulasi diri berupa kontrol diri jika orang tersebut percaya bahwa penundaan dan kondisi yang tidak menentu akan menghasilkan sesuatu yang besar (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000). Delayed gratification mengarahkan individu untuk berpandangan bahwa setelah proses kesabaran akan menunggu dan menanti keadaan apa yang akan muncul, individu akan memandang selalu ada nilai kebaikan di dalamnya, termasuk apabila terdapat penolakan sekalipun (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000).

Penjelasan melalui penelitian sebelumnya ditemukan bahwa prediktor yang dapat memprediksi intensitas rejection sensitivity di atas mengarahkan kepada prediktor alternatif yaitu mindfulness. Hal ini dikarenakan delayed gratification membutuhkan aspek kesadaran dan aspek penerimaan akan pengalaman yang datang saat ini. Kedua aspek ini merupakan aspek yang berada dalam pendekatan mindfulness (Germer, Siegel, & Fulton, 2005). Delayed gratification sendiri mengandalkan proses berpikir mindfulness di

(27)

Mindfulness adalah bentuk regulasi diri terhadap perhatian pada tempat

yang ada kini dan kekinian, daripada memusingkan masa lalu atau mencemaskan dan berfantasi tentang masa yang akan datang (Csikszentmihalyi dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Orang yang dikatakan mindfulness adalah orang yang memiliki kecenderungan yang tinggi akan kesadaran terhadap pengalaman internal dan eksternalnya dengan menerimanya serta tanpa melakukan penilaian terhadap pengalaman tersebut (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008).

Mindfulness sendiri tumbuh pada diri individu karena adanya kelekatan

yang aman terhadap significant others-nya (Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Kelekatan yang aman dapat menghasilkan fondasi rasa aman yang telah membentuk mindfulness seseorang, dan ini telah dibuktikan secara empiris maupun teoritikal (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Individu yang sedari kecil memiliki pengalaman diperhatikan dan direspon oleh pengasuhnya maka akan dapat mengembangkan mindfulness seseorang (Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Selain itu, gaya kelekatan anxious menjadi prediktor negatif akan tumbuhnya mindfulness pada diri seseorang, tetapi tidak dengan gaya kelekatan avoidant (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009).

(28)

kecemasan, depresi, kemarahan dan kekhawatiran (Baer, 2003; Brown, Ryan, & Creswell, 2007; Grossmann, Niemann, Schmidt & Walach, 2004), dapat meningkatkan kesejahteraan psikologi individu (Carmody & Baer, 2008), menurunkan ruminasi dalam diri individu (Didonna, 2009), menurunkan agresi dan atribusi terhadap permusuhan (Heppner et al., 2008).

Prediktor terhadap penurunan intensitas rejection sensitivity yang tinggi pada remaja masih sangat dibutuhkan dan ini dapat dilakukan dengan pendekatan mindfulness. Penelitian sebelumnya berkaitan dengan mindfulness pada remaja masih relatif sedikit (West, 2008). Hasil penelitian sebelumnya yang sudah diperoleh berkaitan dengan mindfulness bahwa mindfulness dapat menurunkan emosi yang reaktif dan evaluasi sosial pada remaja yang depresi (Britton, Shahar, Szepsenwol, & Jacobs, 2012) serta dapat menurunkan tingkat agresifitas pada remaja (Singh et al., 2007).

(29)

mindfulness dalam memediasi antara kelekatan terhadap significant others

(biasanya ibu) dengan intensitas rejection sensitivity pada remaja. Proses terjadinya rejection sensitivity tidak secara langsung berhubungan dengan kelekatan terhadap significant others (biasanya ibu) melainkan melalui kemampuan mindfulness terlebih dahulu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya maka dapat dirumuskan pertanyaan yang menjadi permasalahan penelitian: apakah mindfulness dapat berperan dalam memediasi antara kelekatan terhadap

significant others (ibu) dengan intensitas rejection sensitivity pada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan peran mindfulness dalam memediasi antara kelekatan terhadap significant others (ibu) dengan intensitas rejection sensitivity pada remaja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang psikologi positif, sosial dan perkembangan bahwa peran mindfulness dalam memediasi antara kelekatan terhadap significant others

(30)

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menawarkan salah satu prediktor positif yang terbukti empiris yaitu mindfulness yang dapat memediasi tingkat intensitas rejection sensitivity pada remaja yang sebelumnya dibentuk sejak dini oleh kelekatan terhadap significant others (ibu) mereka, sehingga mindfulness dapat berguna sebagai dasar

para ahli dalam psikologi, terapis, dan pendidik di lingkungan remaja dalam mendesain treatment atau program untuk para remaja yang memiliki rejection sensitivity yang tinggi untuk lebih adaptif di dalam berelasi.

(31)

11 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Rejection Sensitivity

Sebuah konsep psikologis yang bergerak pada kecenderungan seseorang dalam bereaksi terhadap ekspektasi akan kehidupan yang mungkin terjadi penolakan atau penerimaan (Downey & Feldman, 1996; Downey, Feldman, Khuri & Friedman, 1994; Feldman & Downey, 1994). Konsep ini sendiri baru diperkenalkan oleh Downey dan Feldman pada tahun 1994 (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010).

1. Pengertian Rejection Sensitivity

Rejection sensitivity adalah kecenderungan orang untuk merasa

(32)

Rejection sensitivity adalah suatu kecenderungan mental yang melibatkan proses sistem kognitif dan afektif (Mischel & Shoda, 1995). Rejection sensitivity diorganisasi dari pengalaman penolakan dan menjadi

aktif ketika individu tersebut berada pada situasi sosial yang memungkinkan adanya penolakan (Mischel & Shoda, 1995). Hal ini dikarenakan adanya ekspektasi akan penolakan yang dimiliki individu karena pengalaman penolakan sebelumnya (Mischel & Shoda, 1995).

Intensitas dari rejection sensitivity terbagi atas rejection sensitivity yang rendah dan rejection sensitivity yang tinggi (Downey & Feldman, 1996; Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Bila seseorang selalu mengalami kecemasan, mudah tersinggung terhadap perilaku orang lain yang sebenarnya tidak bermaksud untuk ingin menolak ataupun memang akan menolaknya dan orang tersebut bereaksi berlebihan pada penolakan yang dialami maka orang tersebut tergolong memiliki rejection sensitivity yang tinggi (Downey & Feldman, 1996). Pengalaman penolakan yang telah berakar membuat orang dengan rejection sensitivity yang tinggi menjadi sangat waspada terhadap kemungkinan ia akan ditolak dibandingkan dengan orang yang memiliki rejection sensitivity yang rendah (Purdie & Downey, 2000).

(33)

cemas dan peka yang membuat individu akan bereaksi akan pengalaman tersebut. Hal-hal yang mungkin dapat memicu seseorang sensitif akan penolakan adalah interaksi interpersonalnya dan situasi yang tidak jelas bagi individu tersebut. Di sisi lain, intensitas rejection sensitivity dibagi menjadi tinggi dan rendah. Hal yang membedakannya adalah orang yang memiliki tingkat rejection sensitivity yang tinggi akan selalu cemas, waspada akan penolakan, mudah tersinggung dan mudah bereaksi terhadap pengalaman yang ia identifikasi sebagai penolakan.

2. Faktor yang Membentuk Rejection Sensitivity

Faktor yang membentuk rejection sensitivity yang tinggi pada diri individu berupa pengalaman penolakan dari significant other dan juga penolakan dari lingkungan sebayanya (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Berikut penjabaran faktor yang membentuk rejection sensitivity yang sudah ditemukan melalui penelitian sebelumnya:

a) Persepsi tentang penerimaan anak akan gaya pengasuhannya memberikan dampak pada tingkat rejection sensitivity pada mahasiswa (Cardak, Saricam, & Onur, 2012). Penerimaan terhadap orang tua yang otoriter mengarahkan pada rejection sensitivity yang tinggi sedangkan untuk penerimaan orang tua yang demokratis mengarahkan pada rejection sensitivity yang rendah (Cardak, Saricam, & Onur, 2012).

(34)

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pada mahasiswa gaya kelekatan anxious dan gaya kelekatan avoidant berkorelasi positif dengan adanya rejection sensitivity dan gaya kelekatan yang aman berkorelasi negatif dengan adanya rejection sensitivity (Ozen, Sumer, & Demir, 2011). Menurut Bowlby (1980), pribadi mereka terbentuk oleh gaya kelekatan yang mereka miliki, saat kecil bila anak menerima penolakan dan sifatnya konsisten maka anak akan cenderung tumbuh menjadi anak yang cenderung sensitif terhadap penolakan dan sebaliknya bila anak tumbuh dengan rasa penerimaan maka ia akan merasa aman dan cenderung merasa diterima atau memiliki tingkat rejection sensitivity yang rendah. c) Rejection sensitivity juga berkorelasi terhadap pengalaman

penolakan kelompok pada anak-anak dan remaja awal (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010). Menurut penelitian sebelumnya, rejection sensitivity yang tinggi ketika penolakan pada kelompok tinggi, penerimaan orang tua rendah dan kualitas pertemanan rendah sedangkan rejection sensitivity yang rendah ketika penolakan pada kelompok rendah, penerimaan orang tua tinggi, dan kualitas pertemanan tinggi (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010).

Berdasarkan beberapa faktor yang dijabarkan mengenai rejection sensitivity, peneliti dapat menyimpulkan bahwa faktor yang membentuk

(35)

penolakan dari lingkungan. Gaya pengasuhan yang otoriter serta kelekatan terhadap orang tua yang tidak aman dapat menyebabkan orang tersebut memiliki rejection sensitivity. Selain itu, pengalaman penolakan yang konsisten serta penolakan kelompok yang tinggi ditambah dengan penerimaan orang tua yang rendah dan kualitas pertemanan yang rendah juga dapat membuat seseorang memiliki kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi.

3. Mekanisme Terjadinya Rejection Sensitivity

Pengalaman penolakan sebelumnya telah membentuk internal working model seseorang. Internal working model ini yang akan

mendasari mekanisme terjadinya rejection sensitivity pada diri individu. Internal working model ini dapat dibentuk melalui tiga pendekatan, antara

lain:

a) Pendekatan kelekatan

(36)

b) Pendekatan sosial-kognitif

Pengalaman penolakan dini yang berasosiasi dengan usaha dalam coping akan membentuk skema seseorang yang meliputi tujuan, ekpektasi, nilai, fokus, interpretive bias, dan self regulatory (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Pengalaman diterima atau ditolak akan diinterpretasikan sebagai dasar dari skema kognitif dan afektif seseorang (Downey, Bonica, & Rincon, 1999).

c) Pendekatan Interpersonal

Internal working model atau skema mengenai relasi akan

merefleksikan pengalaman, bila melihat dari sistem proses kognitif dan afektif yang dapat diuraikan sebagai bentuk yang dapat menjaga dan memodifikasi pentingya relasi dengan teman sebaya, pasangan romantis, dan dengan orang tua, yang kemudian akan diteruskan dalam proses interaksi sosial sesuai dengan periode perkembangan (Downey, Bonica, & Rincon, 1999).

Mekanisme terjadi rejection sensitivity sendiri dapat dijelaskan dengan Defense Motivational System (Romero, Canyas, & Downey, 2005). Defense Motivational System tersebut merupakan suatu respon terhadap

(37)

berkembang ketika seseorang berusaha mempertahankan dirinya dari penolakan sembari menjaga koneksi sosialnya (Romero, Canyas, & Downey, 2005). Individu dengan rejection sensitivity yang tinggi mengekspektasikan suatu penolakan tanpa sadar, kemudian ia akan mengaktifkan Defense Motivational System (Romero, Canyas, & Downey, 2005). Ketika Defense Motivational System aktif akan muncul motivasi yang berguna untuk mencegah adanya penolakan dan inilah bentuk pertahanan tersebut (Romero, Canyas, & Downey, 2005).

Berdasarkan data di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengalaman penolakan sebelumnya telah membentuk internal working model seseorang. Internal working model dapat dibentuk melalui tiga pendekatan yaitu kelekatan (menekankan pada pemenuhan kebutuhan dari signifikan other, hal tersebut kemudian membentuk skema akan dunia yang menerima atau menolak), sosial-kognitif (menekankan bahwa pengalaman penolakan atau penerimaan sebagai dasar akan skema afektif dan kognitif seseorang), dan interpersonal (pengalaman sebelumnya dapat menjadi dasar manusia untuk memodifikasi cara mereka berelasi saat ini). Selain itu, terdapat mekanisme pada orang yang memiliki rejection sensitivity adalah defense motivational system. Defense motivational

system suatu mekanisme pertahanan diri yang dibentuk oleh skema dari

(38)

diidentifikasi berdasarkan pengalaman penolakan yang ia miliki sebelumnya kemudian muncullah suatu bentuk pertahanan. Defense motivational system ini memungkin seseorang dengan rejection sensitivity

yang tinggi menyiapkan diri untuk menghadapi pengalaman penolakan tersebut dengan pertahanan yang dimilikinya

4. Dampak Negatif Rejection Sensitivity yang Tinggi Bagi Remaja

Penelitian sebelumnya pada remaja yang berkaitan dengan dampak negatif bagi remaja yang memiliki kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi, antara lain:

a) Rejection sensitivity yang tinggi pada remaja usia 10-23 dapat membuat remaja memiliki emosi yang reaktif. Emosi yang lebih reaktif ini dapat memicu konflik baik dengan sebayanya maupun pihak otoritasnya. (Silvers, McRae, Gabrieli, Gross, Remy, & Ochsner, 2012). Selain itu, respon remaja yaitu memiliki regulasi diri yang rendah berkaitan dengan stimulus sosialnya (Silvers, McRae, Gabrieli, Gross, Remy, & Ochsner, 2012).

b) Remaja dengan rejection sensitivity yang tinggi memiliki stressor

yang tinggi dan mengalami gejala depresi (Chango, McElhaney, Allen, Schad, & Marston, 2012). Gejala depresi sendiri dapat dimediasi oleh relasi antara rejection sensitivity, konflik dengan ibu dan ayah pada remaja laki-laki (Puckett, 2009).

(39)

kepuasaan yang rendah terhadap keluarga (Overall & Sibley, 2009).

d) Pada remaja yang memiliki rejection sensitivity yang tinggi berasosiasi dengan kecenderungan-kecenderungan negatif. Kecenderungan tersebut antara lain, perilaku yang kacau dan membolos pada sekolah lebih dari satu tahun (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010). Rejection sensitivity yang tinggi juga dapat menentukan perilaku menyakiti

diri sendiri, sebagai contoh rejection sensitivity yang tinggi berasosiasi dengan tingkat percobaan bunuh diri pada mahasiswa (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010). Rejection sensitivity yang tinggi juga berasosiasi dengan perilaku

yang meningkatkan resiko personal (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010). Selain itu rejection sensitivity yang tinggi juga merupakan faktor resiko dari rasa

marah dan agresi (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010).

(40)

reaktif dan kemungkinan depresi yang tinggi. Selain itu, tingkat penghargaan diri yang rendah dan kecenderungan-kecenderungan negatif lainnya.

5. Prediktor yang Dapat Memprediksi Kecenderungan Rejection Sensitivity Berdasarkan Penelitian Sebelumnya

Selama ini banyak sekali penelitian yang mendasarkan penelitian dengan tujuan untuk membuktikan rejection sensitivity yang tinggi sebagai prediktor adanya dampak negatif pada diri individu. Akan tetapi, sangat penting dilakukan penelitian untuk mengontrol kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi pada diri individu, seperti penelitian yang dapat

memprediksi tingkat rejection sensitivity pada individu (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000; Ayduk, Mischel, & Downey, 2002; Ayduk, Gyurak, & Luerssen, 2007; Romero, Canyas, et al., 2010; Cardak, Saricam, & Onur, 2012).

Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan prediktor yang dapat memprediksi rejection sensitivity yaitu delayed gratification. Delayed gratification adalah bentuk regulasi diri berupa kesabaran dalam

(41)

yang memiliki rejection sensitivity (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000). Hal ini dikarenakan pandangan akan pemikiran bahwa setelah proses kesabaran akan menunggu dan menanti keadaan apa yang akan muncul, individu akan memandang selalu ada nilai kebaikan di dalamnya (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000).

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti yang menyimpulkan masih sangat dibutuhkan prediktor yang dapat memprediksi kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi pada diri seseorang. Bentuk prediktor berdasarkan penelitian sebelumnya yang peneliti simpulkan adalah berkaitan dengan regulasi diri dengan delayed gratification. Regulasi diri dengan delayed gratification menawarkan konsep bahwa kita akan mengontrol diri kita ketika keadaan tidak pasti sekalipun (memungkinkan kondisi penolakan) asalakan kita menyakini bahwa selalu ada hal yang besar yang akan kita dapatkan setelah proses tersebut.

6. Pengukuran Terhadap Rejection Sensitivity

Alat ukur berkaitan dengan rejection sensitivity, antara lain:

a) Alat ukur yang belakangan sering digunakan dalam penelitian

(42)

menengah atas (Downey & Feldman, 1996). Selain itu, RSQ for Adult yang berisi 18 skenario situasi penolakan untuk usia 17/18

tahun ke atas (Downey & Feldman, 1996). RSQ dapat menjadi alat ukur yang terpercaya untuk mengukur ekpektasi kecemasan terhadap penolakan dan terfokus pada hasil dari kejadian. Ekspektasi kemarahan terhadap penolakan (Downey & Feldman, 1996). Selain itu, ekpektasi penerimaan mereka terhadap penolakan (Downey & Feldman, 1996). Nilai RSQ seseorang akan dapat memprediksi seberapa jauh mereka merasa ditolak dalam situasi yang ambigu (Downey & Feldman, 1996).

b) Alat ukur lainnya adalah The Interpersonal Sensitivity Measure (Boyce & Parker, 1989). Skala ini berfokus pada pengalaman penolakan sosial. IPSM memiliki internal konsistensi yang tinggi yaitu sebesar .85 (Boyce & Parker, 1989).

Pada penelitian ini skala yang peneliti gunakan adalah Rejection Sensitivity Questionnaire for Children (Downey & Feldman, 1996).

(43)

B. Kelekatan Terhadap Significant Others (Ibu)

Kelekatan adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh psikiater Inggris John Bowlby (1969) dan psikolog perkembangan Amerika Mary Ainsworth (1979) (Santrock, 2007). Para ahli ini mengatakan bahwa kelekatan di masa bayi penting bagi seluruh kompetensi sosial (Santrock, 2007).

1. Pengertian Kelekatan

Kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang terbentuk antara dua orang yang selalu memiliki kedekatan dan menawarkan keamanan fisik serta psikologis (Santrock, 2002). Kelekatan sendiri dibentuk sejak bayi dan menjadi dasar dalam membentuk relasi dengan orang lain (Santrock, 2002). Selain itu, menurut Bowly (1969,1979) kelekatan adalah suatu ikatan emosional yang kuat antara bayi dan pengasuhnya. Kelekatan ini akan membentuk kedekatan anak terhadap orang lain, tidak hanya dalam membedakan orang lain tetapi juga untuk menjadi referensi anak secara individual (Bowlby, 1973).

(44)

dengan ibu berasosiasi dengan kelekatan yang akan terbentuk dengan ayah. Hal ini berarti apabila kelekatan yang dibentuk anak pada ibu adalah kelekatan yang aman maka pada ayah juga akan terbentuk kelekatan yang aman (Ainsworth, 1967; Goodsell & Meldrum, 2009 dalam Benware, 2013).

Kelekatan yang terbentuk sedari bayi dapat membentuk kelekatan aman dan tidak aman (Santrock, 2007). Kelekatan yang aman terbentuk ketika bayi menggunakan pengasuhnya (biasanya ibu) sebagai dasar akan rasa aman untuk mengeksplorasi lingkungannya (Santrock, 2007). Sedangkan kelekatan yang tidak aman terbentuk ketika bayi mungkin menghindari pengasuh atau memperlihatkan penolakan atau sikap ambivalen terhadap pengasuh (Santrock, 2007).

Kelekatan sendiri bersifat berkelanjutan kerena secara primer terus menerus membentuk model mental diri dan sebagai komponen kepribadian (Bowlby, 1980). Gaya kelekatan akan menjadi kepenuhan diri karena tindakan yang didasari gaya kelekatan tersebut akan juga menghasilkan konsekuensi yang menguatkan tindakan tersebut (Bowlby, 1980). Sebagai contoh, ketika individu baru memiliki kontak sosial yang baru dan ia bertindak defensive maka akan meningkatkan penolakan sosialnya, sehingga ini akan menjadi penguat akan perasaan tidak aman individu tersebut (Douglas & Atwell, 1988).

(45)

yang dibangun sedari kecil. Hal ini dikarenakan ketika bayi, anak merasakan rasa aman dari pengasuh sehingga membantunya membangun konsep aman terhadap lingkungannya juga, dan begitu sebaliknya ketika pengasuh menunjukkan rasa yang tidak aman kepada bayi, maka bayi akan memberikan penolakan atau bersikap ambivalen terhadap lingkungannya.

2. Aspek dari Kelekatan

Aspek kelekatan anak terhadap significant others dalam hal ini ibu terbagi menjadi tiga yaitu kepercayaan, komunikasi, dan keterasingan (Greenberg, 2009).

a) Kepercayaan

(46)

b) Komunikasi

Komunikasi merupakan interaksi antara anak dengan orangtua yang melibatkan sentuhan kasih sayang dan perhatian serta mendengarkan cerita anak secara penuh (Zolten & Long, 2006). c) Keterasingan

Perasaan keterasingan adalah suatu perasaan yang dapat muncul akibat perceraian, pengabaian ataupun penolakan dari orangtua kepada anak yang menyebabkan keterasingan emosi antara anak dengan ibu (Garber, 2004; Lowenstein, 2010).

Berdasarkan penjabaran di atas, aspek dari kelekatan terhadap significant others-nya dalam hal ini ibu adalah kepercayaan, komunikasi dan keterasingan. Kepercayaan adalah perasaan aman anak terhadap dirinya yang terbentuk karena sejak kecil terbangun rasa percaya dari ibu terhadap anaknya. Komunikasi adalah interaksi yang melibatkan rasa kasih sayang dan perhatian. Selain itu, keterasingan adalah suatu perasaan yang muncul karena anak merasa tertolak dan diabaikan sedari kecil.

3. Dampak dari Setiap Aspek Kelekatan Terhadap Ibu

Setiap aspek dari kelekatan terhadap ibu memiliki dampak bagi kehidupan anak, antara lain :

(47)

b) Komunikasi yang baik, jelas, dan efektif dapat membuat anak lebih mudah dalam menentukan perilakunya saat itu dan di masa akan datang (Aspy et., al, 2007).

c) Rasa keterasingan ini menyebabkan harga diri yang rendah,

depresi, penyalahgunaan narkoba, kehilangan kepercayaan, tidak mengenali diri, bahkan akan sulit untuk mempertahankan suatu hubungan (Baker, 2005).

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menyimpulkan kepercayaan dapat membuat anak lebih berprestasi, berani melihat dunia, dan lebih dapat mengendalikan emosinya. Sedangkan komunikasi dengan orang tua dapat membuat anak lebih mudah menentukan perilakunya. Di sisi lain, rasa keterasingan menyebabkan anak memiliki harga diri yang rendah, depresi, penyalahgunaan narkoba, dan memiliki dampak negatif lainnya. 4. Jenis dari kelekatan

Jenis kelekatan ini berdasarkan aspek-aspek kelekatan terhadap ibu yaitu kepercayaan, komunikasi dan pengasingan (Armsden & Greenberg, 1987). Macam-macam kelekatan tersebut, antara lain:

a) Kelekatan aman yang tinggi

(48)

b) Kelekatan aman yang rendah

Kelekatan aman yang rendah terhadap ibu dapat terbentuk bila tingkat keterasingan dari ibu tinggi, sedangkan tingkat kepercayaan dan komunikasi terhadap ibu itu tinggi atau sedang (Armsden & Greenberg, 1987). Selain itu, kelekatan aman yang rendah terhadap ibu juga dapat terbentuk jika tingkat keterasingan dari ibu tinggi, sedangkan salah satu antara tingkat kepercayaan atau komunikasi berada pada tingkat rendah.

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa kelekatan yang dibedakan melalui tingkat kepercayaan, komunikasi, dan rasa keterasingan terbagi atas kelekatan yang aman yang tinggi dan kelekatan aman yang rendah. Hal yang membedakan keduanya adalah tingkat keterasingan. Pada kelekatan aman yang tinggi, tingkat keterasingan akan cenderung rendah dibandingkan kedua aspek lainnya. Sebaliknya, kelekatan aman yang rendah, tingkat keterasingan akan cenderung tinggi dibandingkan kedua aspek lainnya.

5. Pengukuran Kelekatan Terhadap Significant-Others

Berikut beberapa alat ukur terhadap kelekatan terhadap

significant-others:

a)The Adult Attachment Interview (AAI) yang mengukur representasi

(49)

kecil pada situasi yang ganjil (Ainsworth, Blehar, Waters, & Wall, 1978).

b)The Parental Bonding Instrument (Parker, 1979) yang mengukur

ingatan retrospective mengenai orang tua yang terfokus pada pengasuhan dan kontrol.

c)The Attachment Style Questionnaire (ASQ) yang dikembangkan

oleh Feeney, Noller, & Hanrahan (1994) yang mengukur

mengenai kelekatan ketika dewasa. ASQ memiliki internal

konsistensi yang adekuat yaitu berada pada nilai. 76 sampai .84

(Feeney et al., 1994).

d)Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version)

(Greenberg & Armsden, 2009). The IPPA-M ini dikembangkan untuk melihat persepsi positif dan negatif remaja terhadap dimensi afektif dan kognitif terhadap hubungan dengan orang tua terkhususnya ibu (Greenberg & Armsden, 2009). Secara khusus, sejauh mana figur ibu menyediakan sumber rasa aman secara psikologis (Greenberg & Armsden, 2009). The IPPA terdiri dari 3 dimensi yaitu tingkatan mutual dari rasa percaya, kualitas komunikasi, dan tingkat rasa marah (keterasingan) (Greenberg & Armsden, 2009). Skala Inventory of Parent and Peer Attachment (Mother Version) memiliki nilai konsistensi internal yang tinggi (ɑ = .87). Selain itu, memiliki korelasi reliabilitas test-retest yang

(50)

Berdasarkan beberapa alat ukur di atas, peneliti memilih Inventory

of Parent and Peer Attachment (Mother Version) (Greenberg &

Armsden, 2009). Peneliti memilih IPPA-M karena skala ini memiliki internal konsistensi yang tinggi (ɑ = .87). Selain itu, skala ini mengungkapkan persepsi remaja terhadap dimensi afeksi dan kognitif secara spesifik terhadap hubungan dengan ibu (Greenberg & Armsden, 2009). Selain itu, skala ini memiliki subskala yang sangat spesifik seperti tingkat kepercayaan ibu terhadap anak, kualitas komunikasi ibu terhadap anak, dan sejauh mana ibu memperlakukan anak sehingga anak merasa terasing (Greenberg & Armsden, 2009).

C. Mindfulness

Pendekatan ini akan berhubungan dengan keterhubungan keberadaan diri dan pengalaman kita serta merupakan kumpulan tahapan tranformasi ke pribadi yang lebih positif (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009).

1. Pengertian Mindfulness

(51)

stabil (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009). Selain itu, Mindfulness merupakan perhatian pada tempat yang ada kini dan kekinian, daripada memusingkan masa lalu atau mencemaskan dan berfantasi tentang masa yang akan datang (Csikszentmihalyi dalam Baumgardner & Crothers, 2009). Menurut Marlatt & Kristeller (dalam Baer, 2003), kata mindfulness dapat dideskripsikan sebagai “memberikan perhatian kepada pengalaman saat ini dari waktu ke

waktu”. Orang yang dikatakan mindfulness adalah orang yang

memiliki kecenderungan yang tinggi akan kesadaran terhadap pengalaman internal dan eksternalnya dengan menerimanya serta tanpa melakukan penilaian terhadap pengalaman tersebut (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa definisi mindfulness adalah sebuah bentuk regulasi diri yang mengarahkan individu ke arah perbaikan dengan dasar kesadaran dari individu terhadap pengalaman yang terjadi dengan memberikan perhatian kepada pengalaman tersebut. Kunci dari pendekatan ini menurut peneliti adalah dengan landasan kesadaran dan perhatian terhadap pengalaman tersebut, orang tersebut diminta untuk menerima keadaan tersebut dapat bermaksud untuk ingin merubah hal tersebut. 2. Aspek dari Mindfulness

Mindfulness dianggap kumpulan dari kemampuan (Linehan,

(52)

aspek dari mindfulness yang telah lebih dikembangkan dari segala

literature (Baer, Smith, & Allen, 2004). Aspek yang dimaksud

kemampuan tersebut, antara lain:

a) Mengamati

Dalam mindfulness, mengamati, menandai dan terlibat dalam

fenomena internal dan ekternal (Dimidjian & Linchan, 2003b;

Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002). Fenomena internal

seperti sensasi tubuh, kognisi dan emosi (Dimidjian &

Linchan, 2003b; Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002). Di sisi

lain, fenomena eksternal seperti bunyi dan bau (Dimidjian &

Linchan, 2003b; Kabat-Zinn, 1990; Segal et al., 2002).

b) Menggambarkan

Menggambarkan dalam mindfulness berarti manusia dapat

berusaha menggambarkan, melabel, dan menandai fenomena

yang mereka alami dan amati dengan kata-kata (Goldstein,

2002; Linehan, 1993b; Segal et al., 2002). Labeling dapat

dilakukan tanpa menilai dan tanpa adanya analisis konseptual

(Baer, Smith, & Allen, 2004).

c) Melakukan dengan kesadaran

Melakukan dengan kesadaran berarti berusaha penuh dalam

melakukan sesuatu tanpa membagi perhatian atau berfokus

(53)

d) Menerima tanpa menilai

Aspek ini berkaitan dengan kemampuan menerima,

mengijinkan dan tidak menilai atau mengevaluasi pengalaman

saat ini (Baer, Smith, & Allen, 2004). Untuk dapat menerima

tanpa menilai, manusia harus mampu menahan diri untuk tidak

menggunakan label evaluasi berupa benar atau salah, baik atau

jelek, bernilai atau tidak bernilai (Marlatt & Kristeller, 1999)

dan mengijinkan realitas terjadi tanpa usaha untuk

menghindari, lari atau mengubahnya (Dimidjian & Linchan,

2003a, 2003b; Linehan, 1993b; Segal et al., 2002).

Dari penjabaran di atas, peneliti menyimpulkan aspek dalam

mindfulness dibagi menjadi 4 aspek, yaitu mengamati,

menggambarkan, melakukan dengan kesadaran, dan menerima tanpa

menilai. Aspek mengamati menekankan adanya keterlibatan individu

terhadap pengalaman. Aspek menggambarkan menekankan pada

menandai pengalaman dengan kata-kata. Aspek melakukan dengan

kesadaran menekankan pada individu yang tidak membagi perhatian

saat terlibat pada suatu pengalaman dengan pengalaman lainnya.

Selain itu, aspek menerima tanpa menilai menekankan pada menahan

diri untuk tidak memberikan label evaluatif terhadap pengalaman.

3. Faktor yang Memprediksi Mindfulness

Mindfulness muncul karena adanya kelekatan yang aman yang

(54)

teoritikal dapat menumbuhkan kemampuan mindfulness bagi setiap

individu (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson,

Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007).

Orang yang memiliki pengalaman diperhatikan, direspon &

mempunyai pengasuh yang sensitif akan mengembangkan

kemampuan mindfulness anak (Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005).

Hal ini dikarenakan pengasuh dapat menjadi reflektif bagi anak

sehingga anak dapat merasakan sensasi pada indra mereka sejak dini

(Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005).

Kelekatan memfasilitasi terbentuknya mindfulness. Hal ini juga

terlihat dari penelitian sebelumnya bahwa ketika seseorang memiliki

anxious attachment style maka ini membentuk kemampuan

mindfulness yang rendah (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, &

Madsen, 2009). Akan tetapi, avoidant attachment style tidak dapat

menjadi prediktor seseorang memiliki kemampuan mindfulness tinggi

atau rendah (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009).

Berdasarkan penjabaran di atas, faktor yang dapat memprediksi

mindfulness adalah kelekatan terhadap significant others. Hal ini

dikarenakan dasar secara empiris dan teoritikal bahwa mindfulness

membutuhkan fondasi rasa aman terhadap dunia yang dibentuk dari

(55)

4. Dampak Positif dari Mindfulness

Pendekatan mindfulness sendiri yang mengolah perhatian, kesadaran dan penerimaan memberikan banyak dampak positif bagi individu. Dampak positif tersebut antara lain:

a) Dapat menurunkan level yang rendah pada distress, yang termasuk pada rendahnya kecemasan, depresi, kemarahan dan kekhawatiran (Baer, 2003; Brown, Ryan, & Creswell, 2007; Grossmann, Niemann, Schmidt, & Walach, 2004).

b) Dapat meningkatkan kesejahteraan psikologi individu (Carmody & Baer, 2008).

c) Dapat menurunkan ruminasi dalam diri individu (Didonna, 2009).

d) Dapat menurunkan agresi dan atribusi terhadap permusuhan (Heppner, Kernis, Lakey, Campbell, Goldman, Davis, & Cascio, 2008).

e) Mindfulness dianggap dapat mengolah jalan pikiran kita

menjadi lebih baik karena ia dapat mengatur pikiran kita

(Bhikkhu, 2007). Hal ini dapat membantu proses pengolahan

kualitas mental kita seperti kesiapan, konsentrasi, kasih sayang

dang usaha kita (Diddona, 2009). Mindfulness dapat membuat

kita lebih gembira, menginspirasi, bersyukur, penuh

(56)

Smith, Hopkins, Krietemeyer, & Toney, 2006; Brown & Ryan,

2003; Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2008;

Feldman, Hayes, Kumar, Greeson, & Laurenceau, 2007;

Walach, Buchheld, Buttenmuller, Kleinknecht, & Schmidt,

2006).

Berdasarkan data di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

mindfulness memberikan dampak yang positif bagi diri individu.

Dampak positif tersebut antara lain : menurunkan kecemasan, depresi,

kemarahan, kekhawatiran, ruminasi agresi dan permusuhan. Selain itu,

mindfulness juga dapat meningkatkan kegembiraan pada diri individu,

meningkatkan rasa syukur, pengharapan, dan masih banyak lagi

dampak positif dari mindfulness.

5. Dampak Mindfulness pada Remaja

Penelitian sebelumnya berkaitan dengan mindfulness pada remaja masih relatif sedikit (West, 2008). Bila ditinjau berdasarkan penelitian sebelumnya berkaitan dengan mindfulness pada remaja, ditemukan bahwa mindfulness dapat menurunkan emosi yang reaktif dan evaluasi sosial pada remaja yang mengalami depresi (Britton, Shahar, Szepsenwol, & Jacobs, 2012). Selain itu, dapat menurunkan tingkat agresifitas pada remaja (Singh et al., 2007).

(57)

6. Pengukuran Terhadap Mindfulness

Berikut beberapa pengukuran terhadap mindfulness yang telah digunakan:

a) Freiburg Mindfullness Inventory (FMI) didesain hanya untuk individu yang secara khusus pada orang-orang yang

sebelumnya telah mempraktek meditasi mindfulness dan secara

khusus item-item yang tersusun dalam skala ini tidak akan

jelas bagi orang yang tidak memiliki pengalaman meditasi

(Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005). b) The Mindful Attention Awareness Scale (MAAS; Brown &

Ryan, 2003) didesain untuk mengukur mindfulness yang

ditetapkan melalui pengalaman sekarang ini yang menjadi

pusat perhatian dan kesadaran (Brown & Ryan, 2003). Skala

ini dibangun secara unidimensional dan item-itemnya tidak

memasukkan komponen penerimaan karena dianggap tidak

memiliki kegunaan (Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005).

c) Philadelphia Mindfullness Scale adalah sebuah skala yang

dianggap merupakan perbaikan dari skala MAAS dan FMI

(58)

konstruk dari mindfulness yaitu kesadaran dan penerimaan

(Cardaciotto, Herbert, Forman, Moitra, & Farrow, 2005). d) Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS) didesain

untuk mengukur mindfulness di dalam kehidupan sehari-hari dengan 4 dimensi yaitu observasi kepada diri, menggambarkan dan memberikan label terhadap fenomena tanpa menilai fenomena tersebut, serta berperilaku tanpa membagi perhatian lalu menerima kejadian atau pengalaman tersebut (Hoffling, Strohle, Michalak, & Heidenreich, 2011). KIMS sendiri terdiri dari 39 items pernyataan dan dirating dengan 5 point likert scale (Hoffling, Strohle, Michalak, & Heidenreich, 2011).

KIMS memiliki internal konsistensi yang baik yaitu berkisar pada 0,83 hingga 0,91 untuk masing-masing subskala (Baer, Smith, & Allen, 2004).

(59)

skala lainnya, yang dapat menggambarkan kemampuan mindfulness seseorang tanpa latihan seperti The Mindful Attention Awareness Scale

(MAAS) dan Philadelphia Mindfullness Scale (PMS) kurang menyeluruh

dalam menggambarkan kemampuan mindfulness. MAAS sendiri diketahui

tidak memasukkan aspek penerimaan pada komponen-komponen

aitemnya, padahal aspek penerimaan merupakan aspek kunci dalam

menggambarkan mindfulness. Di sisi lain, peneliti sudah pernah

menggunakan skala PMS dalam penelitian payung bersama mahasiswa

dan dosen. Ketika menggunakan skala PMS, hasil dari mindfulness pada

subyek tidak begitu bervariasi, sehingga disimpulkan PMS pada populasi

remaja saat itu kurang baik.

D. Remaja

Bagian dari suatu tahapan perkembangan manusia adalah remaja. Remaja memberikan rentangan masa transisi dari masa anak ke dewasa yang ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral dan agama, kognitif dan sosial (Sarwono, 2011).

1. Pengertian Remaja

a) Batasan remaja menurut Hurlock (dalam Santrock, 2007):

(60)

Pada masa perkembangan ini terjadi perubahan secara biologis kognitif dan sosio-emosional. Perubahan secara biologis dengan kematangan organ reproduksi, perubahan hormonal, perubahan dalam keterampilan motorik, perkembangan otak, perubahan fisik pada diri individu. Perubahan secara kognitif adalah melibatkan perubahan pada pemikiran, mampu berpikir abstrak dan mampu berpikir lebih luas. Sedangkan perubahan secara sosio-emosional ditandai dengan perubahan dalam hal emosi, kepribadian, relasi dengan orang lain. Perubahan secara sosio-emosional ini dapat dilihat dengan mulainya remaja dalam menanggapi perkataan orang tua, agresi terhadap kawan-kawan sebaya, kegembiraan bersama kawan-kawan sebaya, dan mulainya terlibat dalam hubungan romantis.

b) Batasan remaja menurut WHO dan diakui secara Internasional:

Pada 1974, WHO memberikan definisi mengenai remaja secara konseptual, Remaja memiliki 3 kriteria baik secara biologis, psikologis, dan sosio-ekonomi, antara lain (Sarwono, 2011): Remaja memasuki suatu masa dimana :

1) Individu berkembang pada saat berkembangnya kelamin

sekundernya hingga kematangan kelamin primernya. 2) Individu mengalami kematangan psikologisnya yaitu mulai

(61)

3) Terjadi peralihan ketergantungan sosio-ekonomi yang penuh kepada keadaan relatif mandiri.

WHO menetapkan kurun waktu remaja menjadi 2 bagian yaitu kurun waktu pertama berada pada usia 10-14 tahun dan kurun waktu kedua adalah remaja akhir 15-20 tahun (Sarwono, 2011).

Berdasarkan definisi mengenai remaja di atas, peneliti menyimpulkan bahwa remaja adalah sebuah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa dengan rentangan usia 10 hingga 22 tahun. Selain itu, remaja memiliki karakteristik berupa penyempurnaan pada fungsi alat kelaminnya yaitu dalam hal kemampuan untuk bereproduksi, mereka berusaha mencari jati diri mereka dengan mengidentifikasi diri mereka dan mereka berusaha untuk ingin mandiri.

2. Perkembangan Kognitif Remaja

(62)

kelompok remaja, diperlukan untuk perkembangan berpikir secara operasional (Papplia, 2008).

Berdasarkan data di atas, peneliti menyimpulkan bahwa perubahan pada tahapan kognitif remaja terletak pada perkembangan untuk mampu berpikir abstrak. Buah dari kemampuan remaja berpikir abstrak adalah mereka mampu menyadari batasan-batasan pikiran, memiliki strategi yang lebih luas, adanya pengembangan pengetahuan dan mengkonstruksi diri dengan pengetahuan yang baru.

3. Ketidakmatangan Cara Berpikir Remaja

Remaja terlibat dalam perkembangan cara berpikir mereka, mereka berusaha memahami apa yang terjadi pada diri mereka baik perubahan yang terjadi pada diri mereka dan bagaimana mereka harus bersikap (Papplia, 2008). Menurut seorang psikolog David Elkind (dalam Papplia, 2008), beliau mengatakan bahwa ketika proses transisi terkadang remaja terlibat dalam ketidakmatangan yang terwakilkan melalui enam ciri sikap, antara lain:

a) Idealisme dan suka mengkhritik

(63)

b) Sifat argumentatif

Remaja selalu ingin menunjukkan kemampuan mereka dalam melakukan penalaran, mereka berusaha memamerkan kelihaian mereka dengan sering berdebat, mencari alasan dan sifat-sifat argumentatif lainnya.

c) Sulit memutuskan sesuatu

Remaja dapat memberikan alternatif pemikiran dalam waktu yang sama ketika mendapat permasalahan, namun mereka kurang dapat memutuskan cara yang paling efektif dan efisien bagi pemecahan masalah tersebut.

d) Kemunafikan yang tampak nyata

Remaja sering kali tidak menyadari adanya perbedaan dari mengekspresikan sesuatu yang menurut mereka ideal, seperti mengerti keadaan ekonomi keluarga dengan membuat pengorbanan yang diperlukan untuk hal tersebut seperti tidak meminta hal-hal yang tidak “penting” kepada orang tua mereka.

e) Kesadaran diri

(64)

f) Keistimewaan dan kekuatan

Bahwa keyakinan remaja bahwa diri mereka adalah sosok yang istimewa, keberadaan mereka unik dan bahwa pemikiran bahwa tidak harus menaati semua peraturan yang memerintah mereka. Berdasarkan data di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa karakteristik cara berpikir remaja adalah mereka cenderung masih tidak matang yang terwakilkan dari beberapa ciri. Ciri-ciri tersebut antara lain : sikap yang idealis terlepas dari mereka salah atau benar, ingin berdebat dan mencari-cari alasan, keputusan yang tidak efisien dan efektif, sering berperilaku yang tidak sesuai dengan yang diucapkan, sulit menggunakan sudut pandang orang lain dan merasa diri paling istimewa.

E. Kaitan Antara Kelekatan Terhadap Ibu, Mindfulness dengan Rejection Sensitivity pada Remaja

(65)

membolos lebih dari satu tahun (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010), serta meningkatkan agresi itu sendiri (Romero, Canyas, Downey, Berenson, Ayduk, & Jan Kang, 2010).

Kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi pada diri remaja akan lebih mudah untuk membuat remaja berkonflik dengan orang lain. Hal ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya bahwa remaja usia 10-23 tahun dengan rejection sensitivity yang tinggi memiliki emosi lebih reaktif yang membuat mereka mudah berkonflik dengan sebayanya maupun otoritasnya (Silvers, McRae, Gabrieli, Gross, Remy, & Ochsner, 2012). Selain itu, karakteristik emosional remaja yang memang memiliki kecenderungan untuk lebih reaktif, meledak-ledak, dan sulit untuk menggunakan sudut pandang orang lain (Elkind dalam Papplia, 2008). Ketika remaja tersebut merasa tertolak atau hanya ekspektasi bahwa ia telah ditolak, remaja tidak akan berusaha menggunakan sudut pandang orang lain untuk berpikir sehingga remaja akan cenderung merespon secara reaktif dengan emosi yang tidak terkontrol.

(66)

Sedangkan gaya kelekatan yang aman berkorelasi negatif dengan rejection sensitivity (Ozen, Sumer, & Demir, 2011). Selain itu, rejection sensitivity yang tinggi akan muncul jika penolakan kelompok

tinggi, penerimaan orang tua rendah dan kualitas pertemanan rendah (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010). Di sisi lain, penerimaan anak akan gaya pengasuhan otoriter juga berkorelasi positif dengan rejection sensitivity yang tinggi (Cardak, Saricam, & Onur, 2012). Salah satu aspek dari kelekatan adalah rasa keterasingan. Hal ini dapat muncul ketika orang tua terkhususnya ibu mengabaikan anaknya, berperilaku ambivalen, atau memberikan penolakan secara konsisten. Rasa terasing ini adalah hasil dari sebuah bentuk penolakan yang membentuk skema bahwa dunia juga akan bertindak sama, yaitu menolak mereka. Hal ini mengakibatkan seseorang memiliki kecenderungan untuk memiliki rejection sensitivity yang tinggi ketika berada pada lingkungan sosial yang mereka asosiasikan sama dengan pengalaman penolakan sebelumnya.

(67)

2002: Ayduk, Gyurak, & Luerssen, 2007; Romero et al., 2010; Cardak, Saricam, & Onur, 2012).

Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa salah satu prediktor yang dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity adalah delayed gratification (Ayduk, Mendoza, Denton, Mischel, & Downey, 2000). Regulasi diri dengan delayed gratification memunculkan konsep mengenai kontrol diri yang mungkin bertahan jika seseorang percaya proses penundaan tersebut menghasilkan gratifikasi atau hasil yang besar (Mischel, 1974). Delayed gratification sendiri melibatkan proses berpikir mindfulness di

dalamnya (Langer, 2000). Hal ini dikarenakan seseorang akan mampu mengontol dirinya, ketika ia menyadari pengalaman tersebut dan menerima pengalaman tersebut karena meyakini bahwa selalu ada sesuatu yang besar yang akan ia dapatkan dari suatu proses pengalaman (Langer, 2000).

Mindfulness dapat memprediksi tingkat rejection sensitivity

Gambar

Tabel 1  Skor Jawaban Subyek pada Skala Kentucky Inventory of
Tabel 2 Skor Jawaban Subyek pada Skala Inventory of Parent and Peer
Tabel 3 Reliability Stastistics
gambaran subyek secara umum yang disajikan melalui tabel di bawah ini.
+7

Referensi

Dokumen terkait