• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja memiliki hubungan yang negatif dan signifikan. Jika kelekatan terhadap ibu rendah maka hal ini dapat memprediksi rejection sensitivity yang tinggi pada remaja, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan pada subyek mahasiswa bahwa rejection sensitivity berkorelasi negatif dengan kelekatan anxious dan kelekatan avoidant (Ozen, Sumer, & Demir, 2011). Rejection sensitivity berkorelasi positif dengan kelekatan yang aman (Ozen, Sumer, & Demir, 2011). Selain itu, penelitian sebelumnya yang mendukung adanya kelekatan sebagai faktor yang membentuk rejection sensitivity, ditemukan bahwa pada anak-anak dan remaja awal rejection sensitivity juga ditemukan pada orang yang mengalami penolakan kelompok yang tinggi, penerimaan orang tua yang rendah, dan kualitas pertemanan yang rendah (McLachlan, Zimmer, Gembeck, & McGregor, 2010).

Hasil penelitian ini ditemukan bahwa kelekatan terhadap ibu dengan rejection sensitivity pada remaja memiliki hubungan yang negatif dan signifikan dapat dijelaskan dengan adanya internal working model yang dibentuk oleh kelekatan itu sendiri. Kelekatan terhadap ibu sendiri bagi remaja tidak terbatas pada ikatan emosional berkelanjutan yang telah dibentuk antara ibu dan anak (Bowlby, 1973), melainkan berkaitan dengan persepsi positif dan negatif remaja terhadap sisi afeksi dan kognitif

terhadap hubungan dengan ibu mereka (Greenberg & Armsden, 2009). Persepsi akan unsur afeksi dan kognitif ini yang telah membentuk internal working model remaja. Jika sedari kecil kebutuhan mereka akan penerimaan tepenuhi secara sensitif dan konsisten oleh pengasuhnya maka ini akan membentuk working model yang aman bahwa dunia menerima mereka (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Akan tetapi, jika kebutuhan akan penerimaan tidak terpenuhi, terdapat penolakan dari pengasuhnya, maka anak akan mengembangkan working model yang tidak aman (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Hal ini akan membuat mereka merasa takut serta ragu bahwa mereka akan diterima dan didukung oleh sekitarnya (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Rejection sensitivity terbentuk oleh internal working model yang tidak aman karena adanya pengalaman penolakan sebelumnya yang terbentuk oleh penolakan yang konsisten dari pengasuh mereka (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990).

Berdasarkan hasil penelitian yang kedua bahwa kemampuan mindfulness dengan rejection sensitivity pada remaja memiliki hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini berarti kemampuan mindfulness yang rendah pada remaja dapat memprediksi rejection sensitivity yang tinggi pada remaja, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa mindfulness dapat memprediksi tingkat kecemasan yang rendah akan penolakan (Mckee, Zvolensky, Solomon, Bernstein, & Feldner, 2007). Selain itu, salah satu strategi untuk mencegah rejection

sensitivity yaitu delayed gratification mengandalkan proses berpikir mindfulness di dalamnya (Langer, 2000).

Kemampuan mindfulness yang tinggi dapat memprediksi rejection sensitivity yang rendah pada remaja dan sebaliknya, Hal ini dapat dijelaskan karena kemampuan mindfulness didasarkan pada perasaan aman

(Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Perasaan yang aman akan membentuk pemikiran bahwa dunia itu aman, sehingga akan membuat orang terbuka akan pengalaman-pengalaman tanpa mengevaluasi atau tidak defensive (Heppner, et al., 2008). Di sisi lain, orang dengan kecenderungan rejection sensitivity yang tinggi merasa bahwa dunia itu tidak aman karena adanya pengalaman penolakan yang membayangi, sehingga mereka cenderung didominasi akan kecemasan dan kemarahan terhadap penolakan (Downey & Feldman, 1996). Hal ini yang mendasari mereka memiliki motivasi pertahanan akan penolakan sembari mereka berelasi (Romero, Canyas, & Downey, 2005). Selain itu, pada remaja salah satu ciri pemikiran remaja yang kurang matang adalah kurangnya kesadaran diri (Elkind dalam Papplia, 2008). Kurangnya kesadaran diri menekankan pada kemampuan remaja untuk menggunakan sudut pandang orang lain (Elkind dalam Papplia, 2008). Hal ini dapat berhubungan dengan mindfulness sekaligus dengan rejection sensitivity. Kemampuan berpikir mindful dapat mengarahkan remaja mengenali bahwa diri mereka

sedang benar-benar pada pengalaman penolakan atau itu hanya pemikiran mereka yang tidak menggunakan sudut pandang orang lain.

Berdasarkan hasil penelitian yang ketiga bahwa kelekatan terhadap ibu dengan kemampuan mindfulness pada remaja memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Hal ini berarti kelekatan terhadap ibu yang tinggi dapat memprediksi kemampuan mindfulness yang tinggi pada remaja. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa kelekatan yang aman menjadi prediktor positif akan tumbuhnya mindfulness yang tinggi pada diri seseorang (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009). Di sisi lain, gaya kelekatan anxious menjadi prediktor negatif akan tumbuhnya kemampuan mindfulness yang rendah pada diri seseorang, akan tetapi tidak dengan gaya kelekatan avoidant (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009).

Kelekatan terhadap ibu yang tinggi dapat memprediksi kemampuan

mindfulness yang tinggi pada remaja. Hal ini dapat dijelaskan karena

mindfulness muncul karena adanya kelekatan yang aman (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Kelekatan yang aman akan menghasilkan rasa aman, rasa aman inilah yang menjadi dasar yang menumbuhkan kemampuan mindfulness bagi setiap individu (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Orang yang sedari kecil memiliki pengalaman diperhatikan, direspon, & mempunyai pengasuh yang sensitif

akan mengembangkan kemampuan mindfulness mereka (Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005). Hal ini dikarenakan pengasuh dapat menjadi media reflektif bagi anak sehingga anak terbiasa merasakan sensasi pada indra sejak dini (Fonagy & Target, 1997; Ryan, 2005).

Hasil penelitian yang keempat, kelekatan terhadap ibu yang tinggi dimediasi dengan kemampuan mindfulness yang tinggi dapat memprediksi

rejection sensitivity yang rendah pada remaja, dan sebaliknya. Hal ini berarti dinamika psikologis terbentuknya rejection sensitivity pada remaja akan lebih kuat bila melalui kemampuan mindfulness yang rendah. Dengan kata lain, kelekatan terhadap ibu yang rendah akan membentuk mindfulness yang rendah terlebih dahulu, setelah itu akan memunculkan rejection sensitivity yang tinggi pada remaja dan sebaliknya. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya bahwa kelekatan berhubungan dengan rejection sensitivity (Ozen, Sumer, & Demir, 2011), kelekatan terhadap ibu berhubungan dengan kemampuan mindfulness (Walsh, Balint, Smolira, Fredericksen, & Madsen, 2009). Selain itu, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mindfulness dapat memprediksi tingkat kecemasan yang rendah akan penolakan (Mckee, Zvolensky, Solomon, Bernstein, & Feldner, 2007).

Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya internal working model sebagai skema dasar individu. Jika sedari kecil kebutuhan penerimaan anak terpenuhi secara konsisten akan membentuk working model yang aman (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Sebaliknya, jika

kebutuhan penerimaan anak tidak terpenuhi atau terpenuhi secara tidak konsisten akan membentuk working model yang tidak aman (Bowlby, 1969, 1973, 1980; Sroufe, 1990). Working model yang aman akan membentuk perasaan aman sebagai dasar pembentukan kemampuan mindfulness (Fonagy & Target, 1997; Hodgins & Knee, 2002; Carson, Carson, Gil, & Baucom, 2004; Brown, Ryan, & Creswell, 2007). Perasaan yang aman inilah yang membuat individu akan terbuka akan pengalaman, dengan tidak mengevaluasi dan tidak defensive (Heppner, et al., 2008). Kedua hal ini, yang membentuk skema bahwa sejauh mana sebuah kejadian berakhir dengan penerimaan atau penolakan, dunia tetap akan baik adanya, karena mereka tidak lekat akan dirinya (Heppner, et al., 2008). Di sisi lain, jika kebutuhan akan penerimaan anak tidak terpenuhi, akan membentuk working model yang tidak aman, hal ini akan membuat anak merasa tidak aman. Perasaan tidak aman membuat anak cenderung memiliki ekspektasi akan ditolak yang membuat mereka cenderung

defensive (Heppner, et al., 2008).

Dokumen terkait