• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Miskonsepsi

Menurut Ausubel dalam Vanden Berg et al (1991: 8):

Konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri-ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol (objects, events, situations,

or properties that possess common critical attributcs and are designated in any given culture by some accepted sign or symbol).

Dengan demikian ”konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia berpikir” (Vanden Berg et al, 1991: 8).

b. Konsepsi

Vanden Berg et al (1991: 10) menyatakan bahwa ”Konsepsi adalah tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu”. Misal inti konsep dari benda yang jatuh dari ketinggian tertentu dengan mengabaikan gaya gesek udara adalah tidak tergantung pada massa benda tetapi pada ketinggian dan besarnya percepatan gravitasi di tempat tersebut. Akan tetapi banyak siswa yang memiliki konsepsi berbeda, mereka cenderung menganggap benda yang lebih berat akan jatuh lebih cepat dibandingkan benda yang ringan. c. Miskonsepsi

Vanden Berg et al (1991) mendefinisikan: “miskonsepsi sebagai pertentangan atau ketidak cocokan konsep yang dipahami seseorang dengan konsep yang dipakai oleh para pakar ilmu yang bersangkutan”. Pendapat Fowler yang dikutip oleh Suparno(2005: 5): “Miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep-konsep-konsep yang tidak benar”. Sementara Suparno(2005: 4): “Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu”.

Secara khusus Vanden Berg et al (1991: 10) mendefinisikan miskonsepsi Fisika sebagai istilah yang digunakan “ketika konsepsi siswa bertentangan dengan konsepsi para Fisikawan”.

Disamping istilah miskonsepsi (misconception), ada peneliti yang menggunakan pandangan alternatif (alternative frameworks), konsepsi alternatif (alternative conceptions) atau teori anak-anak (children theories). Ketiga istilah ini digunakan untuk menhindari label salah dan commit to user

untuk menunjukkan bahwa miskonsepsi siswa seringkali merupakan bagian dari suatu teori siswa yang dengan sendirinya cukup logis dan lumayan konsisten (Vanden Berg et al, 1991).

Secara umum Suparno(2005: 53) menyatakan faktor penyebab miskonsepsi Fisika bisa dibagi menjadi lima sebab utama, yaitu berasal dari siswa, pengajar, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Adapun penjelasan rincinya adalah seperti yang disajikan pada Tabel 2.2 di bawah ini:

Tabel 2.2 Penyebab Miskonsepsi Sebab

Utama Sebab Khusus

Siswa · Prakonsepsi

· Pemikiran asosiatif · Pemikiran humanistik

· Reasoning yang tidak lengkap · Intuisi yang salah

· Tahap perkembangan kognitif siswa · Kemampuan siswa

· Minat belajar siswa Pengajar · Tidak menguasai bahan

· Bukan lulusan dari bidang ilmu Fisika

· Tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide · Relasi guru-siswa tidak baik

Buku Teks

· Penjelasan keliru

· Salah tulis terutama dalam rumus

· Tingkat penulisan buku terlalu tinggi bagi siswa · Tidak tahu membaca buku teks

· Buku fiksi dan kartun sains sering salah konsep Karena alasan menariknya yang perlu

· Bahasa sehari-hari berbeda · Teman diskusi yang salah · Keyakinan dan agama

· Penjelasan orang tua/orang lain yang keliru · Konteks hidup siswa (tv, radio, film yang keliru) · Perasaan senang tidak senang

· Bebas atau tertekan Cara

mengajar

· Hanya berisi ceramah dan menulis · Langsung ke dalam bentuk matematika · Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa · Tidak mengoreksi PR yang salah

· Model analogi yang diapakai kurang tepat · Model Praktikum

· Model diskusi

· Model demonstrasi sempit · Non-multiple Intelegences (Paul Suparno, 2005: 53)

Vanden Berg et al (1991: 5) berpendapat dalam hal pengoreksian miskonsepsi pada siswa: “ternyata miskonsepsi awet dan sulit dirubah”. Vanden Berg et al (1991: 6) memberikan langkah-langkah mengatasi miskonsepsi berikut ini:

1) Langkah pertama adalah mendeteksi prakonsepsi siswa. Apa yang sudah ada dalam kepala siswa sebelum kita mengajar? Prakonsepsi apakah yang sudah terbentuk dalam kepala siswa oleh pengalaman dengan peristiwa-peristiwa yang akan dipelajari? Apa kekurangan prakonsepsi tersebut? Prakonsepsi dapat diketahui dari literatur, dari test diagnostis, dari pengamatan kegiatan siswa langsung, dan dari pengalaman guru. Literatur dan test diagnosis dapat sangat membantu. Begitu pula membaca test esai siswa dengan cara kritis dan santai. Waktu mengoreksi test guru biasanya bekerja terlalu cepat untuk commit to user

menyadari penyebab kesalahan siswa. Tetapi sesudah mengoreksi guru dapat mempelajari kembali secara santai beberapa jawaban yang salah. Barangkali guru dapat menemukan penyebab kesalahan siswa. 2) Langkah yang kedua adalah merancang pengalaman belajar yang

bertolak dari prakonsepsi tersebut dan kemudaian menghaluskan bagian yang sudah baik dan mengoreksi bagiam konsep yang salah. Prinsip utama dalam koreksi miskonsepi adalah bahwa siswa diberi pengalaman belajar yang menunjukkan pertentangan konsep mereka dengan peristiwa alam. Dengan demikian diharapkan bahwa pertentangan pengalaman baru dengan konsep yang lama akan menyebabkan koreksi konsepsi. (cognitive dissonance theory, Festinger). Atau dengan memakai istilah Piaget dapat dikatakan bahwa pertentangan pengalaman baru dengan konsep yang salah akan menyebabkan akomodasi, yaitu penyesuaian struktur kognitif (otak) yang menghasilkan konsep baru yang lebih tepat. Akan tetapi, belum tentu pengalaman yang tidak cocok dengan prakonsepsi akan berhasil. Contoh gerak jatuh tersebut di mana pengalaman siswa dengan gerak jatuh toh tidak cukup untuk menghasilkan konsep yang benar membuktikan bahwa prakonsep dapat bertahan walaupun pengalaman sebenarnya bertentangan dengannya. Penelitian oleh Rowell dan Dawson (1983) di Australia juga memperlihatkan daya kenyal miskonsepsi.

3) Langkah yang ketiga adalah latihan pertanyaan dan soal untuk melatih konsep baru dan menghaluskannya. Pertanyaan dan soal yang dipakai harus dipilih sedemikian rupa sehingga perbedaan antara konsepsi yang benar dan konsepsi yang salah akan muncul dengan jelas. Cara mengajar yang tidak membantu adalah kalau guru hanya membahas soal tanpa memperhatikan konsep atau hanya menulis banyak rumus pada papan tulis, atau hanya berceramah tanpa interaksi dengan murid.

Dokumen terkait