• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mitos dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Mitos dan Pembahasan

Dalam rubrik fashion majalah KawanKu, imperialisme menjadi hal yang kuat mendasari tiap ikon fashion yang terdapat di dalamnya. Banyak representasi imperialisme budaya seperti telah diuraikan sebelumnya. Setiap representasi dari imperialisme budaya tersebut memuat makna atau pesan termasuk mitos.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos disini tidak menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita tradisional, legenda dan lainnya. Bagi Barthes, Mitos adalah operasi ideologi yang identik dengan konotasi. Ideologi sendiri adalah sekumpulan gagasan yang menjadi panduan atau pedoman bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuannya. Melalui

133

ikon fashion yang terdapat dalam rubrik ini, peneliti akan menjabarkan mitos yang menjadi petunjuk atau panduan bagi sekelompok orang.

Imperialisme budaya adalah hegemoni ekonomi, teknologi dan budaya negara-negara industri, yang menentukan arah kemajuan ekonomi dan sosial, mendefinisikan nilai budaya, dan standarisasi peradaban dan lingkungan budaya di seluruh dunia. Seluruh dunia menjadi area pasar umum budaya di mana jenis produk teknis yang sama pengembangan, jenis pengetahuan, fashion, musik dan sastra yang sama, jenis metropolitan yang sama. Dalam rubrik ini, ikon fashion menjadi budaya massa yang diproduksi, dibeli dan dijual sehingga masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern.

Imperialisme budaya menguasai seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem pusat.

Dalam buku Thomas Sebeok An introduction to Semotics. mengatakan bahwa ikonitas baik itu ikon fashion, kuliner atau apapun halnya itu, bahwa ikonitas merupakan kode dari sebuah produk budaya oleh sebab kode dari budaya, ikonitas ini dibentuk dengan sebuah aturan tertentu (Sebeok, 2001 : 104). Hal ini dapat dipahami bahwa ikonitas berisi sebuah tujuan tertentu dan tidak hanya seperti cangkang yang kosong namun terdapat beberapa maksud serta tujuan tertentu dari terproduksinya sebuah ikon yang sejatinya produk dari budaya. Ikonitas dalam analisis ini adalah ikon-ikon fashion yang tanpa disadari mengandung imperialisme budaya.

Secara keseluruhan, ikon-ikon fashion dijadikan barang yang diproduksi massa.

Budaya telah memanfaatkan media dalam inklusi atau eksklusi kelompok masyarakat tertentu. Isu-isu dasar representasi dari perspektif ras dan budaya, ada tiga (Sardar dan Loon, 2001: 160), yaitu: Pertama, ada pertanyaan tentang inklusi mengenai apakah produk dan liputan media memasukkan citra, pandangan, latar belakang, dan budaya dari

134

keolompok-kelompok rasial yang berbeda. Kedua, bagaimanakah media merepresentasikan kelompok-kelompok budaya yang berbeda dan di sinilah keseluruhan sejarah kolonial dan modernis mengenai stereotipe rasial dan kultural bermain. Ketiga, peranan apa yang dilakoni oleh orang-orang kelompok budaya yang berbeda dalam membentuk produk akhir dan kontrol semacam apa yang mereka miliki dalam proses produksi.

Negara-negara maju berhasil membuat sebagian dunia menjadi pasar budaya dimana terdapat kesamaan mode yang diproduksi, dibeli dan dijual. Negara maju berhasil membuat kesan bahwa hasil produksi mereka bersifat eksklusif serta original. Kesan yang ditimbulkan ini membuat penikmat fashion, utamanya wanita menjadi lebih termotivasi untuk memiliki ikon fashion diluar kebutuhannya hanya untuk kesan prestise.

Sifat konsumtif yang terdapat dalam budaya perempuan modern, dijadikan sebagai sasaran empuk bagi negara kapitalis yang mengekspor budayanya dalam bentuk ikon fashion sehingga tanpa disadari mengubah cara berpakaian wanita ke arah yang lebih modern juga. Keseluruhan proses tersebut membuat pengaruh media massa lebih besar terhadap masyarakat modern terkait cara berpakaian.

Terkait ikon fashion yang terdapat dalam rubrik, keseluruhan ikon fashion dijadikan alat yang diproduksi massa dan dianggap penting oleh masyarakat. Produksi massa ini dekat kaitannya dengan produksi budaya. Cultural production atau produksi budaya adalah sebuah ekspresi atau representasi yang diciptakan oleh atau diasosiasikan dengan kelompok pada pengikat masyarakat dan/atau komunitas. Produksi budaya umumnya muncul dari konteks historis khusus, di mana mengambil dan merefleksikan makna yang diasosiasikan dengan kelompok. Produksi budaya menyajikan cara mencapai tujuan dan membantu menciptakan identitas (University of Minnesota, http://english.cla.umn.edu/Graduate Profiles/Ksurkan/ 4403/ definition.html). Budaya

135

massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya (Widyastuti, 2011).

Pada prinsipnya budaya massa tidak jauh berbeda dengan budaya populer.

Budaya massa berorientasi pada produk sebagai trend atau mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan dan keseragaman model merupakan corak paling utama dalam kebudayaan massa. Perilaku yang muncul sebagai ciri yang paling menonjol dari budaya massa yaitu proses imitasi dan peniruan sebagai hasil dari kecenderungan manusia untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentuk-bentuk yang diyakini menjadi tren di masyarakat.

Budaya massa inilah yang dijadikan alat bagi negara-negara maju untuk menyebarkan usahanya dalam kasus ini di bidang fashion. Prinsip memakai ‘apa saja’ menjadi slogan orang-orang yang berbelanja di butik, dipasok oleh produsen kecil atau pekerja asing;

namun sebagian besar wanita di seluruh negeri dilayani oleh produsen pakaian berskala besar, industri siap pakai dan khususnya perusahaan-perusahaan dengan perdagangan ekspor yang besar (Adburgham, 1970: 71).

Dengan adanya konsep budaya massa, ikon fashion yang diproduksi dijadikan tren melalui media massa. Beberapa tren fashion disebar melalui film, lagu, iklan dan majalah. Kacamata tidak sekedar alat bantu untuk melihat namun menjadi tren di kalangan wanita untuk menciptakan suatu citra yang dibangun dalam sebuah film. Sama halnya dengan celana bellbottom dan T-Shirt putih. Item lain seperti jaket kulit, trennya dimulai lewat iklan dan tren sepatu boots berasal dari lagu. Berbagai ikon fashion yang telah dianalisis dan memuat berbagai budaya luar ini akhirnya dimuat dalam majalah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa di hadapan khalayak, media massa memiliki kredibilitas yang tinggi. Masyarakat percaya bahwa apa yang dikemukakan media massa adalah realitas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran fakta. Dengan perkataan lain,

136

realitas media dianggap representasi fakta. Oleh karena itu media massa telah menjadi

“ruang” bagi khalayak, sama kedudukannya dengan ruang kehidupannya sehari-hari (Mursito, 2008: 29).

Pada konteks budaya massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman ini dibentuk secara terperinci dan sistematis oleh sebuah otoritas politik ekonomi, yang diimplementasikan oleh kekuatan komunikasi massa dengan institusi medianya serta kepentingan ekonomis dan ideologis orang-orang yang berada di dalamnya (Widyastuti:

2011). Dalam pembentukan budaya massa ini, komunikasi massa dan segala institusinya memiliki peranan yang sangat signifikan dalam kaitannya untuk memengaruhi perilaku secara massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Melihat kenyataan bagaimana komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan aspek ekonomis dari pemilik media massa ataupun kekuatan lain yang secara politis menarik keuntungan dari hal tersebut.

Dari sinilah hegemoni budaya dapat dilihat. Hegemoni budaya hadir dari proses imperialisme budaya yang terjadi karena adanya globalisasi. Hal ini menunjang terjadinya

‘penjajahan’ dalam segala aspek kehidupan. Melalui ikon-ikon fashion yang sudah dianalisis, dapat dirasakan dominasi budaya barat dalam merepresentasikan kekuatan mereka, dan menyatakan bahwa budaya mereka adalah budaya adiluhur dunia.

Masyarakat di negara-negara berkembang dipaksa untuk menjadi bagian dari budaya yang dominan tersebut. Hal ini juga dapat dilihat dari produksi oleh negara-negara maju yang dilakukan di negara-negara berkembang. Tas bermerk dan tren sneaker dengan merk yang mendunia berasal dari negara barat namun pabriknya sebagian besar terdapat di Cina dan Vietnam. Dominasi ini terpaksa diterima oleh negara-negara berkembang

137

karena membutuhkan investor sedangkan negara maju membutuhkan pasar. Negara berkembang tidak dapat bergerak dan memproduksi dengan citra dan budayanya sendiri karena konsep yang ada dibuat oleh negara maju. Masyarakat kalangan bawah dikuasai oleh kelas yang dominan dan hidup bersepakat dengan ideologi dan cara berpikir dari kaum dominan, sehingga kaum tertindas tidak merasa ditindas oleh kelas yang berkuasa.

Dari sisi penyebaran budaya, tanpa disadari ikon fashion yang awam di kehidupan sehari-hari ternyata memiliki sejarah perkembangan dan banyak didominasi oleh budaya asing. Melalui ikon fashion, dapat terlihat invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat asli atau pribumi melalui media massa (Baran, 2004 : 521). Ditinjau dari desainnya, ikon fashion yang terdapat dalam rubrik memuat budaya barat baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini dapat dilihat dari desain T-Shirt yang gambar atau tulisannya berupa lambang negara, gambar tokoh ataupun nama tempat. Begitu pula dengan motif tartan di bahan flannel yang sudah diklaim menjadi pakaian nasional Skotlandia. Desain pakaian mendukung hegemoni budaya, dimana khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” sehingga pemakainya tanpa disadari telah menjadi media yang membawa penyebaran tren dari negara barat untuk menjadi terkenal di negaranya sendiri.

Imperialisme mematikan identitas budaya lokal. Hal ini dapat dilihat dari nilai budaya yang terkait di dalam ikon-ikon fashion seperti jaket kulit, topi koboi, tas satchel, dan kalung dimana ikon tersebut mengandung unsur-unsur kebudayaan dari negara barat.

Ketika budaya barat ini telah sampai ke Indonesia dan dimuat oleh media di Indonesia, maka budaya yang terkandung di dalamnya tidak lagi dapat dilihat lagi sebagai budaya asing yang menggeser budaya asli suatu bangsa. Budaya tersebut telah menjadi budaya global yang awam dan diterima begitu saja. Hal ini dikarenakan fenomena ini tidak disadari oleh masyarakat dunia ketiga dan dimanfaatkan negara-negara maju untuk

138

membuat standar budayanya sendiri dan dianut oleh negara-negara berkembang. Ketika masyarakat mengikuti hal itu begitu saja, maka imperialisme budaya telah berhasil dilakukan karena terjadi di luar kesadaran dan khalayak tidak merasa dipaksa.

139

BAB V