• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Imperialisme Budaya

2.3 Kerangka Teori .1 Komunikasi Massa .1 Komunikasi Massa

2.3.7 Imperialisme Budaya

2.3.7.1 Sejarah dan Perkembangan Imperialisme Budaya

Istilah imperialisme diperkenalkan oleh Lenin dan Hobson. Dua teori imperialisme yang paling awal dikemukakan oleh Hobson dan Lenin. Cukup banyak persamaan pemikiran antara keduanya, sehingga sering diidentikkan dengan “tesis Hobson-Lenin”, Hobson berpendapat bahwa terdapat permintaan efektif yang tidak mencukupi di negara-negara metropolis, karena upah yang rendah; dan konsekuensinya,

48

kaum kapitalis memerlukan pasar untuk menjual komoditinya di luar negeri. Ia percaya bahwa redistribusi pendapatan akan memecahkan masalah konsumsi kurang ini. Hobson mengungkapkan bahwa imperialisme merupakan perwujudan suatu negara federasi dunia dimana kebijakan utamanya berpusat pada adopsi oleh beberapa negara-negara lain dan berada di bawah suatu hegemoni dari negara pusat. (Hobson, 1988 : 8)

Argumen Lenin agak berbeda, ia berpendapat bahwa merosotnya laju keuntungan di negara-negara metropolis berarti bahwa dengan dibukanya wilayah-wilayah jajahan, terdapat kesempatan-kesempatan investasi yang lebih menguntungkan di luar negeri.

Lenin menyatakan bahwa imperialisme ditandai oleh jaringan pengaliran modal ke wilayah koloni. (Purba, 2005 : 42)

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Imperialisme berarti hegemoni politik-ekonomi-budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain. Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk memasukkan nilai dan agenda politik-ekonomi-budaya mereka pada bangsa dan budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang berhubungan dengan imperialisme budaya.

Media memainkan peranan penting dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali dalam proses imperialisme budaya.

Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional (misalnya Lerner, 1958;

Schramm, 1964) dan dalam perumusan ulang secara kritis yang dilakukan oleh para penulis seperti Schiller (1969), Wells (1972), Mattelart (1979), dan banyak lainnya.

Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu “modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai

49

tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal. Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan (Malik, 2014: 8).

Menurut Schiller (1976), imperialisme budaya merupakan suatu proses dimana masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem pusat. Secara ringkas Baran mengungkapkan imperialisme budaya merupakan invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat asli atau pribumi melalui media massa.

(Baran, 2004 : 521) Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern (dari bahasa-bahasa dominan dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer) ke seluruh dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer. Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.

Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller (1976), ada beberapa konsep pokok dari Imperialisme budaya, yaitu :

1. Sistem dunia modern, merupakan konsep sederhana yang menunjukkan kapitalisme.

2. Masyarakat, konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan.

3. Sistem pusat yang mendominasi, menunjukkan negara-negara maju atau dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat.

50

4. Struktur dan nilai, menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara yang berkuasa ke negara berkembang.

Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan (heroism) dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara.

Idi Subandy Ibrahim mengungkapkan bahwa di bawah figur media yang keras, orang bisa dikendalikan dan akhirnya dihancurkan. Tetapi, ada juga yang mengendalikan dan mengekspresikan diri melalui media. Amerika Serikat, misalnya, telah dengan mengesankan mentasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ yang selalu berbicara atas nama misi perdamaian dalam setiap invasi. Sejarah mencatat bahwa setiap pahlawan membutuhkan “media”. Jika dulu medianya adalah revolusi maka sekarang medianya adalah media massa. Media massa mampu menciptakan pahlawan-pahlawan kultural rekaan media yang ditokohkan atas dasar citra (image) atau kesan (impression) simbolis yang kemudian mengukuhkan kriterium kepahlawanan (heroism) seseorang (Rakhmat, Latief dan Ibrahim, 1997).

Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari media massa. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang

51

meniru apa yang disajikan media massa. Mengapa? Karena media massa menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan. Media massa juga merupakan alat kultural yang memuat produk budaya di mana ia berasal. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini semuanya bermuara pada imperialisme budaya.

Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya.

Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media massanya dengan materi yang berasal dari negara-negara maju, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan negara-negara maju tersebut.

2.3.7.2 Imperialisme Budaya dalam Sejarah 1. Roma kuno.

Kekaisaran Romawi telah dilihat sebagai contoh awal imperialisme budaya.

Awal Roma, dalam penaklukan Italia, mengasimilasi orang-orang Etruria dengan mengganti bahasa Etruscan dengan bahasa Latin, yang menyebabkan kematian bahasa itu dan banyak aspek peradaban Etruscan. Romanisasi budaya diberlakukan di banyak bagian kerajaan Roma oleh "banyak daerah yang menerima budaya Romawi dengan enggan, sebagai bentuk imperialisme budaya." Sebagai contoh, ketika Yunani ditaklukkan oleh tentara Romawi, Roma mulai mengubah budaya Yunani. Untuk menyesuaikan diri dengan cita-cita Romawi. Misalnya, kebiasaan orang Yunani mengepel telanjang, di depan umum, untuk latihan, dipandang sebagai kritik oleh penulis Romawi, yang menganggap praktik tersebut sebagai penyebab kegilaan dan perbudakan orang-orang Yunani (Goldhill, 2006: 114).

2. Kerajaan Inggris.

52

Ekspansi dunia maya di Inggris pada abad 18 dan 19 bukan sekedar fenomena ekonomi dan politik, namun terdapat juga dimensi sosial dan budaya yang kuat.

Rudyard Kipling menyebut dimensi ini “beban orang kulit putih". Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan melakukan dakwah religius, seperti the London Missionary Society, yang menjadi media imperialisme budaya Inggris. (Olson dan Shadle, 1996: 682) Begitu juga dalam hal sains dan teknologi di kekaisaran dimana ilmuwan kolonial di India sekarang lebih memilih untuk menekankan cara-cara di mana sains dan teknologi bekerja dalam pelayanan kolonialisme, karena keduanya merupakan kendaraan untuk imperialisme budaya. Sains berkembang di India dengan cara-cara yang mencerminkan prioritas kolonial sehingga menguntungkan orang-orang Eropa dengan menggeser budaya India, namun tetap bergantung dan tunduk pada otoritas ilmiah di kota metropolitan kolonial (Peers dan Goptu. 2012: 192).

Menurut Danilo Raponi, imperialisme budaya Inggris pada abad ke-19 memiliki efek yang jauh lebih luas daripada hanya di Kerajaan Inggris. Ia mengatakan imperialisme budaya merupakan hegemoni budaya yang kompleks dari sebuah negara.

Inggris pada abad ke-19 tidak memiliki saingan untuk memproyeksikan kekuatannya ke seluruh dunia dan untuk mempengaruhi budaya, urusan politik dan komersial kebanyakan negara. Hal ini menmperlihatkan bahwa sebuah negara yang memiliki kekuatan untuk mengekspor gagasan dan konsep mendasar berdasarkan peradaban dapat menghasilkan hegemoni budaya yang tidak terbatas. (Raponi, 2014: 56)

3. Kolonialisme Nazi.

Imperialisme budaya juga telah digunakan sehubungan dengan perluasan pengaruh Jerman di bawah Nazi pada pertengahan abad ke-20. Bahkan sebelum Nazi berkuasa, akademisi Jerman di Eropa timur telah berkontribusi melalui publikasi mereka dan mengajarkan legitimasi prasasti dan imperialisme budaya Jerman terutama dalam

53

disiplin ilmu sejarah, ekonomi, geografi, dan sastra. Kemudian di bidang musik selama pendudukan Jerman, Hans Rosbaud, seorang konduktor Jerman yang berbasis rezim Nazi di Strasbourg, menjadi seorang pelayan imperialisme budaya Nazi yang ditujukan terhadap orang Prancis (Steinweis dan Rogers, 2003: 72).

Di Italia selama perang, Jerman mengumpulkan front budaya Eropa yang tertarik dengan budaya Jerman. Menteri propaganda Nazi, Joseph Goebbels mendirikan European Union of Writers yang menjadi salah satu proyek paling ambisius untuk hegemoni budaya Nazi. Perkumpulan tersebut merupakan sarana bagi para penulis dari Jerman, Italia, dan negara-negara yang diduduki Jerman untuk merencanakan kesusastraan di Eropa baru, dan menjadi motor imperialisme budaya Jerman. (Kater, 1999: 275)

Di bagian lain Eropa, Robert Gerwarth menulis tentang imperialisme budaya yang menyatakan bahwa proyek Germanisasi "Nazi" didasarkan pada program penangkapan, pencurian, pengusiran dan pembunuhan rasial yang secara historis belum pernah terjadi sebelumnya. Integrasi penuh Protektorat Ceko ke dalam Orde Baru ini mewajibkan Jerman memberantas budaya asli Ceko dan Yahudi. (Gerwarth, 2011: 263).

Tindakan Nazi Jerman mencerminkan gagasan tentang ras dan budaya yang memainkan peran penting dalam imperialisme. Gagasan bahwa ada perbedaan antara orang Jerman dan Yahudi telah menciptakan ilusi orang-orang Jerman yang percaya bahwa mereka lebih unggul dari orang-orang Yahudi, gagasan tentang kita - mereka dan diri sendiri- orang lain.