• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Dominatif Negara & Korporasi Yang Melahirkan Ide

B. Mobilisasi Massa yang Berbasis Komunitas Masyarakat Lokal

Pada periode pertama ini, mobilisasi tindakan kolektif korban bencana Lumpur Lapindo masih bersifat sporadis. Mobilisasi tindakan kolektif dilakukan oleh komunitas RT, RW, dan Desa yang sifatnya temporal. Pada periode ini kelompok (organisasi) gerakan sosial korban bencana Lumpur Lapindo belum terbentuk. Gambaran dinamika struktur mobilisasi tindakan kolektif (pra-gerakan sosial) korban bencana Lumpur Lapindo dapat dijelaskan sebagai berikut: Pada awalnya, aksi korban bencana Lumpur Lapindo masih berupa tindakan kolektif. Pada periode ini, struktur mobilisasi korban bencana Lumpur Lapindo masih bersifat sporadis atas dasar wilayah RT, RW, dan Desa masing-masing, karena kelompok-kelompok korban bencana Lumpur Lapindo belum terbentuk. Warga mulai panik, karena semburan lumpur semakin besar dan meluber ke kawasan pemukiman penduduk. Aksi sporadis mulai dilakukan warga masing-masing wilayah yang menuntut aliran lumpur ke wilayahnya ditutup.

Menurut penuturan KH204, pada tanggal 4 Juni 2006 sekitar 6 hari setelah terjadinya semburan lumpur, warga mulai resah karena lumpur sudah masuk ke jalan raya Renokenongo. Luberan lumpur kira-kira sudah mencapai mata kaki menggenangi jalan. Masyarakat kemudian melakukan aksi demonstrasi meminta supaya pihak PT LBI membuat tanggul penahan lumpur supaya tidak meluber ke wilayah perkampungan penduduk. Tuntutan warga masih bersifat sporadis, warga masih berjuang sendiri-sendiri sesuai dengan desanya masing-masing. Warga Siring memperjuangkan wilayah Desa Siring, warga Jatirejo memperjuangkan wilayah Desa Jatirejo, warga Renokenongo memperjuangkan wilayah Desa Renokenongo, dan sebagainya. Misalnya, ketika lumpur mengalir ke Desa Siring, kemudian warga Desa Siring melakukan aksi menuntut supaya dibuatkan tanggul penahan lumpur, demikian pula dengan wilayah desa yang lainnya. Di antara wilayah desa-desa yang mulai terkena genangan lumpur belum ada koordinasi.

Kondisi ini menimbulkan kerawanan berupa konflik horisontal antar warga desa, karena begitu akses lumpur ke Desa Siring ditutup oleh tanggul, misalnya, maka tanggul tersebut kemudian dijebol oleh warga dari Desa Jatirejo karena warga Desa Jatirejo khawatir aliran lumpur akan berpindah ke desanya. Ketika lumpur mulai masuk wilayah Desa Jatirejo, kemudia warga Desa Jatirejo menuntut dibuatkan tanggul tapi kemudian dijebol oleh warga Desa Siring, dan seterusnya. Masing-masing wilayah desa juga membentuk Pam-Swakarsa (Pengamanan Swakarsa) yang tugasnya memantau situasi dan kondisi lumpur di wilayah RT, RW, dan Desa masing-masing. PT LBI melakukan penanggulan lumpur sesuai dengan tuntutan warga masing-masing wilayah RT, RW, dan Desa tersebut melalui Pam Swakarsa desanya masing-masing.

Mengingat potensi konflik antar-warga karena proses membuatan tanggul yang sifatnya sporadis (parsial), sementara semburan lumpur semakin besar dan aliran lumpur semakin luas, maka PT LBI meminta bantuan TNI untuk melakukan proses pembuatan tanggul lumpur secara menyeluruh. Maka sejak tanggal 26 Juni 2006, pihak TNI mengambil-alih proses pembuatan tanggul penahan lumpur dan dibuatlah kolam penampungan lumpur. Oleh karena yang terlibat dalam pembuatan tanggul kolam penampungan lumpur dilakukan oleh pihak TNI, maka warga tidak berani untuk melakukan penjebolan lagi.

Pada awalnya, komunikasi warga hanya dilakukan oleh warga masing-masing desa dengan pihak PT LBI. Warga di antara wilayah Desa yang terkena genangan lumpur masih belum ada koordinasi, namun masing-masing desa sudah dibentuk Pam Swakarsa yang difasilitasi oleh pemerintah desa masing-masing. Tugas Pam Swakarsa masing-masing desa adalah memantau perkembangan situasi dan kondisi lumpur. Hingga awal Agustus 2007, warga yang ada disekitar semburan lumpur belum sampai kepada pemikiran bahwa mereka akan mengungsi atau meninggalkan daerahnya, apalagi harus pindah tempat tinggal. Warga masih berkayikanan bahwa semburan lumpur dapat dihentikan. Namun memasuki akhir bulan Agustus 2007, warga mulai panik karena ternyata luapan lumpur semakin dasyat. Hampir sepertiga Desa Jatirejo, misalnya, sudah tergenang oleh lumpur. Warga mulai merasa pesimis atas kondisi

yang ada, warga merasa bahwa semburan lumpur akan sulit untuk dihentikan.

Menghadapi kondisi seperti ini, kemudian salah satu warga Desa Jatirejo yakni Khoirul Huda melakukan upaya penjaringan aspirasi dan pendapat warga (polling). Khoirul Huda menyebarkan angket kepada warga Desa Jatirejo, terutama yang ada di RT 4 sampai denga RT 13. Hasil penyebaran angket, menyatakan bahwa sebesar 77% warga Desa Jatirejo menginginkan pindah dari Desa Jatirejo karena melihat bahwa semburan lumpur semakin besar dan susah untuk dihentikan. Sementara sisanya yang 33% menolak untuk pindah, dan mereka ingin tetap tinggal di wilayah Desa Jatirejo apapun yang terjadi. Dari warga yang 77% minta pindah dari Desa Jatirejo, sebesar 80% warga korban lumpur Lapindo meminta model cash and carry, yakni menuntut ganti rugi secara cash (tunai) atas aset tanah, bangunan, dan harta benda mereka. Sementara sisanya sebesar 20% meminta model relokasi (resettlement)ke tempat tinggal yang baru.

Selanjutnya KH dan kelompok Pam Swakarsa Desa Jatirejo, melakukan koordinasi dan menggodok aspirasi warga berdasarkan hasil polling ini. Tim kemudian memutuskan bahwa keinginan mayoritas warga korban lumpur Lapindo yang ada di Desa Jatirejo yaitu menginginkan pindah dari wilayah Desa Jatirejo dengan skema pembayaran ganti-rugi cash and carry(secara tunai) dijadikan sebagai bentuk tuntutan yang kemudian akan diperjuangkan kepada pihak PT LBI.

Inisiatif warga Desa Jatirejo yang dimotori oleh KH ini kemudian mendapat respons dari warga korban yang ada di desa lainnya, seperti: Desa Siring, Desa Renokenongo, Desa Kedungbendo, Perum TAS, dan wilayah-wilayah lainnya. Warga korban bencana yang ada di luar Desa Jatirejo tersebut kemudian meniru model wacana yang diputuskan warga Desa Jatirejo yakni mereka juga menginginkan pindah dari Desanya dengan skema penggantian cash and carry. Dengan demikian terdapat kesamaan aspirasi di antara warga korban lumpur Lapindo dari seluruh wilayah desa yang terkena luapn lumpur, yaitu desa: Jatirejo, Siring, Kedungbendo, Renokenongo, Gempolsari, Perum TAS, dan sekitarnya.

Akhirnya, sejak Oktober 2006, di antara warga korban dari berbagai desa tersebut sudah mulai terbangun komunikasi dan koordinasi secara informal, namun perjuangan warga korban masih tetap dilakukan secara sektoral berdasarkan wilayah desa masing-masing. Sebagaimana yang dikemukakan oleh KH sebagai berikut:

“...Maka saat muncul wacana cash and carry, nah terus kita godog berapa keinginan warga untuk mendapatkan ganti rugi, macem-macem keinginan warga, jadi kita rapat dan sebagainya, apa namanya ada yang minta ini itu dan sebagainya, tapi kemudian kita sama-sama akhirnya sekitar bulan Oktober-Nopember 2006 kita sama-sama dengan desa lain, intinya warga di desa lain juga menginginkan hal sama dengan kelurahan Jatirejo, yaitu ingin pindah dari desa dan kemudian wacananya hampir sama minta cash and carry, itulah kemudian yang kita lakukan secara sektoral tapi kita terkoordinasi, tapi belum bentuk kelompok, masih istilahnya terkotak-kotak dalam bingkai-bingkai desa, tetapi kita punya satu tujuan ingin mendapatkan suatu ganti rugi secara cash and carry. Nah itu sudah mulai kita perjuangkan secara sama-sama...”. (Rekapan wawancara dengan KH: Sabtu, 6 April 2013)205

Dengan demikian, sampai dengan bulan Oktober-Nopember 2006 warga korban lumpur Lapindo belum membentuk organisasi (kelompok) gerakan sosial. Perjuangan masih bersifat sporadis dan sektoral berdasarkan wilayah desa masing-masing, namun diantara mereka sudah terdapat kesamaan tuntutan dan sudah dibangun koordinasi lintas desa.

Pada tanggal 23 Juni 2007, didampingi oleh tokoh budayawan Cak Nun (Emha Ainun Najib), 12 perwakilan warga dari tujuh kelompok desa atau wilayah yang terkena genangan lumpur Lapindo, yakni; Desa Jatirejo, Desa Siring, Desa Renokenongo, Desa Kedungbendi, Desa Kalitengah, Desa Ketapang, dan Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS), kemudian menghadap Presiden di Istana Negara. Perwakilan warga kemudian menjelaskan tentang situasi dan kondisi semburan dan genangan lumpur, serta

apa yang menjadi keinginan warga korban kepada Presiden SBY. Menurut KH, setelah mendapat penjelasan dari perwakilan warga korban, Presiden baru mengerti persoalan yang sebenarnya. Setelah itu kemudian Presiden mengambil keputusan untuk berkantor di Sidoarjo, tepatnya di Bandar Juanda Surabaya, selama tiga hari dari hari Senin sampai Rabu, tanggal 24-25 Juni 2007 untuk menyelesaiakn persoalan lumpur lapindo.

“Di dampingi Cak Nun, yang tadi saya ceritakan Cak Nun pake sandal itu. Nah disitu kemudian kita baru tahu bahwa pak SBY sebenarnya tidak paham bener tentang lumpur. Karena kita sudah apa namanya, ada juru bicara-juru bicara yang menceritakan masalah kondisi sosial, kondisi masyarakat, dan lain sebagainya. Pak SBY baru “Ngeh”, dan kemudian beliau setelah peristiwa itu, itu kan hari Minggu, besoknya itu ke Surabaya dan berkantor selama tiga hari di Juanda itu. Itulah yang kemudian perintah pak SBY untuk segera memberikan pembayaran kepada warga”. (Kutipan wawancara dengan KH: Sabtu, 6 April 2013)206 Ketika kelompok warga korban ini menghadap Presiden di Istana Negara, mereka masih mengatasnamakan warga korban dari desanya masing-masing. Belum terbentuk kelompok/organisasi gerakan sosial korban lumpur Lapindo.

Pada tahap ini, korban bencana Lumpur Lapindo belum melakukan mobilisasi sumberdaya finansial. Dana diperoleh dari iuran pribadi para pemimpin lokal masing-masing desa dengan sebagian dukungan dana dari pihak LSM, seperti dari komunitas “Bambang Wetan” pimpinan Cak Nun (Emha Ainun Najib).

C. Dukungan dan Peran Advokasi Koalisi Lembaga