• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terbentuknya Kelompok (Organisasi) Gerakan Sosial Korban Bencana Lumpur Lapindo

Korban Bencana Lumpur Lapindo

B. Terbentuknya Kelompok (Organisasi) Gerakan Sosial Korban Bencana Lumpur Lapindo

Korban bencana Lumpur Lapindo merasa diperlakukan tidak adil oleh pihak pemerintah dan pihak PT LBI, terutama terkait dengan substansi Perpres Nomor 14 Tahun 2007, selain itu mereka juga tidak bisa berharap terhadap advokasi LSM dan peran pemerintah lokal dalam memperjuangkan nasib mereka. Atas dasar ini kemudian korban bencana Lumpur Lapindo menyadari bahwa mereka harus membangun kekuatan kolektif.

1. Terbentuknya Kekuatan Kolektif Korban Bencana Lumpur Lapindo

Pada awalnya respons korban bencana Lumpur Lapindo masih bersifat pasif. Warga masih menunggu apa sesungguhnya yang terjadi dengan lingkungan mereka. Namun respons warga mulai muncul tatkala aliran lumpur mulai memasuki areal tempat tinggal

mereka. Tindakan kolektif korban bencana Lumpur Lapindo yang muncul masih bersifat sporadis, reaktif dan parsial, dimana secara massif belum dikoordinir dengan baik karena kelompok atau organisasi korban bencana Lumpur Lapindo belum terbentuk. Umumnya warga korban bencana Lumpur Lapindo menunggu respons dari pihak pemerintah dan pihak PT LBI dalam upaya menyelesaikan persoalan semburan Lumpur Lapindo. Selain itu warga juga masih menunggu upaya advokasi dari pihak LSM, yakni LSM YLBHI dan LSM Walhi Jawa Timur dalam melakukan proses ligitasi berupa gugatan di pengadilan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan PT LBI yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan penderitaan bagi warga Porong dan sekitarnya.

Namun ternyata respons pemerintah dianggap sangat lamban dan tidak memuaskan warga korban bencana Lumpur Lapindo, sementara pihak PT LBI ternyata tidak mampu untuk menghentikan semburan lumpur. Sedangkan upaya advokasi LSM melalui proses ligitasi juga mengalami kegagalan karena gugatan hukum LSM ditolak oleh pihak pengadilan, sehingga pihak LSM tidak memiliki kekuatan dalam membela kepentingan warga korban dan mulai menarik diri dari proses advokasi sosial atas korban bencana Lumpur Lapindo. Disisi lain, pemerintah lokal seperti RT, RW, Desa, dan Kecamatan juga tidak berdaya dalam membela kepentingan warganya, khusus pemerintahan RT, RW dan Desa di lokasi yang terkena dampak bencana Lumpur Lapindo mengalami kelumpuhan. Menghadapi realitas seperti ini, maka muncul kesadaran dari beberapa warga korban bencana Lumpur Lapindo bahwa mereka harus menghimpun (mengkoordinir) diri untuk berjuang menuntut hak-hak mereka sebagai korban bencana.

Di Lokasi pengungsian, khususnya di lokasi pengungsian Pasar Porong Baru (PPB), beberapa tokoh masyarakat yang berasal dari wilayah desa yang terkena dampak bencana Lumpur Lapindo, yang juga merupakan korban bencana, karena merasa terpanggil dan atas dasar tanggung jawab sosial kemudian tampil sebagai insiator dalam menggkoordinir warga korban bencana Lumpur Lapindo. Para tokoh masyarakat tersebut kemudian mulai melakukan konsolidasi, rapat-rapat, diskusi, dan pertemuan-pertemuan bersama

dengan warga korban bencana Lumpur Lapindo yang lainnya. Dari proses tersebut maka kemudian disepakati untuk dibentuk kelompok-kelompok korban bencana Lumpur Lapindo yang selanjutnya dijadikan basis bagi gerakan sosial korban bencana Lumpur Lapindo dalam melawan bentuk ketidakadilan yang mereka rasakan.

Dalam proses selanjutnya, kemudian lahirlah dua kelompok utama korban bencana Lumpur Lapindo, yakni kelompok: (1) Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL); dan (2) Paguyuban Warga Renokenongo Korban Lapindo (Pagarekorlap). Proses terbentuknya kelompok korban bencana Lumpur Lapindo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Proses Terbentuknya Kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL)

Awal terbentuknya kelompok warga korban lumpur Lapindo bermula dari pemikiran dan usulan Cak Nun pada sekitar akhir bulan Agustus 2007 kepada warga korban bencana Lumpur Lapindo terutama yang berasal dari wilayah Desa Jatirejo. Saat itu Cak Nun menyampaikan bahwa perjuangan warga korban bencana Lumpur Lapindo tidak hanya berhenti sampai selesainya pembayaran jual-beli, tapi juga dilanjutkan dengan program-program yang terkait dengan proses akulturasi antara warga korban lumpur dengan masyarakat yang baru. Selain itu juga warga korban lumpur diharapkan turut berpartisipasi dalam program-program pembangunan Kabupaten Sidoarjo ke arah yang lebih baik lagi.

“...Nah setelah itulah proses pembayaran 20% itu lancar. Itu mulai Juli-Agustus. Ketika mulai lancar sekitar bulan Agustus itu, Cak Nun ngomong kepada kita, “rek nek kalau sudah terbayar kabeh, suatu saat kan bisa saja kita ini bubar”, Cak Nun punya pikiran ini tidak harus masalah bayar-membayar, tetapi ini juga nanti harus dilanjutkan dengan untuk akulturasi budaya masyarakat. Sebab apa? Warga yang di Desa Jatirejo misalkan, pindah ke desa A misalkan, ini belum tentu mereka langsung settle, ini harus ada akulturasi budaya. Maka kemudian setelah sesi pertama adalah masalah pembayaran, urusan bayar-membayar, yang kedua akulturasi budaya, nah yang ketiga Cak Nun

menginginkan “nek cara begini awakmu makmur, la kalau sudah makmur awakmu ojo meneng ae, ya opo carane supaya Sidoarjo lebih makmur lagi”. Tiga tahapan itu yang kemudian, apa namanya, kita strategikan. Dan itu tidak mungkin bisa kecuali ada organisasi...”.241

Akhirnya, pada sekitar bulan Agustus 2007, warga korban bencana lumpur Lapindo membentuk sebuah kelompok yang menamakan diri Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL). Anggota GKLL adalah para warga korban bencana lumpur Lapindo, terutama yang berasal dari Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo, Kedungbendo, dan warga Perumahan Tanggul Angin Sejahtera (Perum TAS), yang jumlahnya lebih dari 5.000 KK. Berdasarkan kesepatan warga korban, kemudian Djoko Suprastowo diberikan kepercayaan sebagai Koordinator GKLL dan Khoirul Huda sebagai skretaris GKLL. Untuk memperkuat jaringan kelompok, selanjutnya dibentuk pengurus GKLL di tingkat desa dan kelurahan, yang meliputi: Bambang Harpriyatno (Koordintaor GKLL Kelurahan Siring), M. Saudo (Koordintaor GKLL Desa Renokenongo), H. Imron Rosadi (Koordintaor GKLL Desa Kedungbendo I), Suparman (Koordintaor GKLL Desa Kedungbendo II), H. Suprat (Koordintaor GKLL Desa Jatierjo), M. Mufid (Koordintaor GKLL Desa Ketapang), Agus Cahyono (Koordintaor GKLL Desa Kalitengah), dan Sutikno (Koordintaor GKLL Desa Gempolsari).

Ada tiga tujuan dibentuknya GKLL, yaitu: Pertama, memperjuangkan tuntutan ganti rugi; Kedua, melakukan proses akulturasi dan sosialisasi warga korban dengan lingkungan warga baru; dan Ketiga, partisipasi korban lumpur dalam pengembangan Sidoarjo. Sebagaimana dijelaskan oleh Huda bahwa “...Selain untuk proses ganti rugi ada tujuan yang kedua yaitu akulturasi budaya. Yang ketiga adalah, apa namanya, partisipasi korban lumpur terhadap pembangunan Sidoarjo...”.242

GKLL memperjuangkan proses ganti rugi bagi warga korban lumpur Lapindo melalui skema cash and carry(CnC), sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Skema cash and carry

241 Kutipan wawancara dengan Khoirul Huda: Sabtu, 6 April 2013.