• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Modal Calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) di Indonesia dilaksanakan berdasarkan keputusan politik, yaitu dengan lahirnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah yang memuat ketentuan tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Undang-ungdang ini mulai dijalankan bulan Juni 2005 ditandai dengan Pilkada langsung pertama di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dengan Pilkada langsung ini, maka rakyat ditingkat lokal dapat berpartisipasi menentukan sendiri pimpinan daerahnya, sehingga pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat dengan

sendirinya telah berakhir. Pada Pilkada yang pertama kali dilaksanakan tersebut, menghasilkan Syaukani Hassan Rais/Samsuri Aspar (Partai Golkar) sebagai pasangan calon terpilih dengan perolehan suara mencapai 60,85 %.

Pilkada memiliki dua makna, sebagai keberhasilan dan kegagalan demokrasi. Pilkada dikatakan berhasil karena sudah menunjukkan adanya partisipasi rakyat, proses pencalonan yang diseleksi, kampanye, dan kontrak politik. Dalam hal ini, prosedur sebagai demokrasi sudah dipenuhi dan dipraktekkan, terlepas dari hasil yang dicapai. Sedangkan Pilkada disebut gagal karena masih menunjukkan praktik uang, besarnya angka golput, ketidaktahuan pemilih dengan hak-hak politiknya sebagai warga negara yang memiliki otonomi, pola rekruitmen calon, dan lainnya.68

Beberapa catatan penting dalam rangka mewujudkan penguatan hingga pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal dalam Pilkada langsung, adalah :69

1. Dengan Pilkada langsung penguatan demokrasi di tingkat lokal dapat terwujud, khususnya yang berkaitan dengan legitimasi politik. Karena asumsinya kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang sangat kuat karena didukung oleh suara pemilih nyata (real voters) yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih, sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis mendapat dukungan dari sebagian besar warga.

2. Dengan Pilkada langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas (pemerintah) lokal (local accountability). Ketika seorang kandidat terpilih menjadi kepala daerah, maka pemimpin rakyat yang mendapat mandat tersebut harus meningkatkan kualitas akuntabilitasnya. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena obligasi moral dan penanaman modal politik menjadi kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai wujud pembangunan legitimasi politik.

68

Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Ed 21, Tahun VI 2005, Pilkadal, Yogyakarta: Insist Press, 2005, hal. 86

69

3. Apabila local accountability berhasil diwujudkan, maka optimalisasi equilibrium

checks and balances antara lembaga-lembaga negara (terutama antara eksekutif

dan legislatif) dapat berujung pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan proses demokrasi di level lokal.

4. Melalui Pilkada, peningkatan kualitas kesadaran politik masyarakat sebagai kebertampakan kualitas partisipasi rakyat diharapkan muncul. Masyarakat saat ini diminta untuk menggunakan rasionalitasnya, kearifannya, kecerdasannya, dan kepeduliannya untuk menentukan sendiri siapa yang kemudian dia anggap pantas dan/atau layak untuk menjadi pemimpin mereka ditingkat propinsi, kabupaten, maupun kota. Selain itu, mekanisme ini juga memberikan jalan untuk “me-melek- kan” elite politik bahwasanya pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya tidak berada di tangannya, melainkan terletak di tangan rakyat.

Kalau mencermati prosedur maupun proses pemilihan dalam Pilkada secara langsung, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berkemungkinan memenangkan Pilkada secara langsung manakala memiliki tiga modal utama. Ketiga modal itu adalah modal politik (political capital), modal sosial (social capital) dan modal ekonomi (economical capital).70

Ketiga modal itu memang bisa berdiri sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain. Tetapi di antara ketiganya acapkali berkait satu dengan yang lain. Artinya, calon kepala daerah itu memiliki peluang besar terpilih manakala memiliki akumulasi lebih dari satu modal. Argumen yang terbagun adalah bahwa semakin besar pasangan calon yang mampu mengakumulasi tiga modal itu, semakin berpeluang terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.

70

Marijan, Kacung, Demokratisasi Di Daerah, (Pelajaran Dari Pilkada Secara Langsung), Surabaya: Eureka dan PusDeHAM, 2006, hal 85.

2.7.1 Modal Politik

Modal politik berarti adanya dukungan politik, baik dari rakyat maupun dari kekuatan-kekuatan politik yang dipandang sebagai representasi dari rakyat. Modal ini menjadi sentral bagi semua calon, baik dalam tahap pencalonan maupun dalam tahap pemilihan.71

Biasanya setiap pasangan calon kepala daerah, baik yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun calon perseorangan, akan membentuk tim sukses mulai dari tingkatan paling tinggi hingga tingkatan paling rendah (propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa). Bahkan biasanya yang “dipasang” sebagai saksi pada setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara) adalah para tim sukses itu sendiri.

Peranan partai politik maupun tim sukses sangat besar karena akan menjadi “mesin” dalam menggerakkan upaya pencarian dukungan pemilih.

Dalam setiap pelaksanaan Pilkada, peranan partai politik pengusung pasangan calon dan tim sukses sangat besar. Hal ini karena partai politik pengusung dan tim sukses-lah yang bekerja sampai ke lapisan “akar rumput”. Dapat dipastikan, bahwa jika partai politik pengusung maupun tim sukses bekerja dengan baik, maka hasilnya akan baik pula. Demikian pula sebaliknya, jika partai politik pengusung maupun tim sukses tidak bekerja dengan baik, maka hasilnya juga tidak baik.

71

Uang memang dibutuhkan dalam rangka persiapan dan pelaksanaan kampanye serta segala hal yang berkaitan dengan pengawasan penghitungan suara di tingkat TPS, PPK, KPU kabupaten/kota, atau KPU propinsi. Namun saat ini masyarakat pemilih sudah lebih dewasa dalam menghadapi godaan politik uang. Tidak semua pemilih dengan gampang diiming-imingi sejumlah uang. Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah mesti sudah memahami dan menyadari bahwa jika seorang atau sekelompok pemilih bersedia menerima suap untuk memilih mereka maka bersiap dirilah untuk tidak terpilih.72

Secara teori an sich mungkin banyak calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang secara mendalam sudah menguasai teori ilmu politik. Bagaimana implementasi di lapangan, tentu saja merupakan hal lain yang terkadang tidak selalu

match karena adanya distorsi antara teori dan praktek di lapangan. Tanpa bermaksud

mengesampingkan teori-teori yang ada, berikut ini disampaikan panduan 9 (sembilan) kunci sukses yang tepat dijalankan oleh para calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk terpilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah:73

(1) Bercermin pada hasil analisis SWOT dan memenuhi kriteria standar seorang pemimpin

(2) Menawarkan visi, misi, strategi, kebijakan dan program kerja yang sederhana dan menyentuh kepentingan “akar rumput”. Untuk mensukseskan hal itu kepala daerah dan wakil kepala daerah harus berpola pikir dan berperilaku sebagaimana

chief executive officers (CEO’s) pada perusahaan holding company.

72

Herry, Achmad, SE, 9 Kunci Sukses Tim Sukses Dalam Pilkada Langsung, Yogyakarta: Galang Press, 2005, hal. 13.

73

(3) Memahami dan mematuhi semua aturan main yang ditetapkan oleh KPUD, termasuk jadwal, tahapan, dan jenis-jenis formulir.

(4) Menetapkan bentuk organisasi tim sukses yang efektif dan efisien dari tingkat propinsi atau kabupaten/kota hingga ke tingkat TPS. Memilih personalia yang profesional dan berpengalaman, memiliki integritas, loyalitas, komitmen, dan solidaritas sebagai anggota tim sukses.

(5) Menerapkan manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, sebelum, pada saat, dan sesudah masa kampanye. Memahami secara rinci aturan mengenai sumbangan dan dana kampanye serta audit dana kampanye.

(6) Menjalankan soft dan hard campaign yang efektif dan efisien. Memahami karakteristik pemilih dan melakukan komunikasi sambung rasa.

(7) Secara khusus membentuk Kelompok Pendukung Tingkat Kecamatan (KPC), Kelompok Pendukung Tingkat Desa/Kelurahan (KPD/L), dan kelompok pendukung untuk setiap TPS (KP-TPS).

(8) Menguasai secara detail mekanisme pendaftaran, pemutakhiran data, dan persyaratan pemilih yang berhak menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS).

(9) Setiap anggota tim sukses di tingkat propinsi/kabupaten/kota dan KPC, KPD/L, KP-TPS memahami prosedur penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara disemua tingkatan termasuk pengisian berbagai jenis formulir.

2.7.2 Modal Sosial

Modal sosial adalah berkaitan dengan bangunan relasi dan kepercayaan (trust) yang dimiliki oleh pasangan calon dengan masyarakat yang memilihnya. Termasuk di dalamnya adalah sejauh mana pasangan calon itu mampu meyakinkan para pemilih bahwa mereka itu memiliki kompetensi untuk memimpin daerahnya74

74

Marijan, Kacung, op.cit, hal 91.

dan memiliki integritas yang baik. Suatu kepercayaan tidak akan tumbuh begitu saja

tanpa didahului oleh adanya perkenalan. Tetapi, keterkenalan atau popularitas saja kurang bermakna tanpa ditindaklanjuti oleh adanya integritas.

Dalam Pilkada, modal sosial memiliki makna yang sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya kalau dibandingkan dengan modal politik. Melalui modal sosial yang dimiliki, para kandidat tidak hanya dikenal oleh para pemilih. Lebih dari itu, melalui pengenalan itu, lebih-lebih pengenalan yang secara fisik dan sosial berjarak dekat, para pemilih bisa melakukan penilaian apakah pasangan yang ada itu benar-benar layak untuk dipilih atau tidak. Seseorang dikatakan memiliki modal sosial, berarti calon itu tidak hanya dikenal oleh masyarakat melainka n juga diberi kepercayaan.75

75

Ibid, hal 92.

Saat ini, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah berlogika: bagaimana para kandidat mampu memengaruhi dan merebut hati rakyat. Sebaliknya, rakyat akan memberikan hak pilihnya pada kandidat yang sudah dia kenal, dalam pengertian lain, bahwa jauh sebelumnya, kandidat tersebut sudah memiliki modal sosial di tengah-tengah masyarakat. Jika kandidat belum memiliki modal sosial, dan baru memperkenalkan diri sesaat menjelang dilaksanakannya Pilkada, dapat dipastikan bahwa kandidat tersebut sulit mendapatkan dukungan yang mayoritas dari masyarakat.

Secara sederhana demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem politik yang berupaya untuk menghantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Agustiono, 2009). Dalam konteks tersebut, disepakati bahwa kualitas demokrasi amat ditentukan oleh berkualitas atau tidaknya proses rekruitmen para wakil dan pemimpin-pemimpin rakyat. Karena itu, dihubungkan dengan Pilkada, demokrasi di tingkat lokal akan mendapatkan kekuatannya apabila seleksi para wakil rakyat berjalan dengan kompetisi yang adil.

Selain itu, calon pemimpin yang berkualitas juga akan mendapat dukungan dari masyarakat pemilih. Dalam menentukan pilihannya, masyarakat akan melihat integritas seorang calon pemimpin. Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan, kejujuran. 76

Pilkada secara langsung jelas membutuhkan biaya yang besar. Modal yang besar tidak hanya dipakai untuk membiayai kampanye, tetapi juga untuk membangun

Calon yang memiliki integritas akan mendapat mandat dari rakyatnya.

2.7.3 Modal Ekonomi

76

relasi dengan para (calon) pendukungnya, termasuk di dalamnya adalah modal untuk memobilisasi dukungan pada saat menjelang dan berlangsungnya masa kampanye. Tidak jarang, modal itu juga ada yang secara langsung dipakai untuk mempengaruhi pemilih. Misalnya saja, banyak ditemui kasus ada calon yang membagi-bagikan uang atau barang kepada para pemilih. Biasanya pemberian barang atau uang itu tidak diberikan oleh pasangan calon secara langsung, melainkan oleh tim sukses pasangan calon. 77

77

Marijan, Kacung, op.cit, hal. 94-95.

Sangat sulit membedakan modal ekonomi atau politik uang, karena pembuktian politik uang sangat sulit walaupun sering terjadi.

Meskipun demikian, modal ekonomi memiliki makna penting sebagai ‘penggerak’ dan ‘pelumas’ mesin politik yang dipakai. Di dalam musim kampanye misalnya, membutuhkan uang yang cukup besar untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti mencetak poster, mencetak spanduk, membayar iklan, menyewa kendaraan untuk mengangkut pendukung, dan berbagai kebutuhan lainnya termasuk untuk pengamanan. Modal ekonomi bisa menjadi prasyarat utama ketika calon itu buka n berasal dari partai politik yang mencalonkannya. Dalam prakteknya modal ini tidak sepenuhnya berasal dari calon, tetapi dapat berasal dari simpatisan dan pengusaha. Jika modal ekonomi hanya digunakan sebagai cost politic semata, tidak menjadi masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika modal ekonomi tersebut menjadi politik uang, karena dapat merusak proses demokrasi yang sedang dibangun.

Politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus sembako antara lain beras, minyak dan gula kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk partai atau calon yang bersangkutan.

Sejumlah potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung sudah dapat diidentifikasi. Motifnya bermacam-macam, antara lain adalah :

1. Untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar.

2. Calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas

sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar, maka sulit mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima.

3. Untuk kabupaten/kota yang wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih untuk memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa.

4. Untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 30 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.

Apabila identifikasi di atas benar sebagian atau seluruhnya, Setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh untuk mencegah politik uang tersebut, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit dana kampanye Pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri. Akan tetapi, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-undang nomor 12 tahun 2008 serta peraturan turunannya, ternyata tidak memberikan sanksi bagi

penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.

Selanjutnya, apabila para pemilih mampu mengorganisasikan diri berdasarkan preferensi pola dan arah kebijakan lokal dan berdasarkan preferensi watak dan kapabilitas calon, gerakan para pemilih ini sekurang-kurangnya dapat menjadi pesaing tangguh terhadap praktik kriminalitas yang terorganisasi (praktik politik uang) tersebut. Pada Pemilu yang lalu sudah ada sejumlah embrio gerakan para pemilih di beberapa tempat untuk bernegosiasi dengan partai/calon. Namun, memang masih dibutuhkan banyak penggerak untuk pemilih terorganisasi untuk dapat menghadapi kriminalitas terorganisasi tersebut.