• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Perkembangan Sistem Pemilihan Kepala Daerah

Salah satu tujuan reformasi adalah untuk mewujudkan suatu Indonesia baru, yaitu Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selama ini, baik di masa orde baru maupun di era

reformasi, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif, dan di tangan lembaga legislatif. Bahkan di era reformasi ini, kedaulatan seolah-olah berada di tangan partai politik. Partai politik, melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, bahkan dapat memberhentikan presiden sebelum berakhir masa jabatannya, seperti layaknya pada negara dengan sitem parlementer padahal negara kita menganut sistem presidentil. Di daerah-daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum berakhir masa jabatannya.

Kekuasaan yang dimiliki partai politik ini, antara lain disebabkan oleh sistem Pemilu yang kita anut di masa lalu, yaitu sistem proporsional. Dalam sistem ini para pemilih hanya memilih tanda gambar partai politik tertentu. Selanjutnya, partai politiklah yang berhak menentukan siapa-siapa yang akan duduk sebagai wakil rakyat (wakil partai politik?) di DPR atau DPRD. Akibatnya anggota dewan lebih merasakan dirinya sebagai wakil partai politik, dari pada sebagai wakil rakyat sehingga mereka lebih banyak berbuat untuk kepentingan partai dari pada kepentingan rakyat. Dalam sistem ini seseorang yang tidak disukai dan tidak didukung oleh rakyat pemilih, sepanjang yang bersangkutan masih disukai pimpinan partainya, keberadaannya di dewan akan selalu terjamin.

Satu-satunya hak politik yang masih dimiliki rakyat adalah hak memberikan suara pada saat Pemilu berlangsung. Sesudah itu semua hak politik yang dimiliki

rakyat beralih kepada partai politik sehingga rakyat tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan sudah dilupakan sama sekali. Untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sistem Pemilu harus diubah, dengan sistem yang memberi peluang kepada rakyat pemilih, untuk dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung. Melalui amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan menambahkan pasal 6A dan pasal 22E, sistem Pemilu kita diubah menjadi Pemilu secara langsung, baik untuk Pemilu legislatif, maupun untuk Pemilu presiden dan wakil presiden. Untuk Pemilu legislatif yang diatur dengan pasal 22E, selanjutnya dijabarkan pada UU No. 12 tahun 2003 dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 10 tahun 2008, sedangkan untuk Pemilu presiden dan wakil presiden, diatur dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan dalam UU No. 23 tahun 2003, dan selanjutnya diubah menjadi UU No. 42 tahun 2008.

Sementara itu, pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sesuai dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004, merupakan jawaban atas tuntutan pemberian otonomi daerah yang lebih luas. Karena daerah, sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam melakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sudah seharusnya sinkron dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, yaitu pemilihan secara langsung.

Warga masyarakat di daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia secara keseluruhan, juga berhak atas kedaulatan yang merupakan hak asasi mereka yang telah dijamin oleh konstitusi kita, UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Oleh karena itu, warga masyarakat di daerah, berdasarkan kedaulatan yang mereka miliki, harus diberikan kesempatan untuk ikut menentukan masa depan daerahnya masing-masing, antara lain dengan memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung.

Pemilihan Kepala daerah secara langsung ini sangat penting, antara lain

untuk:56

1. Legitimasi yang sama antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan

DPRD

Seperti kita ketahui, anggota DPRD dipilih secara langsung oleg rakyat pemilih melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah tetap dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat, tingkat legitimasi anggo ta DPRD jauh lebih tinggi dari tingkat legitimasi yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2. Kedudukan yang Sejajar Antara Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan DPRD

56

Abdullah, H. Rozali, Prof. SH., Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 53-55.

Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pasal 16 ayat (2) dijelaskan bahwa DPRD, sebagai badan legislatif daerah, berkedudukan sejajar dan menjadi mitra pemerintah daerah. Pasal 34 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, menjelaskan bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD, sementara dalam pasal 31 ayat (2) jo pasal 32 ayat (3) UU No. 22 tahun 1999, dijelaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Dalam hal ini, logikanya adalah bahwa apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dan bertanggungjawab kepada DPRD, berarti kedudukan DPRD berada di atas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh karena itu, untuk memberikan kedudukan sebagai mitra sejajar antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan DPRD, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah, harus dipilih secara langsung oleh rakyat.

3. Mencegah Terjadinya Politik Uang

Pada era berlakunya UU nomor 22 tahun 1999, sering kita dengar isu, mengenai terjadinya politik uang dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Hal ini sudah merupakan rahasia umum, dan terjadi hampir di semua daerah. Masalah politik uang ini, dimungkinkan terjadi karena begitu besarnya wewenang yang dimiliki oleh DPRD dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dengan dilakukannya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, kemungkinan terjadinya politik uang ini bisa dicegah atau

setidak-tidaknya bisa dikurangi. Apabila masih ada pihak-pihak yang ingin melakukannya, mereka akan berhadapan dengan para pemilih yang jumlahnya cukup banyak.

2.5.2 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada Era Orde Baru

Prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah pada era orde baru diatur dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Perangkat hukum tersebut menjadi satu-satunya UU Pemerintahan Daerah yang telah diimplementasikan selama sekurang-kurangnya 25 tahun lamanya. Pada dasarnya UU ini melengkapi paket 5 UU politik lainnya (pemilu, partai politik, susunan kedudukan legislatif, referendum, organisasi kemasyarakatan) yang mendukung gagasan sentralisme kekuasaan politik dan stabilitas politik, yang pada muaranya mendukung proyek pembangunisme yang menjadi ciri utama rezim orde baru. Potret ketidak-demokratisan UU ini bisa dilihat dari uraian berikut ini.

Pola pemilihan kepala daerah ini dituangkan dalam pasal 15 dan 16. Dalam pasal 15 UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa:

Kepala Daerah Tingkat 1 dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit- dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan

DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut kemudian diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 (dua) orang untuk diangkat salah seorang di antaranya.

Tidak jauh berbeda dengan pola pemilihan gubernur, pemilihan bupati/walikota juga diatur sebagai berikut:

Kepala Daerah Tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit- dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Hasil pemilihan ini diajukan DPRD yang bersangkutan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sedikit-dikitnya dua orang untuk diangkat salah seorang di antaranya. 57

Hal ini diperjelas dalam pengaturan yang berbunyi:

Dari bunyi pasal di atas, terlihat jelas bahwa kewenangan pemerintahan pusat dalam proses pemilihan kepala daerah sangat besar dan menentukan. Undang-undang ini juga tidak menjelaskan apa saja peran partai politik tersebut. Dalam hal ini, peran DPRD hanya sekedar ikut mengusulkan, karena proses pengusulan itu sendiri dilakukan bersama pejabat pemerintah satu tingkat di atasnya. Penentuan hasil akhir berada di tangan pemerintahan pusat. Dalam hal ini, Presiden diberi kewenangan yang sangat besar dan menentukan karena bisa mengabaikan hasil pemilihan DPRD.

57

Presiden dalam mengangkat kepala daerah dari antara calon-calon yang diajukan oleh DPRD, tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing- masing calon, karena hal ini adalah merupakan hak prerogatif Presiden. 58

58

Dikutip dari penjelasan Pasal 15 UU No. 5/1974.

Tidak jauh berbeda dengan pola pengambilan keputusan dalam proses pengangkatan dan penetapan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dalam bagian penjelasan pasal 16 UU No. 5 tahun 1974 juga ditegaskan bahwa Menteri Dalam Negeri, yang bertindak atas nama Presiden, menetapkan calon bupati/walikota terpilih dan tidak terikat pada jumlah suara yang diperoleh masing-masing calon.

Ada alasan tersendiri kenapa intervensi pemerintahan pusat begitu besar dan dibenarkan dalam proses pengangkatan kepala daerah. Dalam bagian penjelasan umum (poin 4-e-1) UU No. 5/1974 ini disebutkan bahwa:

Dalam diri kepala daerah terdapat dua fungsi, yaitu fungsi sebagai kepala daerah otonom yang memimpin penyelenggaraan dan bertanggungjawab sepenuhnya tentang jalannya pemerintahan daerah dan fungsi sebagai kepala wilayah yang memimpin penyelenggaraan urusan pemerintahan umum yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Dari uraian ini jelaslah kiranya, betapa penting dan luasnya tugas seorang kepala daerah; dalam pengangkatan seorang kepala daerah, haruslah dipertimbangkan dengan seksama, sehingga memenuhi persyaratan untuk kedua fungsi itu. Sebagai kepala wilayah, maka ia harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan. Dan sebagai kepala daerah otonom, maka ia perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya.

2.5.3 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 22/1999

Setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto pada Mei 1998, lahirlah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang merevisi secara total Undang- undang Pemerintahan Daerah yang berlaku pada era orde baru. Undang-undang yang dilahirkan pada era Presiden B.J. Habibie ini memperkenalkan sebuah pola baru pemilihan dan pembentukan kepala daerah, yang pada muaranya membawa implikasi terhadap hubungan antara kepala daerah dengan DPRD dan pemerintah pusat. Karena mengandung semangat pemberian otonomi yang lebih luas bagi daerah, maka UU ini sering juga disebut sebagai UU Otonomi Daerah.

Regulasi yang berkaitan dengan kepala daerah, telah dimuat dalam UU No. 22 tahun 1999, mulai dari Pasal 30 sampai dengan pasal 58. Untuk kebutuhan yang lebih operasional, pemerintah juga menerbitkan beberapa regulasi, di antaranya Peraturan Pemerintah No. 151 tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 108 tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.

Bila pada UU No. 5 tahun 1974 peran dan posisi DPRD sangat lemah, maka dalam UU No. 22 tahun 1999 ini posisi DPRD justru begitu dominan atau menentukan dalam proses pemilihan dan pemberhentian kepala daerah. Dalam pasal 18 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999, disebutkan bahwa tugas dan kewenangan DPRD

di antaranya adalah memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota; serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota.

Dalam UU nomor 22 tahun 1999 tersebut, prosedur pemilihan kepala daerah diatur dalam pasal 34 ayat (1) yang menyebutkan bahwa: “Pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan: “Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”. Hampir keseluruhan proses politik yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, lebih banyak dikendalikan oleh lembaga DPRD. Panitia penyelenggaraan pemilihan 59

Selanjutnya dalam pasal 35 disebutkan, bahwa tugas panitia pemilihan tersebut adalah a) melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakal calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; b) melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan c) menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan. Selain kepanitiaan berasal dari DPRD, proses penjaringan bakal calon juga dilakukan , misalnya, berasal dari kalangan DPRD. Seperti dimuat dalam pasal 34 ayat (4) yang berbunyi: “Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota”.

59

oleh fraksi di DPRD, bukan oleh partai politik.60

Dalam proses selanjutnya diatur bahwa sebelum bakal calon ditetapkan menjadi calon, maka terlebih dahulu setiap fraksi atau beberapa fraksi memberi penjelasan mengenai bakal calonnya. Pimpinan DPRD juga diberi peluang untuk mengundang bakal calon agar bisa menjelaskan visi, misi serta rencana-rencana kebijakannya. Dari proses itu, maka pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan dan kepribadian para bakal calon. Langkah selanjutnya adalah proses penetapan sekurang-kurangnya dua pasang calon, yang dihasilkan lewat mekanisme musyawarah atau voting di kalangan DPRD.

Berdasarkan pasal 36 UU No. 22 tahun 1999, dinyatakan bahwa setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon kepala daerah/wakil kepala daerah untuk kemudian disampaikan ke pimpinan DPRD. Dengan catatan, dua fraksi atau lebih diberikan kesempatan untuk bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon tertentu.

61

Setelah proses penetapan calon, maka agenda selanjutnya adalah pemilihan. Khusus calon gubernur/wakil gubernur, sebelum dilakukan pemilihan, masih perlu dikonsultasikan dengan presiden.62

Proses pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah

60

Dalam Pasal 15 Ayat (3) PP No. 151/2000 disebutkan bahwa dalam proses penjaringan dan penelitian dokumen, masing-masing fraksi menerima dan menampung aspirasi dari perorangan, masyarakat, organisasi sosial politik dan lembaga kemasyarakatan serta menyosialisasikan nama-nama bakal calon.

61

Pasal 37 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

62

anggota DPRD. Dalam hal ini, setiap anggota DPRD berhak untuk memberikan suaranya kepada satu pasang calon. Pasangan calon yang dianggap sebagai pemenang adalah pasangan calon yang mendapat suara terbanyak63, dalam pengertian mendapat suara di atas 50% dari total suara yang ada. Ini artinya bila pada putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara di atas 50%, maka dilakukan pemilihan putaran kedua dengan memilih dua pasang calon yang mendapat suara rangking pertama dan kedua pemilihan putaran pertama.64

Dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dilihat pengaturan dasar tentang tahapan dan kegiatan pemilihan umum kepala daerah/wakil kepala daerah. Selanjutnya sebagai tindak lanjut UU tersebut, maka pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam perkembangannya, beberapa materi dari UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 6 tahun Setelah penentuan calon terpilih, maka proses selanjutnya adalah penetapan yang dilakukan oleh DPRD, pengesahan oleh presiden,serta pelantikan.

2.5.4 Sistem Pemilihan Kepala Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004

63

Pasal 40 Ayat (3) UU No.22/1999.

64

Tentang pengertian suara terbanyak dan mekanisme pemilihan dua kali putaran dapat dilihat Pasal 24 PP 151/2000.

2005 tersebut mengalami sejumlah revisi sebagai dampak hasil uji material (judicial

review) yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).65

65

Putusan MK Nomor 005/PUU-III/2005.

Sebagai respon terhadap keputusan MK tersebut, maka pada 27 April 2005, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 3 tahun 2005 tentang perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Perppu tersebut kemudian disahkan menjadi UU oleh DPR, yakni UU No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Perppu No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas UU No. 32 tahun 2004). Menyusul Perppu No. 3 tahun 2005 tersebut, maka terbit PP No. 17 tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Selanjutnya, pada tanggal 30 November 2006, Mahkamah Agung menerbitkan sebuah putusan atas uji materi pasal 40 PP No. 6 tahun 2005, yakni berkaitan dengan wajib-mundurnya seorang kepala daerah yang sedang memerintah ketika mencalonkan diri kembali. Menyusul keputusan MA tersebut, maka pemerintah kembali menerbitkan PP No. 25 tahun 2007 tentang perubahan kedua atas PP 6 tahun 2005. Dalam perkembangan berikutnya, UU No. 32 tahun 2004 ini di-

judicial-review lagi, yang menghasilkan sebuah keputusan Mahkamah Konstitusi

nomor 5/PPU–V/2007 berkaitan dengan dibukanya peluang bagi calon independen dalam pemilu kepala daerah.

Sebagai tindak lanjut dari keputusan MK tersebut, maka lahirlah UU No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam UU tersebut diatur berbagai prosedur dan syarat- syarat bagi calon perseorangan, termasuk tentang wajib mundurnya kepala daerah atau wakil kepala daerah jika kembali mencalonkan diri. Setelah keluarnya UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, maka pemilihan kepala daerah sudah dimasukkan sebagai rezim pemilihan umum, dengan menegaskan hirarkisme lembaga penyelenggara Pemilu.

Dalam Perkembangan terakhir, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan melalui putusan No. 17/PUU-VI/2008 tanggal 04 Agustus 2008, yang menyebutkan bahwa pasal 58 (q) Undang-undang No. 12 tahun 2008 tidak mengikat, dengan demikian sejak dibacakannya putusan tersebut, tidak ada kewajiban mengundurkan diri bagi calon yang sedang menduduki jabatannya, baik sebagai kepala daerah maupun sebagai wakil kepala daerah. Selanjutnya menteri dalam negeri mensyaratkan bahwa calon incumbent hanya diwajibkan cuti pada saat melakukan kampanye.

2.5.5 Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah

Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagaiman telah dikemukakan sebelumnya, perubahan yang paling signifikan yang terdapat dalam undang-undang baru ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung. UU No. 32 tahun 2004 ini terdiri dari 240 pasal. Dari 240 pasal tersebut, 63 pasal di antaranya mengatur tentang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung, yaitu pasal 56 sampai dengan pasal 119.

Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan reformasi dan amandemen UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, UU ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dalam perkembangan berikutnya, sesuai dengan Undang- undang No. 12 tahun 2008, pasangan calon juga dimungkinkan lewat jalur perseorangan. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008 dan Undang-undang nomor 42 tahun 2008, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Sebagai sebuah “rezim” Pemilu, penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dalam hal ini adalah KPU kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dalam undang-undang No. 22 tahun 2007 ini, DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Kewenangan itu sekarang beralih kepada KPU. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPU dalam menyelenggarakan Pilkada, dari kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD. Substansi terpenting dari pembentukan KPU maupun KPU kabupaten/kota adalah untuk mencegah adanya campur tangan penguasa dan pihak-pihak lain terhadap penyelenggaraan Pemilu. Artinya adalah harus ada institusi yang independen.

Sifat independen KPU yang ditegaskan dalam pasal 22E ayat (5) perubahan ketiga Undang-undang Dasar 1945 yang mengharuskan KPU tidak saja bersifat nasional dan tetap, melainkan juga harus mandiri alias independen. Undang-undang Pemilu berbunyi: Komisi Pemilihan Umum yang mandiri adalah Komisi Pemilihan Umum yang tidak berada dan/atau di bawah pengaruh seseorang, kelompok, golongan, partai, ataupun pemerintah. Artinya, dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya, KPU berpedoman semata-mata pada peraturan perundang- undangan, dan membuat keputusan serta mengambil tindakan tanpa campur tangan

ataupun intervensi dari manapun. Untuk itu sebagai organisasi yang ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai penyelenggara pemilu, KPU tentu harus memiliki anggota dalam jumlah yang cukup, struktur organisasi dan tata kerja, kelompok personel dengan kualifikasi dan jumlah yang memadai, serta anggaran yang cukup untuk melaksanakan visi, misi, tujuan, dan sasaran strategisnya.

Karena itu, independensi KPU dapat dilihat dari (1) persyaratan dan mekanisme penentuan keanggotaan, (2) susunan organisasi dan tata kerjanya, (3) persyaratan dan mekanisme penentuan personel, dan (3) perumusan dan pengajuan anggaran. KPU dinyatakan mandiri apabila keanggotaannya bersifat nonpartisan dan dipilih secara terbuka secara kompetitif. Selain itu, KPU sendirilah yang menentukan susunan organisasi dan personelnya, serta menyusun dan mengajukan anggaran kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penyelenggaraan Pemilu, termasuk Pilkada dipandang tidak tepat bila dilaksanakan oleh lembaga eksekutif ataupun legislatif karena keduanya merupakan peserta Pemilu. Sementara itu, lembaga yudikatif dipandang tidak tepat karena bertugas menegakkan hukum, termasuk penegakan peraturan Pemilu. Karena itu, penyelenggaraan Pemilu seyogyanya diserahkan kepada lembaga independen yang orang-orangnya bersikap dan bertindak nonpartisan.

Independensi KPU tidak saja merupakan kepentingan setiap peserta Pemilu karena akan mencegah keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada pesaing tertentu

dan lebih menjamin perlakuan yang adil dan setara kepada setiap pesaing. Tapi, juga merupakan kebutuhan rakyat pemilih karena akan lebih menjamin pilihan mereka yang akan menentukan siapa yang menjadi penyelenggara negara di pusat dan daerah.