• Tidak ada hasil yang ditemukan

F. Manfaat Penelitian

1. Model Cooperative Learning

Model pembelajaran adalah suatu perencannan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. 1 Dalam model pembelajaran terdapat strategi pencapaian kompetensi siswa dengan pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran dimana siswa akan duduk bersama dalam kelompok untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru2. Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan atau tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen).3 Dalam belajar kooperatif ini terjadi interaksi antar anggota kelompok semua anggota harus turut terlibat karena keberhasilan kelompok ditunjang oleh aktivitas anggotanya, sehingga anggota kelompok saling membantu.4

Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang menggunakan struktur tugas dan penghargaan yang berbeda untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli

1

Iif Khoiru Ahmadi, Sofan Amri, Tatik Elisah, Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya), h. 13-14.

2

Robert E. Slavin, Cooperative LearningTeori, Riset dan Praktik (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 8.

3

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 240.

4

Nuryani Y. Rustaman, Soendjojo Dirdjosoemarno, Yusnani Ahmad, Strategi Belajar

pendidikan. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin (1995) dinyatakan bahwa: (1) penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat lain, (2) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman.5

Beberapa ciri pembelajaran kooperatif adalah: (1) setiap anggota memiliki peranan; (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa; (3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya; (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan masing-masing kelompok, (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.

Ada beberapa unsur yang dapat menjamin ketika siswa bekerja secara berkelompok yaitu (1) anggota kelompok harus saling peduli bahwa mereka adalah tim yang memiliki tujuan bersama; (2) anggota kelompok harus sadar bahwa masala h harus diselesaikan bersama dan sukses atau gagal kelompok adalah tanggung jawab seluruh anggotanya, sehingga siswa akan saling berdiskusi satu sama lain; (3) masalah itu harus diselesaikan oleh setiap anggota kelompok untuk keberhasilan bersama.6

Menurut Roger dan David Johnson (Lie, 2008) menjelaskan bahwa ada 5 hal penting yang melekat pada keberhasilan pembelajaran kooperatif, yaitu: a. Prinsip ketergantungan positif (positive interdependence), yaitu dalam

pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam menyelesaikan tugas tergantung pada usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompok. Oleh karena itu, semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan.

5

Rusman, Model-Model Pembelajaran (Depok: PT Rajagrafindo Persada, 2014), h. 205-206.

6

T Gok and Silay, The Effects of Problem Solving Strategies in Student’s Achevment,

b. Tanggung jawab perseorangan (individual accountability), yaitu keberhasilan kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam kelompok.

c. Interaksi tatap muka (face to face promotion interaction), yaitu memberikan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk saling memberi dan menerima informasi dari anggota kelompok lain.

d. Partisipasi dan komunikasi (participation communication), yaitu melatih siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran.

e. Evaluasi proses kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. 7

Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. 8

Model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:9

a. Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.

b. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu, misalnya model berpikir induktif dirancang untuk mengembangkan proses berpikir induktif.

c. Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas, misalnya model synectic dirancang untuk memperbaiki kreativitas dalam pembelajaran. 7 Rusman, op.cit., h. 212. 8 Rusman, Ibid., h. 161. 9 Rusman, Ibid., h. 136.

d. Memiliki bagian-bagian model yang dinamakan: (1) urutan langkah-langkah pembelajaran (syntax); (2) adanya prinsip-prinsip reaksi; (3) sistem sosial; dan (4) sistem pendukung. Keempat bagian tersebut merupakan pedoman praktis bila guru akan melaksanakan suatu model pembelajaran.

e. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: (1) dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat diukur; (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar jangka panjang.

f. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.

Sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari 6 (enam) fase, keenam fase sintak tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2. 1 berikut:10

Tabel 2.1 Sintak Cooperative Learning

FASE-FASE PERILAKU GURU

Fase 1: (Present goals and prepare)

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa

Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan siswa siap belajar Fase 2: (Present information)

Menyajikan informasi

Mempresentasikan informasi kepada siswa secara verbal

Fase 3: (Organize student onto learning teams)

Mengorganisir siswa ke dalam tim-tim belajar

Memberikan penjelasan kepada siswa tentang cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase 4: (Assist team work and study) Membantu kerja tim dan belajar

Membantu timtim belajar selama siswa mengerjakan tugasnya

Fase 5: (Test on the materials) Mengevaluasi

Menguji pengetahuan siswa mengenai berbagai materi pembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikan hasil kerjanya

Fase 6: Provide recognition

Memberikan pengakuan dan penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan presentasi individu maupun kelompok

Model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan sekedar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang membedakannya dengan

10

Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 56.

pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan Johnson (1994) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning, untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong atau lebih biasa dikenal dengan sebutan kerja kelompok di dalam suatu pembelajaran, yaitu dengan adanya rasa saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi antar anggota, evaluasi proses kelompok.11Selain itu, model cooperative learning dalam pengembangannya memiliki tujuan pencapaian antara lain mengenai hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu dan pengembangan keterampilan sosial.

Perbandingan Pembelajaran Kooperatif dan Pembelajaran Tradisional

Perbandingan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran tradisional dapat dilihat dalam Tabel 2. 2 berikut:

Tabel 2.2 Perbandingan Pembelajaran Kooperatif dan Pembelajaran Tradisional

Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Tradisional

Interpedensi positif dengan prosedur-prosedur yang terstruktur jelas (positive interpedence with structured)

Tidak ada interpedensi positif (no positive interpedence)

Akuntabilitas individu atas pembagian kerja kelompok (a clear accountability for their

individual’s share of the group work)

Tidak ada akuntabilitas atas pembagian kerja kelompok (no accountability for individual share

of the group’s work) Relatif menekankan kelompok yang

terdiri dari siswa dengan level kemampuan yang berbeda (heterogeneous ability grouping)

Cenderung menekankan kelompok yang terdiri dari siswa dengan level kemampuan yang setara

(homogeneous ability grouping) Saling berbagi peran kepemimpinan

(sharing of leadership roles)

Jarang menunjukkan pemimpin kelompok (few being appointed or put in charge of the group)

Masing-masing anggota saling menshare tugas pembelajaran dengan anggota yang lain (sharing of the appointed learning task)

Masing-masing anggota jarang membantu anggotanya yang lain untuk belajar (each seldom

responsible for others’ learning)

11

Anita Lie, Kooperatif Learning (Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas), (Jakarta: Grasindo, 2007), h. 17.

Bertujuan memaksimalkan pembelajaran setiap anggota kelompok (aiming to develop each member’s learning to the

maximum)

Fokus hanya untuk menyelesaikan tugas (focusing only on

accomplishing the assigments)

Menjaga relasi kerja sama yang baik (maintaining of good working relationships)

Acap kali mengabaikan relasi kerja sama yang baik (frequen neglect of good working relationship)

Mengajarkan keterampilan bekerja sama yang efektif (teaching of collaborate skills)

Menganggap semua siswa bisa bekerja sama dengan baik (assuming that students already have the required skills)

Observasi guru pada kualitas teamwork siswa (teachers observation of students teamwork)

Jarang ada observasi dari guru (little teacher observation)

Merancang prosedur-prosedur yang jelas dan mengalokasikan waktu yang

memadai untuk pemrosesan kelompok (structuring of the procedures and time for the processing)

Jarang merancang prosedur dan mengalokasikan waktu untuk pemrosesan kelompok (rare structuring of procedures and time for the processing)

2. Problem Solving

Hanlie Murray, Alwyn Olivier, dan Piet Human (1998) menjelaskan bahwa pembelajaran penyelesaian masalah merupakan salah satu dasar teoritis dari berbagai strategi pembelajaran yang menjadikan masalah (problem) sebagai isu utamanya.12

Pembelajaran dengan problem solving (pemecahan masalah) adalah suatu kegiatan yang didesain oleh guru dalam rangka memberi tantangan kepada siswa melalui penugasan atau pertanyaan yang sesuai dengan materi yang di berikan sedang siswa mendesain sendiri cara pemecahannya. Fungsi guru dalam kegiatan itu adalah memotivasi siswa agar mau menerima tantangan dan membimbing siswa dalam proses pemecahannya. Masalah yang diberikan harus masalah yang pemecahannya terjangkau oleh kemampuan siswa.

Problem Solving adalah suatu proses di mana individu mengidentifikasi suatu situasi bermasalah, memformulasikan ekspansi tentatif atau hipotesis,

12

Miftahul Huda, Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014),h. 273

memverifikasi hipotesis tentatif tersebut dengan mengumpulkan dan mengevaluasi data, dan menyatakan kembali hipotesis hingga menjadi suatu generalisasi.

Pengajaran berdasarkan pemecahan masalah (problem solving) tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Grabowski, Koszalka & Mccarth (1998) menyatakan siswa diperkenalkan kepada permasalahan dunia nyata dan didorong untuk mendalaminya, mengetahui tentang permasalahan tersebut, sehingga siswa dapat mengambil kesimpulan sendiri atas situasi yang sedang terjadi, dan akhirnya siswa dapat menemukan pemecahan untuk masalah tersebut. 13 Pengajaran berdasarkan pemecahan masalah (problem solving) dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, memecahkan masalah dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri. Dengan problem solving siswa belajar untuk mengembangkan pola pikirnya.

Keunggulan strategi problem solving sebagai berikut: (1) teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran; (2) dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (3) dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa; (4) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata;14 (5) dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja; (6) dapat membiasakan para siswa menghadapi dan memecahkan masalah secara terampil, apabila menghadapi permasalahan dalam kehidupan dalam keluarga, bermasyarakat dan bekerja kelak; suatu kemampuan yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia; (7) dapat merangsang pengembangan kemampuan siswa secara kreatif dan menyeluruh, karena dalam proses belajar, siswa banyak melakukan proses mental dengan

13

Marthinis Yamin, Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Gaung Persada Press, 2011), h.30.

14

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 218.

menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka mencari pemecahannya.15

Model problem solving juga memiliki kelemahan, diantaranya: (1) manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka siswa akan enggan untuk mencoba; (2) membutuhkan cukup waktu untuk persiapan; (3) tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.16

Pendapat lainnya adalah model pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Solso. Menurut Solso ada enam langkah dalam pemecahan masalah, yaitu:17 1) Identifikasi permasalahan (identification problem)

2) Representasi permasalahan (representation of problem) 3) Perencanaan pemecahan (planning the solution)

4) Menerapkan/mengimplementasikan perencanaan (excute the plan) 5) Menilai perencanaan (evaluate he plan)

6) Menilai hasil pemecahan (evaluate the solution)

Selain itu, pembelajaran problem solving dapat dilaksanakan dengan berpedoman pada langkah-langkah strategi problem solving yang dikemukakan oleh Polya yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan pembelajaran dengan problem solving terdapat empat langkah yang mendasarinya yaitu understanding, planning, solving, dan checking. Keempat tahap problem solving, yaitu:18

a. Tahap memahami masalah (understanding)

Tahap memahami masalah menurut Polya ialah bahwa siswa harus dapat memahami kondisi soal atau masalah yang ada pada soal tersebut. Menurutnya ciri bahwa siswa paham terhadap isi soal ialah siswa dapat mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan beserta jawabannya seperti berikut:

15

Sudirman, A. Tabrani Rusyan, Zainal Arifin, Toto Fathoni, Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), h. 146.

16

Wina, Op.cit., h. 219.

17

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer; Suatu tinjauan Konseptual Operasional, (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 56.

18

G. Polya, How To Solve I, (2nd ed; New Jersey: Princeton University Press,1957), p. xvi-xvii.

1) Apakah kita mengetahui arti semua kata yang digunakan? Jika tidak, carilah di indeks, kamus, definisi dan lain sebagainya.

2) Apakah kita mengetahui yang dicari atau ditanya?

3) Apakah kita mampu menyajikan soal dengan menggunakan kata-kata sendiri?

4) Apakah soal dapat disajikan dengan cara lain?

5) Apakah kita dapat menggambar sesuatu yang dapat digunakan sebagai bantuan?

6) Apakah informasi cukup untuk dapat menyelesaikan soal? 7) Apakah informasi berlebihan?

8) Apakah ada yang perlu dicari sebelum mencari jawab dari soal? b. Tahap menyusun rencana strategi penyelesaian masalah (planning)

Tahap menyusun suatu rencana strategi penyelesaian masalah, siswa harus dapat memikirkan langkah-langkah apa saja yang penting dan saling menunjang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemampuan berpikir yang tepat hanya dapat dilakukan jika siswa telah dibekali sebelumnya dengan pengetahuan-pengetahuan yang cukup memadai dalam arti masalah yang dihadapi siswa bukan hal yang baru sama sekali tetapi sejenis atau mendekati. Yang harus dilakukan siswa pada tahap ini adalah siswa dapat:

1) Mencari konsep-konsep atau teori-teori yang saling menunjang. 2) Mencari rumus-rumus yang diperlukan.

Pada jenjang kemampuan siswa tahap ini menempati urutan tertinggi. Hal ini didasarkan atas perkembangan bahwa pada tahap ini siswa dituntut untuk memikirkan langkah-langkah apa yang seharusnya dikerjakan.

c. Melakukan strategi pemecahan masalah (solving)

Tahap pelaksanaan rencana adalah siswa telah siap melakukan perhitungan dengan segala macam data yang diperlukan termasuk konsep dan rumus atau persamaan yang sesuai. Pada tahap ini siswa harus dapat membentuk sistematika soal yang lebih baku, dalam arti rumus-rumus yang akan digunakan sudah merupakan rumus yang siap untuk digunakan sesuai dengan apa yang digunakan dalam soal, kemudian siswa mulai memasukkan data-data hingga menjurus ke

rencana pemecahannya, setelah itu baru siswa melaksanakan langkah-langkah rencana sehingga akan diharapkan dari soal dapat dibuktikan atau diselesaikan.

Tahap pelaksanaan rencana ini mempunyai bobot lebih tinggi lagi dari tahap pemahaman soal namun lebih rendah dari tahap pemikiran suatu rencana. Pertimbangan yang diambil berkenaan dengan pernyataan tersebut bahwa pada tahap ini siswa melaksanakan proses perhitungan sesuai dengan rencana yang telah disusunnya, dilengkapi pula dengan segala macam data dan informasi yang diperlukan, hingga siswa dapat menyelesaikan soal yang dihadapinya dengan baik dan benar.

d. Tahap memeriksa kembali (checking)

Harapan dari keterampilan siswa dalam memecahkan masalah untuk tahap ini adalah siswa harus berusaha mengecek ulang dan menelaah kembali dengan teliti setiap langkah pemecahan yang dilakukannya.

Tahap peninjauan kembali ini mempunyai bobot paling rendah dalam klasifikasi tingkat berpikir siswa. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada tahap ini subjek hanya mengecek kebenaran dari hasil perhitungan yang telah dikerjakannya, serta mengecek sistematika dan tahap-tahap penyelesaiannya apakah sudah baik dan benar atau belum.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, model problem solving yang digunakan pada penelitian adalah model problem solving Polya. Hal ini didasari karena strategi problem solving Polya dianggap cocok untuk meningkatkan kemampuan menganalisis siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kokom Komariah yang menyatakan model problem solving Polya dimulai dengan pemberian masalah, kemudian siswa berlatih memahami, menyusun strategi dan melaksanakan strategi sampai dengan menarik kesimpulan. Model pembelajaran ini sangat tepat untuk diterapkan sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah.19

19

Kokom Komariah, Penerapan Metode Pembelajaran Problem Solving Model Polya untuk Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah Bagi Siswa Kelas IX J di SMPN 3 Cimahi, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA

Secara garis besar tahap-tahap pemecahan masalah menurut G. Polya dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1

Tahap-Tahap Pemecahan Masalah Menurut G. Polya 3. Model Cooperative Learning berbasis Problem Solving

Model pembelajaran Cooperative berbasis Problem Solving merupakan suatu model pembelajaran yang melakukan pemusatan pada pengajaran dan keterampilan pemecahan masalah dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Setiap anggota dalam kelompok saling kerjasama dan membantu untuk memahami suatu bahan permasalahan yang terdiri dari tahap klarifikasi masalah, menampilkan masalah secara fisika, merencanakan strategi pemecahan secara berkelompok, menjalankan rencana, mengkomunikasikan hasil dan mengevaluasi. Suprijono (2012) menyatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif dengan pendekatan problem solving dapat meningkatkan pemahaman konseptual fisika dan prestasi belajar siswa. Model pembelajaran Cooperative berbasis Problem Solving telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada

Memahami Masalah (Understanding)

Menyusun Suatu Rencana (Planning)

Melakukan Suatu Rencana (Solving)

para siswa secara berkelompok atau bekerjasama untuk mengembangkan dan mengintegrasikan suatu permasalahan fisika.20

Model pembelajaran Cooperative berbasis problem solving merupakan model yang dirancang dengan menggunakan LKS berbasis problem solving tipe Polya. Tahapan pembelajaran Cooperative dilaksanakan selama penyampaian materi di kelas berbantukan bahan ajar LKS berbasis problem solving dalam memecahkan soal yang diberikan. Latihan soal yang dikerjakan oleh siswa didiskusikan bersama teman kelompoknya, sehingga semua siswa berpartisipasi dan saling membantu untuk memberi pemahaman materi dan dapat memecahkan permasalahan soal fisika baik secara konsep maupun penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Kemampuan Pemecahan Masalah