• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORITIS

B. Konseptualisasi Kampanye

2. Model Kampanye Politik

c. Ideologically campaigns. Jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan sering kali berdimensi perubahan sosial. Disebut sebagai social change campaigns.

2. Model Kampanye Politik

Dalam buku Dedi Mulyana (2000) yang dikutip oleh Gun Gun Heryanto, Model adalah representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan unsur-unsur terpenting fenomena tersebut). Jadi model bukanlah fenomena itu sendiri. Model hanyalah gambaran tentang fenomena atau realitas yang telah disederhanakan. Model hanya mengambil aspek dan ciri-ciri tertentu dari realitas yang dianggap umum, penting, dan relevan. Karena alesan ini, maka sebuah konstruksi model tidak pernah sempurna. Namun begitu, model memiliki manfaat untuk memudahkan pemahaman tentang proses berlangsungnya suatu hal.22

Umumnya, model-model kampanye memusatkan perhatiannya pada penggambaran tahapan proses kegiatan kampanye. Boleh dikatakan tidak ada model yang berupaya menggambarkan proses kampanye berdasarkan unsur-unsurnya, sebagaimana terjadi dalam menjelaskan proses komunikasi. padahal, kegiatan kampanye pada intinya adalah kegiatan komunikasi. karena itu, menampilkan model kampanye dengan menggambarkan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya menjadi penting. Tujuan agar kita dapat memahami fenomena kampanye, bukan hanya

22

dari tahapan kegiatannya, melainkan juga interaksi antarkomponen yang terdapat di dalamnya.23

a. Model Komponensial Kampanye

Model ini mengambil komponen-komponen pokok yang terdapat dalam suatu proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan kampanye. Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya meliputi: sumber kampanye, saluran, pesan, penerima kampanye, efek dan umpan balik. Unsur-unsur ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang mendeskripsikan dinamika proses kampanye.24

Model ini dapat mudah diidentifikasikan melalui pendekatan transmisi (transmission approach) daripada intraction approach. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang direncanakan. Bersifat purposive (bertujuan), dan sedikit membuka peluang untuk saling bertukar informasi dengan khalayak (interactive). Lebih dari itu, kampanye merupakan kegiatan yang bersifat persuasive yang sumbernya (campaigner) secara aktif berupaya mempengaruhi penerima (campaignee) yang berada dalam posisi pasif. Karena, perbedaan posisi ini, maka proses bertukar peran selama kampanye berlangsung menjadi sangat terbatas.25

23

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 85

24

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 85

25

24

Model kampanye dengan pendekatan transmisi yang searah ini tidak memandang pendekatan interaktif sebagai hal yang tidak penting. Pada beberapa setting kampanye yang menggunakan saluran personal dan pendekatan interaktif dianggap lebih efektif dan realistis. Pada situasi yang demikian, maka perlu dikonstruksi model kampanye yang sesuai.26

Ketika pesan-pesan diterima khalayak diharapkan muncul efek perubahan pada diri mereka. Terjadi atau tidaknya efek perubahan tersebut dapat diidentifikasikan dari umpan balik yang diterima sumber. Umpan balik untuk mengukur efektivitas kampanye dapat muncul dari pesan itu sendiri, saluran yang digunakan atau respons penerima. Akhirnya dapat dikatakan bahwa keseluruhan proses keseluruhan proses kampanye tidak terlepas dari gangguan (noise). Sumber dapat mengidentifikasi potensi gangguan tersebut pada semua komponen kampanye yang ada.27

b. Model Kampanye Ostergaard

Dalam Buku Gun Gun Heryanto model ini dikembangkan oleh Leon Ostergaard, seorang teoritis dan praktisi kampanye kawakan dari Jerman (Klingemann, 2002). Sepanjang hidupnya, Ostergaard telah terlibat dalam puluhan program kampanye perubahan sosial di negaranya. Jadi, model yang diciptakannya ini tidak muncul dari atas meja, tetapi dari pengalaman praktik di lapangan. Di antara berbagai

26

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 86

27

model kampanye yang ada, model ini dianggap paling pekat sentuhan ilmiahnya.28

Menurut Ostergaard yang dikutip Gun Gun Heryanto didalam bukunya, sebuah rancangan program kampanye untuk perubahan sosial yang tidak didukung oleh temuan-temuan ilmiah tidaklah layak untuk dilaksanakan. Alasannya, karena program semacam itu tidak akan menimbulkan efek apa pun dalam menanggulangi masalah sosial yang dihadapi. Karenanya, lanjut pakar kampanye ini, sebuah program kampanye hendaknya selalu dimulai dari identifikasi masalah secara jernih. Langkah ini disebut juga tahap prakampanye.29

Untuk mendapatkan rujukan teoretis-ilmiah tentang masalah yang ada kita dapat memanfaatkan ilmu-ilmu sosial murni seperti sosiologi dan psikologi. Bila dari analisis ini diyakini bahwa masalah tersebut dapat dikurangi lewat pelaksanakan kampanye maka kegiatan kampanye perlu dilaksanakan. Bila kenyataannya demikian maka kita dapat memasuki tahap kedua yakni perancangan program kampanye. Namun, pada kenyataannya banyak masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan melaksanakan kampanye.30

c. The Five Functional Stages Development Model

Dalam buku Gun Gun Heryanto model ini dikembangkan oleh tim peneliti dan praktisi kampanye di Yale University AS pada awal tahun 1960-an (Larson, 1993). Model ini dianggap yang paling

28

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy. Public Relations Politik, h. 86

29

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy. Public Relations Politik, h. 87

30

26

popular dan banyak diterapkan oleh berbagai belahan dunia. Kepopuleran ini tidak terlepas dari fleksibilitas model untuk diterapkan, baik pada candidate oriented campaign maupun kampanye lainnya. Focus model ini adalah pada tahapan kegiatan kampanye, bukan pada proses pertukaran pesan antara campaigner dan campaignee.31

Pada kampanye produk, legitimasi seringkali ditunjukan melalui testimony atau pengakuan konsumen tentang keunggulan produk tersebut. Testimony tersebut dapat diberikan oleh public figure. Pada cause oriented campaign yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan.32

d. The Communicative Functions Model

Judith Trend dan Robert Friendenberg adalah praktisi sekaligus pengamat kampanye politik di Amerika Serikat. Dalam bukunya yang bertajuk Political Campaign Communication seperti yang dikutip oleh Gun Gun Heryanto, mereka merumuskan sebuah model kampanye yang di konstruksi dari lingkungan politik. Sebagaimana model yang di kembangkan tim dari Yale University, model ini dan memusatkan analisisnya pada tahapan kegiatan kampanye. Langkah-langkahnya dimulai dari surfacing, primary, nomination sampai election:33

1) Tahap surfacing (pemunculan). Tahap ini, lebih banyak berkaitan dengan membangun landasan tahap berikutnya, seperti; memetakan daerah-daerah yang akan dijadikan tempat

31

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 89

32

Antar Venus, Manajemen Kampanye,h. 18

33

kampanye, membangun kontak dengan tokoh-tokoh setempat atau orang-orang “kita” yang berada di daerah tersebut, mengorganisasikan pengumpulan dana, dan sebagainya. Tahap umumnya dimulai begitu seseorang secara resmi mencalonkan diri untuk jabatan politik tertentu. Pada tahap ini, khalayak akan melakukan evaluasi awal terhadap citra kandidat secara umum. 2) Tahap primary. Pada tahap ini, kita berupaya untuk

memfokuskan perhatian khalayak pada kandidat, gagasan, atau lembaga yang telah kita munculkan di arena persaingan. Pada tahap ini, kita mulai melibatkan khalayak untuk mendukung kampanye yang dilaksanakan. Dalam konteks politick, tahap ini merupakan yang paling kritis dan paling mahal. Dikatakan kritis karena disini kita secara ketat bersaing dengan kandidat-kandidat lain, yang dalam proses persaingan itu mungkin saja kita menghamburkan janji-janji yang kemudian tidak dapat terpenuhi. Dikatakan mahal, karena pada tahap inilah sesungguhnya kita bersaing untuk dapat nominator selanjutnya yang akan dipilih oleh khalayak.

3) Tahap nominasi. Tahap ini menempatkan kandidat kita mendapat pengakuan masyarakat, memperoleh liputan media secara luas, atau gagasan menjadi topik pembicaraan anggota-anggota masyarakat.

4) Tahap pemilihan. Pada tahap ini, biasanya masa kampanye telak berakhir. Namun, secara terselubung sering kali para kandidat

“membeli” ruang tertentu pada dari media massa agar kehadiran

mereka tetap dirasakan. Di beberapa negara dengan tingkat korupsi yang tergolong sangat tinggi seperti di Indonesia, maka

tahap pemilihan ini ada fenomena yang disebut “serangan fajar”.

e. Model Kampanye Nowark dan Warneryd

Menurut McQuail & Windahl (1993) seperti yang dikutip oleh Gun Gun didalam bukunya , model kampanye Nowak dan Warneryd merupakan salah satu contoh model tradisonal kampanye. Pada model ini, proses kampanye dimulai dari tujuan yang hendak dicapai dan diakhiri dengan efek yang diinginkan. Model ini merupakan deskripsi dari bermacam-macam proses kerja dalam kampanye. Di dalamnya juga terdapat sifat normatif, yang menyarankan bagaimana

28

bertindak secara sistematis dalam meningkatkan efektifitas kampanye.34

Pada model Nowak dan Warneryd ini terdapat tujuh elemen kampanye yang harus diperhatikan, yakni sebagai berikut:35

1) Intended effect (efek yang diharapkan). Efek yang hendak dicapai harus dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, penentuan elemen-elemen lainnya akan lebih mudah dilakukan. Kesalahan umum yang sering terjadi adalah terlalu mengagung-agungkan potensi efek kampanye, sehingga efek yang ingin dicapai menjadi tidak jelas dan tegas.

2) Competiting communication (persaingan komunikasi). Agar

suatu kampanye menjadi efektif, maka perlu diperhitungkan potensi gangguang dari kampanye yang bertolak belakang (counter campaign).

3) Communication object (objek komunikasi). Objek kampanye

biasanya dipusatkan pada satu hal saja, karena untuk objek yang berbeda menghendaki metode komunikasi yang berbeda. Ketika objek kampanye telah ditentukan, pelaku kampanye akan dihadapkan lagi pada pilihan apa yang akan ditonjolkan atau ditekankan pada objek tersebut.

4) Target population & receiving group (populasi target dan kelompok penerima). Kelompok penerima adalah bagian dari populasi target. Agar penyebaran pesan lebih mudah dilakukan, maka pesan lebih baik ditujukan kepada opinion leader (pemuka pendapat) dari populasi target.

5) The channel (saluran). Saluran yang digunakan dapat

bermacam-macam bergantung pada karakteristik kelompok penerima dan jenis pesan kampanye.

6) The message (pesan). Pesan dapat dibentuk sesuai dengan karakteristik kelompok yang menerimanya. Pesan juga dapat dibagi ke dalam tiga fungsi, yakni menumbuhkan kesadaran, memengaruhi dan memperteguh, serta meyakinkan penerima pesan bahwa pilihan atau tindakan mereka adalah benar.

7) The communicator/sender (komunikator/pengirim pesan).

Komunikator dapat dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya seorang ahli atau seorang yang dipercaya khalayak, atau bahkan seseorang yang memiliki keduanya. Pendeknya, komunikator harus memiliki kredibilitas di mata penerima pesannya.

8) The obtained effect (efek yang dicapai). Efek kampanye meliputi: efek kognitif (perhatian, peningkatan pengetahuan dan

34

Gun Gun Heryanto & Irwa Zarkasy, Public Relations Politik, h. 93

35

kesadaran), efektif (berhubungan dengan perasaan, mood dan sikap), dan konatif (keputusan, bertindak dan penerapan).

f. The Diffusion of Innovation Model

Menurut Gun Gun Heryanto dalam bukunya, Model difusi inovasi ini umumnya diterapkan dalam kampanye periklanan (commercial campaign) dan kampanye yang beorientasi pada perubahan sosial (sosial change campaign). Penggagasnya adalah ilmuwan komunikasi ke sohor, Everett M. Rogers.36

Dalam model ini, Rogers menggambarkan adanya empat tahap yang akan terjadi ketika proses kampanye berlangsung (Larson, 1993):37

1) Tahap informasi (information). Pada tahap ini, khalayak diterpa informasi tentang lembaga/kandidat atau gagasan yang dianggap baru. Terapan ini bertubi-tubi dan dikemas dalam bentuk pesan yang menarik akan menimbulkan rasa ingin tahu khalayak tentang produk atau gagasan tersebut.

2) Tahap persuasi (persuasion). Ketika khalayak tergerak mencari tahu dan mendapati bahwa produk tersebut menarik minat mereka, maka dimulailah tahap persuasi atau tahap mempengaruhi khalayak.

3) Tahap membuat keputusan untuk mencoba (decition, adoption and trial) yang di dahului oleh proses menimbang-nimbang tentang berbagai aspek produk tersebut.

4) Tahap konfirmasi atau reevaluasi. Tahap ini hanya dapat terjadi bila orang telah mencoba memilih partai atau kandidat yang ditawarkan. Berdasarkan pengalaman mencoba, khalayak mulai mengevaluasi dan mempertimbangkan kembali tentang produk tersebut.

36

Heryanto, Gun Gun & Irwa Zarkasy. Public Relations Politik, h. 94

37

30

Bagan 2.1. Model Difusi Inovasi

Dalam model difusi inovasi ini tahap keempat menempati posisi yang sangat strategis karena akan menentukan apakah seseorang akan menjadi pemilih yang loyal atau sebaliknya. Rogers juga menyadari bahwa tidak semua tahapan yang ada akan dilalui khalayak. Bahkan pada beberapa kasus khalayak berhenti pada tahan pertama38

Dalam praktik kampanye, kesuksesan seseorang melakukan kampanye akan sangat tergantung pada kredibilitas pelaku kampanye. Kredibilitas itu sendiri memiliki beberapa aspek antara lain adalah: keterpercayaan, keahlian, daya tarik, dan tentunya adalah faktor pendukung lainn seperti keterbukaan, ketenangan dan kemampuan bersosialisasi.39

38

Gun Gun Heryanto & Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011),h.85.

39

Gun Gun Heryanto & Ade Rina Farida, Komunikasi Politik,h.85-86

INFORMASI PERSUASI KEPUTUSAN PENERIMAAN PERCOBAAN KONFIRMASI REEVALUASI

Dokumen terkait