BAB II TINJAUAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN, DAN ASUMSI
2.1.6 Model-Model Implementasi Kebijakan Publik
Dalam studi kebijakan publik terdapat, terdapat bebrapa model implementasi kebiajakan publik yang dikemukakan oleh ahli yang melihat variable-varabel apa saja yang dapat memepengaruhi kinerja implementasi suatu kebijakan publik. Adapun ahli tersebut ialah Van Meter dan Van Horn, George Edward III, dan Marilee S. Grindle.
Menurut Model Implementasi kebijakan yang diutarakan Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino, 2016:133-136) terdapat 6 variabel yang dapat mempengaruhi kinerja impelementasi kebijakan publik, yaitu:
1. Standard dan Sasaran Kebijakan/Ukuruan dan Tujuan Kebijakan.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realiistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksanaan kebijakan.
2. Sumberdaya
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memenfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia, waktu dan sumberadaya financial merupakan bentuk sumberdaya tersebut.
3. Karakteristik Agen Pelaksana
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting banyak dipengarahi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya
4. Sikap/Kecendrungan (Disposition) para Pelaksana
Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.
5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Agen Pelakasana
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya keslahan-kesalah akan sangat kecil untuk terjadi.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Kondisi Ekonomi, social dan politik yang kondusif akan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Begitupun sebaliknya.
Adapun menurut Model Impelementasi Kebijakan yang diberikan oleh George C. Edward III (dalam Agustino, 2016:136-141) terdapat 4 variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu ;
1. Komunikasi
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:
a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.
b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.
c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam meng-implementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.
c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan ke-lompoknya.
d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi ini adalah :
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan
pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.
b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.
4. Struktur Birokrasi
Variabel keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.
Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
Menurut Model Impelementasi Kebijakan yang di berikan oleh Marielee S. Grindle (dalam Agustino, 2016:142-145) terdapat 2 varibel besar yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik , yaitu :
1. Content of Policy,meliputi :
a. Interest Affected(kepentingan-kepentingan yang mem-pengaruhi)
Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaanya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.
b. Type of benefit
Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan.
c. Extent of change Envision(derajat perubahan yang ingin dicapai)
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Pada poin ini ingin dijelaskan bahwa seberapa berapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.
d. Site of Decision Making
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, makapada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.
e. Program Implementer
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus di dukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan.
f. Resource Commited
Pelaksanaan suatu kebijakan harus di dukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaan-nya berjalan dengan baik. 2. Context Of Policy,meliputi :
a. Power, Interest, and Strategy of Actor involved
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau keuaaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para actor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaansuatu implementasi kebijakan.
b. Institusion and Regime Charateristic
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.
c. Compliance and Responsiveness
Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari parapelaksana, maka hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon pelaksana dalam menangggapi suatu kebijakan.
Edward III mengemukakan bahwa salah satu pendekatan dalam studi implementasi adalah harus dimulainya pertanyaan apakah yang menjadi syarat dan selanjutnya Edward menentukan empat faktor yang mempengaruhinya, (1) Komunikasi, (2) Sumberdaya, (3) Disposisi atau sikap, (4) Struktur Birokrasi. Keempat variabel ini saling berhubungan satu sama lain. Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan suatu kebijakan haruslah
menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Kejelasan standar dan sasaran tidak akan menjamin implementasi efektif bila tidak adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas penyuluhan. Hal ini berkaitan erat dengan struktur birokrasi dari pelaksana. Menurut Meter dan Horn ada enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, (1) Standar dan Sasaran Kebijakan, (2) Sumber Daya, (3) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik, (4) Karakteristik Tujuan, (5) Komunikasi Antar Organisasi, (6) Sikap Pelaksana. Grindle mengemukakan bahwa ada dua variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu isi kebijakan dan konteks dari implementasi. Mengingat pemahaman Grindle tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat didalamnya. Artinya sebuah kebijakan yang sederhana tentu tidak melibatkan kepentingan banyak orang, kelompok dalam masyarakat sehingga tidak akan membawa perubahan yang besar. Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok dalam implementasi kebijakan tersebut akan sangat tergantung apakah kepentingannya terlindungi atau bahkan orang atau kelompok tersebut akan memperoleh manfaat yang tinggi atau tidak mendapatkannya.
Dari semua variabel-variabel yang telah dipaparkan oleh para ahli mempunyai kesamaan terutama yang menyoroti tentang komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan aplikasi dari model George C Edward III yang dianggap representatif untuk
menggambarkan Implementasi Kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh Di Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang dengan faktor sikap dan faktor komunikasi yang dijadikan variabel dalam penelitian. Sikap pelaksana adalah faktor ketiga dalam implementasi menurut Edward III. Sikap dapat dilihat dari sikap pelaksana kebijakan dan sikap dari penerima kebijakan. Bila pelaksana bersikap baik maka, ia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik juga, sehingga penerima kebijakan yakni masyarakat pesisir memiliki sikap yang baik dalam menjalankan kebijakan yang ada. Kaitannya dalam penelitian ini, peneliti melihat sikap dari penerima kebijakan yaitu masyarakat Desa Tanjung Pasir Kecamatan Teluknaga. Sikap ini dilihat dari masyarakat pesisir dalam menyikapi implementasi kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh yang berlangsung. Komunikasi merupakan syarat pertama bagi implementasi yang efektif karena dengan adanya komunikasi mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Adanya komunikasi yang jelas maka para pelaksana dan penerima kebijakan dapat memahami apa yang diidealkan oleh suatu kebijakan, seperti apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Hanya saja komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadinya penyimpangan. Oleh karena itu peneliti menggunakan teori model Edward III untuk implementasi kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh di Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang.