• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PROGRAM DESA PESISIR TANGGUH DI DESA TANJUNG PASIR KECAMATAN TELUKNAGA KABUPATEN TANGERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PROGRAM DESA PESISIR TANGGUH DI DESA TANJUNG PASIR KECAMATAN TELUKNAGA KABUPATEN TANGERANG"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

KECAMATAN TELUKNAGA

KABUPATEN TANGERANG

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

Abdul Haris Djiwandono NIM 6661120976

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)

dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I Leo Agustino Ph.D. Dosen Pembimbing II Riswanda Ph.D

Program Desa Pesisir Tangguh (PDPT) merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan. Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir terdapat permasalahan mulai dari kurangnya kesiapan pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang, kurang representatifnya dalam hal perencanaan, tidak maksimalnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, lemahnya pengawasan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tangerang, kurang aktifnya Pemerintah Desa, dan lemahnya sosialisasi program. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir. Teori yang digunakan yaitu teori implementasi kebijakan public menurut George C. Edward III (dalamAgustino, 2016:136-141). Dalam teori ini terdapat 4 variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokasi..Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif Miles dan Hubberman (2009:15-20). Hasil dari penelitian ini bahwa Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir belum berjalan dengan baik dan efektif karena beberapa faktor, seperti halnya komunikasi yang kurang masif, sehingga sebagian masyarakat tidak mengetahui program, sarana dan prasarana yang kurang sehingga tidak semua masyarakat merasakan dampak program, disposisi yang kurang baik sehingga ada indikasi komersialisasi program, hingga tidak adanya Standar Operating Prosedures (SOPs)pada Kelompok Masyarakat Pesisir. Saran untuk penelitian ini yaitu tingkatkan sosialisasi, kontrol keuangan serta perbanyak sarana dan prasarana, serta Standar Operating Prosedures (SOPs) untuk Kelompok Masyarakat Pesisir.

(3)

and Political Science. Sultan AgengTirtayasa University. 1st Advisor Leo Agustino Ph.D. 2ndAdvisor Riswanda Ph.D

Tough coastal village program (PDPT) is a part of empowerment of marine and fisheries independent community national program. There are some problem on tough coastal village program in Tanjung Pasir village starting from Tangerang district fisheries and maritime officers’ lack of preparedness, less representative in terms of planning, national program of community empowerment is not maximal, Tangerang district of marine and fisheries agency’s weak control, less active of village government, and the weakness of program socialization. The purpose of this research is to find out how tough coastal village program implementation in Tanjung Pasir village. The theory which used is public policy implementation according to George C. Edward III (in Agustino, 2016:136-141). In this theory, there are 4 variables which affect public policy implementation’s performance, those are communication, resources, disposition, and bureaucracy’s structure. The method that used in this research is qualitative descriptive method. Analysis data technique in this research is used Miles and Hubberman’s (2009:15-20) interactive analysis model. The result of this research is that tough coastal village implementation program in Tanjung Pasir village has not gone well and effective because of some factors, such as less massive communication, so part of society do not know the program, less of facilities and infrastructure so not all of society feel the impact of the program, disposition deficient so there is commercialization program indication, up to the absence of Standard Operating Procedures (SOPs) on coastal group society. Suggestion for this research are socialization improve, finance control and multiply facilities and infrastructure, and Standar Operating Procedures (SOPs) for coastal community groups.

(4)
(5)
(6)
(7)

Kan Kita Hias Jadikan Mahkota.”

PERSEMBAHAN:

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil’aalamiin, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, beserta ijin-Nya, peneliti dapat

menyelesaikan Skripsi dengan judul “Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh Di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna sehingga penulis juga mengharapkan kritik dan saran untuk memotivasi penulis dalam penyempurnaan

lebih lanjut, demikian skripsi ini penulis ajukan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

3. Ibu Listyaningsih, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara 4. Bapak Riswanda,Ph.D Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara 5. Bapak Leo Agustino, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I yang mengarahkan

dan memberikan masukan dalam penelitian ini

6. Bapak Riswanda,Ph.D selaku Dosen Pembimbing II yang mengarahkan dan memberikan masukan dalam penelitian ini

(9)

8. Para Dosen dan Staf Tata Usaha Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 9. Kepala Dinas beserta Staf Dinas Kelautan dan Perikanan yang telah

membantu proses observasi awal hingga penelitan selesai.

10. Kepala Desa Tanjung Pasir beserta Staf yang telah membantu proses observasi awal hingga penelitan selesai.

11. Ketua Kelompok Masyarakat Pesisir (KMP) Desa Tanjung Pasir Ibu Elia dan Ibu Sahada

12. Warga Desa Tanjung Pasir dan Tanjung Burung yang ramah juga membantu dalam penelitian ini

13. Kedua Orangtuaku Bapak Drs. Supeno dan Ibu Kasiati Murni yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil

14. Kakak-kakak yang tersayang Mas Hatta Mubyarto dan Mas Muhammad Ali Sumitro, kalau peneliti boring mengajak nge jam

15. Dewi Puspita Sari selaku Kekasih hati yang selalu setia membantu menyelesaikan penelitian ini

16. Serta kawan-kawan mahasiswa Administrasi Negara UNTIRTA angkatan 2012 yang telah memberi dukungan dalam penelitian ini.

Serang, 12 Juni 2017

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

1.5 TujuanPenelitian …... 20

1.6 Manfaat Penelitian …... 20

1.6.1 ManfaatTeoritis …... 20

1.6.2 ManfaatPraktis …... 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA,KERANGKA PEMIKIRAN, DAN ASUMSI DASAR PENELTIAN

2.1.5 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ... 28

2.1.6 Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. ... 30

2.2 Wilayah dan Masyarakat Pesisir... 37

2.3 Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT)... 38

(11)

2.3.2 Tahapan Program Desa Pesisir Tangguh... 40

2.3.3 Komponen Kegiatan PDPT ... 42

2.3.4 Integrated Coastal Management (ICM) ... 45

2.3.5 Fokus Pengembangan PDPT ... 47

2.4 Penelitian Terdahulu... 48

2.5 Kerangka Berfikir ... 55

2.6 Asumsi Dasar... 57

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian... 58

3.2 Instrumen Penelitian ... 59

3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data... 60

3.4 Teknik Analisis Data ... 63

3.5 Uji Keabsahan Data ... 64

3.6 Informan Penelitian ... 65

3.7 Fokus Penelitian ... 66

3.8 Lokasi Penelitian ... 67

3.9 Jadwal Penelitian... 67

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ... 69

4.1.1 Gambaran Umum Desa Tanjung Pasir ... 69

4.1.2 Batas Wilayah dan Aksesibilitas ... 71

4.1.3 Kondisi Ekonomi Desa Tanjung Pasir... 73

4.1.4 Potensi wisata Tanjung Pasir ... 74

4.1.5 Pantai Tanjung Pasir... 75

4.1.6 Pantai Wisata Tanjung Pasir... 75

4.2 Deskripsi Data ... 77

4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ... 77

4.2.2 Daftar Informan Penelitian ... 79

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... 81

4.3.1 Komunikasi... 81

4.3.2 Sumber Daya ... 88

4.3.3 Disposisi ... 94

4.3.4 Struktur Birokrasi ... 98

4.4 Rekapitulasi Hasil Temuan Lapangan Program Desa Pesisir Tangguh Di Desa Tanjung Pasir...103

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan...104

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pasir Tahun 2012 Menurut Tingkat Pendidikan

... 11

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pasir Tahun 2012 Menurut Mata Pencaharian ... 12

Tabel 3.6 Informan Penelitian…... 64

Tabel 3.9 Jadwal dan Waktu Penelitian…... 66

Tabel 4.1.1.1 Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pasir menurut Umur ... 70 Tabel 4.1.1.2 Jumlah Penduduk Desa Tanjung Pasir menurut Jenis Kelamin 70 Tabel 4.1.3.1 Daftar Mata Pencaharian Penduduk Desa Tanjung Pasir 43

Tabel 4.2.2 Keterangan Infroman 80

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kondisi dan Situasi Desa Tanjung Burung ... 9

Gambar 1.2 Kondisi dan Situasi Desa Tanjung Pasir ... 10

Gambar 2.3.1 Model Program Desa Pesisir Tangguh... 37

Gambar 2.3.2 Tahapan Program Desa Pesisir Tangguh ... 38

Gambar 2.3.4 Integrated Coastal Management (ICM) ... 43

Gambar 2.3.5 Fokus Pengembangan PDPT... 46

Gambar 2.5 Alur Kerangka Berfikir ... 54

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Wawancara 2. Catatan Bimbingan

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak April 2016, 3,6 juta km2 wilayah lautan telah menjadi wilayah

suaka laut. Luas wilayah suaka laut (marine protected area) tersebut mencapai 5% dari seluruh wilayah samudra atau lebih luas dari wilayah India. Hal ini

terungkap dalam berita Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang dirilis rabu, 14 Desember. Sementara itu, Convention on Biological Diversity (CBD), yang akan menggelar pertemuan di Meksiko, menyeru dunia untuk meningkatkan

luas wilayah suaka laut dan pesisir menjadi 10% pada 2020. Target yang menjadi bagian dari Target Keanekaragamanhayati tersebut saat ini telah terlampaui.

Semua itu berkat diresmikannya 5 wilayah suaka laut raksasa di wilayahh perairan Chili, Palau, Hawai, Kepulauan Pitcairn dan Santo Helena di Atlantik Selatan. Sehingga luas wilayah suaka laut dan pesisir yang dilindungi kini

mencapai 12,7%. (United Nations, 2016)

Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) atau juga

disebut dengan negara poros maritim. Ini artinya Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kawasan pesisir. Menjadi negara kepulauan tentunya Indonesia memiliki potensi kelautan yang begitu besar. Banyak potensi yang

dimiliki dari kelautan di antaranya penangkapan ikan, tambak ikan, mangrove dan pemanfaatan tanaman laut dan masih banyak lainnya. Masyarakat dapat

(17)

Nelayan merupakan sebuah kelompok yang sangat erat kaitannya dengan aspek kelautan. Kelompok ini sangat menggantungkan kehidupannya kepada

aspek kelautan, banyak aktivitas yang dilakukannya, seperti penangkapan ikan, membuat tambak ikan sebagai tempat untuk usaha perikanan dengan jenis tawar,

distribusi (menjadikan kelautan sebagai aktivitas transportasi) dan lain sebagainya.

Sumber daya alam yang melimpah di kawasan pesisir harusnya berirama

baik dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Akan tetapi pada kenyataannya banyak permasalahan yang ada pada masyarakat kawasan pesisir antara lain

kemiskinan, pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan faktor alam yang tak menentu. Desa pesisir di Indonesia dihadapkan pada empat persoalan pokok, yaitu:

1. Tingginya tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, 2. Kerusakan sumber daya pesisir

3. Rendahnya kemandirian organisasi sosial desa

4. Minimnya infrastruktur dan kesehatan lingkungan di pemukiman desa. (Tempo 2013, Masyarakat Pesisir Hadapi Empat Masalah, dikutip pada 14 oktober 2016).

Berlandaskan permasalahan di atas Kementrian Kelautan dan Perikanan menginisiasi suatu kegiatan yang mampu memberikan daya dorong bagi

kemajuan desa-desa di Indonesia. Pengembangan Desa Pesisir Tangguh yang disingkat menjadi PDPT adalah bagian Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri KP (Kelautan dan Perikanan) melalui bantuan

(18)

Program PDPT dilaksanakan di 16 kawasan pesisir kabupaten/kota yang ada di Indonesia, yang di bagi menjadi 4 (empat) regional.

Regional I: Kabupaten Asahan, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Kaur, Kabupaten Pontianak.

Regional II: Kabupaten Kota Waringin Barat, Kabupaten Banjar, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Parigi Moutong.

Regional III: Kota Bau-Bau, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Pacitan.

Regional IV: Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Tangerang.

Adapun yang menjadi tujuan Pengembangan Desa Pesisir Tangguh adalah:

1. Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim di desa pesisir dan pulau-pulau kecil;

2. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup di desa pesisir dan pulau-pulau kecil;

3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam proses

pengambilan keputusan secara partisipatif di desa pesisir dan pulau-pulau kecil; dan

4. Memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau prasarana sosial ekonomi di desa pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sumber: (pdpt-kkp.org 2013, Sekilas-pdpt/tujuan, dikutip pada 05 November 2016)

Program Desa Pesisir Tangguh merupakan Program Nasional dari

Kementrian Kelautan dan Perikanan namun dalam hal pelaksanaan program di limpahkan kepada daerah untuk menjalankan program tersebut untuk mensejahterakan masyarakat pesisir yang berada di daerah-daerah yang tidak

terjangkau oleh Pemerintah Pusat.

Desentralisasi merupakan salah satu perubahan sosial politik yang dialami

(19)

daerah tercermin antara lain pada keinginan sebagian daerah untuk memekarkan diri dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai

terlaksananya tujuan pemekaran suatu daerah, maka diperlukan partisipasi aktif dari seluruh komponen yang ada didalamnya. Hal tersebut dapat menghapus

konotasi proses pemekaran karena berbagai kegagalan pembangunan atau adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerataan pembangunan. Untuk membangun partisipasi aktif masyarakat tersebut, diperlukan perencanaan yang

bersifat mempengaruhi atau mendorong (stimulasi) kepada masyarakat itu sendiri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP

No. 25 Tahun 2000) tentang Pemerintahan Daerah maka telah menggeser pemahaman dan pengertian banyak pihak tentang pemekaran daerah. Pemekaran (perubahan status hukum) dianggap sebagai jalan pintas untuk dapat memenuhi

keinginan masyarakat dalam konteks politisasi kepentingan. Perubahan sebagai tanggapan dari ketidakadilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan

sumber daya yang ada tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi pemerataan pembangunan regional atau nasional. Meskipun di dalam UU tersebut desa juga

dinyatakan sebagai daerah otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian besar kebijakan publik, paling rendah masih

diputuskan di tingkat kabupaten. Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di tingkat lokal/desa. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan potensi terjadinya deviasi, baik yang

(20)

masyarakat yang berujung kepada keinginan untuk memisahkan diri dari pusat pemerintahan sebelumnya.

Melalui Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membuka peluang yang begitu besar bagi masyarakat untuk ikut andil

atau berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Adanya Undang-Undang tersebut pembangunan daerah di Indonesia lebih mendapatkan angin segar, pasalnya dalam Undang-undang tersebut, setiap daerah mendapatkan keluasan dalam mengelola

daerahnya masing-masing. Dalam Pasal 10 Ayat 2 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah menyatakan

pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asa otonomi dan tugas pembantuan. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi lebih diarahkan

kepada kemandirian daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dikeluarkan untuk menggantikan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan. dan tuntuuan pernyelenggaraan pemerintahan daerah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah disempurnakan sebanyak dua kali. Penyempurnaan yang pertama dengan

dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun perubahan kedua ialah dengan dikeluarkannya

(21)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Serangkaian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 beserta

perubahan-perubahannya tersebut menyebutkan adanya perubahan susunan dan kewenangan pemerintahan daerah. Susunan pemerintahan daerah menurut Undang-Uundang

ini meliputi pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten, dan DPRD. Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah

provinsi dan DPRD provinsi. Adapun pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

Setiap daerah dapat mengoptimalkan potensi lokal dan sumber daya yang ada untuk pembangunan daerah. Nantinya daerah dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan melakukan pembangunan daerahnya sendiri. Kemudian

pemerintah daerah yang menjadi fasilitator harus mampu menjadi wadah yang lebih baik dalam memfasilitasi pembangunan daerah. Fungsi fasilitator dalam arti

pemerintah daerah dapat memfasilitasi segala hal dalam upaya memandirikan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan dan pembangunan daerahnya sendiri.

Anggaran dana untuk pelaksanaan Program Desa Pesisir Tangguh sebesar

Rp800 juta per desa. Pencairan dana itu melalui Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kepada rekening Kelompok Masyarakat Pesisir (KMP). Sumber:

(beritatrans.com 2015,kkp kembali gulirkan program pengembangan desa pesisir tangguh. Dikutip pada 04 maret 2017). Program Desa Pesisir Tangguh itu bertujuan untuk menuntaskan persoalan utama yang dihadapi masyarakat pesisir

(22)

kemandirian organisasi sosial desa, serta minimnya infrastruktur dan kesehatan lingkungan di pemukiman desa.

Penentuan lokasi yang menjadi sasaran Program Desa Pesisir Tangguh adalah dimana pemilihan desa pesisir dilakukan dengan memenuhi

sekurang-kurangnya 3 (tiga) kriteria sebagai berikut:

1. Lokasi rawan bencana dan perubahan iklim; 2. Mempunyai potensi ekonomi lokal unggulan;

3. Masyarakat pesisir miskin namun potensial aktif dan memiliki motivasi untuk memperbaiki kehidupannya;

4. Kondisi lingkungan permukiman kumuh; 5. Terjadi degradasi lingkungan pesisir; dan/atau 6. Tingkat pelayanan dasar rendah.

Sumber: (pdpt-kkp.org 2013, sekilas-pdpt/kriteria-lokasi. Dikutip pada 04 maret 2017)

Salah satunya yaitu daerah pesisir Kabupaten Tangerang. Kabupaten

Tangerang adalah sebuah kabupaten di Provinsi Banten. Ibukotanya adalah Tigaraksa. Kabupaten Tangerang terletak pada sebelah Barat Jakarta, berbatasan

dengan Laut Jawa di Utara, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta di Timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di Selatan, serta Kabupaten Serang di Barat. Kabupaten

Tangerang terdiri dari 29 kecamatan yang dibagi lagi atas sejumlah 251 desa dan 28 kelurahan. Pusat pemerintahannya berada di Kecamatan Tigaraksa. Dari 29

(23)

Kecamatan Sukadiri, Kecamatan Teluknaga, dan Kecamatan Kosambi. (Kabupaten Tangerang Dalam Angka 2015, dikutip pada 14 Oktober 2016).

Dari ketujuh kecamatan pesisir ini, hanya Kabupaten Tangerang yang diambil sebagai lokus penelitian bagi peneliti yaitu Program Desa Pesisir Tangguh

di Kabupaten Tangerang. Adapun Kecamatan Teluk Naga yang menjadi lokus program PDPT, dan meliputi 3 (tiga) desa yaitu, Desa Tanjung Burung, Desa Muara, dan Desa Tanjung Pasir. Alasan mengapa Kecamatan Teluknaga yang

meliputi 3 desa tersebut menjadi lokus PDPT adalah daerah tersebut masuk dalam kriteria pemilihan desa pesisir dilakukan dengan memenuhi sekurang-kurangnya 3

(tiga) kriteria sebagai berikut:

1. Lokasi rawan bencana dan perubahan iklim; 2. Mempunyai potensi ekonomi lokal unggulan;

3. Masyarakat pesisir miskin namun potensial aktif dan memiliki motivasi untuk memperbaiki kehidupannya;

4. Kondisi lingkungan permukiman kumuh; 5. Terjadi degradasi lingkungan pesisir; dan/atau 6. Tingkat pelayanan dasar rendah.

Dari kriteria yang tertera di atas Desa Tanjung Pasir masuk dalam kriteria pemilihan desa pesisir yang terkena Program Desa Pesisir Tangguh namun tidak semua kriteria di atas yang ada di Desa Tanjung Pasir, menurut pengamatan

peneliti hanya pada point nomor 1, 3, 4, 5, dan 6. Seperti contoh terjadinya banjir di wilayah Desa Tnjung Pasir ketika cuaca sedang hujan deras, hal tersebut

(24)

penanaman pohon bakau dan pohon mangrove, meskipun terkena banjir juga namun ada upaya untuk meminimalisir banjir.

Sebelum membahas permasalahan yang lebih mendalam mengenai Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir, peneliti ingin

memperlihatkan sebuah gambaran atau situasi di Desa Tanjung Burung dan Desa Tanjung Pasir terlebih dahulu.

Berikut adalah gambar kondisi Desa Tanjung Burung dan Desa Tanjung

Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang :

Gambar 1.1 Kondisi dan situasi di Desa Tanjung Burung

(25)

Gambar di atas diambil oleh peneliti pada saat observasi pada tanggal 14 desember 2016. Di Desa Tanjung Bururng dapat dilihat bahwa disana banyak

ditanami pohon-pohon salah satunya yaitu pohon bakau dan mangrove.

Gambar 1.2 Situasi serta kondisi di Desa Tanjung Pasir

Sumber: peneliti 2016

Gambar di atas diambil pada tanggal 14 desember 2016, gambar di atas merupakan kondisi Desa Tanjung Pasir yang terlihat belum adanya Program Desa

Pesisir Tangguh, karena belum adanya tanda-tanda keberadaan program dari pemerintah seperti tidak ada mercu suar untuk peringatan jika terjadi bencana

(26)

Berdasarkan data Kecamatan Teluknaga Dalam Angka 2016, total jumlah penduduk Desa Tanjung Pasir adalah 10.144 jiwa. Jumlah tersebut terdiri dari

5.133 jiwa penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan 4.951 jiwa penduduk yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan total kepala keluarga yang

mendiami daerah ini adalah sebanyak 2.424 KK. Berikut ini adalah data jumlah penduduk Desa Tanjung Pasir berdasarkan tingkat pendidikannya, sebagaimana disajikan dalam tabel 1.1.

Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Tanjung Pasir Tahun 2016

Sumber :Kecamatan Teluknaga Dalam Angka 2016

Dari data tabel di atas dapatlah dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di wilayah Desa Tanjung pasir masih rendah. Tingkat pendidikan

penduduk di suatu daerah mengindikasikan tingkat sumber daya manusia di daerah tersebut. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang bisa diselesaikan oleh penduduk di suatu daerah, maka semakin tinggi pula tingkat pola pikir

(27)

Mayoritas mata pencaharian penduduk Desa Tanjung Pasir adalah sebagai nelayan. Jumlah penduduk yang bekerja sebagai nelayan mencapai 2.531 jiwa.

Hal ini sesuai dengan karakteristik wilayah desa yang berada di wilayah pesisir, sehingga mata pencaharian penduduknya didominasi sebagai nelayan. Selain itu

terdapat mata pencaharian lain yang menjadi gantungan hidup bagi penduduk di desa ini yaitu sebagai pegawai negeri sejumlah 17 jiwa, ABRI/TNI 10 jiwa, Swasta 65 jiwa, wiraswasta 168 jiwa, Tani 363 jiwa dan buruh tani 176 jiwa.

Detail jumlah penduduk Desa Tanjung Pasir ini dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Tanjung Pasir Tahun 2016

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah (Jiwa)

1 Pegawai Negeri 17

Sumber : Kecamatan Teluknaga dalam Angka 2016

Dari data tabel di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat pesisir khususnya di Daerah Desa Tanjung Pasir mayoritas adalah nelayan, karena memang kondisi geografis daerah tersebut.

Adapun permasalahan yang ada dalam berjalannya Program Desa Pesisir Tangguh di Wilayah Kecamatan Teluknaga Desa Tanjung Pasir, yaitu:

(28)

Program yang langsung turun ke bawah sehingga juga langsung dirasakan manfaatnya, secara teknis atau secara prinsip Program Desa Pesisir Tangguh

bersifatTop Down, namun dalam pelaksanaanya diberlakukan FGD (Focus Group Discussion) gunanya untuk mengidentifikasi kebutuhan yang ada di desa apa saja

yang nantinya dituangkan ke dalam RPDP (Rencana Pembangunan Desa Pesisir). RPDP berisikan dari latar belakang program-program, kelebihan atau kekurangan desa, serta potensi apa saja yang ada. Semuanya muncul dari FGD tersebut yaitu

terbagi dalam 5 (lima) Bina yang kemudian dikeluarkan dalam suatu kegiatan yang kemudian disinkronkan dengan pembiayaan di pusat lalu dijalankan. PDPT

memang bersifat Top Down karena program dari pusat ke daerah, hanya saja dalam mekanisme pelaksanaanya mengidentifikasi dari bawah lalu naik ke desa, kemudian naik ke dinas, lalu ke pusat. Adapun dalam pembiayaanya Top Down

dimana menggunakan APBN yang tersalurkan pada APBD, dalam pelaksanaanya itu Bottom Up karena memang benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat.

Jadi apa yang masyarakat inginkan menjadi fokus pembangunan. Seperti contoh kebutuhan yanng sangat penting yaitu air bersih, karena memang pada kenyataanya air bersih susah untuk diperoleh pada daerah pesisir.

Di Kabupaten Tangerang sendiri Program Desa Pesisir Tangguh dirasa kurang tepat untuk diimplementasikan, karena kesiapan dari pegawai Dinas

(29)

“kita bisa lihat mas dari segi pegawainya saja dirasa belum siap untuk melaksanakan program ini, bisa dibilang malas-malasan lah”. (wawancara awal dengan Bapak Daya Pambudi STTP pada 28 april 2016, pukul 13:30 WIB. Di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan).

Berdasarkan wawancara tersebut maka program tersebut sukar untuk masuk di Desa Tanjung Pasir, Namun karena ada arahan dari Pemerintah Pusat dari Presiden langsung makan Program Desa Pesisir Tangguh dilaksanakan juga.

Karena merupakan program keroyokan untuk mengatasi suatu wilayah. Selanjutnya hal tersebut di paparkan oleh Bapak Daya Pambudi STTP selaku

pelaksana Program Desa Pesisir Tangguh Dinas Perikanan dan Kelautan.

Kedua, kurang representatifnya dalam hal perencanaan program. Seperti

yang diutarakan oleh Daya Pambudi STTP, sebagai berikut:

“Permasalahan secara umum di mana perencanaanya kurang representatif, lalu kalau dari ranah pelaksanaanya itu dari warga itu sendiri, dikarenakan masyarakat pesisir khususnya di wilayah Kabupaten Tangerang itu khas karena tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat bersifat kekotaan, kalau secara pola pikir masyarakat pesisir di wilayah Kabupaten Tangerang dapat dikatakan masyarakat perkotaan, di mana masyarakat perkotaan yang secara memenuhi kebutuhannya dengan materi”. (wawancara awal dengan Daya Pambudi STTP pada 28 april 2016, pukul 13:35 WIB. Di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan)

Namun, secara kondisi lapangan masih kumuh karena memang daerah

pinggiran yang sifatnya sudah individualis dan materialistis. Maka disitulah letak sukar masuknya Program Desa Pesisir Tangguh, seperti contoh di mana dari Pemerintah Daerah hendak mengadakan pertemuan atau perkumpulan kelompok

dan kerja bakti, maka Pemerintah Daerah harus menghitung waktu yang masyarakat buang yaitu berupa uang saku dan lain sebagainya.

(30)

lingkungan mereka. Adapun pernyataan yang membenarkan hal tersebut yang di paparkan oleh Bapak Daya Pambudi STTP selaku Pelaksana Program Desa

Pesisir Tangguh, Dinas Perikanan dan Kelautan.

Ketiga, tidak maksimalnya hasil dari PNPM (Program Nasional

Pemberdayaan Masyarakat) seperti contoh pemberdayaan masyarakat lewat hasil tangkap pancing, usaha krupuk ikan, dan wisata laut yang tertera di Program Desa Pesisir Tangguh. Pak Hasan Basri selaku aktivis lingkungan hidup Desa Tanjung

Burung memulai percakapan dengan permasalahan banjir yang sudah menjadi langganan di Desa Tanjung Burung. Luapan banjir itu membawa material sampah

dan menghambat pertumbuhan pohon mangrove. Obrolan berlangsung acak, Pak Hasan Basri dengan ekspresi muka yang agak menyesal ia berkata, “kita jadi kuli di desa sendiri”. Ia mencermati profesi warga desanya yang mayoritas buruh

kasar alias kerja serabutan sesuai apa yang diperlukan, entah jadi buruh galangan kapal, kuli pengerukan tambak baru, buruh nelayan dan sebagainya. Dibilang

miskin sekali sih tidak begitu, namun hanya cukup menghidupi keluarganya saja. Begitu pun rumah-rumah di Desa Tanjung Burung sudah banyak yang permanen dan lumayan bagus. Meski masih banyak dijumpai rumah terbuat dari anyaman

bambu, beratapkan daun kelapa dan beralaskan tanah.

Pak Hasan Basri berkata kepada peneliti, Ia agak pesimis dengan

program-program pemerintah yang kesannya menggugurkan kewajiban saja. Ia justru lebih suka dengan program-program mahasiswa yang dilakukan di sini, soalnya lebih ril walau program itu kecil-kecil dan bisa langsung terjun di masyarakat. Ia

(31)

kelemahan di sini, seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai) dimana SDM (Sumber Daya Manusia) di sini tidak siap, jadi hasilnya tidak maksimal. (wawancara awal

dengan Pak Hasan Basri pada 27 november 2016, di kediaman Pak Hasan Basri) Keempat, lemahnya pengawasan dari Dinas (Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Tangerang). Pak Hasan Basri pun berujar:

“perlu dianalisa pembangunan di masyarakat agar efektif, perlu pembangunan masyarakat untuk pembangunan di desa ini”. (wawancara awal dengan Pak Hasan Basri pada 27 november 2016, di kediaman Pak Hasan Basri).

Ia mengakui bahwa Pemerintah Desa seperti halnya Kepela Desa beserta jajarannya kurang aktif mendorong partisipasi masyarakat yang ada, pemerintah desa cuma menjalankan instruksi dari atas, dan akhirnya apa yang dilakukan di

sini adalah swadaya masyarakat, karena di sini masih ada tradisi guyup semangat gotong royong meskipun diakui sekarang ini mulai terkikis.

Terkait penanaman mangrove, acapkali gagal, karena lahan kolam tambak yang membuat area penanaman mangrove menyusut. Pemilik-pemilik kolam tambak kebanyakan dikuasai oleh orang-orang dari Jakarta. Persoalan ini

disebabkan oleh kesalahan pemerintahan desa terdahulu yang tidak berpikir untuk menyediakan area konservasi. Sampai saat ini belum ada kebijakan desa untuk

konservasi di desa Tanjung Burung. Penanaman mangrove di sini kurang mendapat perhatian warga desa, hal ini disebabkan kepentingan masyarakat sudah bergeser karena kepentingan pemilik modal, sehingga masyarakat di sini tetap

menjadi kuli di daerahnya sendiri.

Kelima, kurang aktifnya Pemerintah Desa mendorong partisipasi

(32)

“wibawa Camat Teluk Naga kurang dibandingkan dengan seorang Kepala Desa”.

Karena, hemat beliau jabatan Camat adalah jabatan administratif,

sedangkan Kepala Desa adalah jabatan politis, sehingga kewibawaan Kepala Desa lebih kuat dibandingkan Camat, yang kerjaannya lebih ke persoalan administrasi

dan pengawasan saja, sedangkan kebijakan berada di tangan Kepala Desa. Ia pun mempersoalkan sistem ketatanegaraan kita, jujur membuat Peneliti terkejut sampai bahasannya ke sana. Baginya apa yang ia terangkan di atas adalah

persoalan ketatanegaraan kita, seperti hubungan Gubernur dengan Bupati atau Walikota, begitu juga hubungan Camat dengan Kepala Desa. Baginya sistem

pemilihan Gubernur lebih baik ditiadakan saja karena memboroskan biaya demokrasi kita yang begitu besar, ujarnya dengan tegas mencoba membandingkannya dengan pemilihan Kepala Desa.

Sehingga pemerintah desa belum mampu untuk mendorong masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam hal Program Desa Pesisir Tangguh yang di

canangkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, begitu beliau mengatakan dengan tegas. (wawancara awal dengan Pak Hasan Basri pada 27 november 2016, di kediaman Pak Hasan Basri)

Keenam, lemahnya sosialisasi program kepada masyarakat. Lain hal dengan kondisi lingkungan dan kondisi masyarakat di daerah Tanjung Pasir,

masyarakat pesisir yang berada di daerah Tanjung Pasir justru kurang mengetahui dengan adanya Program Desa Pesisir Tangguh yang dicanangkan oleh Pemerintah Pusat yang diteruskan oleh Pemerintah Daerah. Berbicara soal Program Desa

(33)

TOPLES (Tongkrongan Pemuda Lelaki Sejati) aktifis lingkungan dan juga aktifis sosial yang berada di Desa Tanjung Pasir, beliau mengatakan bahwasannya

kurang mengetahui dengan adanya Program Desa Pesisir Tangguh, berikut adalah pernyataan dari Mandor Camang selaku Ketua Toples:

“waduh dek, saya kayanya kurang tahu ya sama program itu, pernah sih dengar tentang program itu tapi kalo di Tanjung Pasir gak tahu deh ada atau tidak” (wawancara awal dengan Pak Mandor Camang pada 14 desember 2016, di seketariat TOPLES)

Peneliti semakin penasaran dengan pernyataan Bapak Mandor Camang

tersebut. Jikalau memang ada program tersebut masyarakat belum merasakan dampak dari Program Desa Pesisir Tangguh, begitu beliau menambahkan tentang kondisi masyarakat di Desa Tanjung Pasir. Beliau hanya memberi tahu peneliti

tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Tongkrongan Pemuda Lelaki Sejati dan juga event-event yang telah dilaksanakannya.

Berkaitan dengan Program Desa Pesisir Tangguh yang dilaksanakan di Desa Tanjung Pasir belum terlaksana dengan efektif dikarenakan kondisi lingkungan dan masyarakat yang belum terlihat adanya program tersebut,

Berdasarkan permasalahan yang ada maka peneliti memiliki ketertarikan melakukan penelitian dengan judul “Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh

di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang”.

1.2 Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah suatu proses untuk mengenal dan membuat asumsi-asumsi berdasarkan observasi maupun wawancara awal pada fokus dan

(34)

penelitian. Berdasarkan hasil observasi maupun wawancara awal peneliti mencoba untuk mengidentifikasi masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini dalam

bentuk pernyataan, yaitu sebagai berikut:

1. Kurangnya kesiapan dari pegawai Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang.

2. Kurang representatifnya dalam hal perencanaan program.

3. Tidak maksimalnya hasil dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat).

4. Lemahnya pengawasan dari Dinas (SKPD Kabupaten Tangerang). 5. Kurang aktifnya Pemerintah Desa mendorong partisipasi masyarakat. 6. Lemahnya sosialisasi program kepada masyarakat.

1.3 Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka peneliti akan membatasi ruang

lingkup permasalahan, hal ini dikarenakan dengan adanya fokus penelitian maka akan memberikan batasan studi yang akan dilakukan. Karena, apabila penelitian

dilakukan tanpa adanya batasan masalah peneliti akan terjebak dengan banyaknya data yang melimpah di lapangan. Oleh karena itu, fokus penelitian sangat penting dalam peranannya dalam memandang dan mengarahkan. Dikarenakan Desa

Tanjung Pasir merupakan daerah yang masuk dalam kriteria pemilihan desa pesisir untuk Program Desa Pesisir Tangguh, dan juga merupakan daerah wisata

(35)

Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang.

1.4 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah bagaimanakah Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir Kecamatan

Teluknaga Kabupaten Tangerang?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Implementasi Program Desa

Pesisir Tangguh di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat secara teoritis dan praktis dalam penelitian ini, adalah:

1.6.1 Secara Teoritis

Menambah ilmu pengetahuan melalui penelitian yang dilakukan sehingga dapat memperluas pengetahuan Ilmu Administrasi Negara, terutama kajian tentang Implementasi Program Desa Pesisir Tangguh. Dan juga sebagai bahan pemahaman dan pembelajaran bagi peneliti maupun mahasiswa yang lainnya untuk melakukan penelitian secara lebih mendalam terutama pada kajian Implementasi Program desa Pesisir Tangguh.

1.6.2 Secara Praktis

(36)
(37)

BAB II

DESKRIPSI TEORI, PENELITIAN TERDAHULU,

KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI DASAR

Tinjauan pustaka merupakan panduan penulisan dalam aspek konseptual dan teoritis. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai konsep kebijakan publik, konsep implementasi, serta teori-teori tentang implementasi sebuah kebijakan.

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Pengertian Kebijakan

Definisi mengenai kebijakan dikemukakan oleh Budiardjo (2008: 20), yang mendefinisikan kebijakan sabagai:

Suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.

Sedangkan Laswell (dalam Parsons, 2005: 17) mendefinisikan kebijakan sebagai berikut:

(38)

Berbeda dengan Laswell, Anderson (dalam Wahab, 2012: 8), mendefinisikan kebijakan merupakan:

Purposive course of action or inaction undertaken by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern (langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi)

Carl J. Friedrick (dalam Islamy, 2004: 17), mendefiniskan kebijakan

merupakan:

... a proposed of action of person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or a purpose (....serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu).

Dengan demikian, dari beberapa definisi kebijakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh

seseorang atau kelompok yang memiliki kekuasaan untuk menentukan tujuan serta bagaimana pelaksanaan dari kebijakan tersebut.

2.1.2 Pengertian Publik

Di Indonesia, istilah “publik” sering sekali dipahami sebagai “negara”,

“umum” atau “masyarakat”. Hal ini dapat kita terjemahkan istilah-istilah publik

(39)

h. Pendidikan publik (public education)

i. Siaran layanan publik (public service broadcasting) j. Akuntabilitas publik (public accountability)

k. Toilet publik (public toilets) l. Ketertiban umum (public order) m. Utang publik (public debt)

Kemudian Parson (2005: 3) menjelaskan bahwa “publik itu sendiri berisi

aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh

pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama”, sedangkan

menurut Abidin (2012: 7) menyatakan bahwa “publik dalam rangkaian kata pubic policy memiliki tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat, dan umum”. Dari

beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa publik merupakan istilah yang berhubungan tentang aktivitas umum atau masyarakat.

2.1.3 Pengertian Kebijakan Publik

Dalam penelitian dalam ruang lingkup ilmu adminsitrasi negara tidak

terlepas dengan studi kebijakan publik. Hal itu kemudian akan dijabarkan pengertiannya oleh beberapa tokoh atau para ahli yang paham mengenai kebijakan

publik.

Menurut Anderson (dalam Agustino, 2016: 17), mengatakan kebijakan publik sebagai:

Serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan.

Berbeda dengan Anderson, Eulau & Prewitt (dalam Agustino, 2016: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai: “Keputusan tetap yang dicirikan dengan

(40)

mereka yang mematuhi keputusan tersebut.” Definsi ini mengandung makna bahwa kebijakan bersifat konsisten untuk dilaksanakan oleh mereka yang

mematuhi keputusan tersebut.

Pengertian lain tentang kebijakan publik dikemukakan oleh Fredrick

(dalam Nugroho, 2003: 4), beliau mendefinisikan kebijakan publik sebagai: Serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Cochran et.al (dalam Tangkilisan & Nogi, 2003: 119) mengatakan bahwa

kebijakan publik sebagai: “Sebuah perilaku disengaja yang diikuti oleh sebuah

lembaga pemerintah atau pejabat pemerintah untuk memecahkan sebuah isu

perhatian publik.” Sedangkan menurut Eyestone (dalam Agustino, 2006: 40),

mendefinisikan bahwa: “Kebijakan publik adalah sebagai suatu hubungan antara

unit pemerintah dengan lingkungannya.”

Definisi kebijakan publik menurut Young da Quinn (dalam Suharto, 2005:

44), antara lain:

1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum;

2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhkan kongkrit yang berkembang di masyarakat;

3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak;

(41)

memecahkan masalah sosial. Namun kebijakan publik juga bisa dirumuskan berdasarkan keyakinan bahwa masalah sosial dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada, dan karenanya tidak lagi memerlukan tindakan tertentu;

5. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pernyataan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang yang belum dirumuskan. Dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh badan pemerintah maupun oleh beberapa perwakilan lembaga yang berwenang.

Pakar Prancis, Lemieux (dalam Wahab, 2012: 15), mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut: “The product of activities aimed at the

resolution of public problems in the environment by political actors whose

relationship are structured. The entire process evolves over time” (produk

aktivitas-aktivitas yang dimaksud untuk memecahkan masalah-masalah publik

yang terjadi di lingkungan tertentu yang dilakukan oleh akyor-aktor politik yang hubungannya terstruktur. Keseluruhan proses aktivitas itu berlangsung sepanjang

waktu).

Dari definisi kebijakan yang diungkapkan oleh Dunn seperti dalam tabel di atas menggunakan kata input, proses, output, outcome dan dampak. Dari kata-kata

di atas mengandung penjelasan sebagai berikut:

1. Input merupakan bahan baku yang digunakan sebagai masukan dalam sebuah sistem kebijakan, input tersebut dapat berupa sumber daya manusia, finansial, tuntutan-tuntutan serta dukungan dari masyarakat; 2. Proses merupakan adanya keterlibatan analis kebijakan dalam menentukan

masalah, dalam proses terjadi adanya kekuatan negoisasi antar pembuat kebijakan dengan memperhatikan isi dari kebijakan tersebut. Kebijakan yang telah diambil maka dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang menggerakan sumber daya manusia dan finansial;

3. Output merupakan keluaran dari sebuah sistem kebijakan, yang dapat berupa peraturan, kebijakan, pelayanan/jasa/ dan program;

(42)

5. Impact (dampak) adalah akibat lebih jauh pada masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan.

Berdasarkan beberapa definisi kebijakan publik oleh para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan

yang diambil oleh pemerintah dari berbagai pilihan yang ada untuk dilakukan atau tidak dilakukan untuk menangani berbagai masalah yang terdapat di suatu negara

yang mempunyai tujuan tertentu dengan menggunakan tiga kegiatan pokok yaitu perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan dengan tujuan menciptakan kesejahteraan bagi orang banyak. Untuk itu kebijakan publik adalah keputusan

yang diambil oleh Pemerintah mengenai pedoman tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya pada perumusan

kebijakan.

Kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan telah mendapatkan legitimasi dari lembaga legislatif telah memungkinkan birokrasi

untuk bertindak. Kebijakan publik dirumuskan untuk mengakomodasi beragam tuntutan masyarakat, berarti bahwa kebijakan publik memiliki tujuan untuk

menciptakan suatu kondisi dimasa depan guna memuaskan berbagai tuntutan tersebut. Di tingkat Pemerintah Daerah, bentuk kebijakan publik dibuat dalam Peraturan Daerah (Perda).Dalam mempelajari apa itu kebijakan publik, maka ada

hal yang wajib dipahami dalam mempelajari dasar-dasar kebijakan publik adalah mengerti definisi, arti, atau makna mengenai apa itu kebijakan, publik, dan

(43)

2.1.4 Pengertian Implementasi

Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan adalah

sebuah program atau kurikulum yang telah dirancang/didesain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya.

Implementasi menurut Usman (2002:70) mengatakan:

Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan.

Implementasi menurut Setiawan (2004:39) mengatakan:

Implementasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan pelaksana, birokrasi yang efektif.

Selanjutnya implementasi menurut Harsono (2002:67) megatakan:

Implementasi adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan kebijakan dari politik ke dalam administrasi. Pengembangan kebijakan dalam rangka penyempurnaan suatu program.

Dari beberapa pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

definisi dari implementasi adalah pelaksanaan, penerapan, yang bermuara pada aktivitas, aksi, serta tindakan yang melaksanakan suatu program atau kebijakan guna tercapainya suatu tujuan tertentu.

2.1.5 Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Impelementasi kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan. Tanpa implementasi, suatu kebijakan hanyalah merupakan

sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak kebijakan yang baik, yang mampu dibuat oleh pemerintah, baik yang dirumuskan

(44)

mempunyai pengaruh apa-apa dalam kehidupan negara tersebut karena tidak mampu atau tidak dilakasanakan.

Implementasi kebijakan merupakan tahap kelanjutan dari formulasi kebijakan dan kemudian disahkan. Dalam praktiknya menurut Agustino

(2016:126) “implementasi merupakan suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatanpolitis dengan adanya intervensi sebagai kepentingan”.

Implementasi kebijakan sendiri menurut Van Meter dan Van Horn (dalam

Agustino, 2016:128), di definisikan, sebagai :

“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskandalam keputusan kebijaksanaan”.

Adapun pengertian lain berikan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier. Menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (dalam Agustino, 2016:128) mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai:

“Pelaksanaan Keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin di atasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses im-plementasinya”.

Sedangkan menurut kamus Webster (dalam Wahab, 2012:139) meumuskan bahwa :

(45)

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut 3 hal, yaitu (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan: (2) adanya

aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan: (3) adanya hasil kegiatan.

Berdasarkan berbagai pengertian yang telah dipaparkan di atas dapat

disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu tindakan pelaksanakan kebijakan guna memecahkan masalah yang dihadapi dan mendapatkan hasil yang ingin dicapai.

2.1.6 Model-Model Implementasi Kebijakan Publik

Dalam studi kebijakan publik terdapat, terdapat bebrapa model implementasi kebiajakan publik yang dikemukakan oleh ahli yang melihat

variable-varabel apa saja yang dapat memepengaruhi kinerja implementasi suatu kebijakan publik. Adapun ahli tersebut ialah Van Meter dan Van Horn, George

Edward III, dan Marilee S. Grindle.

Menurut Model Implementasi kebijakan yang diutarakan Van Meter dan Van Horn (dalam Agustino, 2016:133-136) terdapat 6 variabel yang dapat

mempengaruhi kinerja impelementasi kebijakan publik, yaitu:

1. Standard dan Sasaran Kebijakan/Ukuruan dan Tujuan Kebijakan.

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realiistis dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksanaan kebijakan.

2. Sumberdaya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memenfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia, waktu dan sumberadaya financial merupakan bentuk sumberdaya tersebut.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

(46)

4. Sikap/Kecendrungan (Disposition) para Pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik.

5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Agen Pelakasana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya keslahan-kesalah akan sangat kecil untuk terjadi.

6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Kondisi Ekonomi, social dan politik yang kondusif akan sangat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Begitupun sebaliknya.

Adapun menurut Model Impelementasi Kebijakan yang diberikan oleh George C. Edward III (dalam Agustino, 2016:136-141) terdapat 4 variabel yang

mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik, yaitu ; 1. Komunikasi

Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.

Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu:

a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan.

b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan.

c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.

(47)

Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:

a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam meng-implementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.

b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum.

c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan ke-lompoknya.

d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.

3. Disposisi

Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi ini adalah :

(48)

pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga.

b. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.

4. Struktur Birokrasi

Variabel keempat yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik.

Dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja.

Menurut Model Impelementasi Kebijakan yang di berikan oleh Marielee S.

Grindle (dalam Agustino, 2016:142-145) terdapat 2 varibel besar yang mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan publik , yaitu :

1. Content of Policy,meliputi :

a. Interest Affected(kepentingan-kepentingan yang mem-pengaruhi)

Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaanya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya.

b. Type of benefit

(49)

c. Extent of change Envision(derajat perubahan yang ingin dicapai)

Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Pada poin ini ingin dijelaskan bahwa seberapa berapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

d. Site of Decision Making

Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan, makapada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

e. Program Implementer

Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program harus di dukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan.

f. Resource Commited

Pelaksanaan suatu kebijakan harus di dukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaan-nya berjalan dengan baik. 2. Context Of Policy,meliputi :

a. Power, Interest, and Strategy of Actor involved

Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau keuaaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para actor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaansuatu implementasi kebijakan.

b. Institusion and Regime Charateristic

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin dijelaskan karakteristik dari suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi suatu kebijakan.

c. Compliance and Responsiveness

Hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan adalah kepatuhan dan respon dari parapelaksana, maka hendak dijelaskan pada poin ini adalah sejauhmana kepatuhan dan respon pelaksana dalam menangggapi suatu kebijakan.

Edward III mengemukakan bahwa salah satu pendekatan dalam studi implementasi adalah harus dimulainya pertanyaan apakah yang menjadi syarat

dan selanjutnya Edward menentukan empat faktor yang mempengaruhinya, (1) Komunikasi, (2) Sumberdaya, (3) Disposisi atau sikap, (4) Struktur Birokrasi. Keempat variabel ini saling berhubungan satu sama lain. Van Meter dan Van

(50)

menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Kejelasan standar dan sasaran tidak akan menjamin implementasi

efektif bila tidak adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas penyuluhan. Hal ini berkaitan erat dengan struktur birokrasi dari pelaksana. Menurut Meter dan

Horn ada enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, (1) Standar dan Sasaran Kebijakan, (2) Sumber Daya, (3) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik, (4) Karakteristik Tujuan, (5) Komunikasi Antar

Organisasi, (6) Sikap Pelaksana. Grindle mengemukakan bahwa ada dua variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu isi kebijakan dan

konteks dari implementasi. Mengingat pemahaman Grindle tersebut menunjukkan bahwa keberhasilan dari implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh banyak hal, terutama yang menyangkut kepentingan-kepentingan yang terlibat

didalamnya. Artinya sebuah kebijakan yang sederhana tentu tidak melibatkan kepentingan banyak orang, kelompok dalam masyarakat sehingga tidak akan

membawa perubahan yang besar. Sebaliknya semakin melibatkan banyak kepentingan, maka keterlibatan seseorang atau kelompok dalam implementasi kebijakan tersebut akan sangat tergantung apakah kepentingannya terlindungi atau

bahkan orang atau kelompok tersebut akan memperoleh manfaat yang tinggi atau tidak mendapatkannya.

Dari semua variabel-variabel yang telah dipaparkan oleh para ahli mempunyai kesamaan terutama yang menyoroti tentang komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan aplikasi

(51)

menggambarkan Implementasi Kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh Di Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang dengan faktor sikap dan faktor

komunikasi yang dijadikan variabel dalam penelitian. Sikap pelaksana adalah faktor ketiga dalam implementasi menurut Edward III. Sikap dapat dilihat dari

sikap pelaksana kebijakan dan sikap dari penerima kebijakan. Bila pelaksana bersikap baik maka, ia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik juga, sehingga penerima kebijakan yakni masyarakat pesisir memiliki sikap yang baik

dalam menjalankan kebijakan yang ada. Kaitannya dalam penelitian ini, peneliti melihat sikap dari penerima kebijakan yaitu masyarakat Desa Tanjung Pasir

Kecamatan Teluknaga. Sikap ini dilihat dari masyarakat pesisir dalam menyikapi implementasi kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh yang berlangsung. Komunikasi merupakan syarat pertama bagi implementasi yang efektif

karena dengan adanya komunikasi mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Adanya komunikasi yang jelas maka

para pelaksana dan penerima kebijakan dapat memahami apa yang diidealkan oleh suatu kebijakan, seperti apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Hanya saja komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadinya

penyimpangan. Oleh karena itu peneliti menggunakan teori model Edward III untuk implementasi kebijakan Program Desa Pesisir Tangguh di Kecamatan

(52)

2.2 Wilayah dan Masyarakat Pesisir

Menurut Adisasmita (2008: 120) kawasan pesisir adalah ruang daratan yang merupakan perbatasan antara ekosistem yang ada di darat dan laut. Lebih

lanjut Adisasmita (2008: 138) menyatakan bahwa ada beberapa permasalahan yang erat kaitannya dengan wilayah pesisir yaitu aspek sosial, ekonomi, ekologi

dan administatif.

Menurut Suprihayono (2007:14) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik

kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin.

Masyarakat pesisir merupakan komunitas yang mendiami wilayah pesisir, yang pada umumnya masyarakat pesisir adalah nelayan dengan aktivitasnya yang erat dengan aspek kelautan. Sifat dan karakteristik masyarakat pesisir ditentukan

oleh interaksi faktor-faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan Nugraha dan Rochmin (2004:251).

Aminah (2007:15) memberikan tipikal ekologi atau geografi, ekonomi dan sosial masyarakat pesisir sebagai berikut:

a. Secara ekologi masyarakat pesisir dihadapkan pada zona yang luas dengan luasan area yang dikelola relatif sempit, aspek laut yang menyebabkan produktivitas yang tinggi dalam suatu hari kegiatan pelayaran.

b. Secara sosial masyarakat pesisir memiliki akses yang amat terbatas akan pelayaran sosial seperti layanan kesehatan dan pendidikan, adanya intervensi orang luar untuk membentuk organisasi self-help yang memberdayakan masyarakat, keeratan hubungan dalam masyarakat yang cukup tinggi, dan ketidakbergantungan kepada hukum positif.

(53)

2.3 Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT)

2.3.1 Model Program Desa Pesisir Tangguh

Model Program Desa Pesisir Tangguh terdiri atas tiga bagian, yaitu:

1. Rencana pengembangan desa pesisir; 2. Penguatan kapasitas kelembagaan; dan 3. Pencapaian kegiatan sebagai tujuan PDPT.

Untuk rencana pengembangan desa pesisir dilakukan dengan

menggunakan kombinasi pendekatantop downdanbuttom up.

Pendekatan top down dengan memperhatikan perencanaan yang dibuat

pemerintah kabupaten/kota, antara lain seperti Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) di kabupaten/kota, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota, Rencana Zonasi WP3K di kabupaten/kota, Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Pengelolaan WP3K di kabupaten/kota, dan Rencana Aksi Pengelolaan WP3K di kabupaten /kota.

Selain pendekatan top down, PDPT ini juga menggunakan pendekatan bottom up dimana penyusunan profil dan rencana masyarakat desa berdasarkan masukan masyarakat hasil Participation Rural Appraisal(PRA) danFocus Group

Discussion (FGD) untuk menghasilkan Rencana Pengembangan Desa Pesisir. Rencana Pengembangan Desa Pesisir ini, kemudian digunakan sebagai salah satu

referensi dalam penyusunan rencana detail kegiatan pengembangan desa pesisir, yang dapat meliputi: aspek ekologi, ekonomi, dan sosial yang dijabarkan dalam lima fokus pengembangan kegiatan yaitu Bina Kesiapsiagaan terhadap Bencana

(54)

Dari ketiga aspek yang telah disebutkan di atas, pada prinsipnya muatan PDPT lebih menekankan pada kegiatan penguatan kapasitas kelembagaan,

pembangunan lingkungan dan infrastruktur, sumber daya serta kemandirian ekonomi, yang diharapkan dapat mampu meningkatkan ketangguhan dengan

meminimalkan dampak kerugian akibat bencana dan perubahan iklim di desa-desa pesisir.

Dengan demikian, muara model PDPT adalah terjadinya pengentasan

kemiskinan, keberlanjutan kelembagaan masyarakat, kelestarian lingkungan, kemandirian keuangan desa, dan kesiapsiagaan terhadap bencana dan perubahan

iklim. Ilustrasi singkat dari penjelasan di atas dapat dilihat pada Gambar berikut.

Gambar 2.3.1 Model Program Desa Pesisir Tangguh

Gambar

Gambar 1.1 Kondisi dan situasi di Desa Tanjung Burung
Gambar 1.2 Situasi serta kondisi di Desa Tanjung Pasir
Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Desa Tanjung Pasir Tahun 2016
Tabel 1.2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Desa Tanjung Pasir Tahun 2016
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tanggapan tentang ke- nyamanan ruangan pabrik keduanya berada pada kuadran b yaitu sangat memuaskan, sedangkan untuk kelengkapan fasilitas dan ketersedian

Kajian berbentuk eksperimentalkuasi ini bertujuan untuk menilai perubahan ukuran antropometri, profil lipid, leptin serum dan glukosa darah sebelum dan selepas 12 minggu

Lanskap di sekitar tempat bersarang ketiga jenis elang memiliki heterogenitas yang cukup tinggi, dan secara umum heterogenitas lanskap yang tertinggi terletak pada

1) Desain berbagai instrumen untuk pelaksanaan tugas koordinasi, pembinaan dan pengawasan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang terdiri dari sejumlah

Pengadaan fasilitas utama dan fasilitas penunjang di Terminal Talangagung secara umum sudah sesuai dengan standar fasilitas terminal tipe C, hanya ada beberapa

Jakarta, 2012, h.. tepatnya kejadian-kejadian yang men-datang dapat diramalkan sebelumnya. Pembangunan ekonomi nasional dalam pencapaiannya tidak terlepas dari peran

Pengaruh Mediasi Oleh Variabel Penelitian Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya variabel budaya organisasi yang mampu berperan sebagai mediator bagi variabel gaya