• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDSAT TM TAHUN 1990

HASIL DAN PEMBAHASAN A Analisis Perubahan Penggunaan lahan

B. Model SWAT

Simulasi model SWAT dilakukan setelah data yang diperlukan untuk

membangun model diinput dan dibuat dalam “Write Input Table”. Dalam penelitian ini, simulasi dilakukan dengan menggunakan data iklim dari tahun 1985

– 2010 dan data penggunaan lahan tahun 2010. Penggunaan data iklim yang

panjang dimaksudkan agar model yang dijalankan sudah berada di luar “warm up period” yang umumnya disarankan antara 2 -5 tahun agar output yang dihasilkan sudah stabil. Simulasi yang dijalankan menghasilkan beberapa output yang terkait dengan hidrologi (Neitsch et al. 2013), yaitu curah hujan (PREC, bulanan dan tahunan), aliran permukaan (SURQ), aliran lateral (LATQ), aliran dasar (GWQ), perkolasi (PERC), evapotranspirasi (aktual/ET dan potensial/PET) serta hasil air (W.YIELD) selengkapnya pada Tabel 23.

Hasil dari proses simulasi selama 20 tahun disajikan pada Gambar 22 dan untuk hasil simulasi untuk kalibrasi dengan membandingkan data debit simulasi dengan data debit observasi disajikan pada Gambar 23, menggunakan data iklim bulanan dari Januari 2009 – Agustus 2010. Pada Gambar 23 terlihat bahwa model yang dibangun memberikan respon yang baik di beberapa waktu, dilihat dari kedekatan debit hasil simulasi terhadap debit observasi dengan pola yang mirip. Pada kondisi dimana curah hujan yang sangat tinggi (> 400 mm per bulan) atau yang rendah (< 200 mm per bulan), model yang dibangun memberikan respon yang jauh lebih tinggi dari hasil observasi (pada bulan ke 105 – 166). Hal ini

dapat disebabkan karena ketidaksesuaian data penggunaan lahan yang diinput dengan kondisi di lapangan dan model yang dibangun oleh SWAT sendiri bersifat process-based sehingga hasil yang diperoleh pada suatu waktu merupakan akumulasi dari input yang masuk di waktu sebelumnya. Penyebab yang lain adalah dari keterbatasan data, dimana untuk membangun suatu model yang dalam SWAT diperlukan data yang sangat banyak, mencakup data iklim dan data tanah dengan sifat-sifatnya. Di satu sisi hal ini menguntungkan karena seorang user dalam SWAT sudah dibekali dengan data input yang lengkap. Di sisi lain, kondisi DAS bersifat spesifik sehingga data yang ada sangat mungkin akan sangat berbeda dengan kondisi kenyataan di lapangan sehingga hasil yang diperoleh tidak dapat menggambarkan kondisi sesungguhnya di lapangan.

Tabel 23 Output hasil simulasi SWAT

Bln PREC SURQ LATQ GWQ PERC. ET W.YIELD Ke- (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 1 170.29 10.12 47.81 13.55 42.32 88.07 71.48 2 89.38 4.09 22.02 7.56 17.78 80.77 33.67 3 175.83 7.14 33.88 7.71 21.43 113.9 48.72 4 146.77 6.91 35.55 7.47 24.42 109.05 49.94 5 114.64 2.5 23.15 7.52 14.39 110.07 33.17 6 179.97 3.24 28.84 4.7 20 91.9 36.78 7 174.94 6.51 39.03 6.91 38.53 83.9 52.45 8 160.56 5.03 34.43 8.19 34.42 90.32 47.64 9 262.2 14.12 62.31 14.42 68.9 89.73 90.82 10 198.09 12.06 46.52 17.28 36.6 99.83 75.87 11 276.53 11.69 68.03 19.43 68.88 98.29 99.14 12 309.75 20.92 92.96 33.28 90.71 87.07 147.17 2010 2 258.96 104.3 534.53 148.03 478.39 1 142.88 786.86

Untuk lokasi dengan data yang minim maka faktor ketidakpastian akan semakin tinggi sehingga model yang dihasilkan akan lebih mengandalkan pada data global yang sudah tersedia dalam SWAT. Semakin tinggi ketidakpastian maka memerlukan usaha yang lebih dalam kalibrasi modelnya. Secara umum proses kalibrasi sangat bergantung pada pemahaman seorang pengguna terhadap grafis yang dihasilkan dari model untuk mengidentifikasi parameter yang berpengaruh terhadap output dari model. Kalibrasi dapat dilakukan melalui metode trial and error atau otomatis (dengan SWAT CUP). Kekurangan dari metode trial and error adalah labour consuming sementara yang otomatis bersifat time consuming (Arnold et al. 2012).

Hasil perhitungan diperoleh bahwa sebelum kalibrasi nilai r2 = 0.76 dengan NSE = 0.64. Meskipun ini sudah cukup baik namun masih bisa lebih baik lagi dengan proses kalibrasi. Proses kalibrasi dilakukan dengan membagi waktu simulasi menjadi tiga bagian, yaitu warm up period, peride kalibrasi dan periode validasi (Arnold et al. 2012). Parameter yang digunakan dalam kalibrasi adalah mencakup aliran (gw), aliran permukaan dan routing serta HRU. Parameter yang sesitif untuk keluaran model pada proses kalibrasi meliputi parameter yang

sensitif terhadap debit aliran, yang meliputi metode penelusuran air pada aliran sungai (routing), parameter base flow, parameter pada saluran sungai utama, parameter pada tingkat sub DAS dan HRU. Input parameter yang digunakan disajikan pada Tabel 24 dan kalibrasi dilakukan menggunakan Sufi-2 SWAT-CUP.

Gambar 22. Hasil simulasi model SWAT selama 20 tahun

Gambar 23. Nilai NSE dan r2 sebelum kalibrasi (atas) dan sesudah kalibrasi bawah)

Alpha_BF adalah konstanta penurunan base flow (aliran dasar) yang merupakan indeks respon base flow terhadap perubahan recharge (infiltrasi). Alpha_BF merupakan faktor yang menentukan daya resap hujan ke tanah. Nilai

0 100 200 300 400 500 600 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205 217 Cu rah H u jan ( m m ) D e b it (m m ) Bulan ke- CH Qsim

yang semakin besar maka daya resapan air ke dalam tanah akan semakin berkurang (Adrionita 2011).

GWrevap adalah koefisien revap air bawah tanah. Jika nilai ini ditingkatkan maka akan berpengaruh pada penurunan base flow dengan meningkatkan transfer air dari akuifer dangkal ke zona perakaran (Abraham et al. 2007). Revapmn adalah batas kedalaman air di akuifer dangkal untuk terjadinya perkolasi di akuifer dalam. Recharge_dp adalah koefisien perkolasi dari akuifer. Jika nilai Rechage_dp ditingkatkan akan berpengaruh pada peningkatan pengisian akuifer dalam (Abraham et al. 2007). Gwqmn adalah batas kedalaman air di akuifer dangkal untuk terjadinya aliran.

Tabel 24 Parameter yang digunakan dalam kalibrasi

Parameter_Name Fitted_Value Min_value Max_value t-Stat P-Value 1:R__CN2.mgt* -14.571428 -20 20 -9.03603 0 2:V__ALPHA_BF.gw* 0.65 0 1 -1.80674 0.076482 3:V__GW_DELAY.gw 8.178572 5 450 -0.58676 0.559855 4:V__GWQMN.gw* 678.571411 0 1000 -1.9832 0.052537 5:V__GW_REVAP.gw 0.078571 0 0.2 1.465168 0.148782 6:V__ESCO.hru 0.825 0.5 1 0.744085 0.460112 7:V__EPCO.hru 0.745714 0.6 1 -0.89594 0.374337 8:V__CH_N2.rte 0.15 0.02 0.3 -0.61851 0.538892 9:V__CH_K2.rte 23.75 5 130 -0.48498 0.629686 10:V__ALPHA_BNK.rte* 0.892857 0 1 4.575897 2.9E-05 11:V__REVAPMN.gw* 303.964294 1 500 -1.85792 0.068738 12:V__SURLAG.bsn 19.442858 2 24 0.085578 0.932125 13:V__RCHRG_DP.gw 0.607143 0 1 0.127909 0.898705 14:V__SHALLST.gw 28214.28516 0 50000 -0.33464 0.739221 15:V__DEEPST.gw 28928.57031 0 50000 1.598474 0.115883 16:V__GWHT.gw 20.178572 0 25 0.600701 0.550599 Keterangan: * parameter yang sensitif (jika t-stat absolut > p-value)

CN2 adalah nilai kurva aliran (curve number) pada kondisi air tanah kapasitas lapang. Cibin et al. (2010) menyebutkan bahwa nilai CN2 merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap jumlah aliran permukaan dan mempunyai indeks sesitivitas terbesar yang dapat diduga pada sebagian besar DAS. Apabila aliran permukaan ini berubah akan berdampak pada perubahan seluruh komponen dalam kesetimbangan hidrologis (Arnold et al. 2012).

CH_K2 adalah konduktivitas hidrolik efektif pada saluran utama. Nilai konduktivitas hidrolik yang semakin besar menunjukkan kecepatan kehilangan yang semakin tinggi. ESCO adalah faktor kompensasi evaporasi tanah, yaitu koefisien kebutuhan air yang diambil dari lapisan yang paling bawah untuk memenuhi kebutuhan evaporasi tanah sebagai akibat dari adanya rekahan dan kapilaritas.

GW_delay menunjukkan nilai yang menunjukkan waktu yang dibutuhkan untuk menuju akuifer dangkal. Parameter ini menentukan proses pengisian air tanah, dan jika nilainya menurun maka kondisi akuifer tanah akan lebih cepat

jenuh dan menyebabkan kenaikan muka air tanah sehingga meningkatkan penyebaran air tanah dalam akuifer ke arah lateral. EPCO merupakan faktor kompensasi evaporasi tanaan yaitu koefisien kebutuhan air yang diambil dari tanah untuk proses transpirasi tanaman. Nilai yang semakin kecil menunjukkan kebutuhan air untuk tanaman semakin sedikit.

Berdasarakan hasil analisis sensitivitas, terlihat bahwa tidak semua parameter yang digunakan dalam kalibrasi sensitive terhadap perubahan nilai yang diberikan. Hasil kalibrasi dengan menggunakan SWAT-CUP memberikan hasil yang baik dimana diperoleh nilai r2 = 0.89 dan NSE = 0.88. Hal ini menunjukkan bahwa model SWAT sudah cukup baik dan dapat digunakan untuk validasi. Hasil kalibrasi model disajikan pada Gambar 24.

Proses validasi dilakukan dengan menggunakan nilai parameter hasil kalibrasi dan dilakukan untuk penutupan lahan tahun 1990 dan data debit bulanan tahun 1990 – 1991. Validasi merupakan langkah evaluasi terhadap model dan bertujuan untu membuktikan bahwa model yang dibangun memberikan hasil yang konsisten serta memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sebelum validasi diperoleh nilai r2 = 0.58 dan NSE = -0.09, sedangkan hasil validasi diperoleh nilai r2 = 0.66 dan NSE = 0.57.

Dokumen terkait