• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN LUAS HUTAN OPTIMAL DITINJAU DARI

RESPON HIDROLOGIS DI DAS ASAHAN

AHMAD DANY SUNANDAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

AHMAD DANY SUNANDAR. Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan. Dibimbing oleh ENDANG SUHENDANG, HENDRAYANTO, I NENGAH SURATI JAYA dan MARIMIN.

Pengaruh suatu penutupan lahan terhadap respon hidrologis suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) berbeda, tergantung dari karakteristik penutupan lahannya dan karakteristik fisik DAS tersebut. Penutupan dan penggunaan lahan berpengaruh pada laju dan kapasitas infiltrasi, laju dan jumlah limpasan serta evaporasi merubah rezim hidrologi suatu DAS. Penggunaan lahan juga mempengaruhi tingkat produktivitas lahan dan income masyarakat selain pengaruh-pengaruh lainnya sehingga penggunaan lahan di suatu DAS perlu memperhatikan paling tidak aspek hidrologi DAS dan produktivitas lahan di DAS tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui luas hutan optimum melalui optimasi penggunaan lahan di DAS Asahan berdasarkan pada hasil air (debit dan muatan sedimen) dan produktivitas lahan. Sasaran (tujuan antara) dari penelitian ini adalah mengetahui perubahan penggunaan lahan empirik dan dampaknya terhadap hasil air dan keberlakuan model SWAT dalam menduga debit pada penggunaan lahan tertentu di DAS Asahan.

Penelitian dilaksanakan di DAS Asahan, Sumatera Utara yang menurut Kementerian Kehutanan merupakan salah satu DAS prioritas di Indonesia. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan analisis citra satelit LANDSAT TM tahun 1990, 2002 dan 2010 dengan metode post classification comparison. Analisis hidrologi menggunakan model SWAT yang dikalibrasi menggunakan SWAT-Cup dan data debit tahun 2010 yang diukur di stasiun Kisaran Naga. Optimasi penggunaan lahan dilakukan dengan metode linear programming menggunakan SOLVER command Microsoft Excel dan metode query dalam analisis ruang hasil optimasi berdasarkan pada kelas kemampuan lahannya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lahan berhutan di DAS Asahan cenderung meningkat, yaitu terjadi penambahan hutan seluas 271 hektar. Penggunaan lahan di DAS Asahan berupa luas perkebunan, pertanian lahan kering dan sawah meningkat secara nyata, sedangkan luas lahan bervegetasi rawa dan semak berkurang secara nyata. Lahan hutan umumnya berada di bagian hulu DAS Asahan yang dicirikan dengan topografi yang relatif curam dan berada di daerah dengan elevasi yang cukup tinggi dan aksesibilitas yang rendah. Di bagian tengah dan hilir DAS yang didominasi oleh lahan datar pada elevasi yang lebih rendah, terjadi perluasan lahan perkebunan, pergantian jenis tanaman semusim serta peningkatan pembangunan infrastruktur.

(5)

pada tahun 1990 menjadi 122.93 mm pada tahun 2002 dan 116 mm pada tahun 2010. Hal ini juga menyebabkan meningkatnya hasil air dari 818.11 mm pada tahun 1990 menjadi 1089.32 mm pada tahun 2002 dan 1 091.8 mm pada tahun 2010 serta meningkatkan sedimen dari 35.27 ton/ha pada tahun 1990 menjadi 61.92 ton/ha pada tahun 2002 dan 52.81 ton/ha pada tahun 2010.

Aplikasi model SWAT di sub DAS Asahan memberikan hasil yang baik dalam menduga debit yang ditunjukkan dengan nilai NSE = 0.88 dan koefisien determinan (r2) = 0.89. Model SWAT kemudian diaplikasikan untuk menduga debit pada penggunaan lahan tertentu di seluruh DAS Asahan. Hasil optimasi di DAS Asahan menunjukkan penggunaan lahan yang dapat meminimalkan erosi tanpa menurunkan hasil air dan nilai ekonomi lahannya adalah penambahan luas hutan menjadi 83 635 hektar (29.86%) yang dapat ditambah melalui agroforestry di lahan-lahan dengan kelas kemampuan yang kurang sesuai untuk lahan pertanian seluas 15 832 hektar yaitu yang berada di kelas kemampuan lahan V – VIII dan melalui reforestasi seluas 20 030 hektar di kawasan hutan. Luas lahan perkebunan dan sawah bertambah masing-masing seluas 701 hektar dan 1 185 hektar sedangkan pertanian lahan kering mengalami penurunan seluas 11 436 hektar dan semak/belukar dan tanah terbuka menjadi hilang. Pada kondisi penggunaan lahan tahun 2010 sebelum optimasi, besarnya hasil air dan erosi masing-masing adalah 1 054.8 mm dan 104.09 ton/hektar/tahun sedangkan setelah optimasi, hasil air dan sedimennya menjadi 1 064.1 mm dan 69.30 ton/ha/tahun.

(6)

SUMMARY

AHMAD DANY SUNANDAR. Determining Optimum Forest Area From Hydrological View in Asahan Watershed. Supervised by ENDANG SUHENDANG, HENDRAYANTO, I NENGAH SURATI JAYA and MARIMIN. Effect of a land cover on the hydrological response of a watershed (DAS) is different, depending on the characteristics of the land cover and the physical characteristics of the watershed. Land cover and land use affect the rate and infiltration capacity, the rate and amount of runoff and evaporation change hydrologic regime of a watershed. Land use also affects land productivity and income levels of the community beside from other influences thus that land use in a watershed need to give more attention to the hydrological aspects of watershed and land productivity in the watershed.

This study aims to determine the optimum forest area through the optimization of land use in Asahan watershed based on water yield (discharge and sediment load) and land productivity. The target of this study was to determine empirical land use change and its impact on water yield and enforceability of SWAT models in predicting discharge in certain lands use in Asahan watershed.

The research was conducted in Asahan watershed, North Sumatra, which according to the Ministry of Forestry is one of the priority watersheds in Indonesia. Analysis of changes in land use performed with Landsat TM satellite images of 1990, 2002 and 2010 with post-classification comparison method. Hydrological analysis using SWAT model which is calibrated using SWAT-Cup and 2010 discharge data measured at Kisaran Naga station. Optimization of land use conducted by linear programming method using Microsoft Excel SOLVER command and query methods in spatial analysis of optimization result based on land capability class.

The results showed that forested land in Asahan tend to increase, which is the addition of an area of 271 hectares of forest. Land use in Asahan watershed in the form of plantation, dry land agriculture and paddy field increased significantly, while area of vegetated marsh and shrubs is reduced significantly. Forest land generally located in the upper Asahan watershed characterized by relatively steep topography and located in areas with a high enough elevation and low accessibility. In the middle and lower reaches of the watershed is dominated by flat land at a lower elevation, expansion of plantations occure, turn kind of seasonal crops and increased infrastructure development.

Changes in land use that occurred in the middle and lower reaches in Asahan watershed cause changes in the hydrological response to rainfall in the watershed. Addition of plantation area, dry land agriculture and open land in 2002 and 2010 increase runoff from 74.64 mm on 1990 to 122.93 mm in 2002 and 116 mm in 2010. It also increases water yield form 818.11 mm in 1990 to 1089.32 mm in 2002 and 1091.8 mm in 2010 and sediment yield from 35.27 tons/ha in 1990 to 61.92 tons/ha in 2002 and 52.81 tons/ha in 2010.

(7)

of determinant (r2) = 0.89. SWAT model was then applied to estimate the discharge at a particular land use throughout the Asahan watershed. The results of optimization on Asahan watershed showed that land use which can reduce water erosion without lowering water yield and economic value of the land is 83 986 hectare of forest area (36.52%) which can be applied through agroforestry (15 832 hectare) in less suitable for agricultural land or in land capability class of V – VIII and reforestation in forest area (20 030 hectare). Plantation area and paddy field are increase of 701 hectares and 1 081 hectares, respectively. Dry land agriculture is decrease 30 090 hectares and marsh/shrub and open soil be lost. In the year 2010 land use conditions before optimization, the magnitude of the results of water yield and erosion are 1 064.9 mm and 104.09 tons/hectare/year, respectively whereas after optimization, the results of water yield and erosion are 1 064.1 mm and 69.30 tons/hectare/year, respectively.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

PENENTUAN LUAS HUTAN OPTIMAL DITINJAU DARI

RESPON HIDROLOGIS DI DAS ASAHAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS 2. Dr Ir Omo Rusdiana

(11)

Judul Disertasi : Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan

Nama : Ahmad Dany Sunandar

NIM : E161090074

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Endang Suhendang, MS Ketua

Dr Ir Hendrayanto, MAgr Anggota

Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya, MAgr Anggota

Prof Dr Ir Marimin, MSc Anggota

Diketahui oleh

Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB Ketua,

Dr Ir Ahmad Budiaman, MScF Trop.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Penentuan Luas Hutan Optimal Ditinjau Dari Respon Hidrologis di DAS Asahan” ini dapat diselesaikan. Disertasi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penelitian dan disertasi ini dibiayai oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, melalui program Research School. Bagian dari disertasi ini akan dipublikasikan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam dengan judul Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Respon Hidrologis di DAS Asahan saat ini masih dalam proses review. Sebuah artikel dengan judul Land Use Optimization in Asahan Watershed with Linear Programming and SWAT Model akan dipublikasikan di International Journal of Science: Basic and Applied Research.

Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

1. Prof Dr Ir Endang Suhendang MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang dengan sabar selalu memberikan arahan, motivasi dan semangat kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung selama menyelesaikan studi.

2. Dr Ir Hendrayanto MAgr, yang selalu memberikan masukan dan arahan sehingga penulis dapat pencerahan mengenai bidang penelitian yang relatif baru bagi penulis dan dapat menyelesaikan kewajiban ini dengan baik.

3. Prof Dr Ir I Nengah Surati Jaya MAgr, yang selalu memberikan pengetahunannya serta dorongan agar penulis lebih memahami tentang sistem informasi geografis.

4. Prof Dr Ir Marimin MSc, yang selalu memberikan koreksi selaku pembimbing dan ilmu terkait dengan program linier

5. Prof Dr Ir Cecep Kusmana MS atas kesediannya menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan atas komentar dan masukannya untuk perbaikan disertasi ini.

6. Dr Ir Omo Rusdiana MS, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah memberikan masukan untuk menambah wawasan penulis tentang DAS. 7. Dr Ir Prijanto Pamoengkas MSc, selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka

atas saran dan masukan sehingga menambah warna pada disertasi ini.

8. Prof Ris Dr Ir Pratiwi MSc, selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran dan masukannya sehingga disertasi ini menjadi lebih berbobot.

9. Seluruh penyelenggara dan pelaksana Sekolah Pascasarjana IPB, terutama pengelola Mayor Ilmu Pengelolaan hutan yang telah memberikan pelayanan terbaik selama penulis menyelesaikan studi.

(13)

kesempatan dan biaya yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi doctor ini.

11.Teman-teman di Batalion 09 atas kebersamaan dan dorongan semangatnya yang tidak akan pernah dilupakan.

12.Semua teman di IPH sebagai teman diskusi yang banyak memberikan saran dan masukan terhadap disertasi ini.

13.Teman-teman di SWAT-User atas bantuannya yang sungguh sangat besar untuk penyelesaian studi ini.

14.Kedua orangtua, H. Achmad Djuaeni dan Hj. Nengsih atas pengorbanan, doa dan dukungannya; Istriku tercinta, Hj. Eti Setiawati dan kedua anakku tersayang, Ahmad Imam Syamil dan Zaki Abdurrahman atas pengorbanan dan doanya, semoga bisa menjadi dorongan dan contoh yang baik untuk kalian. 15.Seluruh pihak yang telah memberikan dukungan hingga penulisan disertasi ini

dapat diselesaikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat baik bagi diri penulis sendiri maupun yang membaca tulisan ini.

(14)

DAFTAR ISI

PRAKATA xii

DAFTAR ISI xiv

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

LAMPIRAN xvii

DAFTAR ISTILAH xvii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan 3

Manfaat 3

Kebaruan 3

Sistematika Tulisan 4

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5

Lokasi Penelitian 5

Luas DAS Asahan 5

Topografi 6

Debit 8

Curah Hujan 8

Jenis Tanah 9

Penggunaan Lahan 10

3 ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS ASAHAN SECARA VISUAL MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM TAHUN

1990 - 2013 14

PENDAHULUAN 14

METODE PENELITIAN 15

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

SIMPULAN 25

4 ANALISIS RESPON DEBIT TERHADAP PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN DI DAS ASAHAN 26

PENDAHULUAN 26

METODE PENELITIAN 27

HASIL DAN PEMBAHASAN 28

SIMPULAN 36

5 DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP RESPON HIDROLOGI DI DAS ASAHAN (KEBERLAKUAN MODEL

SWAT) 37

PENDAHULUAN 37

METODE PENELITIAN 38

HASIL DAN PEMBAHASAN 42

(15)

6 OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS ASAHAN DENGAN

APLIKASI SWAT DAN LINIER PROGRAMMING 54

PENDAHULUAN 54

1 Luas DAS Asahan berdasarkan wilayah administrasi

kabupaten/kota 6

2 Luas dan persen luas dari masing-masing kelas lereng 6 3 Luas dan persen luas dari masing-masing kelas ketinggian 8 4 Karakteristik debit sungai utama di DAS Asahan 8

5 Klasifikasi kelas intensitas curah hujan 9

6 Luas DAS berdasarkan kelas intensitas curah hujan hasil

interpolasi 9

7 Luas masing-masing jenis tanah di DAS Asahan 10 8 Nilai TSL untuk setiap jenis tanah di DAS Asahan (ton/ha/tahun) 11 9 Luas masing-masing penggunaan lahan di DAS Asahan 13 10 Klasifikasipenggunaan lahan di DAS Asahan 16 11 Luas perubahan penggunaan lahan pada masing-masing kelas

penggunaan lahan 18

12 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990 - 2002 22 13 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2002 – 2013 23 14 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990 – 2013 24 15 Curah hujan rata-rata wilayah tahun 1990, 2002 dan 2010 di sub

DAS Asahan 29

16 Hasil pengolahan data debit tahun 1990, 2002 dan 2010 30

17 Rasio limpasan terhadap curah hujan (%) 31

18 Hasil pemisahan debit sungai menjadi base flow dan run off 33 19 Basis data iklim yang diperlukan dalam pembangkit data (.wgn) 40

20 Kriteria nilai NSE 41

21 Luas masing-masing penutupan lahan dan perubahannya (hektar) 42 22 Penambahan/pengurangan luas setiap penggunaan lahan (dalam

hektar) 44

23 Output hasil simulasi SWAT 46

24 Parameter yang digunakan dalam kalibrasi 48

(16)

26 Persamaan hubungan curah hujan dengan debit, aliran permukaan, aliran dasar dan hasil air untuk masing-masing penggunaan lahan 53 27 Kriteria klasifikasi kelas kemampuan lahan 57 28 Hubungan kelas kemampuan lahan dengan intensitas dan tipe

penggunaan lahan 57

29 Nilai Lahan untuk pertanian lahan kering, perkebunan dan padi

sawah 58

30 Nilai TSL terboboti untuk DAS Asahan (ton/ha/tahun) 59 31 Erosi rata-rata dari setiap penggunaan lahan di DAS Asahan

tahun 2010 60

32 Luas setiap kelas kemampuan lahan 60

33 Fungsi kendala dalam optimasi 61

34 Luas setiap penggunaan lahan di DAS Asahan 62 35 Hasil air, sedimen dan erosi hasil dari simulasi SWAT 63

36 Satuan Lahan di DAS Asahan 63

37 Luas penggunaan lahan aktual dan hasil optimasi 65 38 Hasil air sedimen dan erosi hasil simulasi SWAT setelah optimasi

spasial tahun 2010 67

39 Luas penggunaan lahan pada kondisi erosi sama dengan TSL 68 40 Hasil air, sedimen dan erosi hasil simulasi SWAT pada kondisi

erosi sebesar TSL 74

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi Penelitian 5

2 Peta kelas kemiringan lereng di DAS Asahan 7

3 Peta kelas ketinggian di DAS Asahan 7

4 Sebaran kelas intensitas curah hujan di DAS Asahan 9 5 Peta jenis tanah (klasifikasi PPT) di DAS Asahan 11 6 Peta penggunaan lahan di DAS Asahan hasil analisis citra

Landsat ETM 2013 12

7 Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990 19 8 Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2002 19 9 Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2013 20 10 Poligon Thiessen yang terbentuk di DAS Asahan 28 11 Sebaran curah hujan rata-rata wilayah dalam satu tahun 29 12 Curah hujan rata-rata wilayah di Sub DAS Asahan tahun

(17)

18 Hubungan curah hujan dan limpasan stasiun Air Joman 35 19 Penggunaan lahan di sub DAS Asahan tahun 1990 43 20 Penggunaan lahan di sub DAS Asahan tahun 2002 43 21 Penggunaan lahan di sub DAS Asahan tahun 2010 44

22 Hasil simulasi model SWAT selama 20 tahun 47

23 Nilai NSE dan r2 sebelum kalibrasi (atas) dan sesudah kalibrasi

bawah) 47

24 Grafik hubungan curah hujan dengan debit, aliran permukaan, aliran dasar dan hasil air pada penggunaan lahan tahun 1990

(atas), 2002 (tengah) dan 2010 (bawah) 52

25 Dugaan besaran erosi yang terjadi di DAS Asahan 59 26 Sebaran penggunaan lahan di DAS Asahan tahun 2010 63 27 Peta penggunaan lahan hasil optimasi spasial di DAS Asahan 68 28 Hasil tumpang susun peta kawasan hutan dengan penggunaan

lahan 70

29 Hasil tumpang susun peta kawasan dengan peta hasil optimasi 73 30 Penggunaan lahan optimal untuk erosi di bawah TSL 73

LAMPIRAN

1 Data tanah yang digunakan dalam SWAT 85

2 Data iklim untuk weather generator (.wgn) 89

3 Data debit bulanan 91

4 Hasil perhitungan dengan program linier 95

DAFTAR ISTILAH

BAPPEDA : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BPDAS : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

CN : Curve Number (nilai kurva aliran pada kondisi air tanah kapasitas lapang)

DEM : Digital Elevation Model (data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi) HRU : Hydrologial Response Units (unit respon hidrologis yang

merupakan hasil gabungan dari penggunaan lahan, jenis tanah dan slope)

MUSLE : Modified Soil Loss Equation (persamaan untuk menduga erosi)

NSE : Nash Sutcliffe Efficiensy (persamaan untuk melihat kedekatan model dengan observasi)

Respon Hidrologis : pemindahan air hujan yang jatuh dalam DAS menjadi limpasan melalui saluran-saluran dalam DAS

SDR : Sediment Delivery Ratio (nisbah pelepasan sedimen) SUFI : Sequential Uncertainty Fitting (kalibrasi model SWAT

(18)

SWAT : Soil and Water Assessment Tool (model hidrologi yang berbasis proses fisik)

TM : Thematic Mapper (sendor yang digunakan pada satelitLandsat untuk mengamati permukaan bumi)

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) mempunyai karakteristik dasar alami (morfometri) yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alamiah yang tidak dapat diubah manusia (Murtiono 2001). Karakteristik dasar ini merupakan hasil dari proses alami yang dipengaruhi oleh topografi, geologi, tanah, dan iklim. Respon suatu DAS terhadap hujan yang jatuh di atasnya merupakan kombinasi dari faktor morfometri DAS dengan faktor dari manusia yang dapat diubah seperti tata guna lahan. Faktor-faktor DAS yang dapat mempengaruhi kondisi hidrologi adalah ukuran, bentuk, topografi, geologi dan penggunaan lahan di permukaan tanah. Semakin luas area vegetasi di permukaan tanah maka kesempatan air untuk berinfiltrasi akan semakin besar. Dengan demikian, simpanan air bawah permukaan pun akan meningkat dan sebaliknya, laju dan volume aliran permukaan akan semakin menurun (Emilda 2010). Dari sisi lanskap, pola penggunaan lahan yang ada di atasnya sangat berpengaruh terhadap sistem hidrologi dan kualitas suatu DAS (Paul & Meyer 2001; Tong & Chen 2002). Parameter-parameter yang berkaitan dengan kualitas air berkaitan erat dengan proporsi atau tipe-tipe penggunaan lahan dari suatu DAS (Lenat & Crawford 1994; Tong & Chen 2002).

Perubahan penggunaan dan penutupan lahan merupakan cerminan dari perubahan ekosistem lahan dan hal ini menyebabkan terjadinya perubahan rezim hidrologi (Xiaoming et al. 2007). Perubahan penggunaan lahan di DAS juga dapat mempengaruhi pasokan air dengan mengubah proses hidrologi seperti infiltrasi, resapan air tanah, aliran dasar dan limpasan (Lin et al. 2007). Perubahan lahan juga memberi dampak pada pengurangan kapasitas resapan, terutama dilihat dari proporsi lahan pemukiman yang semakin bertambah sehingga akan meningkatkan laju limpasan permukaan (Pawitan 2004). Vegetasi penutup dan tipe penggunaan lahan juga mempengaruhi aliran sungai sehingga adanya perubahan penggunaan lahan berpengaruh pada aliran sungai (Sinukaban et al. 2000). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bathurst (2011) yang menyatakan bahwa hutan memberikan keuntungan yang signifikan dalam mitigasi banjir untuk kejadian hujan pada tingkat yang sedang (moderate) dan melindungi tanah dari erosi dan transfer sedimen dalam kejadian yang lebih luas.

(20)

luas hutan (4.06%), sawah (8.13%) dan kebun campuran (2.5%) menjadi perumahan di DAS Citarum periode tahun 1997 – 2003 mengakibatkan peningkatan volume dan debit puncak aliran permukaan masing-masing sebesar 6.1% dan 6.8% akibat penyusutan luas hutan di daerah hulu yang menurunkan daya serap air oleh tanah.

Salah satu permasalahan yang banyak dijumpai dalam DAS adalah masalah erosi dan banjir. Menurut Suripin (2001), erosi yang terjadi pada berbagai DAS di Asia merupakan yang tertinggi dibandingkan di tempat lain dan untuk menanganinya maka di Indonesia ditetapkan DAS prioritas yang didasarkan pada kriteria lain rendahnya prosentase penutup lahan, tingginya sediment load, dan daerah yang rawan terhadap banjir. DAS Asahan sendiri merupakan salah satu DAS prioritas di Sumatera Utara dengan daerah hilir yang mengalami banjir musiman di bagian hilir dan tingginya sedimentasi di muara sungainya (Sunandar 2013). Tingginya sedimentasi menunjukkan bahwa tingkat erosi yang terjadi juga tinggi dan akan mengurangi kapasitas daya tampung sungai sehingga rawan terhadap kelebihan pasokan air di saat hujan yang kemudian menimbulkan banjir.

Pendekatan sistem dalam analisis hidrologi merupakan suatu teknik penyederhanaan dari sistem prototipe ke dalam suatu sistem model, sehingga perilaku sistem yang kompleks dapat ditelusuri secara kuantitatif. Hal ini menyangkut sistem dengan mengidentifikasikan adanya aliran massa/energi berupa masukan dan keluaran serta suatu sistem simpanan (Pawitan 1995). Harto (2000) mengemukakan bahwa tujuan penggunaan suatu model dalam hidrologi, antara lain sebagai berikut : a) peramalan (forecasting) menunjukkan besaran maupun waktu kejadian yang dianalisis berdasar cara probabilistik; b) perkiraan (predicting) yang mengandung pengertian besaran kejadian dan waktu hipotetis (hipotetical future time); c) sebagai alat deteksi dalam masalah pengendalian; d) sebagai alat pengenal (identification) dalam masalah perencanaan; e) ekstrapolasi data/informasi; f) perkiraan lingkungan akibat tingkat perilaku manusia yang berubah/meningkat; dan g) penelitian dasar dalam proses hidrologi.

(21)

Model SWAT telah banyak diaplikasikan dalam memodelkan hidrologi di berbagai DAS di Indonesia. Model SWAT terbutki mampu diaplikasikan di berbagai DAS untuk berbagai keperluan terkait dengan hidrologi antara lain untuk analisis debit sungai untuk berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum (Adrionita 2011), kajian respon hidrologi di DAS Keduang (Atmaja 2012), pewilayahan hidroklimat untuk optimasi penggunaan lahan pertanian di DAS Barito Hulu (Anwar 2012) dan pengelolaan lahan untuk mengurangi aliran permukaan di sub DAS Ciliwung Hulu (Yustika 2013).

Rumusan Masalah

Hubungan antara keberadaan hutan dengan respon hidrologis telah banyak diteliti namun seperti yang dikatakan oleh Andreassian (2004), untuk DAS yang berbeda dengan tipe iklim dan geologi serta manajemen lahan yang berbeda, keberadaan hutan tidak akan memberikan dampak yang sama. Keberadaan hutan juga sering dikaitkan dengan kemampuannya dalam mengurangi erosi yang alami. Dalam kasus DAS Asahan, pengaruh eksistensi hutan terhadap respon hidrologinya masih perlu diteliti. Untuk itu maka yang menjadi pertanyaan adalah seperti apa karakteristik DAS Asahan dari sisi biofisik dan morfometri serta karakteristik debitnya dikaitkan dengan curah hujan dan penutupan dan penggunaan lahan, bagaimana perubahan penutupan dan penggunaan lahan yang terjadi, bagaimana pengaruh perubahan luas lahan terhadap respon hidrologinya dan berapa luas lahan hutan optimal yang dapat meminimalkan erosi tanpa menurunkan nilai ekonomi lahannya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan lahan optimal di DAS Asahan dengan pendekatan multi kriteria.

Manfaat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi mengenai keberlakuan model SWAT dalam menduga dampak perubahan lahan terhadap respon hidrologis dan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan hutan dengan fungsi hidrologi dari DAS Asahan, serta penggunaan lahan optimal untuk mendukung pembangunan DAS Asahan secara berkelanjutan.

Kebaruan

(22)

sekunder hasil pengukuran untuk mendapatkan penggunaan lahan optimal di DAS Asahan.

Sistematika Tulisan

(23)

2 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di DAS Asahan, Propinsi Sumatera Utara. DAS Asahan terletak pada koordinat 99.03° – 99.96° Bujur Timur dan 2.41° - 3.04° Lintang Utara. DAS Asahan berbatasan dengan DAS Merbau, sebelah selatan berbatasan dengan sub DAS Kualuh, sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka dan sebelah barat berbatasan dengan daerah tangkapan air Danau Toba (BPDAS Asahan Barumun, 2006). Lokasi penelitian analisis keberlakuan model SWAT menggunakan sub DAS Asahan dengan titik patusan (outlet) di SPAS Kisaran Naga sedangkan analisis penggunaan lahan optimal dilakukan untuk seluruh DAS Asahan (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Penelitian Luas DAS Asahan

Luas DAS Asahan adalah 284 853 hektar yang mencakup empat wilayah administratif yaitu tiga kabupaten dan satu kota. Luas wilayah pada setiap kabupaten dan kota di DAS Asahan disajikan pada Tabel 1.

(24)

hilir DAS Asahan sehingga kota ini merupakan kota terdampak terhadap kegiatan yang dilakukan di bagian hulu dari DAS Asahan ini.

Tabel 1 Luas DAS Asahan berdasarkan wilayah administrasi kabupaten/kota

No Kabupaten/Kota Luas (Ha) Persen (%)

1 Kota Tanjung Balai 7 786 2.72

2 Simalungun 5 746 2.01

3 Toba Samosir 24 500 8.57

4 Asahan 247 811 86.69

Jumlah 284 853 100.00

Sumber: Hasil deliniasi DAS Asahan dengan batas administrasi wilayah

Panjang sungai utama di DAS Asahan adalah 149.75 km sedangkan luasnya adalah 284 853 hektar atau 2 848.9 km2. Berdasarkan rumus perhitungan lebar DAS maka lebar DAS Asahan diperoleh sebesar 14.80 km. Luas DAS Asahan ini tergolong cukup besar dan berdasarkan Pedoman Identifikasi Karakteristik DAS yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan, termasuk pada kelas sedang.

Topografi

DAS Asahan didominasi wilayah bertopografi datar yang terletak di bagian tengah dan hilir. Wilayah bertopografi curam sampai sangat curam (kemiringan > 25%) hanya 10.8% dari luas DAS Asahan, yang terletak di bagian hulu DAS. Secara lebih rinci, luas setiap kelas kemiringan di DAS Asahan disajikan dalam Tabel 2 dan distribusi ruang kelas kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 2.

Tabel 2 Luas dan persen luas dari masing-masing kelas lereng No Kelas Lereng Luas (ha) Persen (%)

1 0-8% 194 008 67.88 2 > 8-15% 36 602 12.80 3 > 15-25% 24 624 8.61 4 > 25-40% 27 009 9.48 5 > 40% 3 510 1.23 Sumber: hasil pengolahan data DEM

(25)

Gambar 2. Peta kelas kemiringan lereng di DAS Asahan

(26)

Tabel 3 Luas dan persen luas dari masing-masing kelas ketinggian dibandingkan dengan sungai-sungai di dunia. Perbandingan debit maksimum dan minimum pada kondisi ekstrem seperti yang tertulis pada Tabel 4, adalah sebesar 25.3 yang berarti berada kelas sedang (BTPDAS Solo 2002).

Tabel 4 Karakteristik debit sungai utama di DAS Asahan Nama

Sumber : Balai wilayah Sungai II, data tahun 2012; * pada kondisi ekstrem

Curah Hujan

Curah hujan di DAS Asahan mengikuti pola Monsoon yang berarti dalam satu tahu terdapat dua puncak hujan yaitu di bulan Maret atau April serta di bulan November atau Desember. Berdasarkan hasil interpolasi data curah dari lima stasiun curah hujan di DAS Asahan periode tahun 1990 – 2010, diperoleh peta intensitas curah hujan seperti pada Gambar 4 dan klasifikasi kelas intensitas curah hujan adalah seperti pada Tabel 6.

(27)

Tabel 5 Klasifikasi kelas intensitas curah hujan Kelas Intensitas

Hujan

Besaran Intensitas Hujan (mm/hari hujan)

Keterangan

1 0 – 13.6 Sangat Rendah

2 > 13.6 – 20.7 Rendah 3 > 20.7 – 27.7 Sedang 4 > 27.7 – 34.8 Tinggi

5 > 34.8 Sangat Tinggi

Sumber : Pengolahan data curah hujan

Tabel 6 Luas DAS berdasarkan kelas intensitas curah hujan hasil interpolasi No. Kelas Keterangan Luas (ha) Persen (%)

1 Sangat Rendah 14 558 5.09

2 Rendah 164 050 57.38

3 Sedang 57 234 20.02 4 Tinggi 50 035 17.50 Sumber: Pengolahan data curah hujan

Gambar 4. Sebaran kelas intensitas curah hujan di DAS Asahan Jenis Tanah

(28)

DAS Asahan didominasi oleh jenis tanah Podsolik (termasuk Podsolik Coklat, Podsolik Merah dan Podsolik Merah Kuning). Menurut Hardjowigeno (2003), tanah Podsolik merupakan tanah dengan horizon penimbun liat (horizon argilik) dan kejenuhan basanya kurang dari 50%, tidak mempunyai horizon albik. terdiri atas jenis kombinasi Padsolik, Latosol, Regosol, Aluvial, Hidromorf kelabu, Organosol dan Glei humus.

Tabel 7 Luas masing-masing jenis tanah di DAS Asahan

No Jenis Tanah Luas (ha) Persen (%)

1 Aluvial 3 722 1.32

2 Hidromorf Kelabu 24 887 8.84

3 Komplek Podsolik Coklat Podsolik dan Litosol 55 706 19.78 4 Komplek Podsolik Merah Kuning Latosol dan Litosol 11 833 4.20

5 Latosol 22 978 8.16 alluvium muda. Kondisi bahan induk ini ditambah dengan curah hujan yang tinggi dan tipe iklim Af sangat berpengaruh terhadap jenis tanah yang terbentuk dimana untuk Sub DAS diwilayah DAS Asahan jenis tanahnya didominasi oleh jenis tanah podsolik, latosol dan litosol. Jenis tanah ini memiliki antara lain solum kedalaman sedang (1 – 2 m), tekstur halus pada horizon Bt karena kandungan liat yang tinggi pada horizon ini, struktur blocky, kosistensi teguh, permeabilitas lambat sampai baik dan tingkat erodibilitas yang tinggi (BPDAS Asahan Barumun 2006). Berdasarkan hasil pengamatan kedalaman solum tanah di tiap jenis tanah maka dapat disusun erosi yang dapat ditoleransi (Tolerable Soil Loss - TSL) dari setiap jenis tanah yang ada. Besarnya TSL untuk setiap jenis tanah di DAS Asahan disajikan pada Tabel 8 dan sebaran jenis tanahnya disajikan pada Gambar 6.

Penggunaan Lahan

(29)

Klasifikasi Penutup Lahan ynag membagi penggunaan lahan menjadi 11 kelas. Hasil analisis citra Landsat ETM tahun 2013 untuk penggunaan lahan di DAS Asahan disajikan pada Gambar 6 dan luas masing-masing penggunaan lahan pada Tabel 9.

Tabel 8 Nilai TSL untuk setiap jenis tanah di DAS Asahan (ton/ha/tahun)

No Jenis tanah TSL

1 Aluvial 50.76

2 Hidromorf Kelabu 45.56

3 Kompleks Podsolik Coklat dan Latosol 57.29 4 Podsolik Merah kuning Latosol dan Litosol 58.59

5 Latosol 42.44

6 Podsolik Merah Kuning dan Latosol 63.34

7 Organosol dan Glei Humus 38.9

8 Podsolik Coklat dan Kelabu 48.31

9 Podsolik Merah 84.4

10 Podsolik Merah Kuning 65.21

11 Regosol dan Latosol 64.17

Sumber: hasil perhitungan

Gambar 5. Peta jenis tanah (klasifikasi PPT) di DAS Asahan

(30)

Menurut informasi, tempat ditanamnya kelapa sawit pertama kali di Indonesia adalah di DAS Asahan sehingga perkembangan perkebunan sawit di daerah ini cukup pesat. Perkebunan terutama berada di bagian tengah hingga hilir DAS karena didukung oleh faktor biofisiknya, yaitu topografi yang relatif datar, curah hujan yang cukup, aksesibilitas yang relatif tinggi dan sumberdaya manusia yang mencukupi.

Hutan lahan kering yang ada di DAS Asahan hanya ada di bagian hulu dan mempunyai luas 46 757 hektar atau 16.50% dari total luas DAS Asahan. Areal hutan ini juga tidak membentuk satu blok hutan yang utuh tapi telah terbagi menjadi beberapa fragmen dan secara administratif juga masuk pada tiga wilayah administrasi pemerintahan (Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun).

Gambar 6. Peta penggunaan lahan di DAS Asahan hasil analisis citra Landsat ETM 2013

(31)

Tabel 9 Luas masing-masing penggunaan lahan di DAS Asahan No Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) Persen (%)

1 Hutan lahan kering 47 803 16.87

2 Hutan mangrove 461 0.16

3 Pemukiman 2 469 0.87

4 Perkebunan 77 867 27.47

5 Pertanian Lahan Kering 118 899 41.95

6 Rawa 222 0.08

7 Sawah 3 313 1.17

8 Semak belukar 21 163 7.47

9 Tanah Terbuka 5 040 1.78

10 Tubuh Air 3 366 1.19

11 Vegetasi rawa 2 817 0.99

(32)

3 ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS

ASAHAN SECARA VISUAL MENGGUNAKAN CITRA

LANDSAT TM TAHUN 1990 - 2013

PENDAHULUAN

Perubahan lahan merupakan suatu proses yang dinamis yang berlangsung dalam skala ruang dan waktu yang berbeda dan hal ini merupakan hasil dari proses alami atau berbagai hasil dari berbagai aktivitas manusia yang menghuni di atasnya. Perubahan penutupan lahan ini berpengaruh pada sistem dan fungsi lahan tersebut dan berpengaruh pada siklus hodrologi dan biogeochemical, biodiversitas, kualitas tanah dan kehidupan manusia (Lambin et al. 2003; Overmars & Vreiburg 2005). Hal ini yang menyebabkan pentingnya penelitian mengenai perubahan penutupan dan penggunaan lahan dalam konteks perubahan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (Sitorus 2003). Penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) adalah dua elemen kunci yang menggambarkan lingkungan terestrial dalam kaitannya baik dengan proses-proses alami maupun aktivitas manusia. Penutupan lahan mengacu pada benda yang terletak pada permukaan planet yang baik yang berasal dari alam atau antropogenik (Jansen & di Gregorio 2002). Sedangkan, penggunaan lahan mengacu pada benda yang mewakili aktifitas manusia yang menghasilkan produksi barang dan jasa bagi masyarakat (Mendoza et al. 2011).

Perubahan penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara dimensi ruang dan waktu dengan dimensi biofisik dan manusia (Veldkamp & Verburg 2004). Perubahan penggunaan lahan seringkali terjadi karena adanya interaksi dari berbagai faktor dan bukan karena faktor tunggal (Verburg & Veldkamp 2001) dan beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan adalah perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk dan proses urbanisasi (Wu et al. 2008).

(33)

mempengaruhi aliran sungai sehingga adanya perubahan penggunaan lahan akan berdampak pada aliran sungai (Sinukaban et al. 2000).

Deteksi perubahan merupakan suatu proses dalam mengidentifikasi perbedaan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi melalui pengamatan pada waktu yang berbeda (Singh 1989). Pemanfaatan citra satelit untuk mendeteksi perubahan yang terjadi di permukaan bumi telah banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, tidak saja untuk mendeteksi perubahan tetapi juga untuk mengkuantifikasi dan memetakan letak terjadinya perubahan itu. Keberhasilan aplikasi penginderaan jauh dalam deteksi perubahan penggunaan lahan adalah karena perkembangan teknik-teknik untuk deteksi perubahan penggunaan lahan yang sudah semakin maju, peningkatan kualitas data spasial dan spectral dari instrumen optik (satelit) serta kemudahan untuk mendapatkan citra satelit melalui open access (Were et al. 2013). Beberapa teknik untuk mendeteksi perubahan penutupan lahan adalah analisis komposit dan image differencing, image rationing, image regression, post classification comparison, change vector analysis, neural network, multi temporal spectral mixture analysis hingga multi dimensional temporal feature space analysis (Sing 1989; Mas 1999; Lu et al. 2004; Coppin et al. 2004). Tulisan ini memaparkan tentang perubahan penutupan lahan yang terjadi di DAS Asahan, Sumatera Utara selama dua puluh tahun terakhir menggunakan teknik penginderaan jauh. Secara khusus, tulisan ini memaparkan 1) hasil identifikasi dan pemetaan perubahan penggunaan lahan pada tahun 1992, 2002 dan 2013; 2) deteksi dan penentuan besaran perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut. .

METODE PENELITIAN

A. Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM yang menampilkan citra penutupan lahan tahun 1990 (path 128, row 58, date acquisition 18 Desember 1990), 2002 (path 128, row 58, date acquisition 2 Februari 2002), 2010 (path 128, row 58, date acquisition 10 Februari 2010) dan 2013 (path 128, row 58, date acquisition 10 Desember 2013) gabungan dari band 5, 4 dan 3. Penggunaan tiga tahun pengamatan adalah untuk melihat dinamika perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Asahan dimana pada tahun 2002 terjadi musim kemarau yang cukup panjang. Selain itu, penggunaan tahun 1990 dan 2010 disesuaikan juga dengan ketersediaan data debit yang ada di stasiun pengukuran debit untuk keperluan analisis perubahan penggunaan lahan kaitannay dengan perubahan debit.

(34)

B. Klasifikasi Citra

Klasifikasi secara kuantitatif dalam konteks multispectral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang digunakan. Citra yang telah dikelompokkan dapat terdiri atas beberapa kelas penutupan lahan, seperti vegetasi, tanah kososng, padang rumput atau permukaan lahan terbangun (Jaya 2010).

Penentuan penutupan atau penggunaan lahan didasarkan pada panduan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (2008) dan membagi penggunaan lahan menjadi 11 kelas, yaitu hutan lahan kering, perkebunan, pertanian, pemukiman, tanah terbuka, sawah, mangrove, lahan basah tidak berhutan, rawa, semak balukar dan tubuh air. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi dilakukan post classification image analysis dengan melakukan tumpang susun dan kemudian diidentifikasi dan dikuantifikasi perubahan yang terjadi.Tujuan akhir dari tahapan ini adalah untuk menghasilkan data spasial penutupan lahan di keseluruhan areal yang diidentifikasi. Dalam penelitian ini, kelas penutupan lahan yang akan dibentuk adalah 11 kelas. Definisi dari sebelas kelas tersebut disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Klasifikasipenggunaan lahan di DAS Asahan

No Penutupan Lahan Deskripsi

1 Hutan lahan kering Lahan yang bervegetasi hutan di lahan kering, baik hutan alam campuran dan hutan tanaman 2 Hutan Mangrove Vegetasi mangrove baik berupa hutan primer,

sekunder maupun tanaman

3 Vegetasi rawa Vegetasi rawa, baik berupa hutan atau semak belukar

4 Pemukiman Lahan terbangun, baik berupa pemukiman, perkantoran, atau sarana lainnya dimana tidak ada vegetasi di atasnya

5 Perkebunan Lahan yang ditanami dengan tanaman komoditas perkebunan yang bersifat perennial.

6 Lahan kosong Lahan yang tanahnya tersekspos secara langsung oleh matahari dan hujan.

7 Semak belukar Lahan yang didominasi oleh tanaman berkayu dengen diameter kurang dari 10 cm dan tinggi kurang dari 2 meter termasuk juga padang rumput

8 Pertanian Lahan yang ditanami oleh jenis-jenis tanaman pertanian semusim, termasuk sawah tadah hujan

9 Rawa Areal tergenang yang tidak bervegetasi

10 Sawah Lahan yang ditanami oleh padi dengan sistem pengairan

(35)

C. Deteksi Perubahan Penggunaan Lahan

Keberhasilan dalam deteksi perubahan penggunaan lahan dari citra sangat bergantung pada perubahan alami yang terjadi dan keberhasilan dalam pre processing citra dan prosedur klasifikasi (Shalaby & Tateishi 2007). Teknik untuk deteksi perubahan penggunaan lahan telah banyak dikembangkan (Singh 1989). Dalam penelitian ini, teknik untuk deteksi perubahan penutupan lahan adalah perbandingan pasca klasifikasi (post-classification comparison). Menurut Shalaby dan Tateishi (2007), teknik perbandingan pasca klasifikasi adalah metode yang paling jelas dalam deteksi perubahan yang memerlukan perbandingan secara independen dari citra yang dihasilkan. Teknik ini juga terbukti merupakan teknik yang paling efektif karena data dari dua titik tanggal yang berbeda diklasifikasikan secara terpisah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Asahan

Berdasarkan hasil analisis, perubahan penggunaan lahan terjadi di seluruh tipe penutupan lahan. Hasil tabulasi perubahan yang terjadi disajikan pada Tabel 11 sedangkan gambaran penyebaran penutupan lahannya pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 sedangkan perubahan lahan yang terjadi pada Tabel 12 – 14.

Hutan lahan kering dari tahun 1990 ke tahun 2013 bertambah sebesar 451 hektar (Tabel 11) meskipun di sisi lain juga ada lahan hutan yang berubah menjadi tanah terbuka tetapi perubahan dari pertanian lahan kering yang berubah menjadi hutan lebih besar, seperti yang terlihat pada Tabel 14. Perubahan lahan pertanian menjadi hutan Luas penutupan lahan hutan ini juga tidak banyak berubah karena berada di daerah dengan topografi yang relatif curam dan mempunyai elevasi yang juga relatif tinggi dengan aksesibilitas yang terbatas sehingga dapat terjaga keutuhannya. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Freitas et al (2010) yang mengatakan bahwa topografi berpengaruh terhadap penggunaan lahan dan dinamika hutan. Dari sisi hukum, daerah ini juga merupakan kawasan hutan lindung sehingga secara hukum lebih dapat terlindungi.

(36)

Tabel 11 Luas perubahan penggunaan lahan pada masing-masing kelas penggunaan lahan

Penutupan Lahan Luas (Ha) Perubahan

1990 2002 2013 1990-2002 2002-2013 1990-2013 Hutan lahan

Pertumbuhan lahan perkebunan yang cukup besar, khususnya kelapa sawit mengikuti tren perkembangan pertambahan luas perkebunan sawit di Indonesia. Menurut Muslich et al. (2013), luas lahan kepala sawit di Indonesia tumbuh sekitar 3.1 juta hektar dari tahun 2001 – 2011 yang berjumlah 4.7 juta hektar di tahun 2001 menjadi 7.8 juta hektar tahun 2011. Luas perkebunan utama di Kabupaten Asahan menurut BPS Propinsi Sumatera Utara (2013), untuk jenis kelapa sawit, karet, kelapa dan coklat masing-masing adalah 18 584 hektar, 70 796 hektar, 24 473 hektar dan 3 977 hektar. Penambahan luas perkebunan yang paling banyak adalah berasal dari vegetasi rawa yang berubah 7 930 hektar. Besarnya perubahan penggunaan lahan rawa menjadi perkebunan ini telah dikemukakan oleh Wicke et al. (2011) yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia umumnya berasal dari areal hutan alam dan rawa.

(37)

Gambar 7. Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990

(38)

Gambar 9. Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2013

Penutupan lahan lainnya yang bertambah adalah sawah, pemukiman dan tanah terbuka. Sawah bertambah 1 863 hektar, terutama berasal dari semak belukar dan vegetasi rawa serta pertanian lahan kering. Pemukiman bertambah relatif sedikit dalam kurun waktu 23 tahun, yaitu hanya bertambah 411 hektar dimana sebagian besar berasal dari pertanian lahan kering dan hutan mangrove. Tanah terbuka bertambah 1 329 hektar yang sebagian besar berasal dari perkebunan dan pertanian lahan kering. Perubahan penutupan lahan yang terjadi di areal pertanain (termasuk perkebunan) dimungkinkan karena sifatnya yang dinamis dan di daerah-daerah pertanian semusim, penutupan lahan bergantung pada umur tanaman. Meskipun jenis tanaman yang ditanam petani di areal DAS Asahan ini relatif tidak banyak variasi namun adanya pergiliran waktu tanam akan berdampak pada citra yang dihasilkan dimana jika rekaman terjadi pada saat setelah panen dimana lahan dibiarkan terbuka (contohnya di areal tanaman singkong) maka citra yang dihasilkannya akan cenderung mendekati tanah terbuka. Perubahan penggunaan lahan di daerah pertanian cenderung lebih cepat karena adanya pergiliran tanaman yang disesuaikan dengan perubahan musim. Perubahan di permukaan bumi ini tentu akan menampilkan citra yang berbeda karena menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penggunaan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi.

(39)

penduduk terutama di Kecamatan Kisaran Barat dan Kisaran Timur yang masing-masing mempunyai kepadatan 1 909 jiwa/km2 dan 1 750 jiwa/km2.

Jika ada tipe penutupan lahan yang bertambah maka akan ada tipe penutupan lahan lain yang berkurang. Tipe penutupan lahan yang berkurang hasil analisis citra Landsat TM di DAS Asahan adalah vegetasi rawa yang berkurang 9 808 hektar dan semak belukar sejumlah 6.825. Vegetasi rawa sebagian besar berubah menjadi lahan perkebunan dan pertanian lahan kering dan sebagian lagi menjadi sawah dan tanah terbuka. Rawa juga merupakan ekosistem yang bersifat dinamis dan kompleks yang mempunyai hubungan hidrologis terhadap daerah di sekitarnya (Amazega et al. 2002). Perubahan ini dikhawatirkan akan berdampak negatif karena akan mengurangi lahan penampung air di daerah hilir sehingga akan menyebabkan banjir saat musim hujan. Semak belukar sebagian besar berubah menjadi perkebunan (6 016 hektar) dan sawah (1 147 hektar) dan pertanian lahan kering (854 hektar). Perubahan ini kemungkinan karena adanya penambahan luas perkebunan yang baru yang diusahakan oleh masyarakat dengan memanfaatkan lahan yang selama ini hanya berupa semak menjadi lahan yang lebih produktif.

Perubahan penutupan lahan ini tentu akan berpengaruh terhadap lingkungan dan dampak yang ditimbulkannya bias mengakibatkan dampak yang baik dan buruk (Asy-Syakur 2011). Dampak buruk yang dikhawatirkan adalah bahwa perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada erosi, peningkatan aliran permukaan dan sedimentasi sedangkan dampak baiknya adalah di sisi perekonomian, lahan yang lebih produktif akan memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat yang ada di dalam DAS tersebut. Sebagai gambaran, besarrnya potensi erosi yang dapat terjadi di lahan kelapa sawit adalah 543.54 ton/ha/tahun (Lihawa & Utina 2009) sedangkan untuk lahan karet potensi erosinya antara 5.1 – 13.1 ton/ha/tahun walaupun besaran ini tergantung pada kemiringan lahan (Sunarti et al. 2008).

Informasi mengenai penyebab dan efek perubahan penggunaan lahan juga merupakan sesuatu yang penting selain informasi luasan perubahan penggunaan lahan (Asy-Syakur 2011). Menurut Verburg dan Veldkaamp (2001), pengendalian perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan bila diketahui pengendali-pengendali dan pola perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan di DAS Asahan relatif lebih banyak terjadi di daerah yang didominasi oleh lahan-lahan pertanian dimana umumnya mempunyai pola tanam yang lebih teratur tetapi di lahan pertanian semusim, pergiliran tanaman terjadi lebih cepat karena terkait dengan ketersediaan pasar, harga komoditi dan kemampuan petani dalam menggarap lahan yang ada.

(40)

Tabel 12 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990 - 2002

Penutupan Lahan Perubahan tahun 1990 – 2002 Hutan

cam- puran

Hutan Mangrove

Pemukiman Perkebunan Pertanian Lahan Kering

Rawa Sawah Semak/ Belukar

Tanah Terbuka

Tubuh Air

Vegetasi Rawa

Hutan lahan kering

- - - -

Hutan Mangrove - - - -

Pemukiman - - - -

Perkebunan - - - - 883 - - - 4 450 - -

Pertanian Lahan Kering

- - - 2 770 - - - 937 - -

Rawa - - - 26 - -

Sawah - - - -

Semak belukar - - - 1 151 - - - - 5 648 - -

Tanah Terbuka - - - 467 - - - -

Tubuh Air - 1 3 2 13 - - 4 2 - 2

(41)

Tabel 13 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2002 – 2013

Penutupan Lahan Perubahan tahun 2002 – 2013

Hutan lahan kering

Hutan Mangrove

Pemukiman Perkebunan Peranian Lahan Kering

Rawa Sawah Semak/ Belukar

Tanah Terbuka

Tubuh Air

Vegetasi Rawa Hutan lahan

kering

- - - 240 - -

Hutan Mangrove - - 10 - - - 8 - -

Pemukiman - - - -

Perkebunan - - - - 6 206 - - - 3 746 - -

Pertanian Lahan Kering

605 - 400 693 - - - 144 570 - -

Rawa - - - 22 153 - - - -

Sawah - - - 187 - - - -

Semak belukar 85 - - 664 855 - - - 9 - -

Tanah Terbuka - - - 10 375 1 711 26 1 629 607 - - -

Tubuh Air - - - -

Vegetasi Rawa - - 1 5 176 1 096 - - - 362 - -

(42)

Tabel 14 Perubahan penutupan lahan di DAS Asahan tahun 1990 – 2013

Penutupan Lahan Perubahan tahun 1990 – 2013

Hutan lahan kering

Hutan Mangrove

Pemukiman Perkebunan Peranian Lahan Kering

Rawa Sawah Semak/ Belukar

Tanah Terbuka

Tubuh Air

Vegetasi Rawa Hutan lahan

kering

- - - 240 - -

Hutan Mangrove - - - 8 - -

Pemukiman - - - -

Perkebunan - - - - 7 869 - - 199 3 418 - -

Pertanian Lahan Kering

605 - - 2 561 - - 142 144 540 - -

Rawa - - - 22 153 - - - -

Sawah - - - 184 - - - -

Semak belukar 85 - - 6 016 854 - 1 447 - 9 - -

Tanah Terbuka - - - 901 1 123 - - 1 259 - - -

Tubuh Air - 1 3 4 13 - - 5 - 2

(43)

SIMPULAN

(44)

4 ANALISIS RESPON DEBIT TERHADAP PERUBAHAN

PENGGUNAAN LAHAN DI DAS ASAHAN

PENDAHULUAN

Perubahan penutupan dan penggunaan lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) akan memberikan pengaruh yang dominan terhadap perubahan debit sungai (Jayadi 2000) dan keseimbangan air sedangkan debit sungai tergantung pada curah hujan dan kondisi dari ruang hidrologi (Wibowo 2005). Semakin luas areal yang terbuka dan tanpa vegetasi akan menyebabkan hujan yang jatuh lebih banyak menjadi aliran permukaan/limpasan. Besarnya limpasan ini berkaitan dengan karakteristik hujan dan sifat fisik daerah aliran sungai. Beberapa faktor yang berkaitan dengan curah hujan adalah: 1) jenis presipitasi, 2) intensitas curah hujan bila melebihi kapasitas infiltrasi maka limpasan akan meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas hujan, 3) lamanya curah hujan, 4) distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran, 5) curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah, 6) arah pergerakan curah hujan, 7) kondisi meteorologi lainnya, seperti kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara rata-rata dan curah hujan tahunan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan fisik DAS adalah 1) penggunaan lahan, 2) daerah pengaliran, 3) kondisi topografi daerah pengaliran, 4) jenis tanah dan 5) faktor-faktor lainnya seperti jaringan sungai dan drainase buatan (Wibowo 2005).

Perubahan penutupan dan penggunaan lahan akan berdampak pada perubahan karakteristik hidrologi dari suatu DAS. Kegiatan tata guna lahan yang bersifat merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air (Asdak 2010). Menurut Suripin (2001), komponen hidrologi yang meliputi koefisien aliran permukaan, koefisien rejim sungai, nisbah debit maksimum dan minimum, kandungan sedimen layang sungai, laju frekuensi dan periode banjir dapat menjadi indikator perubahan fungsi hidrologi DAS. Menurut Ismail (2009) penambahan luas pemukiman dan tegalan serta perubahan jenis penutupan dan penggunaan lahan kebun campur menjadi pemukiman, sawah tadah hujan dan sawah irigasi menyebabkan naiknya nilai koefisien aliran tahunan, koefisien regim sungai dan debit langsung sedangkan aliran dasar cenderung menurun di daerah tangkapan air Waduk Darma di Kuningan, Jawa Barat. Perubahan penggunaan lahan juga berpengaruh terhadap perubahan debit banjir di DAS Banjaran (Suroso & Susanto 2006).

(45)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan debit limpasan yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan yang terjadi di tahun 1990, 2002 dan 2010 berdasarkan analisis debit dan hubungannya dengan curah hujan.

METODE PENELITIAN

A. Wilayah Kajian

Kajian ini dilakukan di sub DAS Asahan dengan lokasi seperti pada Gambar 1. Pengambilan sampel untuk debit dilakukan di stasiun pengukur debit Kisaran Naga dan merupakan muara dari sungai Silau.

B. Curah Hujan Wilayah

Analisis curah hujan dilakukan untuk mengetahui sebaran curah hujan dan rata-rata hujan wilayah. Metode yang digunakan adalah dengan metode poligon Thiessen. Metode ini dilakukan dengan membuat poligon antar pos hujan pada suatu wilayah kemudian tinggi hujan rata-rata dihitung dari jumlah perkalian antara masing-masing poligon dan tinggi hujannya dibagi dengan luas DAS. Rumus untuk menghitungnya adalah:

Dimana:

R = curah hujan rata-rata (mm)

Ri = curah hjan pada pos yang diamati (mm) Ai =luas yang dibatasi oleh poligon thiessen (km2)

Data curah hujan dikumpulkan dari stasiun pengukuran curah hujan dari Balai Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Balai Wilayah Sungai II Medan. Berdasarkan hasil pengumpulan data, terdapat lima stasiun pengukur hujan yang berada di wilayah DAS Asahan dengan posisi seperti yang ada dalam Gambar 1. Selanjutnya untuk mendapatkan curah hujan wilayah maka dilakukan pembuatan poligon Thiessen dengan menggunakan software ArcView dengan DAS Asahan sebagai areanya lalu kemudian dilakukan pemotongan spasial dengan wilayah kajian (sub DAS Asahan) dan hasilnya seperti yang terlihat pada Gambar 10.

C. Analisis Debit

(46)

Gambar 10. Poligon Thiessen yang terbentuk di DAS Asahan

D. Analisis Perubahan Lahan

Citra Landsat yang diperoleh untuk tahun akuisisi 1990, 2002 dan 2010 dianalisis dengan menggunakan program Arcgis 10.1 Imagine dengan metode visual delineation. Penentuan penggunaan lahan didasarkan pada panduan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (2008) dan membagi penggunaan lahan menjadi 11 kelas, yaitu hutan lahan kering, perkebunan, pertanian lahan kering, pemukiman, tanah terbuka, sawah, hutan mangrove, vegetasi rawa, rawa, semak belukar dan tubuh air. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi dilakukan post classification image analysis dengan melakukan tumpang susun dan kemudian diidentifikasi dan dikuantifikasi perubahan yang terjadi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Curah Hujan Rata-rata Wilayah

(47)

Tabel 15 Curah hujan rata-rata wilayah tahun 1990, 2002 dan 2010 di sub DAS

Gambar 11. Sebaran curah hujan rata-rata wilayah dalam satu tahun

Berdasarkan Tabel 16 dan Gambar 11 terlihat bahwa curah hujan rata-rata terbesar adalah pada tahun 1990 dan yang terkecil pada tahun 2002. Pada tahun 1990 dan 2002, curah hujan terbesar ada pada bulan November sedangkan pada tahun 2002, curah hujan terbesar adalah pada bulan Juni. Adanya perbedaan puncak curah hujan pada tahun 2002 ini disebabkan adanya fenomena El Nino di wilayah Indonesia yang menyebabkan terjadinya kemarau yang panjang (Irawan 2002). Gejala ini menyebabkan terjadinya anomali kondisi iklim yang berkepanjangan dimana daerah inti terjadinya adalah di Indo Pasifik (Azis 2006). Pola curah hujan yang digambarkan dalam Gambar 11 memperlihatkan bahwa untuk di sub DAS Asahan, mengikuti pola equatorial yang ditandai dengan adanya dua puncak musim hujan yaitu di bulan April dan November di tahun 1990, bulan April dan September di tahun 2002 dan bulan Maret dan November di tahun 2010.

(48)

Menurut Tjasyono (2004) dalam Marganingrum et al. (2013), terdapat tiga pola hujan di Indonesia, yaitu tipe Moonson, tipe equatorial dan tipe lokal. Tipe Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan), pola equatorial dicirikan oleh bentuk bimodal (dua puncak musim hujan dimana puncak musim hujan ini terjadi pada saat matahari mendekati garis ekuator dan pola lokal dicirikan dengan bentuk unimodal (satu puncak musim) hujan tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe Moonson.

Berdasarkan data curah hujan yang terkumpul dari tahun 1990 hingga 2010, terlihat adanya fluktuasi curah hujan rata-rata. Curah hujan rata-rata pada tahun 1990-an relatif lebih tinggi dibandingkan dekade pertama tahun 2000-an. Curah hujan rata-rata yang terbesar pada tahun 1995 yang mencapai lebih dari 90 mm/tahun dan yang terkecil adalah pada tahun 2002. Gambaran curah hujan rata-rata wilayah dari tahun 1990 – 2010 di sub DAS Asahan disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Curah hujan rata-rata wilayah di Sub DAS Asahan tahun 1990-2010 B. Debit

Hasil pengolahan debit untuk debit rata-rata, debit maksimal, debit minimal, rasio debit, debit jenis dan curah hujan rata-rata wilayah tahun 1990, 2002 dan 2010 disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Hasil pengolahan data debit tahun 1990, 2002 dan 2010

Debit/CH Tahun

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

(49)

Berdasarkan Tabel 16 terlihat bahwa debit rata-rata tahunan terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 73.18 mm sedangkan debit yang peling kecil pada tahun 2002 sebesar 28.57 mm. Debit rata-rata ini ternyata tidak berbanding lurus dengan curah hujan rata-rata wilayah dimana curah hujan rata-rata terbesar terjadi pada tahun 1990. Debit puncak pada tahun 1990 mermpunyai angka yang paling besar sedangkan yang terkecil adalah pada tahun 2010 dimana urutan ini juga identik dengan besarnya debit minimal dan tidak berbanding lurus dengan curah hujan. Rasio debit maksimal dan minimal atau koefisien rejim sungai menunjukkan bahwa pada tahun 1990, aliran sungai relatif lebih stabil dibandingkan dengan tahun 2002 dan 2010 yang ditunjukkan dari nilai yang paling kecil. Koefisien rejim sungai ini menunjukkan kondisi kesehatan suatu DAS dimana semakin kecil nilai koefisien berarti kondisi hidrologi dari suatu DAS semakin baik (Asdak 2010). Untuk debit jenis (specific discharge) tergolong pada tingkat sedang (moderate) dengan kisaran antara 10 – 80 m3/s/100 km2. Menurut Pawitan (2004), debit jenis merupakan salah satu indicator penting untuk menilai karakteristik hidrologi banjir dari suatu sungai dan dibataskan sebagai besar debit per satuan luas.

Untuk melihat hubungan antara curah hujan dengan debit maka dilakukan pemisahan data debit sungai menjadi debit base flow dan debit limpasan dan hasilnya disajikan pada Tabel 17. Run off atau limpasan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir di atas tanah dan mengalir menuju sungai (Asdak 2010) dan tidak terinfiltrasi ke dalam tanah (Indarto 2012). Base flow merupakan komponen aliran sungai yang berasal dari pelepasan air tanah dan berkontribusi penting dalam aliran sungai ketika musim kemarau (Pertiwi & Sudrajat 2013). Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa rata-rata debit run off pada tahun 1990 lebih kecil daripada tahun 2010 meskipun mempunyai curah hujan yang lebih tinggi yaitu 63.96 mm berbanding 43.02 mm. Besarnya limpasan pada tahun 2002 adalah yang paling kecil yaitu 13.19 mm karena curah hujannya juga yang paling sedikit dibandingkan tahun 1990 dan 2010. Menurut Seyhan (1990), faktor yang mempengaruhi limpasan ada 3, yaitu faktor meteorologi (tipe, intensitas, lama dan agihan presipitasi, suhu, kelembaban, radiasi matahari, kecepatan angina dan tekanan udara), faktor DAS (bentuk dan kemiringan DAS, geologi, tipe tanah, vegetasi dan jaringan drainase), dan faktor manusia dalam sistem DAS.

Tabel 17 Rasio limpasan terhadap curah hujan (%)

(50)

intensitas curah hujan, durasi hujan, distribusi, arah pergerakan dan curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah. Tingginya curah hujan di suatu stasiun pengukur hujan yang bersifat harian belum dapat menggambarkan hujan yang terjadi di dalam suatu areal yang luas. Dalam kasus di sub DAS Asahan ini, tingginya curah hujan yang jatuh pada tahun 1990 menghasilkan limpasan yang relatif lebih kecil dari limpasan yang terjadi pada tahun 2010 meskipun dengan curah hujan yang lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan oleh intensitas curah hujan yang tinggi di sekitar stasiun pengukur tapi dalam waktu yang relatif singkat. Intensitas curah hujan berkaitan dengan kapasitas infiltrasi dimana jika intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi maka akan terjadi limpasan.

Faktor kedua adalah jumlah dan distribusi stasiun pengukur hujan. Jumlah stasiun pengukur hujan yang ada di sub DAS Asahan relatif sangat sedikit jika dibandingkan dengan luasnya. Menurut Indarto (2012), satu titik pengukuran hujan hanya mewakili daerah antara 100 – 400 cm2 dan untuk memperkirakan hujan yang jatuh pada suatu wilayah dilakukan dengan interpolasi. Jumlah stasiun pengukur curah hujan yang kurang menyebabkan kejadian hujan yang sebenarnya menjadi kurang tergambarkan untuk melihat hubungan antara hujan dengan limpasan. Untuk menggambarkan hubungan antar hujan dengan limpasan dilakukan dengan analisis regresi data curah hujan harian dengan limpasan dan hasilnya disajikan pada Gambar 16, Gambar 17 dan Gambar 18. Data curah hujan yang digunakan berasal dari tiga stasiun pengamatan yang berbeda. Berdasarkan Gambar 16, Gambar 17 dan Gambar 18 terlihat bahwa hubungan antara curah hujan dengan limpasan mempunyai korelasi yang relatif kecil dengan nilai r2 antara 1,55% – 7,4%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian hujan yang terekam pada stasiun pengamatan curah hujan tidak memiliki hubungan dengan debit yang direkan pada stasiun pengukuran debit dan debit yang diukur tidak dapat merepresentasikan kejadian hujan yang terjadi yang disebabkan oleh alasan yang telah disebutkan di atas. Namun demikian adanya fluktuasi debit dapat menunjukkan adanya pengaruh penggunaan lahan terhadap curah hujan yang masuk ke dalam DAS.

C. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Limpasan

(51)

Tabel 18 Hasil pemisahan debit sungai menjadi base flow dan run off

Bulan 1990 2002 2010

CH Debit BF_d RO_d CH Debit BF_d RO_d CH Debit BF_d RO_d

Januari 89.95 67.94 29.08 38.86 27.55 41.12 16.19 25.27 124.95 60.38 29.48 30.95 Februari 71.31 54.38 29.08 25.30 55.34 18.46 16.19 2.48 53.03 39.24 26.36 13.11 Maret 164.53 37.49 29.08 8.66 85.83 24.13 16.19 8.11 114.99 52.89 18.55 34.34 April 313.39 34.85 38.08 1.29 100.86 34.88 14.94 19.94 81.06 42.35 19.02 23.53 Mei 302.71 74.75 38.08 36.67 85.55 24.05 14.74 9.60 81.73 31.39 19.20 12.93 Juni 167.17 39.14 38.08 3.19 58.71 24.70 15.81 9.35 155.13 35.73 20.64 16.54 Juli 240.70 46.80 31.33 15.76 74.62 20.97 15.85 5.34 130.70 62.79 25.37 37.42 Agustus 156.60 34.06 26.00 8.33 73.68 20.72 15.85 5.16 122.81 48.88 25.11 23.88 September 198.95 55.62 39.49 18.17 176.76 27.15 15.39 11.91 199.16 50.63 24.48 26.15 Oktober 203.83 97.11 39.49 57.62 125.91 40.78 15.00 25.87 180.19 43.62 24.48 19.56 November 324.58 59.85 39.49 21.00 107.06 37.97 15.00 22.97 -- -- -- -- Desember 151.03 69.97 39.49 31.00 103.85 27.25 15.00 12.30 -- -- -- -- Jumlah 2384.75 682.60 416.76 265.84 1075.73 344.47 186.16 158.31 1243.76 471.12 232.69 238.43 Keterangan:

CH : curah hujan rata-rata wilayah BF-d : debit base flow

RO_d : debit run off

(52)

Gambar 13. Hyetograf dan hidrograf debit total dan debit limpasan di DAS Asahan tahun 1990

Gambar 14. Hyetograf dan hidrograf debit total dan debit limpasan di DAS Asahan tahun 2002

(53)

Gambar 16. Hubungan curah hujan dan limpasan stasiun Tanah Jawa

Gambar 17. Hubungan curah hujan dan limpasan stasiun Marjanji Aceh

Gambar 18. Hubungan curah hujan dan limpasan stasiun Air Joman

(54)

turun lebih banyak yang tertahan oleh penutup tanah dan berinfiltrasi menjadi base flow. Rasio limpasan terhadap curah hujan yang terbesar terjadi pada tahun 2010 yaitu 55.43%. Hal ini disebabkan oleh tingginya persen semak belukar dan pertanian lahan kering meskipun persentase tanah terbuka lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2002. Menurut El Kateb et al. (2013) dan Nunes et al. (2011) lahan untuk pertanian merupakan faktor penghasil erosi terbesar dari suatu lahan dan beberapa faktor yang menjadi penyebab erosi adalah praktek pertanian yang tidak sesuai, deforestasi, pembiaran lahan dan kebakaran hutan (Grimm et al. 2002). Besarnya limpasan pada lahan pertanian dapat disebabkan karena tidak adanya perlakuan konservasi tanah seperti teras atau guludan di lahan yang mempunyai topografi yang bergelombang atau curam sehingga air hujan yang jatuh lebih banyak yang berubah menjadi limpasan. Pola penanaman yang tidak mengikuti garis kontur juga dapat menyebabkan tidak ada vegetasi yang menahan air hujan sehingga lebih banyak yang menjadi limpasan.

SIMPULAN

Gambar

Gambar 6. Peta penggunaan lahan di DAS Asahan hasil analisis citra Landsat
Tabel 10 Klasifikasi penggunaan lahan di DAS Asahan
Gambar 8. Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2002
Gambar 9. Peta penutupan lahan di DAS Asahan tahun 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bersifat kualitatif, dengan pendekatan studi kasus ( case study ). Hasil penelitian ditemukan sebagai berikut : 1) Perencanaan, (a) dalam melakukan supervisi

Menurut hukum Islam penentuan nasab kepada kedua orang tua biologisnya adalah anak yang lahir lebih dari enam bulan sejak berlangsungnya akad nikah.. Hal ini

f. Pegawai membutuhkan perlakuan yang adil dari pimpinan terhadap suasana pegawai. Pembinaan dan pengembangan terhadap guru adalah salah satu perubahan dan

Valitsin tähän tutkimukseen henkilöitä, joilla oli kokemusta tutkimuksen kohteena olevasta ilmiöstä eli he olivat omaishoitajia ja olivat osallistuneet

Sedangkan yang termasuk kedalam lingkungan non fisik yaitu suasana sosial, pergaulan antar personil, peraturan kerja(tata tertib) dan kebijakan perusahaan, sehingga dapat

The analysis of variance for the breast diameter and the height of the tree (Table 2), as well as for the width and height of the crown (Table 3), showed that at 95 % confidence

Dari beberapa pengertian di atas, sesuai dengan area penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa komunikasi merupakan interaksi antara seseorang atau lebih dengan orang lain