• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 OPTIMASI PENGGUNAAN LAHAN DI DAS ASAHAN DENGAN APLIKASI SWAT DAN LINIER PROGRAMMING

HASIL DAN PEMBAHASAN

7 PEMBAHASAN UMUM

Dinamika perubahan lahan di DAS Asahan lebih banyak terjadi di areal yang diindetifikasi sebagai pertanian lahan kering dan perkebunan. Lahan pertanian merupakan areal yang rawan akan terjadinya erosi dan dari penggunaan lahan di tiga titik tahun, berdasarkan hasil simulasi model SWAT, besarnya dugaan erosi yang berasal dari pertanian adalah yang paling besar. Untuk mengatasi erosi ini, dapat diusahakan dengan beberapa pendekatan, seperti melalui agroforestry seperti yang disarankan oleh van Noordwijck et al. (2004), khususnya di daerah-daerah dengan lereng yang relatif curam. Keuntungan agroforestry adalah berbagai bentuk agroforestri (seperti „hutan lindung‟ atau

„repong‟) yang telah banyak dipraktekkan petani dapat mempertahankan fungsi hidrologi hutan lindung dan sekaligus memberikan penghasilan kepada masyarakat di desa yang kepadatan penduduknya sekitar 50 – 100 orang km-2 (van Noordwijk et al. 2004). Untuk lahan dengan lereng yang lebih landai, dapat diatasi melalui beberapa teknk konservasi tanah seperti pemberian mulsa, khsusnya di tanah-tanah yang baru ditanami untuk mengurangi erosivitas butiran hujan dan pembuatan guludan.

Luas hutan hasil interpretasi visual citra Landsat TM di DAS Asahan antara tahun 1990 dan 2010 relatif tetap, meskipun luas hutan ini lebih kecil dari luas kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Utara dimana luas kawasan hutan baik hutan konservasi, hutan lindung maupun hutan produksi mencapai 119 962 hektar atau 42.7% dari luas DAS Asahan. Pada Gambar 28 terlihat bahwa sebagian besar kawasan hutan tidak lagi bervegetasi hutan dan penggunaan lahannya telah berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

Hutan yang ada di DAS Asahan meskipun relatif tetap namun dari sisi proporsi luasnya yang luasnya 17% dari luas DAS dan letaknya di bagian hulu dan dengan topografi yang relatif curam, harus tetap dijaga eksistensinya. Jika terjadi pengalihan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lain di daerah hulu akan menyebabkan semakin meningkatnya erosi dan semakin memperparah sedimentasi di muara sungai. Penurunan luas hutan juga akan menurunkan aliran dasar yang selama ini masih terjaga. Penurunan aliran dasar akan menyebabkan penurunan debit air yang muncul dari dalam tanah pada saat kemarau.

Berdasarkan pengamatan dan informasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Asahan juga diketahui bahwa areal yang ditetapkan sebagai kawasan hutan di beberapa lokasi di DAS Asahan secara de facto sudah tidak dapat lagi menjadi hutan baik secara fungsi maupun kondisi penutupan lahannya karena sudah menjadi lahan terbangun atau lahan pemukiman/ perkampungan penduduk atau areal perkebunan. Beberapa ketidaksesuaian antara kenyataan dan peraturan tentang kawasan hutan yang terjadi di DAS Asahan adalah sebagai berikut (Sunandar 2013):

1. Kawasan hutan lindung Tormatutung.

Kawasan ini merupakan kawasan lidung pegunungan dengan luas 54 385 hektar dan terletak di tiga kecamatan, yaitu Bandar Pulau, Aek Songsongan dan Bandar Pasir Mandoge. Kondisi di Kecamatan Bandar Pulau dimana hutan lindungnya mempunyai luas 7 537 hektar dan terletak di Desa Buntu Maraja, Gonting Malaha dan Hutarao, telah berubah menjadi pemukiman (kampung) yang lengkap dengan fasilitasnya (jalan, sekolah dan sarana ibadah), perusahaan perkebunan yang telah memiliki HGU (PT Paya Pinang dan PT Bridgestone) serta perladangan masyarakat, baik perladangan dengan tanaman semusim maupun tanaman tahunan (coklat dan kopi). Kondisi di kecamatan Aek Songsongan dimana hutan lindungnya mempunyai luas 16 971 hektar dan terletak di desa Lobu Rappa, Tangga dan Marjanji Ace, telah berubah menjadi pemukiman (kampung) dengan infrastrukturnya berupa jalan aspal dan jaringan listrik, sekolah dan sarana ibadah serta perladangan masyarakat. Kondisi di Kecamatan Bandar Pasir Mandoge dengan luas hutan lindung 29 876 hektar dan terletak di Desa Tomuan Holbung dan Desa Huta Bagasan, telah berubah menjadi pemukiman masyarakat beserta infrastruktur dan fasilitas sosialnya, perladangan masyarakat serta perkebunan yang dikelola oleh tiga perusahaan yaitu PT BSP, PT SPR dan PTPN IV Kebun Mandoge.

2. Kawasan hutan lindung pantai (termasuk mangrove).

Kawasan dengan luas 7 477 hektar dan terletak di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Silau Laut, Tanjung Balai dan Sei Kepayang Timur juga telah mengalami perubahan fungsi. Kondisi di Kecamatan Silau Laut, luas hutan lindungnya 342 hektar yang berada di Desa Silo Baru telah berubah menjadi areal pemukiman, fasilitas umum (jalan, jaringan listrik) dan fasilitas sosial (sekolah, sarana ibadah, kantor desa) serta perkebunan kopra milik masyarakat. Di Kecamatan Tanjung Balai dengan luas 513 hektar dan berada di Desa Pematang Sei baru, Asahan amti, Sei Apung dan Bagan Asahan Baru, telah

berubah menjadi perkampungan, perkebunan kopra milik masyarakat serta fasilitas umum dan fasilitas sosial. Di kecamatan Sei Kepayang Timur, luas hutan lindungnya adalah 6 621 hektar dan terletak di desa Sei Tempurung, Sarang Helang dan Sei Sembilang telah berubah fungsi menjadi perkampungan dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial pendukungnya serta perkebunan kelapa milik masyarakat.

3. Kawasan hutan produksi terbatas (HPT).

Kawasan seluas 12 296 hektar yang terbagi menjadi HPT mangrove seluas 5 821 hejtar dan HPT pegunungan seluas 6 475 hektar. HPT mangrove terletak di desa Silo Baru, Kecamatan Silau Laut dan Desa Pematang Sei Baru, Desa Sei Apung dan Desa Bagan Asahan yang terletak di Kecamatan Tanjung Balai. Untuk HPT pegunungan terletak di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bandar Pasir Mandoge (Desa Tomuan Holbung, Gonting Sidodadi, Sei Kopas dan Ambalutu) dan Kecamatan Aek Songsongan (Desa Marjanji Aceh). Kondisi HPT di dua kecamatan tersebut juga sudah berubah fungsinya menjadi areal pemukiman yang kompak lengkap dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial berupa jalan, jaringan listrik, sarana pendidikan, sarana ibadah dan kantor desa, perladangan serta perkebunan kelapa milik masyarakat.

4. Kawasan hutan produksi (HP)

Luas kawasan ini mencapai 34 631 hektar dan terletak di empat kecamatan yaitu Kecamatan Bandar Pasir Mandoge (Desa Huta Padang, luas 456 hektar), Kecamatan Pulo Rakyat (luas 11 849 hektar, desa Bangun dan Desa Padang Mahondang), Kecamatan Aek Kuasan (luas 12 751 hektar, Desa Rawasari dan Alang Bonbon) dan Kecamatan Sei Kepayang (luas 9 121 hektar, Desa Perbangunan). Kawasan HP yang ada di desa-desa di atas telah berubah fungsinya menjadi pemukiman dengan fasilitasnya, perladangan masyarakat serta perusahan perkebunan PTPN IV.

5. Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK)

Kawasan HPK terletak di dua kecamatan yaitu Kecamatan Rahuning dan Sei Kepayang dengan masing-masing luasnya 7 171 hektar dan 2 408 hektar. Di Kecamatan Rahuning, desa yang masuk dalam kawasan HPK adalah Desa Batu Maraja, Batu Anam dan Perkebunan Gunung Melayu sedangkan di Kecamatan Sei Kepayang, desa yang masuk dalam kawasan HPK adalah Desa Pertahanan dan Sei Paham. Kondisi HPK di kedua kecamatan tadi telah berubah menjadi areal pemukiman dengan fasilitasnnya, perladangan milik masyarakat, perkebunan milik PT Saudara Sejati Luhur (telah dilengkapi dengan HGU) dan perkebunan PT Gunung Melayu.

Penyesuaian luas masing-masing penggunaan lahan untuk memenuhi penggunaan lahan optimal hasil optimasi spasial dapat dilakukan dengan melakukan tumpang susun antara peta hasil optimasi dengan peta kawasan hutan dan hasilnya disajikan pada Gambar 29. Luas hutan hasil optimasi adalah 83 365 hektar atau 29.86% dari luas DAS Asahan, masih lebih kecil dari luas kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 44 tahun 2005 dengan proporsi luas hutan 42.7% dari luas DAS Asahan atau 120 360 hektar. Untuk itu maka di areal yang berstatus kawasan dapat dilakukan melalui penghutanan kembali dan di

lahan yang bukan kawasan, penambahan areal hutan dapat dilakukan dengan pendekatan agroforestry. Hasil perhitungan luas berdasarkan optimasi spasial dan tumpang susun dengan kawasan hutan, penambahan luas hutan yang dapat dilakukan di kawasan hutan adalah 20 030 hektar dan di luar kawasan adalah 15 832 hektar. Jika erosinya ditekan hingga mencapai TSL maka penggunaan lahan optimalnya dapat dilihat pada Gambr 31.

Gambar 29. Hasil tumpang susun peta kawasan dengan peta hasil optimasi

Berdasarkan perhitungan melalui simulasi model SWAT, hasil air, sedimentasi dan erosi dari penggunaan lahan berdasarkan Gambar 30 disajikan pada Tabel 40. Hasil air dari penggunaan lahan hasil optimasi ini lebih besar 2.87 mm dibandingkan kondisi penggunaan lahan tahun 2010 dan erosinya sudah sebesar erosi yang diperbolehkan.

Tabel 40 Hasil air, sedimen dan erosi hasil simulasi SWAT pada kondisi erosi sebesar TSL Bulan ke Curah hujan (mm) Aktual Optimasi TSL Hasil Air (mm/thn) Sedimen (ton/ha/ thn) Erosi (ton/ha/ thn) Hasil Air (mm/thn) Sedimen (ton/ha/ thn) Erosi (ton/ha/ thn) 1 170.29 106.67 1.87 12.04 106.71 1.08 6.97 2 89.38 63.89 0.24 1.58 63.69 0.13 0.84 3 175.83 68.67 0.87 5.63 68.76 0.5 3.23 4 146.77 69.09 0.91 5.85 69.29 0.51 3.29 5 114.64 56.19 0.12 0.79 57.03 0.07 0.45 6 179.97 52.27 0.3 1.91 52.27 0.17 1.10 7 174.94 65.67 0.66 4.28 65.67 0.39 2.52 8 160.56 68.34 0.77 4.95 68.43 0.46 2.97 9 262.2 102.82 2.22 14.29 103.02 1.25 8.06 10 198.09 104.25 3.19 20.60 104.53 1.82 11.74 11 276.53 122.82 1.71 11.03 123.82 0.98 6.32 12 309.75 174.11 3.37 21.72 174.44 1.91 12.32 Jumlah 2 233.77 1054.79 16.22 104.67 1057.66 9.27 59.81

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam perencanaan pembangunan wilayah terutama dalam mengelola lahan pertanian dan perkebunan agar dapat meminimalkan erosi yang terjadi serta mengurangi sedimentasi di hilir sungai. Meskipun belum ada data yang valid tentang sedimentasi yang terjadi di hilir DAS Asahan, Sunandar (2013) mengatakan bahwa sedimentasi yang terjadi di muara Sungai Asahan mencapai lebih dari 300.000 m3 per bulan. Besarnya sedimentasi ini menyebabkan terganggunya lalu lintas pelayaran dimana kapal-kapal besar tidak leluasa melalui muara sungai tapi harus mengikuti jadwal pasang surut air laut.

Erosi di lahan perkebunan, pertanian lahan kering, semak belukar dan tanah terbuka di DAS Asahan cenderung melebihi erosi yang dapat ditoleransi dan hal ini dapat menyebabkan kesuburan lahan yang menurun karena lapisan atas yang relatif lebih subur lebih cepat hilang karena erosi. Meskipun hutan dapat mencegah bahaya erosi, khususnya di daerah dengan lereng yang relatif curam, namun tindakan reforestasi akan terkait dengan status hukum dari lahan dan pada lahan milik, bentuk reforestasi ini akan lebih sesuai dengan sistem agroforestry. Berdasarkan hasil analisis optimasi, untuk menurunkan erosi di bawah batas yang dapat ditoleransi adalah dengan menambah luas hutan dari 17% menjadi 36% dari total luas DAS dan merubah penggunaan lahan yang lebih rawan erosi seperti pertanian lahan kering dan tanah terbuka menjadi areal hutan baik dalam bentuk hutan secara utuh maupun melalui agroforestry.

Dokumen terkait