• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI ………………………………………….. 14-41

2.3 Moral Disengagement

2.3.1 Definisi moral disengagement

Banyak para ahli yang menjelaskan tentang definisi moral disengagement. Menurut Bandura (1999) moral disengagement adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku yang ia lakukan sehingga memungkinkannya untuk melakukan perilaku yang tidak manusiawi. Detert, Trevino dan Sweitzer (2008) mendefinisikan moral disengagement sebagai suatu proses di mana individu membuat keputusan moral yang tidak etis saat proses regulasi diri dinonaktifkan melalui penggunaan beberapa mekanisme kognitif kolektif yang saling terkait. Sementara menurut Hyde, Shaw dan Moilanen (2010) moral disengagement adalah suatu proses ketika salah satu keyakinan atau nilai-nilai moral membenarkan perilaku antisosial, terdapat kurangnya disonansi atau hambatan untuk terlibat dalam tindakan antisosial sehingga tindakan tersebut dapat diterima.

Di sisi lain Bandura (dalam Hymel et.al, 2005) memahami moral disengagement sebagai suatu proses sosio-kognitif di mana rata-rata orang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Secara umum, moral disengagement dapat menjadi landasan seseorang dalam melakukan perbuatan yang tidak manusiawi dan melanggar moral.

Mengacu pada uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa moral disengagement adalah suatu proses sosial kognitif di mana standar moral sebagai regulator internal perilaku tidak berfungsi dan proses regulasi diri dinonaktifkan sehingga menimbulkan perilaku tidak manusiawi. Adapun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori moral disengagement Bandura (dalam Hymel et.al, 2005) sebagai suatu proses sosiokognitif di mana rata-rata orang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Dengan alasan dalam teori tersebut menjelaskan secara detail kemunculan terjadinya moral disengagement pada seseorang serta sudah terdapat alat ukur baku yang dapat digunakan. Dalam fenomena konflik yang terjadi pada saat pilkada, moral disengagement dapat dijadikan salah satu faktor yang memprediksi agresivitas dalam konflik tersebut. 2.3.2 Mekanisme moral disengagement

Bandura (1999) menerangkan mekanisme moral disengagement yang terdiri dari faktor-faktor situasional, meliputi:

1. Moral justification (pembenaran moral)

Moral justification adalah proses di mana seseorang berusaha merasionalisasikan kekerasan yang dilakukannya terhadap orang lain dengan membuat perilaku tersebut seperti dapat dibenarkan secara moral (Detert et.al, 2008). Karena pada prosesnya, dalam benak seseorang menganggap bahwa perilaku yang dilakukannya bermanfaat bagi orang banyak dan memiliki tujuan yang baik (Bandura, 1999).

2. Euphemistic language (penghalusan bahasa)

Euphemistic language adalah menggunakan bahasa yang umum secara moral untuk membuat perbuatan yang patut dicela terlihat tidak kasar (tidak berbahaya) atau bahkan ramah/sopan (Detert et.al, 2008) dan seringkali seseorang bersikap lebih kejam ketika aksi penyerangan secara verbal dihapuskan/ditiadakan dan euphemistic language ini digunakan ketika seseorang ingin menghilangkan tanggung jawab kepada orang yang disakitinya (Bandura, 1999).

3. Advantageous comparison (perbandingan yang menguntungkan)

Advantageous comparison yaitu membandingkan sikap yang tercela dengan perilaku yang kasar (berbahaya) sehingga membuat perbuatan yang sebenarnya dapat diterima orang lain (Detert et.al, 2008). Adapun menurut Bandura (1999) Advantageous comparison merupakan perilaku kekerasan dengan membandingkan tingkat manfaat yang akan didapatkan jika melakukan kekerasan tersebut dan hal ini digunakan untuk membuat kekerasan terlihat baik.

4. Displacement of responsibility (pemindahan tanggung jawab)

Displacement of responsibility yaitu melihat satu perbuatan sebagai hasil langsung dari sebuah perintah yang otoritatif (Detert et.al, 2008). Menurut Bandura (1999), biasanya anak buah akan menolak untuk bertanggungjawab jika terdapat otoritas yang sah (atasan) yang mengambil alih tanggung jawab

terhadap efek yang diakibatkan oleh perilaku merusak anak buahnya. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pemindahan tanggung jawab terjadi ketika dalam satu tim ada seorang bawahan yang melakukan kesalahan namun ia melemparkan tanggung jawab tersebut kepada atasannya karena menurutnya ia memiliki tanggung jawab atas perilaku bawahannya.

5. Diffusion of responsibility (penyebaran tanggung jawab)

Diffusion of responsibility terjadi ketika tidak ada satu anggota kelompok yang merasa bertanggungjawab secara personal terhadap perilaku destruktif (merusak) secara kolektif dalam sebuah kelompok (Detert et.al, 2008) atau menurut Bandura (1999), diffusion of responsibility terjadi ketika salah seorang anggota kelompok menutupi kesalahannya dengan melemparkan tanggung jawab kepada seluruh anggota kelompok.

6. Distorting the consequences (mengabaikan konsekuensi)

Distorting the consequences yaitu meremehkan kemungkinan hasil perbuatan yang tercela (Detert et.al, 2008). Hal ini terjadi akibat adanya pengabaian atau distorsi terhadap hasil perilaku destruktif seseorang. Ketika seseorang melakukan aktifitas yang mengganggu/merusak pihak lain karena alasan personal atau tekanan sosial biasanya ia menghindar untuk menghadapi kerusakan yang ia akibatkan sendiri atau meminimalisir akibat tersebut, apabila upaya untuk meminimalisir kerusakan tidak berhasil maka ia akan menghilangkan bukti kerusakan tersebut (Bandura, 1999).

7. Dehumanisation (dehumanisasi)

Duhumanisation yaitu kami vs mereka berpikir berdasarkan stereotipe yang benar (Detert et.al, 2008). Proses dehumanisasi adalah komposisi yang sangat penting yang terdapat pada perilaku tidak manusiawi. Pada dasarnya seseorang yang sudah hidup bersama dalam jangka waktu tertentu akan mudah berempati terhadap kesedihan yang dialami rekannya karena mereka telah melalui berbagai pengalaman, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, sehingga dehumanisasi akan sulit terjadi kecuali pelaku akan membenci dan mengutuk dirinya sendiri atas perbuatan buruknya tersebut. Hal ini dirasakan oleh korban kekerasan (Bandura, 1999).

8. Attributin of blame (atribusi menyalahkan)

Attributin of blame yaitu membebaskan diri dari tuduhan dengan menempatkan kesalahan terhadap target perilaku kekerasan (Detert et.al, 2008) serta menurut Bandura (1999), menimpakan kesalahan pada musuh atau lingkungan merupakan salah satu cara untuk membebaskan diri dari tuduhan. Dalam proses ini biasanya orang menganggap dirinya sebagai korban yang dipaksa untuk melakukan tindakan kekerasan. Dengan membenarkan perilaku tersebut tidak hanya membuat perilaku merusak itu dimaklumi bahkan pelaku dapat menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan sama sekali atau menganggap dirinya melakukan hal yang benar.

Dengan mengacu pada teori Bandura, Hymel, et.al., (2005) mengklasifikasikan kedelapan mekanisme moral disengagement tersebut menjadi empat klasifikasi, yaitu:

1. Cognitive restructuring, meliputi: pembenaran moral (moral justification), penghalusan bahasa (euphemistic labeling), dan perbandingan yang menguntungkan (advantageous comparisons).

2. Minimizing agency, meliputi: pemindahan tanggung jawab (displacement of responsibility) dan penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility). 3. Distortion of negative consequences, meliputi: mengabaikan konsekuensi

(distorting the consequences).

4. Blaming/dehumanizing the victim, meliputi: dehumanisasi(dehumanization) dan atribusi menyalahkan (attribution of blame).

Peneliti berasumsi bahwa empat klasifikasi tersebut sangat efektif karena sudah mencakup semua mekanisme moral disengagement oleh karenanya dalam penelitian ini peneliti menggunakan empat klasifikasi moral disengagement yang dikembangkan oleh Hymel, et.al., (2005) yang mengacu pada teori moral diesengagement dari Bandura (1999) tersebut.

2.3.3 Pengukuran moral disengagement

Berdasarkan hasil membaca literatur tentang moral disengagement, peneliti menemukan beberapa instrumen untuk mengukur moral disengagement, yaitu:

1. Moral disengagement scale yang disusun McAlister, Bandura dan Owen (2006) yang terdiri dari 10 item. Item tersebut diukur dengan menggunakan lima poin skala Likert mulai dari sangat setuju (+2), ragu-ragu (0), sampai sangat tidak setuju (-2). Nilai-nilai positif merupakan pernyataan yang sesuai dari berbagai mode moral disengagement, nilai-nilai negatif merupakan pernyataan yang tidak sesuai.

2. Moral disengagement scale yang disusun Gulandri (2012) yang terdiri 32 item yang mengukur moral justification, euphemistic labeling, advantageous comparisons, displacement of responsibility, diffusion of responsibility,

distortion of negative consequences, blaming/ dehumanizing the victim dan attribution of blame.

3. Moral disengagement scale yang disusun oleh Hymel et.al., (2005) yang terdiri dari 18 item yang mengukur empat kategori meliputi: cognitive restucturing, minimazing agency, distortion of negative consequences dan blaming/dehumanizing the victim.

Pengukuran moral disengagement yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan skala pengukuran yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari skala pengukuran moral disengagement yang disusun oleh Hymel et.al (2005). Karena alat ukur ini mencakup empat kategori meliputi: cognitive restucturing, minimazing agency, distortion of negative consequences dan blaming/dehumanizing

the victim yang telah mencakup kedelapan mekanisme moral disengagement yang dijelaskan oleh Bandura (1999).

2.4 Kerangka Berpikir

Agresivitas merupakan perilaku yang maladaptif yang sering muncul akhir-akhir ini di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita media massa yang menyorot banyaknya perilaku agresif yang muncul dan sulit ditangani, misalnya konflik antarsuku di suatu daerah dan tawuran yang terjadi saat pemilihan kepala daerah. Berbagai bentuk agresivitas muncul dalam konflik pilkada tersebut. Sebagai contoh adanya unjuk rasa, bentrokan antar warga dan aparat keamanan, bahkan pengrusakan kantor kepala desa yang terjadi di beberapa desa di Kabupaten Tangerang beberapa saat selepas dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak.

Dalam hal ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas, diantaranya religiusitas, moral disengagement dan jenis kelamin. Faktor pertama yang mempengaruhi agresivitas adalah religiusitas. Gazi dan Faozah (2010) menjelaskan bahwa religiusitas merupakan bagian dari kehidupan sosial umat manusia yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kemasyarakatan. Religiusitas sosial mencerminkan tingkat interaksi seseorang dengan orang lain yang semazhab, seagama atau berbeda agama. Kesalehan sosial seseorang akan tampak pada sikap atau penilainnya terhadap orang lain atau terhadap segala sesuatu yang bersifat sosial.

Namun, salah satu implikasi dari interaksi sosial adalah terjadinya kesalahfahaman dan konflik antar pribadi atau antar kelompok. Konflik ini dapat menimbulkan perilaku agresif seseorang. Religiusitas memiliki kontribusi dalam menentukan perilaku agresif. Menurut Fetzer (1999), dimensi religiusitas memiliki korelasi dengan perilaku agresif. Dengan dimensi-dimensi religiusitas tersebut, individu dapat memiliki arah dalam menentukan perilakunya dalam keseharian sehingga individu mampu berperilaku sesuai dengan tuntunan kitab suci dengan ajaran kasih sayangnya bukan untuk menyakiti individu lainnya. Kundarto (2012) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa religiusitas mempengaruhi perilaku agresif. Hasil penelitian Huesman, Dubow dan Boxer (2010) juga menyimpulkan bahwa agresi mampu dipengaruhi pula oleh aspek religiusitas, baik berupa aktifitas keagamaan ataupun rutinitas harian keagamaan seperti berdoa. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka semakin rendah tingkat agresivitas orang tersebut.

Faktor internal lain yang mempengaruhi agresivitas yaitu moral disengagement. Peregangan moral merupakan suatu proses sosiokognitif dimana seseorang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Menurut Bandura (1999) agensi moral merupakan manifestasi kemampuan untuk melakukan perilaku yang tidak manusiawi dan kemampuan proaktif untuk melakukan perilaku manusiawi. Agensi moral berhubungan dengan teori self sosiokognitif yang mencakup self-organizing, proactive, self-reflective dan

mekanisme self-regulatory yang berpusat pada standar personal untuk melakukan self-sanction. Self-regulatoy akan mengembangkan perilaku moral yang tidak akan muncul jika tidak diaktifkan dan moral tersebut akan mengarahkan perilaku sosial dengan moral self-sanction yang secara selektif tidak akan berhubungan dengan perilaku tidak manusiawi.

Namun ketika seseorang berpikir bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang wajar (pembenaran secara moral) maka orang itu akan melakukan hal tersebut tanpa rasa bersalah. Karena tidak merasa bersalah maka orang itupun akan menunjukkan perbandingan yang menguntungkan (cognitive restructuring) dari perilaku agresif tersebut, dan kemudian akan melemparkan tanggung jawab (atas perilaku agresif) kepada orang lain (minimazing agency) dengan semaunya. Ketika sudah tidak lagi mempedulikan konsekuensi atas apa yang sudah dilakukannya (distortion of negative consequences) maka pada akhirnya orang itu akan dengan mudah menyakiti dan menyalahkan orang yang ia sakiti (korban perilaku agresif) atas perbuatan yang dilakukan terhadapnya (blaming/dehumazing the victim). Jadi, moral disengagement adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku yang ia lakukan sehingga memungkinkannya untuk melakukan perilaku yang tidak manusiawi. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi seseorang mengalami moral disengagement maka semakin tinggi pula tingkat agresivitas orang tersebut.

Faktor yang terakhir yaitu faktor perbedaan gender (jenis kelamin) yaitu antara laki-laki dan perempuan. Betancourt dan Miller (dalam Baron, 2005)

menjelaskan bahwa laki-laki daripada perempuan, secara signifikan lebih cenderung untuk melakukan perilaku agresif terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam cara apapun. Secara umum, pria lebih agresif ketimbang wanita dalam agresi fisik dan verbal, terutama dalam hal agresi fisik. Perbedaan jenis kelamin ini lebih besar dalam setting alamiah (misalnya, memukul dan menendang dalam permainan) ketimbang dalam setting laboratorium (misalnya, memukul boneka di ruang riset) (Eagly & Stefen, 1986; Hyde, 1986; Knight, Fabes & Higgins, 1996; dalam Taylor, et.al., 2009). Dibandingkan anak lelaki, anak perempuan kurang menyetujiu tindakan agresif dan menganggap diri mereka bersalah jika melakukannya (Bettencourt & Miller, dalam Taylor, et.al., 2009). Menurut Eagly dan Steffen (dalam Taylor, et.al., 2009), wanita sering lebih merasa bersalah, cemas, dan takut terhadap tindakan agresif dan karenanya menahan dorongan agresif mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh religiusitas, moral disengagement dan demografi terhadap agresivitas. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, maka dalam penelitian ini dibuat kerangka pemikiran guna mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh serta hubungan dari masing-masing variabel terhadap perilaku agresivitas. Disamping itu dapat digunakan untuk mengetahui arah dari penelitian ini. Secara singkat kerangka berpikir penelitian ini dapat diilustrasikan pada gambar 2.1 berikut ini:

Religiusitas

Moral Disengagement

Gambar 2.1

Skema pengaruh religiusitas, moral disengagement dan demografi terhadap Agresivitas Forgiveness Sosial Religiosity God as judge Thankfulness Unvengefulness Involve God AGRESIVITAS Cognitive Restucturing Blaming/Dehumanizing The Victim Distortion of Negative Consequences Minimazing Agency Jenis Kelamin General religiosity/coping religious

2.5 Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat pengaruh independen variabel yang ditentukan terhadap dependen variabel. Independen variabel dalam penelitian ini adalah religiusitas (general religiosity/coping religious; sosial religiosity; forgiveness; Tuhan sebagai penetap takdir/God as judge; Rasa berterima kasih/thankfulness; Perasaan tidak dendam/unvengefulness; keterlibatan Tuhan dalam aktifitas keseharian/involve God), moral disengagement (cognitive restructuring, minimazing agency, distortion of negative consequences, dan blaming/dehumanizing the victim) dan demografi (jenis kelamin). Sedangkan dependen variabelnya adalah agresivitas.

Hipotesis mayor

Ha: Ada pengaruh yang signifikan variabel religiusitas (general religiosity, sosial religiosity, forgiveness, god as judge, thankfulness, unvengefulnes

dan involve god), variabel moral disengagement (cognitive restructuring, minimizing agency, distortion of negative consequences dan blaming/dehumanizing the victim) dan variabel demografi (jenis kelamin) terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Hipotesis minor

Ha1: Ada pengaruh yang signifikan General religiosity (coping religious)

terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha2: Ada pengaruh yang signifikan sosial religiosity terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha3: Ada pengaruh yang signifikan Forgiveness terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha4: Ada pengaruh yang signifikan Tuhan sebgai penetap takdir (God as

judge)terhadapagresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha5: Ada pengaruh yang signifikan rasa berterima kasih (Thankfulness)

terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha6: Ada pengaruh yang signifikan rerasaan tidak dendam (Unvengefulness) terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha7: Ada pengaruh yang signifikan keterlibatan Tuhan dalam aktifitas

keseharian (Involve God) terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha8: Ada pengaruh yang signifikan cognitive restucturing terhadap

agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha9: Ada pengaruh yang signifikan minimazing agency terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha10: Ada pengaruh yang signifikan distortion of negative terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha11: Ada pengaruh yang signifikan blaming/dehumanizing the victim

terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Ha12: Ada pengaruh yang signifikan jenis kelamin terhadap agresivitas

masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang.

Tetapi pada penelitian ini hipotesis yang diuji adalah hipotesis nihil (H0), yaitu:

“Tidak ada pengaruh yang signifikan religiusitas, moral disengagement dan demografi terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang”

42

Pada bab ini dipaparkan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, prosedur pengumpulan data, dan metode analisis data.

Dokumen terkait