• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh religiusitas dan moral disengagement terhadap agresivitas masyarakat Desa Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh religiusitas dan moral disengagement terhadap agresivitas masyarakat Desa Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Pesyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

SONIA PEBRIANI NR

NIM: 1110070000015

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Pesyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

SONIA PEBRIANI NR

NIM: 1110070000015

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)
(6)

v

Untuk kedua orang tuaku

Yang dalam setiap hela nafasnya adalah doa untuk sang anak

Untaian kata dalam skripsi ini adalah baktiku

Mohonku hanya doa dan restu kalian

Untuk lembaran baru kehidupanku kelak

Tak perlu menjelaskan tentang dirimu pada siapapun.

Karena yang menyukaimu tidak membutuhkannya.

Dan yang membencimu tidak akan mempercayainya.

(Ali bin Abi Thalib)

Seperti bintang di langit yang kelam,

(7)

vi

D) Pengaruh Religiusitas dan Moral Disengagement terhadap Agresivitas Masyarakat Desa Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang E) xvii + 115 Halaman + Lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh religiusitas, moral disengagement dan demografi (jenis kelamin) terhadap agresivitas masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang. Penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda ini mengambil masyarakat desa Kampung Melayu Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang sebagai populasinya. Dari populasi tersebut peneliti menggunakan teknik accidental sampling untuk pemilihan sampel sebanyak 190 orang yang berusia 20-50 tahun. Instrumen pengumpulan data dengan menggunakan skala agresivitas, religiusitas dan moral disengagement. Analisis data penelitian menggunakan software SPSS, sedangkan untuk pengujian validitas konstruk menggunakan Lisrel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan religiusitas, moral disengagement dan jenis kelamin terhadap agresivitas masyarakat. Hasil uji hipotesis minor yang menguji pengaruh dari independent variable hanya satu dimensi dari variabel religiusitas yang berpengaruh terhadap agresivitas masyarakat, yaitu unvengefulness. Selanjutnya dari variabel moral disengagement hanya dimensi blaming/dehumanizing the victim yang berpengaruh terhadap agresivitas masyarakat. Adapun variabel demografi (jenis kelamin) tidak berpengaruh terhadap agresivitas masyarakat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan proporsi varians dari agresivitas yang dijelaskan oleh seluruh independent variabel adalah sebesar 36.6%, sedangkan 63.4% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini. Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar menggunakan variabel lain seperti emosi, kontrol diri, tipe kepribadian, konformitas, budaya atau independent variable lain yang mungkin berpengaruh terhadap agresivitas.

(8)

vii B) December 2014

C) Sonia Pebriani NR

D) The Effect of Religiosity and Moral Disengagement of the village of Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang Community to Aggressiveness E) xvii + 115 pages + appendix

F) This study aimed to examine the effect of religiosity, moral disengagement, and demographics (gender) to the villagers of Kampung Melayu Timur aggressiveness subdistrict Teluknaga. The study, using a quantitative approach with multiple regression analysis is taking the villagers of Kampung Melayu Timur subdistrict Teluknaga as population. Of the population of researcher using accidental sampling technique for the selection of a sample of 190 people aged 20-50 years. The data collection instrument using a scale of aggressiveness, religiosity and moral disengagement. The research data analysis using SPSS software, while for the construct validity testing using Lisrel.

The results showed that there was a significant effect of religiosity, moral disengagement, and gender of the aggressiveness of the community. The result of the hypothesis test that examines the effect of minor independent variable is only one dimension of religiosity variables that affect the aggressiveness of society, namely unvengefulness. Furthermore, the moral disengagement of variable dimensions just blaming/dehumanizing the victim that affect the aggressiveness of society. The demographic variables (sex) do not affect the aggressiveness of society. The results of this study also shows the proportion of variance explained by the aggressiveness of the entire independent variable is equal to 36.6%, while 63.4% influenced by other variables outside of this research. For further research, the authors suggest that the use of other variables such as emotion, self control, personality type, conformity, cultural or any other independent variables that may affect the aggressiveness.

(9)

viii

izin-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “Pengaruh

Religiusitas dan Moral Disengagement terhadap Agresivitas Masyarakat Desa

Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang”.

Tak lupa shalawat serta salam peneliti selalu curahkan kepada junjungan kita

Nabi Muhammad SAW, berikut para keluarga dan sahabat. Penelitian skripsi ini

diajukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana

Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya serta seluruh civitas akademik

Fakultas Psikologi. Terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, dan arahannya

selama ini.

2. Ibu Solicha, M.Si selaku dosen pembimbing I dan ibu Ima Sri Rahmani, M.A.,

Psi selaku dosen pembimbing II. Terima kasih atas waktu, tenaga, pikiran, dan

ilmu yang diberikan kepada peneliti. Semoga Allah membalas budi baik ibu

(10)

ix

Timur kecamatan Teluknaga, Tangerang atas bantuan dan kerjasamanya dalam

memperoleh data-data selama penulis melakukan penelitian.

4. Mamah dan Aa yang tak pernah hentinya mendoakan anakmu ini, maaf selalu

membuat kalian cemas. Terima kasih untuk segala asa kalian yang tak akan

pernah ternilai oleh apapun. Mengingat kalian adalah kekuatan terbesar dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Kakak-kakakku, Ujang, Nde, Asep, Ai yang selalu bersedia untuk direpotkan.

Terima kasih telah melindungi dan menjadi saudara terbaik untuk adikmu ini.

Keluarga besar Emak dan Bapak. Kalian adalah keluarga terbaik yang peneliti

miliki.

6. Ahmad Fauzi yang tidak pernah bosan mengajarkan peneliti untuk menjadi

seseorang yang lebih baik. Terima kasih atas kesabaran dan kesetiannya.

Keluarga besar Pondok Pesantren Dzunnuraini. Terima kasih selalu memberikan

bantuan, nasehat dan doa untuk peneliti. Dukungan kalian adalah salah satu

motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima

(11)

x indah yang selalu dikenang.

9. Fauzia, Nurul, Putri, sahabat yang sudah seperti saudara dan setia menemani

sejak kecil. Yuni dan Ajri, terima kasih telah menemani masa putih abu-abu.

Kalian sahabat terbaik yang selalu mendukung dan memberi semangat. Semoga

selamanya kita menjadi sahabat.

10.Teman-teman kelas A angkatan 2010, terima kasih atas berbagai pengalaman

berharga yang telah diberikan saat masa-masa kuliah. Terkhusus untuk teman

seperjuangan Dewi Mayangsari, Intan Suryani, Rahmatul Aufa, Khirza Nurmala

dan Ferdiansah Daulay. Semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat.

11.Ita Siti Nurhalimah dan Isna Ernawati yang selalu ceria dan ramai setiap harinya.

Terima kasih atas bantuan moril dan materilnya.

12.Teman-teman kosan, Nina Nurmilah, Epin Kurniasih, Ifa, Iin, Ai Nur Fatwa.

Terima kasih untuk bantuan, dukungan, doa dan sarannya, semoga silaturahmi di

antar kita tetap terjaga sampai nanti.

13.Pak deden yang selalu menyapa dan memberikan senyuman manis. Terima kasih

telah menemani peneliti saat di perpustakaan. Semoga Allah selalu membalas

(12)

xi

saran yang bersifat membangun sangat diharapkan sebagai bahan penyempurnaan

penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi pada penelitian

selanjutnya.

Jakarta, 22 Desember 2014

(13)

xii

Lembar Orisinalitas………. iii

Lembar Pengesahan……… iv

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas…….. 17

(14)

xiii

3.4.1.1 Agresivitas fisik……… 51

3.4.1.2 Agresivitas verbal………. 53

3.4.1.3 Agresivitas anger………. 54

3.4.3 Uji validitas konstruk moral disengagement... 72

3.4.3.1 Cognitive restructuring………. 72

3.4.3.2 Minimizing agency………... 74

3.4.3.3 Distortion of negative consequences……… 76

3.4.3.4 Blaming/dehumanizing the victim……… 77

3.5 Prosedur Pengumpulan Data……… 79

3.6 Metode Analisis Data………... 81

BAB 4 HASIL PENELITIAN……… 85-100 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian Derdasarkan Data Demografi.. 85

4.2 Hasil Analisis Deskriptif………... 86

4.3 Kategorisasi Skor Variabel………... 88

(15)

xiv

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN……… 101-110

5.1 Kesimpulan………... 101

5.2 Diskusi………... 102

5.3 Saran……….. 108

5.3.1 Saran metodologis……….. 108

5.3.2 Saran praktis………... 109

DAFTAR PUSTAKA

(16)

xv

Tabel 3.3 Blue print skala religiusitas……… 47

Tabel 3.4 Blue print skala moral disengagement………... 48

Tabel 3.5 Muatan faktor dimensi agresivitas fisik………. 52

Tabel 3.6 Muatan faktor dimensi agresivitas verbal……….. 54

Tabel 3.7 Muatan faktor dimensi agresivitas anger………... 56

Tabel 3.8 Muatan faktor dimensi agresivitas hostility………... 58

Tabel 3.9 Muatan faktor dimensi general religiosity………. 60

Tabel 3.10 Muatan faktor dimensi social religiosity………... 62

Tabel 3.11 Muatan faktor dimensi forgiveness……… 64

Tabel 3.12 Muatan faktor dimensi god as judge……….. 66

Tabel 3.13 Muatan faktor dimensi thankfulness……….. 68

Tabel 3.14 Muatan faktor dimensi unvengefulness……….. 70

Tabel 3.15 Muatan faktor dimensi involve god………... 72

Tabel 3.16 Muatan faktor dimensi cognitive restructuring………. 74

Tabel 3.17 Muatan faktor dimensi minimizing agency……… 75

Tabel 3.18 Muatan faktor dimensi distortion of negative consequences…. 77 Tabel 3.19 Muatan faktor dimensi blaming/dehumanizing the victim……. 79

Tabel 4.1 Deskripsi subjek penelitian berdasarkan data demografi…….. 85

Tabel 4.2 Analisis deskriptif……….. 86

Tabel 4.3 Norma skor variabel………... 88

Tabel 4.4 Kategorisasi skor variabel……….. 89

Tabel 4.5 Tabel model summary……… 91

Tabel 4.6 Anova pengaruh keselurusan IV terhadap DV………. 92

Tabel 4.7 Koefisien regresi……… 93

Tabel 4.8 Proporsi varians………. 96

(17)

xvi

Gambar 3.1 Path diagram faktor agresivitas fisik……… 51

Gambar 3.2 Path diagram faktor agresivitas verbal………. 53

Gambar 3.3 Path diagram faktor agresivitas anger……….. 55

Gambar 3.4 Path diagram faktor agresivitas hostility……….. 57

Gambar 3.5 Path diagram faktor general religiosity……… 59

Gambar 3.6 Path diagram faktor social religiosity……….. 61

Gambar 3.7 Path diagram faktor forgiveness………... 63

Gambar 3.8 Path diagram faktor god as judge………. 65

Gambar 3.9 Path diagram faktor thankfulness………. 66

Gambar 3.10 Path diagram faktor unvengefulness………. 69

Gambar 3.11 Path diagram faktor involve god……….. 71

Gambar 3.12 Path diagram faktor cognitive restructuring……….... 73

Gambar 3.13 Path diagram faktor minimizing agency………... 74

(18)

xvii

(19)

1

Dalam bab pendahuluan ini diuraikan latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian dan manfat penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Banyak sekali insiden yang terjadi sebagai manifestasi perilaku agresif, baik secara

verbal (kata-kata) maupun non-verbal. Saat ini, ekspose berbagai ragam perwujudan

daripada perilaku agresi bisa kita jumpai hampir pada setiap media massa, bahkan

dalam kehidupan lingkungan kita. Mencaci maki, mengumpat, perampokan,

pembunuhan, kerusuhan dan tindak kekerasan serta segala jenis perilaku kriminal

baik yang dilakukan secara individu maupun kelompok merupakan perwujudan dari

perilaku agresif ini.

Konflik antar warga merupakan salah satu persoalan yang tidak ada habisnya

untuk dibahas. Konflik antarwarga ini dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari

agresivitas karena perilaku tersebut merupakan perilaku negatif yang merupakan

suatu tingkah laku yang tertuju pada keberhasilan menyakiti atau melukai makhluk

hidup yang tidak ingin diperlakukan demikian (Baron & Byrne, 2005). Kemarahan

dan kekerasan yang terjadi seolah menggantikan sopan-santun dan jiwa

(20)

yang mudah melekat bukan lagi bangsa yang ramah, melainkan bangsa yang mudah

marah. Konflik antarwarga itu nyaris sepanjang tahun dan bertebaran hampir di

seluruh daerah di Indonesia. Berdasarkan data yang dimiliki Kemendagri, jumlah

konflik sosial pada 2010 sebanyak 93 kasus, kemudian menurun pada 2011 menjadi

77 kasus, namun kemudian meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir

Agustus (Antaranews.com, 25/9/2012). Sekarang sudah menurun angkanya, dari 128

kasus di 2012 menjadi 85 kasus di 2013 (Kompas.com, 6/12/2013).

Secara umum ada beberapa sebab yang melatarbelakangi konflik sosial yang

terjadi di tengah-tengah masyarakat yang paling banyak di antaranya adalah dipicu

oleh ekses pilkada atau pemilihan kepala daerah secara langsung yang kerap kali

memunculkan kelompok-kelompok di antara masyarakat yang mendukung pasangan

calon kepala dan wakil kepala daerah. Akibatnya, terjadilah persaingan antar

kelompok di masyarakat. Hal itu sering mengarah pada persaingan sengit, terkadang

menjurus pada perpecahan bahkan tidak jarang mengarah pada penggunaan fisik dan

kekerasan yang menyebabkan terjadinya gesekan antar pasangan beserta kelompok

pendukungnya, bahkan sampai terjadi bentrok dan tindakan anarkis.

Seperti halnya konflik yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada pemilihan

kepada desa (pilkades) serentak yang digelar di 147 desa, pada 30 Juni 2013 lalu,

hingga kini masih menyisakan persoalan. Di Desa Kampung Melayu Timur

Kecamatan Teluknaga, massa pendukung salah satu calon kepala desa meminta

(21)

Kecamatan Legok, menggelar aksi unjuk rasa di kantor Bupati Tangerang, Jumat

(19/07/2013). Sempat terjadi keributan antara pengunjuk rasa dan Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) kabupaten Tangerang, saat pengunjuk rasa mencoba

merangsek masuk ke dalam kantor Bupati Tangerang untuk menemui Kabag

Pemerintah Desa (TrustKota.com, 9 Juli 2013). Bahkan Petugas Reskrim Polresta

Tangerang berhasil mengamankan tujuh orang yang diduga sebagai pelaku

pengerusakan kantor Desa Pondok Jaya Kecamatan Sepatan, Tangerang, Minggu

(30/6) malam lalu. Mereka melakukan pengerusakan karena tidak puas terhadap

penghitungan suara hasil pemilihan kepala desa (pilkades) di desa tersebut

(Merdeka.com, 2 Juli 2013).

Perilaku agresif yang terjadi di kalangan masyarakat akhir-akhir ini

menunjukkan adanya peningkatan kualitas. Tindakan agresif yang dilakukan bukan

hanya terjadi secara secara kebetulan atau musiman, melainkan sudah menjadi

kebiasaan bahkan terencana. Tingkah laku agresif oleh sebagian orang juga

dilakukan untuk mengungkapkan emosinya ketika ada sesuatu yang tidak

menyenangkan bagi orang tersebut. Sebagaimana yang dimaksud oleh Buss dan

Perry (1992) bahwa yang dimaksud agresivitas adalah mengacu pada kecenderungan

yang relatif tetap untuk menjadi agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Di

mana agresi itu sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti

(22)

Berdasarkan studi literatur, peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang

mempengaruhi agresivitas, seperti: tipe kepribadian, religiusitas (Kundarto, 2012),

self-esteem, kecerdasan emosi, konformitas (Fajri, 2013), kontrol diri (Hasanah,

2014), terjadinya moral disengagement, tekanan teman sebaya (Hymel, Henderson &

Bonanno, 2005) dan lain sebagainya. Hasil penelitian Hymel, et.al., (2005)

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada remaja

diantaranya: moral disengagement (peregangan moral), poor home environments

(lingkungan rumah yang buruk), ineffective parenting and school practices (pola

asuh dan kebiasaan yang tidak efektif di sekolah), peer pressure or exposure to

violent media (tekanan teman sebaya atau keterbukaan media). Hasil penelitian

Hardy, Walker, Rackham dan Olsen (2012) menemukan adanya hubungan antara

religious commitment dan agresi dan empati dengan moral identity sebagai mediator.

Dari beberapa faktor yang sudah disebutkan sebelumnya, peneliti hanya

menentukan beberapa faktor yang mempengaruhi agresivitas, yaitu: religiusitas dan

moral disengagement yang merupakan faktor internal yang mempengaruhi

agresivitas seseorang. Religiusitas merupakan salah satu faktor yang mengacu pada

faktor sosio-kultural dalam perilaku agresif. Faktor ini dijadikan sebagai faktor

internal bagaimana perilaku agresif tersebut terjadi pada seseorang dan untuk

mengukur sejauh mana nilai-nilai agama terinternalisasi dalam dirinya dan

bagaimana implikasi hal tersebut terhadap perilaku agresif yang dilakukan secara

(23)

Penelitian Mufidha (2008) tentang hubungan religiusitas dengan perilaku

agresif remaja pada siswa Madrasah Tsanawiyah Persiapan Negeri Batu Malang,

menunjukkan hasil perhitungan skor religius dan perilaku agresif sebesar -0,418

dengan taraf signifikansi 5%. Hasil tersebut menunjukkan ada hubungan yang

negatif antara variabel religiusitas (x) dengan perilaku agresif (y), artinya semakin

tinggi tingkat religiusitas maka semakin rendah tingkat agresivitas pada siswa remaja

MTs Persiapan Negeri Batu, sebaliknya semakin rendah tingkat religiusitas maka

semakin tinggi tingkat agresivitas. Penelitian Kundarto (2012) mengenai pengaruh

kepribadian dan religiusitas terhadap perilaku agresi ibu kepada anak, hasilnya

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan religiusitas terhadap perilaku

agresif ibu kepada anak.

Shaw, Quezada dan Zarate (2011) meneliti tentang bagaimana kekerasan

yang diprediksi dari adanya pengaruh religiusitas dan keteguhan moral (moral

certainty). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada tingkat keteguhan moral

yang lebih tinggi, religiusitas memiliki peranan yang lebih besar pada munculnya

bentuk kekerasan yang dilakukan. Namun kekurangan pada penelitian ini adalah

religiusitas yang diukur hanya pada religious identity.

Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh religiusitas

terhadap agresivitas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang serupa.

Perbedaan dengan penelitian terdahulu adalah sampel yang digunakan. Jika

(24)

(2011) dengan sampel para ibu, maka dalam penelitian ini, sampel yang digunakan

adalah masyarakat umum yang berusia 20-50 tahun. Selain itu penulis juga

mengukur religiusitas yang bersifat multidimensional sehingga diharapkan dapat

mengukur religiusitas, baik dari segi ekstrinsik yang berupa ritual/kegiatan

keagamaan serta segi intrinsiknya, yang tergabung dalam dimensi religiusitas seperti

general religiosity (coping religious); social religiosity forgiveness; Tuhan sebagai

penentu/hakim (god as judge); rasa berterima kasih (thankfulness); perasaan tidak

dendam (unvengefulness) dan keterlibatan Tuhan dalam aktifitas keseharian (involve

god) (Kendler, Liu, Gardner, McCullough, Larson, & Prescott, 2003).

Aspek lain yang dapat mempengaruhi agresivitas adalah moral

disengagement. Menurut Bandura (dalam Hymel et.al, 2005) moral disengagement

sebagai suatu proses sosiokognitif di mana rata-rata orang mampu melakukan

perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Mekanisme yang terjadi dalam

proses moral disengagement menurut Hymel, et.al., (2005) meliputi: cognitive

restructuring (restrukturasi kognitif), minimizingagency (agensi yang diminimalisir),

distortion of negative consequences (menghilangkan konsekuensi negatif) dan

blaming/dehumanizing the victim (menyalahkan atau merendahkan korban).

Hasil dari penelitian Rohmah (2013) yang telah dilakukan pada siswa SMPN

1 Sepatan membuktikan bahwa ada pengaruh yang signifikan pola asuh, self-esteem,

moral disengagement dan demografi terhadap kecenderungan bullying. Dari hasil

(25)

pengaruh yang signifikan terhadap bullying artinya semakin tinggi cognitive

restructuring maka semakin tinggi pula kecenderungan bullying.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hymel, et.al., (2005) yang

menunjukkan bahwa anak yang melakukan bullying memiliki moral disengagement

yang sangat tinggi. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian Paciello, Fida,

Tramontano, Lupinetti, dan Caprara (2008) yang mengemukakan bahwa remaja yang

mempertahankan tingkat yang lebih tinggi dari moral disengagement lebih

cenderung menunjukkan tindakan agresif dan kekerasan. Namun, sampel dalam

penelitian Paciello, et.al., (2008) berusia 14-20 tahun sedangkan sampel dalam

penelitian ini adalah orang dewasa yang berusia 20-50 tahun.

Selain itu, agresi baik fisik maupun psikologis dapat terukur melalui faktor

demografi yang dapat berupa jenis kelamin. Di satu sisi, laki-laki lebih cenderung

untuk melakukan perilaku agresif dan menjadi target dari perilaku tersebut daripada

perempuan. Namun di sisi lain, kadar perbedaan ini tampak bervariasi pada berbagai

situasi. Pertama, perbedaan gender dalam agresi menjadi lebih besar dengan tidak

adanya provokasi daripada ketika ada provokasi. Dengan kata lain, laki-laki secara

signifikan lebih cenderung untuk melakukan perilaku agresif terhadap orang lain

ketika orang lain tersebut tidak memprovokasi mereka dalam cara apapun daripada

perempuan (Betancourt & Miller dalam Baron, 2005). Kedua, temuan penelitian

mengindikasikan bahwa laki-laki cenderung terlibat dalam berbagai bentuk perilaku

(26)

langsung pada target dan secara jelas datang dari agresor (misalnya, kekerasan fisik,

mendorong, menampik, melempar sesuatu pada orang lain, berteriak dan mengejek).

Namun, perempuan daripada laki-laki lebih cenderung untuk terlibat dalam berbagai

bentuk perilaku agresif tidak langsung—tindakan ini termasuk menyebarkan rumor

mengenai target, bergosip di belakang target, mengarang cerita sehingga target

mendapat masalah dan lain-lain (Bjorkqvist, Osterman & Hjelt-Back, dalam Baron,

2005).

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan

penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sampel yang digunakan yaitu

masyarakat umum yang berusia 20-50 tahun. Rentang usia ini termasuk masa dewasa

dini dan dewasa madya. Masa dewasa dini merupakan masa pencaharian kemantapan

dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan

emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan,

perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian pada pola hidup yang baru,

sedangkan masa dewasa madya merupakan masa penyesuaian diri terhadap

perubahan fisik, penyesuaian diri terhadap perubahan minat, penyesuaian diri

terhadap standar hidup keluarga dan penyesuaian dengan hal-hal yang berkaitan

dengan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat (Hurlock, 1996).

Dari uraian dan berdasarkan fenomena yang sudah dipaparkan di atas,

membuat penulis memutuskan penting untuk meneliti tentang agresivitas yang

(27)

dewasa. Maka dari itu, penulis tertarik mengambil tema yang berjudul “Pengaruh

Religiusitas dan Moral Disengagement terhadap Agresivitas Masyarakat Desa

Kampung Melayu Timur Kecamatan Teluknaga, Tangerang”.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan masalah

Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh religiusitas

dan moral disengagement terhadap perilaku agresif, maka penulis membatasi

masalah yang akan diteliti yaitu sebagai berikut:

1. Agresivitas yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada pengertian

agresivitas menurut Buss dan Perry (1992) bahwa yang dimaksud agresivitas

adalah mengacu pada kecenderungan yang relatif tetap untuk menjadi agresif

dalam berbagai situasi yang berbeda. Di mana agresi itu sebagai segala bentuk

perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang berupa agresi fisik,

agresi verbal, kemarahan dan permusuhan.

2. Religiusitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perwujudan individu

penganut agama yang menggambarkan bagaimana hubungan individu dengan

Tuhannya (dimensi religiusitas general religiosity), bagaimana individu dalam

membina hubungan dengan individu lain maupun sesama penganut agamanya

(dimensi religiusitas social religiosity), bagaimana individu melambangkan

(28)

keterlibatan Tuhan dalam urusannya (dimensi religiusitas involved God),

bagaimana individu menggambarkan pendekatan kepedulian; rasa kasih

sayang; dan saling memaafkan terhadap sekitar (dimensi religiusitas

forgiveness), bagaimana individu menggambarkan kekuasaaan yang dimiliki

Tuhan dan mempersepsi bahwa Tuhan lah sebagai penentu/hakim (dimensi

religiusitas God as judge), bagaimana individu menggambarkan perilaku yang

tidak menyimpan rasa dendam (dimensi religiusitas unvengefulness) dan

bagaimana individu tersebut bersyukur (dimensi religiusitas thankfulness)

(Kendler, et.al, 2003).

3. Moral disengagement yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku yang dilakukan

sehingga memungkinkannya untuk melakukan perilaku yang tidak manusiawi

berdasarkan empat klasifikasi, yaitu cognitive restructuring, minimizing

agency, distortion of negative consequence, dan blaming/dehumanizing the

victim (Hymel et.al, 2005).

4. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berada di desa Kampung

Melayu kecamatan Teluknaga, Tangerang.

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang

(29)

1. Apakah ada pengaruh yang signifikan faktor religiusitas, moral disengagement

dan jenis kelamin terhadap agresivitas?

2. Seberapa besar sumbangan masing-masing variabel bebas (religiusitas, moral

disengagement dan jenis kelamin) terhadap agresivitas?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh yang signifikan faktor religiusitas, moral disengagement

dan jenis kelamin terhadap agresivitas.

2. Mengetahui seberapa besar sumbangan masing-masing variabel bebas

(religiusitas, moral disengagement dan jenis kelamin) terhadap agresivitas.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori dan

penelitian-penelitian psikologi selanjutnya yang berkaitan dengan agresivitas,

religiusitas dan moral disengagement.

2. Praktis

(30)

a. Mendorong minat individu yang berkecimpung di bidang psikologi untuk

melakukan penelitian yang berkaitan dengan agresivitas, religiusitas dan

moral disengagement.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan untuk meminimalisir

dan menemukan pemecahan masalah pada agresivitas.

c. Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang munculnya

agresivitas pada masyarakat Desa Kampung Melayu Timur Kecamatan

Teluknaga, Tangerang yang meliputi faktor-faktor yang mempengaruhi

agresivitas dan penanganannya. Penelitian ini diharapkan mampu

memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam hal

meminimalisir konflik yang terjadi pada saat pilkada.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan, penelitian ini terbagi dalam lima bab dengan

sistematika sebagai berikut:

BAB 1: PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah atau alasan yang

menyebabkan penulis memilih masalah ini sebagi topik penelitian,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta

(31)

BAB 2: LANDASAN TEORI

Pada bab ini diuraikan mengenai teori perilaku agresi yang meliputi

definisi, bentuk-bentuk perilaku agresi, faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku agresi dan pengukuran perilaku agresi; kajian teori mengenai

religiusitas yang meliputi definisi, aspek-aspek, dan pengukuran

religiusitas; kajian teori mengenai moral disengagement yang meliputi

definisi, mekanisme dan pengukuran moral disengagement; serta kerangka

berpikir dan hipotesis penelitian.

BAB 3: METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai populasi dan sampel, variabel

penelitian, instrumen pengumpulan data, uji validitas konstruk, produser

penelitian dan metode analisis data.

BAB 4: HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai deskripsi subjek penelitian

berdasarkan data demografi, hasil analisis deskriptif, kategorisasi skor, uji

hipotesis dan proporsi varians.

BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi

tentang hasil penelitian serta saran metodologis dan saran praktis untuk

(32)

14

Pada bab ini, akan diuraikan mengenai teori-teori dan hal-hal yang berhubungan

dengan masalah yang hendak diteliti diantaranya adalah penjelasan dari teori

variabel agresivitas, religiusitas dan moral disengagement. Selanjutnya terdapat

pembahasan tentang kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.

2.1 Agresivitas

2.1.1 Definisi agresivitas

Baron dan Byrne (2005), mendefinisikan agresivitas adalah tingkah laku yang tertuju

pada keberhasilan menyakiti atau melukai makhluk hidup yang tidak ingin

diperlakukan demikian. Menurut Buss dan Perry (1992) bahwa yang dimaksud

agresivitas adalah mengacu pada kecenderungan yang relatif tetap untuk menjadi

agresif dalam berbagai situasi yang berbeda. Di mana agresi itu sebagai segala

bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang berupa agresi fisik,

agresi verbal, kemarahan dan permusuhan.

Sedangkan menurut Taylor, Peplau dan Sears (2009) agresi adalah setiap

tindakan yang diniatkan untuk menyakiti orang lain. Niat adalah faktor yang sangat

(33)

menyakiti orang lain mungkin tidak disebut agresif karena tindakan itu ternyata tidak

membahayakan. Jadi, perlu membedakan perilaku menyakiti dengan niat menyakiti.

Agresivitas adalah setiap perilaku yang diarahkan pada individu lain secara

langsung yang dilakukan dengan maksud menyakiti. Selain itu, pelaku harus yakin

bahwa perilaku tersebut akan merugikan dan target termotivasi untuk menghindari

perilaku tersebut (Anderson & Bushman, 2002). Berdasarkan berbagai rumusan

agresivitas yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

agresivitas yaitu perilaku yang ditujukan untuk menyakiti, mengancam atau

membahayakan pihak lain yang dapat dilakukan baik secara fisik maupun verbal.

2.1.2 Bentuk-bentuk agresivitas

Terdapat berbagai bentuk perilaku agresi yang berbeda beda yang diungkapkan oleh

para ahli. Seperti misalnya pendapat Taylor, et.al., (2009) yang membagi agresi

dalam empat jenis, yaitu antisocial aggression, prosocial aggression, sanctioned

aggression dan anger.

1) Antisocial aggression. Agresi anti-sosial adalah tindakan agresif yang

melanggar norma sosial yang diterima umum, seperti tindakan kriminal yang

menyakiti orang lain yang melanggar hukum.

2) Prosocial aggression. Agresi prososial adalah tindakan agresif yang

mendukung norma sosial yang diterima umum dan dianggap baik, seperti

tindakan menegakkan hukum, disiplin yang tepat, dan mematuhi komandan

(34)

3) Sanctioned aggression. Merupakan agresi yang tidak diharuskan oleh norma

sosial tetapi ada di dalam batas-batasnya dan tindakan ini tidak melanggar

standar moral yang diterima secara umum. Misalnya pelatih menghukum

pemain timnya dengan menyuruh push-up biasanya dianggap bertindak sesuai

dengan haknya dan masih dalam batas yang diterima.

4) Anger. Kemarahan berbeda dengan perilaku agresif dan lebih cenderung pada

perasaan agresif. Perilaku nyata seseorang tidak selalu merefleksikan sikapnya.

Seseorang mungkin dalam hatinya sangat marah namun tidak berusaha untuk

melampiaskan kemarahannya dalam bentuk perilaku menyakiti orang lain.

Buss dan Perry (1992) berpendapat bahwa ada empat bentuk agresi yang biasa

dilakukan oleh individu, yaitu agresi fisik, verbal, kemarahan dan permusuhan atau

kebencian.

1) Agresivitas fisik

Merupakan komponen dari perilaku motorik seperti melukai dan menyakiti

orang lain secara fisik misalnya dengan menyerang dan memukul.

2) Agresivitas verbal

Komponen perilaku motorik seperti menyakiti dan melukai orang lain melalui

verbalisasi, misalnya memaki, mengejek, membentak, berdebat, menunjukkan

(35)

3) Agresivitas marah (anger aggression)

Emosi atau afektif seperti perasaan tidak senang sebagai reaksi fisik atau

cedera fisik maupun psikis yang diderita individu, misalnya kesal, hilang

kesabaran dan tidak mampu mengontrol rasa marah.

4) Agresivitas permusuhan (hostility aggression)

Komponen dari perilaku kognitif seperti perasaan benci dan curiga pada orang

lain, iri hati, serta merasa kehidupan yang dialami tidak adil.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah dipaparkan, dalam penelitian ini, peneliti

memilih untuk menggunakan dimensi-dimensi agresivitas Buss dan Perry (1992)

yakni fisik, verbal, anger dan hostility.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas

Banyak faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang, baik itu berasal dari luar

individu (eksternal) maupun dari dalam individu (internal). Sarwono (2002),

membagi faktor-faktor pencetus perilaku agresi yang berupa berbagai rangsangan

atau pengaruh terhadap agresivitas yang dapat datang dari luar diri sendiri (yaitu

kondisi lingkungan atau pengaruh kelompok) atau dapat datang dari dalam diri

sendiri yaitu pengaruh kondisi fisik dan kepribadian.

1) Kondisi lingkungan

Pada manusia, bukan hanya sakit fisik yang dapat memicu agresi, melainkan

juga faktor psikologis. Selain itu, udara yang sangat panas juga lebih cepat

(36)

cenderung memicu agresi karena pihak yang diserang cenderung membalas.

Kondisi mendesak atau berdesak desakan dan ramai tak terkendali juga dapat

memicu agresi.

2) Pengaruh kelompok

Pengaruh kelompok terhadap perilaku agresif, antara lain adalah menurunkan

hambatan kendali moral. Seseorang dapat ikut terpengaruh oleh kelompok

dalam melakukan tindakan agresif. Selain itu, perilaku agresif dapat dipengaruhi

pula oleh adanya perancuan tanggung jawab (tidak merasa ikut bertanggung

jawab karena dikerjakan beramai-ramai), adanya desakan kelompok dan

identitas kelompok (kalau tidak ikut dianggap bukan anggota kelompok), serta

adanya individuasi (proses melemahnya keterikatan pada kelompok sehingga

terdapat individu yang kurang kuat ketaatannya pada kelompoknya atau

berkembang sendiri secara terpisah).

3) Pengaruh kepribadian dan kondisi fisik

Kondisi diri atau fisik juga mempengaruhi agresivitas. Banyaknya kadar

adrenalin dalam tubuh, misalnya dapat meningkatkan rangsangan dalam tubuh

sehingga orang yang bersangkutan lebih siap dan lebih cepat bereaksi. Berbagai

keadaan arousal terlepas dari sumber dan jenisnya memang dapat saling

memperkuat perilaku agresif.

Selain faktor-faktor agresivitas yang telah dikemukakan di atas, ada pula

(37)

didapatkan bahwa agresi dapat dipengaruhi pula oleh aspek dari religiusitas, baik

berupa aktifitas keagamaan ataupun rutinitas harian keagamaan seperti berdoa.

Penelitian lain yang dilakukan Kundarto (2012) menunjukan bahwa ada pengaruh

signifikan religiusitas terhadap perilaku agresif ibu kepada anak.

Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi agresivitas adalah moral

disengagement. Hasil penelitian Bandura, Barbaranelli, Caprara, dan Pastorelli

(1996) menemukan bahwa perilaku menyimpang biasanya menggunakan beberapa

teknik moral disengagement. Dengan demikian variabel moral disingegement juga

merupakan variabel yang sangat penting dalam memprediksi perilaku agresi.

2.1.4 Pengukuran agresivitas

Terdapat berbagai alat ukur yang digunakan untuk mengukur agresivitas, diantaranya

adalah (Leon, Reyes, Vila, Perez, Robles & Ramos, 2002):

1. The Cook-Medley Hostility Scale, yang dikembangkan oleh Cook dan Medley

(1954). Skala ini terdiri dari 50 pernyataan benar-salah. Internal konsistensi

pada skala ini dalam versi Inggris dan Spanyol antara 0,75 dan 0,80 dan

reliabilitas skala tes-rites menunjukkan nilai 0,75.

2. The Buss-Durke Hostility Inventory dikembangkan oleh Buss dan Durke (1957).

Instrumen ini terdiri dari 75 pernyataan benar-salah. Terdiri dari kriteria:

assault, indirect, hostility, irritability, negativism, resentment, suspicion, verbal

hostility, dan guilt. Internal konsistensi antara 0,57 dan 0,78 dari versi Spanyol

(38)

3. The Jenkins Activity Scale-Form H, yang dikembangkan oleh Jase-H, Krantz,

Glass dan Snyder (1974). Instrumen ini untuk evaluasi atau membandingkan

tipe A secara global terdiri dari 32 pernyataan. Reliabilitas dalam versi Inggris

dan Spanyol antara 0,75 dan 0,88 dan konsistensinya antara 0,84 dan 0,92.

4. The State-Trait Anger Expression Inventory oleh Spielberger (1988). Instrumen

ini terdiri dari 47 pernyataan, skala ini digunakan pada populasi Spanyol dan

menghasilkan alpha cronbach antara 0,63 dan 0,95.

5. Aggression Questionnaire (AQ) oleh Buss dan Perry (1992). Instrumen ini

terdiri dari 29 pernyataan, pada strandar psikometri menunjukkan reliabilitas

dan internal konsistensi yang adekuat. Instrumen ini memiliki konsistensi

internal antara 0,72 dan 0,89 dan reliabilitas tes antara 0,72 dan 0,80

Sedangkan, pengukuran yang akan peneliti gunakan untuk mengukur

agresivitas dalam penelitian ini adalah skala agresivitas yang diterjemahkan dan

dimodofikasi dari Agression Questionnaire milik Buss dan Perry (1992). Hal ini

karena skala milik Buss dan Perry memiliki validitas yang baik dan reliabilitas serta

internal konsistensi yang adekuat. Selain itu, Agression Questionnaire milik Buss

dan Perry (1992) mengukur empat bentuk agresivitas, yaitu agresivitas fisik,

agresivitas verbal, agresivitas kemarahan dan agresivitas permusuhan, sedangkan

alat ukur yang lainnya hanya mengukur salah satu dari empat bentuk agresivitas

tersebut.

(39)

2.2 Religiusitas

2.2.1 Definisi religiusitas

Terdapat berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli mengenai religiusitas.

Salah satunya dijelaskan oleh Fetzer (1999) yang menekankan pada berbagai faktor

di antarnya yaitu terkait dengan seberapa kuat individu penganut agama merasakan

pengalaman beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami

kebermaknaan hidup dengan beragama (religion meaning), mengekspresikan

keagamaan sebagai sebuah nilai (value), meyakini ajaran agamanya (belief),

memaafkan (forgiveness), melakukan praktik keagamaan (ibadah) secara pribadi

(private religious practice), menggunakan agama sebagai coping (religious/spiritual

coping), mendapat dukungan penganut sesama agama (religious support),

mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual history), komitmen beragama

(commitment), mengikuti organisasi/kegiatan keagamaan (organizational

religiusness) dan meyakini pilihan agamanya (religious preference).

Lain halnya dengan Fetzer, Kendler, et.al., (2003) melakukan pengukuran

religiusitas secara luas, dengan mencoba mengembangkan teknik analisis

keberagamaan dengan cara yang lebih mudah yaitu dengan menguraikannya menjadi

beberapa dimensi untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif, yaitu penganut

agama yang menyertakan Tuhan dalam keseharian/masa krisis (general religiousity);

membina hubungan dengan individu sesama penganut agamanya (social religiosity);

(40)

(involved God); memiliki kepedulian, rasa kasih sayang dan saling memaafkan

terhadap sekitar (forgiveness); merasa Tuhan memiliki kuasa memberi ganjaran atas

apa yang telah kita lakukan (God as judge); tidak menyimpan rasa dendam

(unvengefulness); dan bersyukur (thankfulness).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa religiusitas diwujudkan dalam

berbagai sisi kehidupan manusia yang tidak hanya pada kegiatan yang kasat mata

tetapi lebih dalam lagi, mencakup aspek perasaan, motivasi dan aspek batiniah

manusia. Dengan demikian religiusitas memiliki makna yang terkait keyakinan,

penghayatan, pengalaman, pengetahuan dan peribadatan seorang penganut agama

terhadap agamanya yang diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari sebagai

pengakuan akan adanya kekuatan tertinggi yang menaungi kehidupan manusia.

2.2.2 Dimensi-dimensi religiusitas

Menurut Kendler, et al., (2003) ada tujuh dimensi religiusitas, yaitu:

1. General religiosity/coping religious

Merefleksikan tentang perhatian dan keterlibatan individu dengan hal-hal yang

berkaitan dengan spiritual, seperti menghayati (sensing) keberadaan mereka

selama di alam semesta serta keterlibatan aktif dengan Tuhan dalam kehidupan

sehari-hari maupun ketika sedang bertemu masalah (krisis).

2. Sosial religiosity (Religious ‘social support’)

Pada dimensi ini merefleksikan tingkat interaksi seseorang dengan individu

(41)

beribadah sehingga dimensi ini disebut social religiosity. Social religiosity

dianggap sama dengan apa yang kita istilahkan dengan religious social

support.

3. Keterlibatan Tuhan (Involve god)

Merefleksikan sebuah kepercayaan terhadap keterlibatan Tuhan yang secara

aktif dan positif dalam urusan manusia (sehari-hari).

4. Forgiveness (sikap memaafkan)

Kendler, et.al. (2003) menggambarkan forgiveness sebagai sikap perhatian,

cinta kasih, dan memaafkan kepada sesama, sehingga dimensi ini tidak

memunculkan istilah Tuhan karena ingin mengukur sikap memaafkan terhadap

sesama individu.

5. Tuhan sebagai penentu/hakim (God as judge).

Dimensi ini menggambarkan tentang kepercayaan bahwa Tuhan akan memberi

ganjaran dari apa yang telah kita lakukan, seperti saat kita melakukan hal baik

maka Tuhan akan memberikan pahala, sebaliknya saat kita melakukan

kesalahan Tuhan akan memberikan hukuman.

6. Rasa tidak dendam (Unvengefulness)

Menggambarkan perilaku yang tidak mendendam yaitu mencerminkan suatu

(42)

7. Bersyukur (Thankfulness)

Bagaiman individu menggambarkan rasa syukur (thankfulness), merefleksikan

perasaan berterima kasih yang berlawanan dengan marah terhadap kehidupan

dan Tuhan.

2.2.3 Pengukuran religiusitas

Beberapa pengukuran untuk religiusitas adalah sebagai berikut:

1. The Multidimensional of Religiousness/Spirituality for Use in Health Research

(MMRS) yang disusun oleh Fetzer Institute (1999) yang mengukur religiusitas

dan spiritualitas seseorang berdasarkan 12 indikator, yaitu pengalaman

beragama sehari-hari (daily spiritual experience), mengalami kebermaknaan

hidup dengan beragama (religion meaning), mengekspresikan keagamaan

sebagai sebuah nilai (value), meyakini ajaran agamanya (belief), memaafkan

(forgiveness), melakukan praktik keagamaan (ibadah) secara menyendiri

(private religious practice), menggunakan agama sebagai coping

(religious/spiritual coping), mendapat dukungan penganut sesama agama

(religious support), mengalami sejarah keberagamaan (religious/spiritual

history), komitmen beragama (commitment), mengikuti organisasi/kegiatan

keagamaan (organizational religiusness) dan meyakini pilihan agamanya

(religious preference).

2. The Centrality of Religiosity Scale (CRS) yang disusun oleh Huber dan Huber

(43)

dan membuatnya menjadi skala ukuran sentralitas, pentingnya ciri khas atau

makna religius dalam kepribadian individu. Skala ini terdiri dari 15 item yang

mengukur 5 indikator tingkat religiusitas seseorang, yaitu: intellectual

(pengetahuan agama), ideology (pemahaman konsep agama), public practice

(pelaksamaan agama secara umum), private practice (pelaksanaan agama

secara pribadi) dan experience (pengalaman keagamaan).

3. Skala religiusitas yang disusun oleh Kendler, et.al., (2003) yang terdiri dari 78

item yang mengukur general religiosity (coping religious); sosial religiosity;

forgiveness; Tuhan sebgai penetap takdir (god as judge); rasa berterima kasih

(thankfulness); perasaan tidak dendam (unvengefulness) dan keterlibatan Tuhan

dalam aktifitas keseharian (involve god). Skala religiusitas ini disusun

berdasarkan analisa faktor terhadap berbagai alat ukur religiusitas yang selama

ini dipakai para ahli dan peneliti di bidang psikologi agama, yaitu alat ukur

Religious Attitude, Practice Inventory (Spirituality and Theism),

Multidimensional Measurement of Religiousness/Spirituality dan God Image

Scale. (dalam Gazi & Faozah, 2010)

Pengukuran religiusitas yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah menggunakan skala pengukuran yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari

skala pengukuran religiusitasyang disusun oleh Kendler, et.al. (2003). Hal ini karena

(44)

alat ukur religiusitas yang selama ini dipakai para ahli dan peneliti di bidang

psikologi agama.

2.3 Moral Disengagement

2.3.1 Definisi moral disengagement

Banyak para ahli yang menjelaskan tentang definisi moral disengagement. Menurut

Bandura (1999) moral disengagement adalah ketidakmampuan seseorang dalam

mengontrol perilaku yang ia lakukan sehingga memungkinkannya untuk melakukan

perilaku yang tidak manusiawi. Detert, Trevino dan Sweitzer (2008) mendefinisikan

moral disengagement sebagai suatu proses di mana individu membuat keputusan

moral yang tidak etis saat proses regulasi diri dinonaktifkan melalui penggunaan

beberapa mekanisme kognitif kolektif yang saling terkait. Sementara menurut Hyde,

Shaw dan Moilanen (2010) moral disengagement adalah suatu proses ketika salah

satu keyakinan atau nilai-nilai moral membenarkan perilaku antisosial, terdapat

kurangnya disonansi atau hambatan untuk terlibat dalam tindakan antisosial sehingga

tindakan tersebut dapat diterima.

Di sisi lain Bandura (dalam Hymel et.al, 2005) memahami moral

disengagement sebagai suatu proses sosio-kognitif di mana rata-rata orang mampu

melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Secara umum, moral

disengagement dapat menjadi landasan seseorang dalam melakukan perbuatan yang

(45)

Mengacu pada uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

moral disengagement adalah suatu proses sosial kognitif di mana standar moral

sebagai regulator internal perilaku tidak berfungsi dan proses regulasi diri

dinonaktifkan sehingga menimbulkan perilaku tidak manusiawi. Adapun dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan teori moral disengagement Bandura (dalam

Hymel et.al, 2005) sebagai suatu proses sosiokognitif di mana rata-rata orang mampu

melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain. Dengan alasan dalam

teori tersebut menjelaskan secara detail kemunculan terjadinya moral disengagement

pada seseorang serta sudah terdapat alat ukur baku yang dapat digunakan. Dalam

fenomena konflik yang terjadi pada saat pilkada, moral disengagement dapat

dijadikan salah satu faktor yang memprediksi agresivitas dalam konflik tersebut.

2.3.2 Mekanisme moral disengagement

Bandura (1999) menerangkan mekanisme moral disengagement yang terdiri dari

faktor-faktor situasional, meliputi:

1. Moral justification (pembenaran moral)

Moral justification adalah proses di mana seseorang berusaha

merasionalisasikan kekerasan yang dilakukannya terhadap orang lain dengan

membuat perilaku tersebut seperti dapat dibenarkan secara moral (Detert et.al,

2008). Karena pada prosesnya, dalam benak seseorang menganggap bahwa

perilaku yang dilakukannya bermanfaat bagi orang banyak dan memiliki tujuan

(46)

2. Euphemistic language (penghalusan bahasa)

Euphemistic language adalah menggunakan bahasa yang umum secara moral

untuk membuat perbuatan yang patut dicela terlihat tidak kasar (tidak

berbahaya) atau bahkan ramah/sopan (Detert et.al, 2008) dan seringkali

seseorang bersikap lebih kejam ketika aksi penyerangan secara verbal

dihapuskan/ditiadakan dan euphemistic language ini digunakan ketika seseorang

ingin menghilangkan tanggung jawab kepada orang yang disakitinya (Bandura,

1999).

3. Advantageous comparison (perbandingan yang menguntungkan)

Advantageous comparison yaitu membandingkan sikap yang tercela dengan

perilaku yang kasar (berbahaya) sehingga membuat perbuatan yang sebenarnya

dapat diterima orang lain (Detert et.al, 2008). Adapun menurut Bandura (1999)

Advantageous comparison merupakan perilaku kekerasan dengan

membandingkan tingkat manfaat yang akan didapatkan jika melakukan

kekerasan tersebut dan hal ini digunakan untuk membuat kekerasan terlihat

baik.

4. Displacement of responsibility (pemindahan tanggung jawab)

Displacement of responsibility yaitu melihat satu perbuatan sebagai hasil

langsung dari sebuah perintah yang otoritatif (Detert et.al, 2008). Menurut

Bandura (1999), biasanya anak buah akan menolak untuk bertanggungjawab

(47)

terhadap efek yang diakibatkan oleh perilaku merusak anak buahnya. Secara

singkat dapat disimpulkan bahwa pemindahan tanggung jawab terjadi ketika

dalam satu tim ada seorang bawahan yang melakukan kesalahan namun ia

melemparkan tanggung jawab tersebut kepada atasannya karena menurutnya ia

memiliki tanggung jawab atas perilaku bawahannya.

5. Diffusion of responsibility (penyebaran tanggung jawab)

Diffusion of responsibility terjadi ketika tidak ada satu anggota kelompok yang

merasa bertanggungjawab secara personal terhadap perilaku destruktif

(merusak) secara kolektif dalam sebuah kelompok (Detert et.al, 2008) atau

menurut Bandura (1999), diffusion of responsibility terjadi ketika salah seorang

anggota kelompok menutupi kesalahannya dengan melemparkan tanggung

jawab kepada seluruh anggota kelompok.

6. Distorting the consequences (mengabaikan konsekuensi)

Distorting the consequences yaitu meremehkan kemungkinan hasil perbuatan

yang tercela (Detert et.al, 2008). Hal ini terjadi akibat adanya pengabaian atau

distorsi terhadap hasil perilaku destruktif seseorang. Ketika seseorang

melakukan aktifitas yang mengganggu/merusak pihak lain karena alasan

personal atau tekanan sosial biasanya ia menghindar untuk menghadapi

kerusakan yang ia akibatkan sendiri atau meminimalisir akibat tersebut, apabila

upaya untuk meminimalisir kerusakan tidak berhasil maka ia akan

(48)

7. Dehumanisation (dehumanisasi)

Duhumanisation yaitu kami vs mereka berpikir berdasarkan stereotipe yang

benar (Detert et.al, 2008). Proses dehumanisasi adalah komposisi yang sangat

penting yang terdapat pada perilaku tidak manusiawi. Pada dasarnya seseorang

yang sudah hidup bersama dalam jangka waktu tertentu akan mudah berempati

terhadap kesedihan yang dialami rekannya karena mereka telah melalui berbagai

pengalaman, baik itu menyenangkan ataupun tidak menyenangkan, sehingga

dehumanisasi akan sulit terjadi kecuali pelaku akan membenci dan mengutuk

dirinya sendiri atas perbuatan buruknya tersebut. Hal ini dirasakan oleh korban

kekerasan (Bandura, 1999).

8. Attributin of blame (atribusi menyalahkan)

Attributin of blame yaitu membebaskan diri dari tuduhan dengan menempatkan

kesalahan terhadap target perilaku kekerasan (Detert et.al, 2008) serta menurut

Bandura (1999), menimpakan kesalahan pada musuh atau lingkungan

merupakan salah satu cara untuk membebaskan diri dari tuduhan. Dalam proses

ini biasanya orang menganggap dirinya sebagai korban yang dipaksa untuk

melakukan tindakan kekerasan. Dengan membenarkan perilaku tersebut tidak

hanya membuat perilaku merusak itu dimaklumi bahkan pelaku dapat

menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan sama sekali atau menganggap

(49)

Dengan mengacu pada teori Bandura, Hymel, et.al., (2005) mengklasifikasikan

kedelapan mekanisme moral disengagement tersebut menjadi empat klasifikasi,

yaitu:

1. Cognitive restructuring, meliputi: pembenaran moral (moral justification),

penghalusan bahasa (euphemistic labeling), dan perbandingan yang

menguntungkan (advantageous comparisons).

2. Minimizing agency, meliputi: pemindahan tanggung jawab (displacement of

responsibility) dan penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility).

3. Distortion of negative consequences, meliputi: mengabaikan konsekuensi

(distorting the consequences).

4. Blaming/dehumanizing the victim, meliputi: dehumanisasi(dehumanization) dan

atribusi menyalahkan (attribution of blame).

Peneliti berasumsi bahwa empat klasifikasi tersebut sangat efektif karena sudah

mencakup semua mekanisme moral disengagement oleh karenanya dalam penelitian

ini peneliti menggunakan empat klasifikasi moral disengagement yang

dikembangkan oleh Hymel, et.al., (2005) yang mengacu pada teori moral

diesengagement dari Bandura (1999) tersebut.

2.3.3 Pengukuran moral disengagement

Berdasarkan hasil membaca literatur tentang moral disengagement, peneliti

(50)

1. Moral disengagement scale yang disusun McAlister, Bandura dan Owen (2006)

yang terdiri dari 10 item. Item tersebut diukur dengan menggunakan lima poin

skala Likert mulai dari sangat setuju (+2), ragu-ragu (0), sampai sangat tidak

setuju (-2). Nilai-nilai positif merupakan pernyataan yang sesuai dari berbagai

mode moral disengagement, nilai-nilai negatif merupakan pernyataan yang tidak

sesuai.

2. Moral disengagement scale yang disusun Gulandri (2012) yang terdiri 32 item

yang mengukur moral justification, euphemistic labeling, advantageous

comparisons, displacement of responsibility, diffusion of responsibility,

distortion of negative consequences, blaming/ dehumanizing the victim dan

attribution of blame.

3. Moral disengagement scale yang disusun oleh Hymel et.al., (2005) yang terdiri

dari 18 item yang mengukur empat kategori meliputi: cognitive restucturing,

minimazing agency, distortion of negative consequences dan

blaming/dehumanizing the victim.

Pengukuran moral disengagement yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah menggunakan skala pengukuran yang diterjemahkan dan dimodifikasi dari

skala pengukuran moral disengagement yang disusun oleh Hymel et.al (2005).

Karena alat ukur ini mencakup empat kategori meliputi: cognitive restucturing,

(51)

the victim yang telah mencakup kedelapan mekanisme moral disengagement yang

dijelaskan oleh Bandura (1999).

2.4 Kerangka Berpikir

Agresivitas merupakan perilaku yang maladaptif yang sering muncul akhir-akhir ini

di lingkungan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat dari berita-berita media massa

yang menyorot banyaknya perilaku agresif yang muncul dan sulit ditangani,

misalnya konflik antarsuku di suatu daerah dan tawuran yang terjadi saat pemilihan

kepala daerah. Berbagai bentuk agresivitas muncul dalam konflik pilkada tersebut.

Sebagai contoh adanya unjuk rasa, bentrokan antar warga dan aparat keamanan,

bahkan pengrusakan kantor kepala desa yang terjadi di beberapa desa di Kabupaten

Tangerang beberapa saat selepas dilaksanakannya pemilihan kepala daerah serentak.

Dalam hal ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas,

diantaranya religiusitas, moral disengagement dan jenis kelamin. Faktor pertama

yang mempengaruhi agresivitas adalah religiusitas. Gazi dan Faozah (2010)

menjelaskan bahwa religiusitas merupakan bagian dari kehidupan sosial umat

manusia yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kemasyarakatan. Religiusitas sosial

mencerminkan tingkat interaksi seseorang dengan orang lain yang semazhab,

seagama atau berbeda agama. Kesalehan sosial seseorang akan tampak pada sikap

atau penilainnya terhadap orang lain atau terhadap segala sesuatu yang bersifat

(52)

Namun, salah satu implikasi dari interaksi sosial adalah terjadinya

kesalahfahaman dan konflik antar pribadi atau antar kelompok. Konflik ini dapat

menimbulkan perilaku agresif seseorang. Religiusitas memiliki kontribusi dalam

menentukan perilaku agresif. Menurut Fetzer (1999), dimensi religiusitas memiliki

korelasi dengan perilaku agresif. Dengan dimensi-dimensi religiusitas tersebut,

individu dapat memiliki arah dalam menentukan perilakunya dalam keseharian

sehingga individu mampu berperilaku sesuai dengan tuntunan kitab suci dengan

ajaran kasih sayangnya bukan untuk menyakiti individu lainnya. Kundarto (2012)

dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa religiusitas mempengaruhi perilaku

agresif. Hasil penelitian Huesman, Dubow dan Boxer (2010) juga menyimpulkan

bahwa agresi mampu dipengaruhi pula oleh aspek religiusitas, baik berupa aktifitas

keagamaan ataupun rutinitas harian keagamaan seperti berdoa. Sehingga dapat

diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka semakin

rendah tingkat agresivitas orang tersebut.

Faktor internal lain yang mempengaruhi agresivitas yaitu moral

disengagement. Peregangan moral merupakan suatu proses sosiokognitif dimana

seseorang mampu melakukan perbuatan yang mengerikan terhadap orang lain.

Menurut Bandura (1999) agensi moral merupakan manifestasi kemampuan untuk

melakukan perilaku yang tidak manusiawi dan kemampuan proaktif untuk

melakukan perilaku manusiawi. Agensi moral berhubungan dengan teori self

(53)

mekanisme self-regulatory yang berpusat pada standar personal untuk melakukan

self-sanction. Self-regulatoy akan mengembangkan perilaku moral yang tidak akan

muncul jika tidak diaktifkan dan moral tersebut akan mengarahkan perilaku sosial

dengan moral self-sanction yang secara selektif tidak akan berhubungan dengan

perilaku tidak manusiawi.

Namun ketika seseorang berpikir bahwa perilaku agresif merupakan perilaku

yang wajar (pembenaran secara moral) maka orang itu akan melakukan hal tersebut

tanpa rasa bersalah. Karena tidak merasa bersalah maka orang itupun akan

menunjukkan perbandingan yang menguntungkan (cognitive restructuring) dari

perilaku agresif tersebut, dan kemudian akan melemparkan tanggung jawab (atas

perilaku agresif) kepada orang lain (minimazing agency) dengan semaunya. Ketika

sudah tidak lagi mempedulikan konsekuensi atas apa yang sudah dilakukannya

(distortion of negative consequences) maka pada akhirnya orang itu akan dengan

mudah menyakiti dan menyalahkan orang yang ia sakiti (korban perilaku agresif)

atas perbuatan yang dilakukan terhadapnya (blaming/dehumazing the victim). Jadi,

moral disengagement adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengontrol perilaku

yang ia lakukan sehingga memungkinkannya untuk melakukan perilaku yang tidak

manusiawi. Sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi seseorang mengalami

moral disengagement maka semakin tinggi pula tingkat agresivitas orang tersebut.

Faktor yang terakhir yaitu faktor perbedaan gender (jenis kelamin) yaitu

(54)

menjelaskan bahwa laki-laki daripada perempuan, secara signifikan lebih cenderung

untuk melakukan perilaku agresif terhadap orang lain ketika orang lain tersebut tidak

memprovokasi mereka dalam cara apapun. Secara umum, pria lebih agresif

ketimbang wanita dalam agresi fisik dan verbal, terutama dalam hal agresi fisik.

Perbedaan jenis kelamin ini lebih besar dalam setting alamiah (misalnya, memukul

dan menendang dalam permainan) ketimbang dalam setting laboratorium (misalnya,

memukul boneka di ruang riset) (Eagly & Stefen, 1986; Hyde, 1986; Knight, Fabes

& Higgins, 1996; dalam Taylor, et.al., 2009). Dibandingkan anak lelaki, anak

perempuan kurang menyetujiu tindakan agresif dan menganggap diri mereka

bersalah jika melakukannya (Bettencourt & Miller, dalam Taylor, et.al., 2009).

Menurut Eagly dan Steffen (dalam Taylor, et.al., 2009), wanita sering lebih merasa

bersalah, cemas, dan takut terhadap tindakan agresif dan karenanya menahan

dorongan agresif mereka.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh religiusitas, moral

disengagement dan demografi terhadap agresivitas. Untuk memperoleh gambaran

yang lebih jelas, maka dalam penelitian ini dibuat kerangka pemikiran guna

mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh serta hubungan dari masing-masing

variabel terhadap perilaku agresivitas. Disamping itu dapat digunakan untuk

mengetahui arah dari penelitian ini. Secara singkat kerangka berpikir penelitian ini

(55)

Religiusitas

Moral Disengagement

Gambar 2.1

Skema pengaruh religiusitas, moral disengagement dan demografi terhadap Agresivitas

Forgiveness Sosial Religiosity

God as judge

Thankfulness Unvengefulness Involve God

AGRESIVITAS

Cognitive Restucturing

Blaming/Dehumanizing The Victim

Distortion of Negative Consequences

Minimazing Agency

Gambar

Gambar 2.1 Skema pengaruh religiusitas, moral disengagement dan demografi terhadap
Tabel 3.1 Skor untuk Pernyataan Positif dan Negatif Skala Likert
Tabel 3.2 Blue print skala agresivitas
Tabel 3.3 Blue print skala religiusitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara religiusitas, family support, dan jenis kelamin terhadap happiness pada lansia di panti werdha, dengan

Siti Nur Hidayah (D01205163); Pengaruh Majelis Ta’lim Terhadap Peningkatan Religiusitas Masyarakat Desa Tanjung, Kedamean, Gresik. Skripsi ini merupakan hasil penelitian

Kedua, objek penelitian adalah dimensi religiusitas masyarakat santri Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso Pati terhadap minat menabung di BPRS Artha Mas Abadi.. Adapun

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah terdapat pengaruh infrastruktur fisik, sumber daya alam terhadap kesejahteraan masyarakat, berdasarkan hasil uji yang

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan menunjukan bahwa hipotesis (Ho) yang di uji ditolak , yang artinya signifikan dan hipotesis (Ha) yang diajukan dapat

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah tersedianya data spesies, jenis kelamin, dan hubungan lebar karapas dan berat kepiting bakau yang menjadi target penangkapan masyarakat,

Berlandaskan hasil uji dalam hipotesis menunjukkan dimana variabel independen yakni ukuran perusahaan, capital intensity, profitabilitas, serta leverage yang mempunyai tingkat

Hasil uji hipotesis atau uji t menunjukkan bahwa nilai thitung sebesar 0,670 lebih besar dari 0,05 yang artinya tidak ada pengaruh tingkat pengetahuan masyarakat tentang riba terhadap