• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seni pertunjukan yang ada di dunia ini berada dalam kehidupannya yang beraneka ragam. Apa yang dibahas oleh para pengulas seni adalah terutama seni pertunjukan yang dipergelarkan di pentas-pentas yang sengaja 'diacarakan' untuk umum. Dari kebiasaan inilah sebenarnya muncul istilah "seni pertunjukan" yang diartikan sebagai suatu bentuk ungkapan seni yang sengaja digelar untuk dipertontonkan kepada umum. Namun istilah "seni pertunjukan", yang merupakan padanan dari "performing arts", seharusnya juga mencakup ungkapan-ungkapan yang dinyatakan atau dimainkan secara langsung

(performed),

lepas dari tujuannya untuk dijad

kan tontonan ataukah

tidak. Ada sejumlah jenis seni pertunjukan berupa ungkapan-ungkapan baik tari, musik, ataJ.Ipun teater, dalam suatu lingkungan khalayak khusus, yang dapat merupakan bagian ataupun inti dari suatu upacara adat atau ritus keagamaan, dan tidak dimaksudkan untuk dipertonton­ kan bagi umum. Ungkapan-ungkapan seni pertunjukan seperti itu lebih menjadi perhatian para peneliti dan penghimpun data. Memang ada kalanya seniman-seniman tertentu yang berorientasi kepada 'pentas umum' melakukan pula pengkajian dan penjelajahan dengan masuk ke dalam kancah seni tradisi yang terkait dengan adat ataupun ritus itu, dengan tujuan baik untuk menyimak esensi-esensi ungkapan maupun untuk mendapatkan rangsangan-rangsangan keasingan dan keharuan, yang_ keduanya dapat dijadikannya bekal dalam berkarya. Dalam hal itu, terjadilah pertemuan antarwacana antara apa yang

Makalah untuk Ma.�yarakat Seni Pertunjukan Indonesia FESTIVAL I TEMU ILMIAH dengan tema:

. "Melintasi Jembatan Waktu: Globalisasi Pertunjukan dan Seni Pertunjukan Globar· Karangasem, Bali, 9-14 September 1999

. dapat kita sebut sebagai "sisi pentas" dan "sisi tanah" dari seni pertunjukan.

Dalam perkembangan seni pertunjukan di Indonesia telah banyak terjadi hubungan lintasbudaya, baik di antara suku-suku bangsa di Indonesia sendiri maupun antara bangsa Indonesia dengan bangsa­ bangsa lain. Pelaku yang tampak lebih aktif dalam hal ini adalah yang berasal dari "sisi

'Pentas". Para seniman 'pentas umum' yang melakukan

'anjangsana' budaya itu pada dasamya telah mempunyai kesiapan untuk membuka diri dan menyibak sumber-sumber baru yang di hadapannya merupakan suatu misteri ataupun tantangan. Sikap dasamya telah siap untuk menerima situasi multikultural sebagai suatu kenyataan yang dapat berolah di dalam dirinya.

Contoh-contoh karya pentas yang dapat disebutkan sebagai proses pembentukan wacana antarbudaya itu adalah an tara lain: Teguh Karya dengan karyanya "Jayaprana"; Sardono

W.

Kusumo dalam karya "Janda dari Dirah" dan "Hutan Plastik"; Deddy Luthan dengan hasil jelajahannya bersama orang Dayak di Kalimantan Timur dan dengan orang Banyuwangi; Yulianti Parani dengan orang Betawi; Tom lbnur dengan orang Kerinci; dan lain-lain. Di samping itu terdapat pula berbagai karya kolaborasi antarbangsa seperti an tara seniman-seniman STSI Surakarta dengan rekan-rekannya dari Jepang; antara Sapto Rahardjo dengan komponis-komponis Prancis; berbagai kolaborasi yang dilakukan seniman-seniman asing dengan rekan-rekannya dari Bali; dan untuk contoh terakhir dapat disebutkan proyek ambisius "King Lear" yang temyata berhasil karena yang berpartisipasi di dalamnya adalah seniman-seniman tingkat 'master' semua. Segenap karya yang disebutkan itu dimulai dengan suatu sikap untuk menembus dinding-dinding pemisah antartradisi. Oleh karena itu, seperti dapat diperkirakan, semua seniman dengan karyanya tersebut memp�yai ancangan untuk bergerak

di

arena 'seni kontemporer', yaitu arena yang

senantiasa menisbikan batas-batas.

Bentuk-bentuk seni pertunjukan dari berbagai bangsa dan suku bangsa dapat pula saling dijajarkan dengan masing-masing tetap pacta jatidiri tradisinya sebagaimana hal itu telah terbentuk melalui perkembangan dari generasi ke generasi. Namun, dalam hal ini, tidaklah perlu diterima anggapan bahwa seni tradisi adalah perdefinisi seni yang berhenti, seni yang hanya mempertahankan apa yang sudah ada saja. Kreativitas pun pacta umurnnya ada di dalam tradisi. Karya­ karya baru, variasi-variasi gay a baru, tema-tema baru senantiasa dapat diciptakan orang di dalam batas-batas keberterimaan kaidah yang dapat dirasakan oleh para pendukung tradisi tersebut pacta umumnya. Contoh mencolok dari "kreativitas di dalam tradisi" ini adalah munculnya tari kebyaroleh I Mario, juga tari kecak, orkes adimerdang­ ga oleh STSI Denpasar, dan lain-lain dalarn kesenian Bali; munculnya

beksan golek menak oleh Hamengku Buwana IX dari Yogya, karya­ karya karawitari bergaya baru oleh Narto Sabdo, dan lain-lain dalam kesenian Jawa; gaya tari Minang yang dipelopori oleh Huriyah Adam, dan seterusnya. Kadang-kadang suatu karya atau cara garap barn dalam suatu tradisi diilharni oleh rangsangan seni yang berasal dari budaya lain. Sebagai contoh dari yang terakhir ini dapat disebutkan masuknya unsur "brass band" ke dalarn karawitan Yogyakarta.

Selanjutnya, keanekaragainan khasanah budaya di Indonesia, yang bermaksud pacta banyak suku bangsa ini, mempunyai fungsi pula di dalarn pewujudan integrasi bangsa Indonesia dalarn suatu suasana kebersamaan. Kalau dalarn masa pra-Indonesia suku bangsa yang satu dengan yang lain seringklai saling bersaing, termasuk dalam modus saling mencemooh mengenai kesenian, maka dalam konteks ke­ Indonesian sekarang ini, dengan usaha-usaha terarah sejak tahun 1950-an (mulai deng1950-an pertunjuk1950-an "bhinneka tunggal ika" di ist1950-ana kepresidenan pacta setiap perayaari 17 Agustus), kita belajar saling menghargai, dan kemudian bahkan saling menikrnati dan saling bel ajar· seni antarsuku bangsa. Penyelenggaraan festival-festival dengan

mempertemukan berbagai penyajian seni dari banyak daerah, seperti yang pemah diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Direktorat Kesenian (Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia, Asosiasi Tradisi Lisan, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, dan lain-lain, adalah pada hakikatnya penciptaan fora untuk membentuk wawasan persatuan melalui kesadaran akan situasi multikultural kita. Pada dasarnya festival-festival itu adalah suatu jembatan budaya, khususnya yang berada pada ranah tatapmuka. Ekspresi y�g langsung disambut oleh penangkapan, resepsi, dan penghayatan yang langsung pula, baik antara penyaji dan pemirsa, penyaji dan sponsor, ma.upun an tara sesama seniman yang berpartisipasi. Reaksi atas penyajian seni pertunjukan pun dapat diberikan dengan serta merta, baik berupa tepuk tangan, rangkulan, ataupun ajakan untuk bermain lagi, atau bermain bersama pada kesempatan lain.

Pada ranah tatapmuka inilah diperlukan stiatu komunikasi nilai­ nilai yang langsung dan mendalani. Suatu taraf minimal kesiapan pemirsa dalam hal ini diperlukan. Kalaulah ada orang-orang yang masih awam di antara pemirsa, mayoritasnya perlu sudah mempunyai kesiapan untuk menerima apa yang akan disajikan. Untuk persyaratan inilah diperlukan usaha-usaha yang terarah dalam membangun khalayak pemirsa. Promosi dan edukasi adalah kata kunci untuk usaha­ usaha terse but. "Kesiapan menerima" yang diharapkan akan terbentuk di dalam masyarakat itu pada dasamya mempunyai dua sisi yang perlu dikembangkan dengan strategi yang berbeda. Di satu sisi khalayak perlu mempunyai kesiapan untuk memahami secara mendalam suatu bentuk seni pertunjukan yang telah menjadi sesuatu yang klasik, di mana terdapat sistem lambang yang rumit berkenaan dengan seluruh aspeknya, seperti kinetik, musikal, literer, dramatik, dan visual. Di sisi lain, khalayak juga memerlukan kesiapan untuk mengantisipasi,

dengan apresiasi, kebaruan-kebaruan yang akan disajikan sebagai hasil eksplorasi para seniman seni pertunjukan. Namun pada kedua sisi itu, diperlukan satu prasyarat yang sama, yaitu terasahnya kepekaan untuk dapat memperbedakan, untuk merasakan, antara yang jujur dan yang pretensius, antara yang unggul dan yang kedodoran.

Di luar ranah tatapmuka ini terdapat ranah perantaraan media. Ranah ini lah yang merupakan wilayah gerak dari industri budaya. Dalam hal ini kemasan-kemasan seni pertunjukan disajikan untuk dinikmati secara satu arah. Produk-produk industri budaya ini dapat berupa barang-barang tercetak, rekaman-rekaman auditif (seperti kaset, cakram padat I compact disc), maupun rekaman-rekaman audio-visual (film, video, VCD) serta berbagai bentuk kemasan multi-media (seperti CO-Rom dan tayangan website). Masa kini dan masa yang akan datang kiranya akan dipenuhi aneka produk dalam informatika yang semakin hari semakin canggih. Di satu sisi, apabila ingin mengikuti perkembangan, orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan informatikanya, sedangkan sekaligus di sisi lain, orang dituntut untuk juga mengembangkan kearifan agar dapat memilih hanya apa yang bermutu dan baik bagi peningkatan kualitas kehidupannya.

Substansi seni pertunjukan pun niscaya perlu dikemas ke dalam produk-produk industri budaya tersebut agar apresiasi mengenainya dapat menyebar luas dan pemahaman mengenainya dapat menjadi lebih mendalam secara rata-rata. Dalam hal ini, menyimak keadaan masa kini, kiranya diperlukan usaha pengimbangan an tara kemasan-kemasan seni pertunjukan yang bersifat hiburan ringan (yang kebetulan sebagian besar merupakan bentuk tiruan dari "kesenian massa" dari budaya 'barat') dengan seni pertunjukan yang lebih memerlukan kedalaman dalam pemahaman maupun penghayatannya. Keberpihakan dunia industri kepada yang mudah dan komersial perlu untuk masa-masa

-

multikultural yang telah terbentuk, termasuk di arena kepariwisataan, kiranya dapat diolah menjadi pasar yang sehat untuk produk-produk industri budaya yang berisikan substansi seni pertunjukan Indonesia yang bermutu tinggi. Semoga.