• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mungkin, kesenangan untuk mencium bau-bauan yang sedap dan harum merupakan naluri man usia yang universal. Kalau itu benar, maka dapat diperkirak:an bahwa sejak masa prasejarah pun dalam kehidupan manusia, apabila orang telah menemukan sumber wewangian, maka telah diusahakan pula usaha-usaha sengaja untuk memperolehnya, atau bahkan memperkembangkannya. Bagaimana keadaan sesungguhnya di masa prasejarah belum dapat diketahui, selama belum ditemukan sisa-sisa tumbuhan atau benda alamiah penghasil bau harum dalam konteks temuan bersama sisa-sisa kehidupan manusia prasejarah.

Setelah ada sumber-sumber tertulis mendampingi temuan-teinuan arkeologi, khususnya pada masa Hindu-Buddha di Indonesia, maka barn ada petunjuk mengenai segi-segi budaya manusia yang berkenaan dengan indera penciuman itu. Semua pancaindera sebagai alat penangkap rangsangan-rangsangan mempunyai obyeknya masing­ masing, yaitu dalam sastra Jawa Kuna dikenal d�ngan istilah

wi�aya.

· Istilah ini mempunyai arti: "segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh

pancaindera". atau "sesuatu yang menumbuhkan hasrat sensual, atau

kenikmatan sensual". Dengan demikian maka berarti bahwa

wi�aya

bagi indera penciuman adalah bau-bauan (yang harum) yang merangsang kenikmatan. Masih terkait dengan makna tersebut, istilah itu juga berarti "jangkauan, atau cakupan kegiatan, atau obyek; obyek kecintaan atau perhatian, khususnya obyek atau 'daerah' dari kelima

indera". (Periksa P.J. Zoetmulder,

Old Javanese- English Dictionary,

Makalahuntuk seminar

AROMA TRADISIONAL MINANGKABAU DAN DUNIA PARAJM

dalam rangka parneran bersama Museum Negeri Propinsi Sumate ra Barat

"Adityawarman" <kngan Alliance Fran� Padang Padang. 13 Oktober 1999

II, 1982: 2296-7). Sehubungan dengan istilah tersebut perlu segera dikemukakan bahwa di samping arti-arti yang telah disebutkan itu, kata

wi�aya

berarti juga "cakupan kewenangan" atau "daerah" dalam arti sesungguhnya, yaitu wilayah, yang pada masa kerajaan Kadiri berarti kesatuan dari sejumlah desa, yang juga merupakan pembagian di dalam wilayah kerajaan secara keseluruhan.

Karya-karya sastra klasik kita yang berbahasa Jaw a Kuna ( dimulai

dengan Ramayana abad ke-1 0 Masehi, berkembang pes at mulai mas a

Kadiri, abad ke-11-12 Masehi, hingga perkembangan kedua di masa Majapahit pada abad ke-14-15 Masehi, dan perkembangan terakhir sastra kuna Jawa-Bali pada abad ke-16-17 Masehi) di sana-sini memberikan gambaran mengenai penggunaan wewangian dalam kehidupan man usia. Beberapa sumber wewangian yang disebut dalam

karya-karya sastra itu adalah antara lain

burat

(Zoetmulder 1982:276),

yaitu cairan berminyak berbau harum untuk dioleskan ke tubuh, berwarna kuning (keemasan) atau kemerahan. Cairan tersebut rupanya

juga dapat memberikan rasa hangat. Pemakaian

burat

juga dilakukan

sambil/ketika mandi.

Kidung Har�awijaya

menyebutkan bahwa

burat

dapat dibuat dengan bunga-bungaan, atau dengan bunga-bungaan dan sirih. Karya sastra kuna Jawa-Bali ini juga menyebutkan bahwa seorang yang mengenakan olesan ini tampak agung bagaikan berlapis hancuran emas. Yang menyebutkan burat berwarna merah atau kemerahan adalah

karya sastra masa Kadiri, yaitu

Bhomakawya.

Dari deskripsi yang

diberikan dalam kakawin

Kre�1�ayana

(masa Kadiri) dapat diketahui

bahwa olesan harum ini juga kadang mengenai tepi kain, bagaikan percikan bubuk-bubuk emas.

Di antara beberapa sumber wewangian lain yang disebutkan dalam v

karya-karya sastra lama tersebut adalah yang dinamakan

jebad

dan

kasturi,

suatu wewangian yang bersumber pada kelenjar jenis musang

tertentu. Wewangian ini berbentuk minyak, digunakan dengan cara 'disiramkan', antara lain pada hiasan telinga. Harumnya kasturi juga

dikatakan digunakan untuk mewangikan bedak, kain, peraduan, bunga­ bunga yang dikenakan pada busana, bahkan juga tempat semacam beranda di ketinggian ( disebut

pangungangan)

temp at raja meninjau keadaan sekitar (untuk kutipan-kutipan dari sastra lama, periksa Zoetmulder

1982:736, 816-7).

Kata

gandha

dalam bahasa Jawa Kuna dapat berarti bau pada umumnya, namun juga pada khususnya berarti "bau yang harum" (Zoetmulder

1982:485-6).

Istilah itu juga digunakan dalam arti yang lebih khusus lagi, yaitu parfum, bahan yang wangi, atau kayu cendana yang diunakan dalam upacara keagamaan. Draupadi yang menyamar sebagai Sairindhri, pengasuh para puteri di kerajaan Wirata, dikatakan amat mahir dalam urusan pengharuman. Kakawin

Ramayana

bahkan menyebutkan adanya ilmu wewangian

( sastraning

gandha).

Berbagai tempat dalam karya-karya sastra lama tersebut

menunjukkan bahwa bau-bauan yang harum itu dapat berasal dari bunga (yang sering digambarkan disebarkan; atau dihujankan dari langit; atau dibentuk menjadi untaian yang harum; atau juga dimasukkan ke dalam sanggul, yang untuk ini khusus pernah disebut bunga

malati

dalam kakawin

Bhomakiiwya),

rninyak binatang, ataupun bahan berupa cairan semacam minyak

(burat)

ataupun lumur

( gandhalepa)

yang diramu dari berbagai bahan menjadi wewangian.

Yang disebut terakhir itu, yaitu wewangian cair ataupun lumur, tentulah membutuhkan keahlian tersendiri untuk membuatnya, dan mungkin orang saling bersaing untuk menghasilkan keharuman-keharuman yang khas. Bahan tumbuhan yang pernah disebutkan sebagai digunakan untuk wewangian adalah bunga, sirih dan kayu cendana, sedangkan daun

paf!qan

dan bunganya, yang disebut

puqak,

juga dipuji karena harumnya. Bahan-bahan tanaman lain yang disebut sebagai sumber wewangian adalah

agaru

dan

kayu !aka

(kayunya),

ergulo

(bunganya), serta

menyan

(getahnya).

Dalam ikonografi bauddha dikenal kelompok-kelompok dewa

skematik dari kosmos. Di antara kelompok-kelompok tersebut terdapat dua kelompok yang di dalamnya terdapat tokoh yang melambangkan wewangian atau peneiuman, yaitu yang pertama kelompok "paneaindera", dan yang kedua kelompok "persajian upaeara" (periksa Edi Sedyawati, "Area-area 'Kecil' dalam Pantheon Buddha",

Proceedings Pertemuan Umiah Arkeologi V, Ikatan Ahli Arkeologi

Indonesia,

1989 :391-412).

Dalam kelompok "paneaindera", dewata

atau dewi yang melambangkan indera peneiuman digambarkan membawa "siput wangi" (yang di satu tempat diberi keterangan "berwarna kuning"), atau membawa bejana wewangian. Dalam kelompok "persajian upaeara", item wewangian dilambangkan juga dengan siput wangi (di satu tempat diberi keterangan "berwarna merah"; dan di tern pat lain "yang dipenuhi wewangian"). Kelompok dewata "persajian upaeara" dalam mandala bauddha ini lengkapnya terdiri dari Pu�pa (bunga), Dhlipa (wewangian yang dibakar), D1pa (pelita), dan Gandha -(wewangian berupa lepallumur). Dalam karya­ karya sastra Jawa Kuna disebutkan pula deretan semaeam ini, namun dalam arti benda-benda yang sesungguhnya, bukan dalam arti para dewata yang melambangkannya. Rineian isi kelompok benda-benda ini tidak selalu sama: di samping keempat hal yang disebutkan

terdahulu, seringkali ditambahkan penyebutan

(gandha dan) a?ata,

atau ada juga yang ditambah dengan minyak. Kitab

Brahmii'f4apuriir:a,

yang tergolong karya sastra Jawa Kuna yang tua, paling lengkap menyebutkan benda-benda persajian upaeara itu, yaitu:

"pu�pa.gandha.dhiipa.t!i'pa.ak�ata

"

.

Kata

a�ata

berarti "bulir yang

utuh", mungkin padi, dan ini sering digambarkan ditebarkan ke udara

(di-sawur-kan) bersama

gandha

dan

pu�pa

(Zoetmulder

1982:38).

Apa yang dieuplikkan dari khasanah budaya masa Hindu-Buddha di Indonesia itu menunjukkan bahwa pada waktu itu telah dikenal 'ilmu' untuk mengadakan wewangian demi kesemarakan hidup manusia. Dalam kaitan itu patut dieatat bahwa pada waktu itu paling

kurang bangsa kita telah berhubungan pengaruh dengan bangsa lain. Bahan-bahan untuk wewangian yang berasal dari Indonesia, seperti kayu cendana, kayu laka, kapur barus, dan damar, mungkin telah lama diperdagangkan, sedangkan bahan-bahan lain dari luar Indonesia mungkin pula telah diimpor untuk diolah dan digunakan sesuai dengan kebutuhan setempat. Masing-masing satuan masyarakat dengan budayanya yang khas tentunya juga mengembangkan citarasanya sendiri dalam banyak hal, termasuk dalam hal wewangian. Perdagangan bahan-bahan untuk membuat wangi-wangian itu sendiri, di samping perdagangan komoditi lain-lain, telah memberikan peluang untuk terjadinya hubungan-hubungan lintas budaya an tara ban gsa yang satu dengan yang lain. Selanjutnya, kegiatan pengolahan untuk membuat benda-benda wewangian yang siap pakai itu pun dapat dilihat sebagai mempunyai dua tataran. Yang pertama adalah tataran domestik, yaitu untuk keperluan rumah tangga masing-masing: buat sendiri dan pakai sendiri. Namun sejak dini pun mungkin telah terlaksana kegiatan produksi kecil-kecilan untuk pasar-pasar lokal atau bahkan hanya untuk "sanak-saudara dan handai-taulan". Teknik-teknik dasar untuk membuat, serta jenis kebutuhan-kebutuhan akan wewangian yang dianggap pokok, mungkin telah disepakati dalam budaya masing­ masing masyarakat. Itu lah yang membuat pranata wewangian itu suatu bagian dari kebudayaan suatu (suku) bangsa. Di atas itu terdapat tataran perdagangan antarbangsa ( dilandasi sistem produksi dan sistem pemasaran yang lebih berjangkauan luas) yang memungkinkan suatu bangsa mengambil alih kebiasaan-kebiasaan, atau paling kurang mengambil bagian untuk mengkonsumsi, segala sesuatu yang berasal dari bangsa lain. Maka terjadilah hubungan-hubungan lintas budaya. Penggunaan bau-bauan yang harum itu terkait dengan berbagai macam kegiatan manusia. Pertama, yang menonjol adalah penggunaannya dalam rangka upacara-upacara, baik itu upacara adat maupun upacara keagamaan. Bau-bauan yang sedap dan harum

rupanya melambangkan rasa bahagia dalam penyambutan yang tulus, sehingga sering digunakan dalam upacara penyambutan tamu, apakah itu pengantin, keluarga, besan, sahabat, pejabat, dan lain-lain. Upacara

tepung tawar, dengan menebarkan ke udara ramuan bahan-bahan yang

indah dan wangi, adalah contoh khas untuk jenis upacara ini. Adapun asap wangi yang keluar dari bahan yang dibakar ban yak pula digunakan dalam upacara, baik yang bersifat menyambut kebahagiaan seperti upacara pengantin, maupun yang mempunyai nuansa religi seperti dalam upacara kematian maupun dalam persembahyangan atau pemujaan. Asap wangi juga dapat berfungsi semata-mata sebagai penyegar udara, atau juga sebagai pengharum tubuh dan pakaian. Ada

v v v

pula dikenal kelembak-menyan yang dijadikan campuran rokok

sehingga jika dihisap menimbulkan bau harum.

Indonesia telah punya sekurang-kurangnya dua perusahaan kosmetik besar, yang dipimpin masing-masing oleh Martha Tilaar dan Mooryati Sudibyo, yang telah mengembangkan kajian terhadap sumber-sumber wewangian tradisional, dan mengolahnya menjadi produk-produk industri modern. Kiranya khasanah dari berbagai suku bangsa di Indonesia ini masih memberikan peluang bagi penelitian­ penelitian, baik untuk menemu-kenalinya, maupun untuk mendapatkan cara-cara untuk mengembangkannya agar dapat dicapai dan dinikmati oleh kalangan yang lebih luas. Dalam hal ini bangsa Indonesia tak boleh lengah untuk senantiasa siap membela hak cipta bangsanya, ataupun hak patent apabila seorang atau sekelompok orang Indonesia menemukan cara-cara pengolahan tertentu yang baru dalam dunia

wewangtan 1111.

DINAMIKA PERKEMBANGAN TRADISI