• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMASALAHAN POKOK KEBUDAYAAN INDONESIA DEWASA INI Pokok-pokok yang patut diangkat dalam Garis-garis Besar Haluan

Negara

1998 mestinya adalah berdasarkan permasalahan pokok kebudayaan

Indonesia yang ada dewasa ini, baik yang merupakan kelanjutan dari permasalahan dasar dari masa lalu berkenaan dengan upaya pembinaan bangsa secara umum, maupun yang merupakan permasalahan baru yang timbul karena perkembangan mutakhir pada tingkat nasional maupun global. Di bawah ini dikemukakan permasalahan kebudayaan mendasar beserta arah yang sebaiknya diambil sebagai upaya pemecahannya :

I. Perkembangan Kebuday.aan Nasional

Sampai saat ini masih ada warga negara Indonesia yang merasa ragu­ ragu, dan bahkan menyanggah, bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu ada. Mungkin hal itu disebabkan oleh pemahaman yang berbeda-beda mengenai apa yang didefinisikan sebagai "kebudayaan" itu. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu adalah penanda suatu ban gsa (nasion), sekaligus suatu masyarakat, yang membedakannya dari bangsa lain. Penanda budaya itu terdiri dari perangkat konsep dan nilai-nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Yang Adi Kodrati (Tuhan), dengan sesamanya, dan dengan alam, yang terjabar ke dalam sejumlah sarana, seperti : bahasa sebagai alat konseptualisasi, komunikasi, dan ekspresi seni; struktur sosial yang menata kedudukan anggota masyarakat satu terhadap yang lainnya; teknologi yang senantiasa berkembang untuk membuat alat-alat untuk memudahkan dan meningkatkan kualitas hidup manusia; bentuk-bentuk kesenian yang memiliki gaya dan teknik yang khas, dan lain-lain.

Dari keempat sarana yang disebutkan di atas, yang pertama dan terakhir merupakan penanda yang paling membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, sedangkan sebaliknya, yang ketiga justru cenderung untuk secara cepat 'dimiliki' bersama oleh ban yak bang sa, karena sifat

pencapaiannya yang sebagian terbesar melalui jalur ilmiah yang bersifat amat terbuka. Adapun yang kedua, yaitu struktur masyarakat, masih dapat mem­ bedakan an tara satu ban gsa dengan bangsa lain namun pada segi-segi tertentu terdapat kecenderungan menyeragam di antara semua bangsa, khususnya pada segi-segi yang memang terkait dengan tata organisasi intemasional.

Arah pemecahan

masalah dalam hal ini adalah : pendalaman peng­ hayatan Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa, dan penumbuhan rasa bangga sebagai bangsa mempunyai pedoman kebangsaan ini; pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang harus semakin mampu berfungsi sebagai sarana pengembangan ilmu dan seni; pendorongan munculnya karya-karya unggul di bidang ilmu dan seni oleh warga negara Indonesia; penataan sistem pendidikan dan sistem media mas sa agar berfungsi penuh sebagai sarana pembudayaan dalam arti luas, dan terarah kepada nilai-nilai budaya bangsa yang positif dan konstruktif; pembinaan penghayatan rasa kesatuan dan persatuan pada seluruh bangsa; pembinaan kesadaran sejarah, khususnya dalam kaitannya dengan keilmiahan dan pemahaman akan permasalahan kebangsaan dari masa ke masa.

II. Budaya Suku Bangsa dalam Konteks Negara-Bangsa Republik

Indonesia

Posisi masing-masing suku bangsa di dalam wadah negara Republik Indonesia adalah setaraf dalam kedudukan sebagai warga negara, sehingga dengan demikian tidaklah dapat diperbedakan satu sama lain atas "golongan bangsa pokok" dan "golongan minoritas", juga tidak antara "golongan pribumi

(

indigeneous people)" dan "go Iongan pendatang (yang dalam contoh berbagai negara lain adalah juga golongan yang berkuasa)". Dalam negara Indonesia, semua suku bangsa adalah pribumi. Jika ada pendatang-pendatang dari luar yang kemudian bermukim, beranak-keturunan dan menjadi warga negara Indonesia, maka mereka tidak menjadi golongan yang secara budaya terpisah dan terse.ndiri, melainkan mereka berasimilasi dengan suku bangsa yang merupakan penghuni asli di tempat mereka tinggal. Situasi multi­ kultural Indonesia yang berbeda dengan kemultibudayaan negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Australia, dll. (di mana bangsa pendatang menjadi penguasa dan bangsa pribuminya tergusur), maupun Cina, Vietnam, dll. (di mana sebuah 'bangsa pokok' pribumi merupakan mayoritas yang berkuasa, sedangkan sejumlah suku bangsa pribumi lain berada di periferi) seringkali masih kurang disadari, dan ketidaksadaran ini membuat masih banyak orang

menggunakan terminologi dan pemaknaan kata-kata seperti "minorities", "primordialism", dan "indigenous people" dalam kesesuaiannya dengan konteks negara lain, dan bukan dalam konteks negara kita sendiri.

Kesenjangan-kesenjangan pengertian dan penyikapan yang terjadi karena tidak kritis dalam mengambil alih jargon dari negara-negara kuat yang mendominasi wacana politik dunia dewasa ini, apabila tidak segera dikoreksi akan dapat menumbuhkan bibit-bibit perpecahan yang merugikan bagi persatuan bangsa dan kesatuan negara.

Arah pemecahan yang harus ditempuh adalah a. I. dengan meneruskan usaha-usaha penggalian, pelestarian dan pengembangan khasanah budaya suku-suku bangsa, dengan dua sasaran sekaligus, yaitu pertama demi kontinuitas identitas suku ban gsa sebagai sesuatu yang berakar dalam melalui perkembangan herabad-abad, dan kedua adalah untuk diperkenalkan antar suku bangsa secara lebih intensif. Usaha yang disebut kedua itu perlu memanfaatkan segala kiat dan hasil perkembangan mutakhir dalam pengemasan informasi. Dalam proses ini, seperti yang telah terjadi di masa­ masa sebelum ini, diharapkan terus akan ada aspek-aspek atau perbendaharaan khusus dari suku-suku bangsa itu yang menjadi begitu tersebar luas di antara seluruh warga negara Republik Indonesia sehingga telah dapat dirasakan sebagai miliknya juga. Inilah yang hendaknya kita tafsirkan sebagai "puncak-puncak kebudayaan lama dan daerah yang terhitung sebagai kebudayaan nasional" seperti yang dirumuskan dalam Penjelasan UUD-1945. Ke dalam pengertian 'puncak' yang terbawa masuk ke khasanah 'nasional' itu, di samping hal-hal yang hidup dewasa ini (contoh: batik, ikat, sulam Gorontalo, songket pandai Sikek, masakan Padang, tari Bali, Serampang Duabelas, ukiran Asmat, seni patung Bali dll.) termasuk pula khasanah warisan budaya dari masa silam yang telah menjadi "benda purbakala" (contoh: candi Borobudur, candi Prambanan, peninggalan megalit di Bada, Sulawesi Tengah, dll) yang keseluruhannya itu dapat diterima sebagai warisan budaya dari seluruh bangsa Indonesia meski munculnya dari salah satu suku bangsa.

Khusus mengenai bidang kesenian, apabila kebudayaan nasional Indonesia bertumpu pada ciptaan-ciptaan baru, di samping juga 'mengambil alih' warisan seni dari suku-suku bangsa yang telah mampu melintasi batas kesuku-bangsaannya untuk meng-Indonesia, maka "kesenian daerah", atau kesenian dari suku-suku bangsa itu sendiri terlalu sering dianggap semata­ mata sebagai warisan yang 'statis', dan perlu 'dilestarikan'. Dalam hal ini

kiranya perlu disadari bahwa sesungguhnya di dalam tradisi rtu masing­