• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pekerjaan registrasi sangat mengandalkan pada sistem prosedural dan penentuan struktur data yang harus digunakan secara tepat dan

tertib. Faktor penguji untuk kemangkusan dan kesangkilannya adalah

·

pada mudah-sulitnya penelusuran. Pada waktu ini struktur data dasar

yang telah disepakatkan untuk Sistem Informasi Kebudayaan Terpadu

sedang dalam taraf pembinaan. Dengan keterpaduan registrasi ini

diharapkan penelusur<:th data akan lebih mudah, di mana pun data itu

disimpan. Terbentuknya struktlir data arkeologi terpadu itu sendiri

merupakan kelulusan atas ujian koordinasi antarinstansi di lingkungan Direktorat Jenderal Kebuday"aan. Meskipun demikian efektifitasnya masih akan diuji dalam penerapannya dengan input data yang memadai dan pembuktian kecepatan analisisnya ketika data yang masuk telah cukup. Di luar struktur data yang ada pada SIKT itu, masing-masing instansi dapat mengembangkan rincian lebih jauh yang mengacu pada keperluan-keperluan khasnya.

Masalah Pemanfaatan

Pemanfaatan yang pertama, dan juga yang utama, dari benda­ benda arkeologi adalah untuk kepentingan penelitian dengan ketiga arahan seperti tersebut di atas, yaitu untuk pemecahan masalah ilmiah murni, masalah konservasi, dan masalah restorasi. Staf peneliti atau kurator dari keempat jenis badan yang disebutkan di atas dapat melakukan penelitiannya.

Kemungkinan pemanfaatan kedua adalah sebagai · peraga atau sarana latihan analisis dalam rangka suatu program pendidikan yang terstruktur, baik pada jenjang sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi . .Untuk keperluan ini tempat penyimpanan terbaik untuk digunakan adalah museum-museum, yang pada dasarnya memang mempunyai tugas antara lain menyediakan data yang teratur untuk penggunaan oleh pihak-pihak lain. Aspek pemanfaatan yang ketiga dan keempat pun, yaitu untuk pendidikan masyarakat dan sebagai obyek daya tarik wisata, adalah sesuai untuk fungsi museum­ museum.

Dalam kaitannya dengan tujuan pemasyarakatan itu, benda-benda purbakala dapat pula dimanfaatkan sebagai model untuk dibuar replikanya, yang sudah tentu harus melewati suatu prosedur perizinan sesuai dengan pe,nituran perundang-undangan yang berlaku. Replika benda-benda kecil ataupun miniatur dari benda-benda besar, disertai sertifikasi, merupakan daerah usatta yang masih perlu dikembangkan secara profesional. Dalam usaha seperti itu diperlukan kerjasama­ kerjasama yang tepat.

Peranan Koordinasi

Kiranya sudah urn urn diterima bahwa koordinasi amat diperlukan untuk mencapai berbagai tujuan bersama. Kemampuan berkoordinasi memerlukan prasyarat sikap terbuka dan ketiadaan egosentrisme instansional yang berlebihan. Tujuan koordinasi adalah untuk mencegah duplikasi, mencegah ketumpang-tindihan, serta mencapai efisiensi. Prasyarat legal untuk itu adalah tidak adanya dualisme kewenangan, seperti misalnya yang pada waktu ini masih ada karena belum dicabutnya Keppres mengenai "Panitia Nasional Pengangkatan Harta Karon dari Dasar Lautan" itu.

Koordinasi mempersyaratkan pula kesatuan visi dalam pena­ nganan dan pemberian nilai kepada benda-benda peninggalan purbakala, lebih-lebih yang mempunyai nilai sebagai eagar budaya. Kesenjangan visi ini pun masih ada dewasa ini, seperti dicontohkan oleh masalah candi Borobudur yang hendak dikembangkan sebagai obyek ziarah agama Buddha. Masih lebih baik kesesuaian visi itu adalah yang sekarang terdapat antara pihak -pihak arkeologi dengan pihak Pekerjaan Umum, walaupun ini masih harus dituangkan paling kurang ke dalam kesepakatan tertulis.

Demikianlah kurang lebih garis besar permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan benda-benda purbakala, serta tantangan-tantangan untuk berkoordinasi secara nyata.

PROFESIONALISME, KEPAKARAN, DAN KESADARAN MEDIA-.

UNTUK MENDONGKRAK CITRA MUSEUM

Akhir-akhir ini cukup muncul di media massa pemberitaan, liputan, ataupun ulasan mengenai museum-museum di Indonesia, yang umumnya mengemukakan citra suramnya. Bahwa museum menjadi _ obyek pengamatan media massa, itu sudah dapat dilih�t sebagai awai yang baik. Namun segera, secara terprogram, persatuan museum­ museum se-Indonesia ini, dengan difasilitasi oleh Direktorat Permuseuman, perlu segera melancarkan gerakan pendongkrakan citra, dari yang suram menjadi yang penuh harapan dan daya tarik. Sudah tentu gerakan itu memerlukan kerja keras yang intensif untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja, baik dalam urusan ke dalam maupun hubungan ke luar.

Pengelolaan museum pada dasarnya memerl.ukan sejumlah keahlian atau kepakaran. Di samping keahlian manajemen umum, kemampuan

p

rofesional yang tinggi juga diperlukan bagi tenaga fungsional permuseuman yang dapat dibedakan atas:

( 1)

kurator;

(2)

konservator dan restorator;

(3)

ahli tatarupa dan tatarualig;

(4)

ahli media dan komunikasi. Keempat kelompok ahli itu dituntut pula untuk senantiasa mempertajam wawasannya, pertama dalam menanggapi situasi-situasi aktual, dan kedua dalam melihat pekerjaannya dalam kerangka luas membangun kecerdasan kehidupan bangsa.

Para kurator diharapkan untuk selalu mempunyai pengetahuan yang mutakhir tentang keadaan koleksi museum yang menjadi tanggungjawabnya. Ia harus menguasai sistem registrasi dan alur makalah

PERTEMUAN DISKUSI & KOMUNIKASI KEPALA MUSEUM serta MUNAS I BADAN MUSYAWARAH MUSEUM INDONESIA (BMMI) Denpasar. 18-22 Juli 1999

penelusuran informasi mengenai koleksi. Lebih jauh ia pun diharapkan melakukan kajian mengenai koleksi yang diasuhnya. Pacta tahap pertama ia diharapkan dapat membuat deskripsi yang akurat, dengan memperhatikan unsur-unsur yang signifikan pacta setiap item koleksi. Kemampuan mengamati ini sudah tentu memerlukan dasar pengetahuan yang memadai dari ilmu-ilmu yang sesuai untuk pemahaman item itu. Dapat disebutkan misalnya ilmu-ilmu seperti arkeologi, antropologi, keramikologi, numismatik, epigrafi, dan seterusnya. Kecermatan dan ketepatan deskripsi itu pacta saatnya akan sang at menentukan keberhasilan identifikasi benda yang bersangkutan, baik dari segi fungsi maupun kedudukannya di antara benda-benda lain sejenis setelah melalui suatu studi bandingan. Seorang kurator pun diharapkan melakukan studi lebih jauh di luar deskripsi semata­ mata. Melalui berbagai sumber lain ia dapat berusaha untuk mengetahui konteks atau Jatar belakang dari benda atau sekelompok benda yang ada dalam koleksi museumnya. Seluruh akumulasi pengetahuan itu pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk membuat penyajian pameran yang lebih menarik. Dalam kaitan dengan tugas kurator untuk memahami betul barang-barang asuhannya itu, seorang kurator juga dituntut untuk mengikuti perkembangan ilmu yang terkait dengan koleksinya tersebut. Ini berartj ia perlu hadir dalam kancah organisasi ( -organisasi) profesi keilmuan yang bersangkutan, dan ia pun perlu mengikuti literatur mutakhir dalam bidang ilmu tersebut. Implikasi dari tuntutan ini adalah pengembangan perpustakaan kerja dalam setiap museum.

Suatu perpustakaan kerja di museum perlu dikembangkan tidak hanya untuk keperluan kurator, melainkan juga untuk mendukung tenaga-tenaga ahli yang lain, yaitu konservator dan restorator, peran­ cang tata pameran, serta perancang informatika dan "public relations". Para konservator dan restorator di museum bertugas memantau, sehingga senantiasa mem:punyai pengetahuan mutakhir, mengenai

kondisi koleksi museum, item per item. Di samping itu ia bertugas mengawasi kondisi iklim mikro di setiap ruangan penyimpanan maupun di ruang-ruang pameran. Untuk dapat meningkatkan kineija­ nya, seorang konservator atau restorator perlu juga senantiasa mengikuti perkembangan ilmu konservasi dan restorasi, baik mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan beserta keterujianya, maupun mengenai metode kajian dan aplikasi teknik-teknik perawatan dan pemugaran.

Kelompok fungsional profesional yang ketiga di museum adalah para

penata pameran.

Keahlian yang diperlukan adalah dalam bidang disain interior dan bidang komunikasi visual. Yang harus diatur oleh tenaga-tenaga ahli ini bukanlah hanya 'kotak-kotak' pameran di mana koleksi dipampangkan, melainkan keseluruhan tata ruang yang meli­ puti juga aspek -aspek arus pengunjung dan peletakan kegiatan-kegiatan penunjang pameran. Penataan yang nyaman dan efektif diperlukan. baik untuk pameran temporer maupun pameran tetap. Pacta pameran tetap pun diperlukan pengaturan ruang yang tepat untuk rnisalnya meletakkan fasilitas-fasilitas informasi. Di samping "information desk" yang biasanya ada di bagian depan museum, museum perlu pula meningkatkan penyediaan informasi-informasi khusus dalam berbagai bentuk di sela-s.ela 'kotak' pameran. lnformasi auditif maupun audio-visual, misalnya dalam CD-Rom yang dapat diakses secara interaktif, menjanjikan suatu daya tarik tambahan karena pengunjung diberi kesempatan untuk secara aktif mencari keterangan sesuai minatnya sendiri.

Penyediaan informasi tersebut memerlukan keahlian lain pula, yaitu dalam hal sistem dan teknik infonnatika. Di samping itu museum juga memerlukan jasa keahlian dalam bidang komunikasi, khususnya dalam sub-bidang hubungan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas dan intensitas hubungan antara museum dan khalayak ramai. Para ahli di bidang ini, atau yang kini dikenal sebagai "bidang edukasi", perlu

merancang Pf�gram-program yang bertujuan meningkatkan: (a) jumlab pengunjung vke museum; (b) kepedulian masyarakat, yang dapat dinyatakan dengan berbagai bantuan dan kerjasama; dan (c) jumlab dan kualitas pemberitaan di media massa, khususnya yang mempunyai efek mendongkrak citra museum menjadi lebih 'berkilau'. Museum perlu dikembangkan bersama ke arab citra rekreatif-edukatif, di samping sebagai sumber data ilmiab.

Melalui kebijakan dan araban kepala museum, para abli hubungan masyarakat bersama para kurator bertugas menyusun program­ program pameran beserta segala kegiatan dan fasilitas pendukungnya dan ancangan kiat-kiat pemikatan khalayaknya. Di samping itu penataan data koleksi harus dilakukan dengan secermat mungkin sehingga koleksi itu benar-benar menjadi bemilai sebagai baban kajian ilmiab. Tidak jarang dijumpai kenyataan dewasa ini babwa tempat asal suatu benda dalam koleksi museum di dalam registrasi hanya disebut dengan nama tempat di mana benda tersebut diperoleh, dan bukan tempat asal yang sesungguhnya. Ada pula kenyataan bahwa untuk satu perangkat alat yang terdiri dari banyak komponen, masing­ masing komponen tersebut diberi nomor-nomor tersendiri, dengan tidak disertai nomor atau kode penanda bahwa kumpulan benda tersebut merupakan satu kesatuan.

Sebuah saran dengan ini dapat diberikan mengenai metode peningkatan tampilan museum yang berlandaskan peningkatan kualitas sumber day a manusianya. Pertama, usaba yang dapat dilakukan adalab pelatihan di luar negeri dalam keempat bidang keahlian yang telah disebutkan terdahulu, dengan memanfaatkan afiliasi-afiliasi bilateral dan multilateral (seperti ASEAN-COCI) yang sudah ada, maupun dengan membuat afiliasi-afiliasi baru· maupun khusus, seperti misalnya antara Museum Sana Budaya Yogyakarta dengan Museum Nasional Etnografi di Stockholm; dan �tara Museum Negeri Sumatera Utara dengan sebuab museum di Thailand selatan (dalam persiapan). Jenis

usaha kedua yang dapat dilakukan adalah suatu pelatihan di dalam